Summary : Keyakinan tentangmu tinggal sedikit lagi. Tapi aku masih menerjang salju hingga beku seperti ini. Hanya terus mencari dan mencari tanpa tahu alasanku mencari. following the map that leads to you. YAOI!HunKai uke!Kai seme!Sehun AU!

.

.

.

A story

by

AllHearts

'Pain'

For HunKai Sweet Love Event

.

.

BEGIN

Dingin.

Beku.

Untuk kesekian kalinya aku kembali membenci pagi yang terus menerus datang. Aku tak pernah suka pagi. Aku tak suka siang. Dan aku tak suka malam. Aku tak suka bagaimana waktu berjalan meninggalkan jejak-jejak kenangan berisi kekosongan. Aku tak suka hidup seperti ini. Sungguh.

Tadi malam salju pertama telah turun di atas kepalaku. Seolah ingin menimpa kepalaku setitik demi setitik hingga aku terkubur ke dasar Bumi. Tapi aku tahu itu tak akan terjadi. Rintikan salju itu tak akan menguburku sebelum hidupku jauh lebih menderita. Karena rintikan itu hanya ingin menyiksaku dalam garis karma.

Untuk kesekian kalinya, ini kembali memasuki musim dingin. Aku tak pernah suka musim dingin. Aku juga tak suka musim panas. Aku tak suka musim gugur sebagaimana aku juga tak suka musim semi. Bukankah aku pernah bilang, aku tak suka bagaimana detik-detik waktu meninggalkan kekosongan ruang-ruang hampa. Dan musim-musim itu justru membuktikan bahwa waktuku memang hanya diisi oleh kehampaan. Aku tak pernah menyukai apapun sejak dia pergi meninggalkanku. Menyukai hanya akan menyakiti. Tetapi aku hanyalah pria bodoh yang lemah pada rasa sukaku padanya. Jadi kini aku hanya membenci dan membenci segala hal yang menjauhkanku padanya. Seperti orang bodoh, melakukan sesuatu tanpa arah. Aku memang kacau.

Dulu, tak pernah terbesit dalam pikiranku tentang membenci waktu yang menurutku tidak berguna. Namun sekarang aku justru benar-benar membencinya hingga rasanya aku ingin mati.

Aku membenci waktu yang terus membawaku pada satu fakta bahwa dia tak akan pernah kembali padaku. Aku membenci waktu yang membawanya pergi dariku. Aku benci waktu yang tak kunjung membawanya kembali. Aku membenci waktu yang selalu menyiksaku akan kenangan tentangnya.

Aku meletakkan mug bergambar hati berisi cokelat hangat yang sudah kutandaskan. Itu adalah mug kesayangannya. Ia selalu membuatkanku cokelat hangat dengan mug itu setiap pagi di musim dingin.

Kulangkahkan kakiku melewati tumpukan sampah dan koran yang dengan seenaknya memenuhi lantai. Menuju ke kamar dan mengambil mantel yang selalu diberikannya untuk kukenakan saat ingin keluar di musim dingin. Sesaat aku memperhatikan tampilanku di cermin.

Tidak buruk.

Ini baik.

Aku tak pernah merasa sebaik ini sebelumnya. Kulit pucatku terlihat sedikit lebih berwarna dari sebelumnya, mungkin efek dingin dan cokelat hangat. Lupakan saja tentang bentuk wajahku yang menjadi tirus dan kantung mata yang dengan seenaknya menghampiri kelopakku. Aku cukup baik. Setidaknya aku tak sepucat kemarin atau kemarinnya lagi. Ini adalah kondisi terbaikku setelah dia pergi.

Kembali kulangkahkan kaki ke luar rumah. Membeli serangkaian bunga Mawar dengan Baby's Breathe. Lalu menyimpannya di jok belakang bertemankan rangkaian lainnya yang telah layu.

Selalu seperti ini. Aku pergi pagi-pagi dengan pakaianku yang paling disukainya. Membawa bunga yang paling kesukaannya. Menumpuknya di jok belakang. Lalu kembali tengah malam dengan tangan hampa menuju rumah tanpa ada pernah menyambutku pulang.

Entah sudah berapa ratus rangkaian bunga yang menumpuk di dalam mobil, aku tidak tahu. Aku bahkan telah menurunkannya beberapa kali untuk disimpan di rumah karena sudah terlalu penuh untuk disimpan di mobil. Setidaknya, dia akan tahu berapa lama aku mencarinya selama ini. Ah, itu tidak penting. Bahkan saat dia kembali saja aku sudah sangat bersyukur dan melupakan tentang rangkaian-rangkaian bunga layu itu.

Keyakinan akan Jongin yang telah berbahagia di luar sana terus datang menggangguku. Tapi aku tak mau mengambil resiko jika keyakinan itu salah. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka aku adalah makhluk paling berdosa di dunia. Jika pun keyakinan itu benar, aku tak akan peduli seberapa tersiksanya aku, tapi aku hanya akan tinggal di sisinya untuk memastikan Jongin tetap berbahagia.

Aku akan menjadi seorang pria sejati untuk itu. Setelah sebelumnya aku menjadi hewan pengerat yang hanya bisa menyakiti. Aku memang manusia brengsek. Adakalanya si manusia brengsek sepertiku akan menyesal. Dan bodohnya, si manusia brengsek ini terlalu terlambat untuk menyesal. Aku membiarkannya pergi ke suatu tempat yang tak kuketahui terlebih dahulu, dan jatuh menangis setelah menyadari bahwa dia lebih berharga dibanding hidupku. Air matanya sudah terlebih dahulu kering sebelum aku menyesalinya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah mencarinya, dan menyesali kebodohan si manusia brengsek ini.

Liter demi liter bensin kuhabiskan untuk mengelilingi kota. Aku tahu Seoul itu luas, dan Jongin bukanlah sebuah benda mati yang hanya diam di tempat. Jongin bisa ada di mana saja, pemuda itu bisa pergi ke mana saja. Jongin bisa saja pergi ke tempat lain di belahan dunia lainnya yang takkan terjangkau olehku. Tapi aku tidak peduli, mungkin saja lingkaran takdir akan mempertemukan kami, agar ia bisa menendangku sepuas hati hingga rasa sakitnya terobati. Mungkin saja. Ah, aku bahkan melupakan tentang satu hal, semua ini hanya tentang mungkin saja. Dengan presentase ketidakmungkinan yang tak terhingga.

Keyakinan untuk menemukannya semakin menipis seiring waktu yang mengikis jiwa. Entah sudah hari keberapa terlewatkan dengan rasa hampa yang menyakitkan. Entah sudah bulan keberapa tertinggal oleh senyuman semu yang selalu kuingat. Kalender di rumah tak pernah berubah, selalu menunjukkan bulan Desember dengan tanggal satu yang terlingkar. Sebentar lagi Desember tiba, dan itu artinya genap sudah tanggal satu yang terlingkar itu tetap ada di sana selama tiga tahun. Biasanya Jongin yang akan mengganti kalender kami setiap tahun dan melingkari tanggal pertama di bulan Desember. Namun sekarang aku bahkan tak memiliki kekuatan untuk menatap lingkaran merah hasil goresan jemarinya.

Di tanggal satu itulah kami bertemu. Di tanggal satu aku menatapnya. Di tanggal satu itu juga aku mencintainya. Dan tanggal satu itu kami memilih untuk bersama. Namun sayangnya di tanggal satu itu dia menghilang. Pergi ke suatu tempat tak terjagkau olehku. Meninggalkanku sendirian di rumah dengan badai salju di sekitarnya.

Saat itulah aku rapuh. Aku semakin tahu bahwa aku membutuhkannya. Aku mencintainya setiap hari. Rasa cintaku semakin menguat setiap aku membuka mata. Rasa cintaku semakin kokoh saat melihatnya di sekitarku. Dan dengan rasa cinta yang seperti itulah aku rapuh. Karena aku telah kehilangannya sebagai kekuatanku. Aku bahkan tidak tahu apakah aku benar-benar pria atau tidak.

Aku tidak benar-benar tahu apa alasan Jongin pergi. Tapi yang jelas, itu kesalahanku. Akulah yang membuatnya pergi dariku. Dengan lebih mementingkan pekerjaan bodohku. Dengan lebih mementingkan keinginanku. Dengan memaksanya tinggal di rumah tanpa boleh keluar. Dengan mencemburui setiap teman yang mendatanginya. Aku tahu aku salah, jadi kumohon kembalilah dan berbahagia. Aku tak peduli dengan siapa Jongin berbahagia, apakah itu denganku atau tidak, aku tak peduli. Yang penting Jongin berbahagia dan aku dapat melihat senyumannya setiap hari.

Hari sudah mulai beranjak siang. Dan langit masih menampakkan aura mendung yang menutupi cakrawala. Jongin tidak pernah suka langit yang mendung. Aku sedikit tersenyum saat membayangkan wajahnya yang pasti tengah tertekuk lemas jika melihat langit saat ini.

"Jongin.. kau dimana?"

Aku tersenyum pahit saat angin dengan udara es yang dingin membalas pertanyaanku. Seolah ingin membisikkan bahwa Jongin tak akan ada di sini untuk melihatku. Kulajukan mobilku di tengah bekunya salju di jalanan. Kembali ke rumah yang kosong. Karena aku tahu Jongin selalu ingin aku di rumah untuk menemaninya makan. Dan aku tetap melakukan tradisi makan bersama kami. Walau kini hanya ditemani lukisan potret dirinya saja.

Aku tiba di rumahku pukul satu tepat. Untunglah, beberapa menit yang lalu jalanan masih macet. Kukira aku akan terlambat lima belas menit dari jam makan kami. Namun ternyata aku justru tiba lima belas menit lebih cepat. Jika saja ada Jongin di sini, ia pasti akan sangat terkejut. Lalu aku akan menemaninya memasak di dapur, hanya menemani karena aku tidak mau merusak masakan pemudaku.

Tapi sekarang tidak lagi. Aku hanya disambut oleh pagar besi yang tertutupi salju dengan pohon maple kesukaan Jongin yang kini berdaunkan salju. Tak ada seorang pun yang menungguku di rumah seperti tiga tahun yang lalu. Tidak akan ada pekikan kaget dan pelukan hangat yang akan menyambutku. Dia telah pergi. Meninggalkanku yang masih mencari.

Kepalaku tertunduk lesu. Sebenarnya aku merasa tidak perlu makan, seberapa laparnya pun aku. Mencari Jongin itu lebih penting daripada segalanya. Tapi aku tahu Jongin tidak pernah suka saat aku tidak memakan makananku, dia ingin aku sehat katanya. Jadi aku akan tetap kembali ke rumah dan memakan sepotong roti di depan pigura milik Jongin. Aku tahu Jongin akan marah jika aku makan sesedikit ini, tapi setidaknya aku sudah makan. Setidaknya suatu saat nanti Jongin akan tahu seberapa kacaunya aku saat ia pergi. Ya, suatu saat nanti.

Di dalam pigura itu Jongin tersenyum. Jadi aku juga harus tersenyum–walau kutahu senyumanku di saat-saat seperti ini sama sekali tidak enak untuk dilihat. Berbanding terbalik dengan senyuman milik Jongin. Senyumannya sangat manis kalau kau mau tahu. Aku selalu merindukan senyuman yang seperti itu untuk kembali menghiasi pagi hariku, menyemangati siangku dan menenangkan malamku. Tapi entahlah, yang bisa kulakukan hanya menatap pigura berisikan potret lukisanku dengannya.

Oh, Tuhan, mengapa bisa sesakit ini?

"Sebaiknya kau merelakannya. Ia sudah pergi. Jika Jongin memang untukmu, dia akan kembali. Percayalah. Kau tak boleh mengecewakannya saat ia kembali lagi dengan menyiksa diri seperti ini"

"Kau seharusnya merelakannya, mungkin menurutnya ini yang terbaik. Lagipula masih banyak orang lain yang akan membuka hati untukmu"

"Sudah kukatakan, kau bukan pria yang baik untuknya! Dasar idiot! Kenapa kau memaksanya untuk bersamamu hingga ia menghilang begini?! Dimana otakmu!"

Aku masih mengingat itu. Seluruh komentar-komentar tentang menghilangnya Jongin dari sisiku. Mulai dari kalimat penyemangat, saran yang membuatku muak hingga makian pun kuterima. Makian yang menyadarkanku tentang kesalahanku selama ini. Seseorang di sana yang telah memakiku ini memang benar, aku bukan pria yang baik untuk Jongin. Tapi aku mencintainya. Lalu aku harus bagaimana?

Entah sudah berapa lama aku hanya termangu di depan lukisan. Berharap Jongin di dalam lukisan itu bisa keluar agar aku bisa merengkuhnya seperti dulu. Berbagi kehangatan di musim dingin adalah kebiasaanku yang akan kulakukan dengan senang hati untuknya. Jongin sangat membenci dingin, dia adalah tipe orang yang mudah demam. Dan cuaca musim dingin yang beku tidak baik untuknya.

Astaga! Ini musim dingin! Jongin bisa saja kedinginan!

Segera aku berlari keluar dengan mengenakan mantelku yang paling disukainya. Mengunci pintu secara terburu-buru tanpa mempedulikan sosok yang terdiam di ambang pintu.

"Kau mau kemana?" tanyanya.

"Suatu tempat," jawabku singkat lalu segera bergegas melangkah menuju mobil.

"Mencari Jongin lagi?"

Aku menghela nafas. Pemuda yang satu ini memang tidak ada kapoknya menyuruhku berhenti mencari Jongin–seperti aku yang tak ada kapoknya mencari Jongin. "Aku tak bisa melakukan apapun selain mencarinya"

"Tapi–"

"Tak ada alasan lain. Jongin pergi karena aku. Dan aku hanya bisa mencarinya terus menerus sampai aku menemukannya dan memintanya hidup di sekitarku. Aku tak peduli apakah dia sudah berbahagia atau tidak, yang penting aku akan bisa melihatnya berbahagia di sekitarku entah itu karena aku atau bukan aku. Aku juga tak peduli apakah ada hatimu atau hati temanmu atau hati teman dari temanmu untukku, tapi hatiku tetap untuk Jongin"

"Kenapa kau sampai melakukan itu?"

"Karena aku mencintai Jongin"

"Tapi aku mencintaimu"

"Aku lebih mencintai Jongin"

"Jongin meninggalkanmu"

"CUKUP!" tanpa sadar aku berteriak cukup keras. Kulangkahkan kakiku kembali ke teras dengan gusar. Menatap sosok gadis di depanku dengan rasa marah yang terus menerus mengalir dalam aliran darahku. Aku bahkan dapat merasakan perasaan marah itu berdetak di dalam nadiku.

"Aku tidak mencintai Jongin dengan jahat sepertimu. Aku mencintai Jongin dengan perasaanku. Aku tidak peduli apakah Jongin itu kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan dan segalanya. Aku mencintai Jongin karena dia adalah Jongin. Aku tak peduli apakah dia berbahagia denganku atau orang lain. Sedangkan kau! Yang kau rasakan itu bukan cinta!"

Setelah mengatakan itu aku segera pergi dari sana. Tanpa mempedulikan seberapa merahnya sudah wajah gadis itu.

Ah, aku memang pria bodoh. Menolak cinta seorang gadis untuk seorang pemuda. Membuat seorang gadis menangis di tengah rintikan salju. Tapi apa boleh buat, Bukankah aku brengsek?

Keyakinan tentang Jongin hampir hilang, dan dengan tololnya aku masih terus mencarinya dengan tumpukan buket di jok belakang.

Aku membawa buket yang tadi pagi untuk turut ikut dalam perjalananku mengarungi jalan setapak dengan salju di atasnya. Ini adalah tempat pertama kalinya aku bertemu dengan Jongin.

Tempat ini selalu indah di setiap musim. Bisa dijadikan tempat piknik untuk melihat bunga-bunga bermekaran di musim semi, tempat melihat bentuk-bentuk awan yang berubah oleh angin di musim panas, tempat menikmati dedaunan maple yang berguguran di musim gugur, dan tempat bermain ski di musim dingin.

Kami pertama kali bertemu di sini saat bermain ski. Dan dia menjadi kekasihku di sini saat kami bermain ski sepulang dari festival lampion musim dingin. Dan semoga saja kami kembali bertemu di sini. Agar aku bisa kembali merengkuhnya dalam lautan kerinduanku yang terus mendalam.

Aku menatap orang-orang yang bermain ski di antara tawanya. Dulu kamilah yang seperti itu. Membuat orang-orang di sana ikut hanyut dalam tawa. Beberapa pasangan mengekspresikan rasa irinya secara langsung. Tak jarang beberapa anak-anak ikut bermain bersama. Dan Jongin dengan senyuman manisnya mengajak mereka bermain. Mereka semua mengira Jongin adalah seorang wanita. Tentu saja, pemudaku ini memiliki wajah yang manis seperti wanita. Dan Jongin hanya tertawa saja untuk menanggapinya. Dan saat Jongin tertawa geli adalah saat seorang paman dan seorang bibi mengira anak kecil yang bermain bersama kami adalah anak kami. Aku melihat semburat merah di pipinya saat itu. Entah malu atau apa, tapi yang jelas aku tahu ia suka saat aku merengkuh tubuhnya setelah itu.

Ada sebuah pohon maple di sisi sebelah sana. Jongin menyebutnya pohon keajaiban. Karena di pohon itulah kami pertama kali bertemu. Jongin bilang saat itu hidupnya mulai dipenuhi berbagai keajaiban. Aku tertawa melihat pola tingkah pemudaku ini. ia tidak mudah ditebak, juga sangat lucu. Dan aku tak pernah bosan untuk merengkuhnya.

"Hai, pohon keajaiban! Apa kabarmu? Apakah dingin jika terus berada di luar seperti ini? Apakah Sehun sudah pernah datang dan melihat surat-suratku? Kumohon, sampaikan surat itu padanya"

Aku terpaku mendengar sebuah suara di balik pohon.

"Jongin?"

Aku melupakan tentang segalanya waktu itu. Melupakan segala hal tentang orang-orang di arena ski. Tentang salju yang tebal. Tentang buke mawar dengan Baby's Breathe. Yang kuingat hanyalah rasa rinduku yang kian membuncah. Buket itu jatuh begitu saja di atas salju. Tapi aku tidak peduli, aku hanya melangkah dan ingin memeluknya.

"Tolong, jangan mendekat"

"A-apa?"

Aku menghentikan langkahku tepat dua langkah dari Jongin. Dapat kulihat wajah Jongin sudah lebih pucat dibanding tiga tahun yang lalu. Pipi gembilnya terlihat sedikit lebih tirus sekarang. Dan wajah itu terlihat memerah. Aku tahu Jongin tengah menahan gejolak hatinya, Jongin memang selalu seperti itu.

"Kubilang, tolong, jangan mendekat"

"T-ta-tapi, kenapa?"

"Hanya jangan mendekat"

Setitik air mata Jongin jatuh begitu saja. Dan aku melihatnya. Aku bukan pria buta yang tak bisa melihat air mata orang yang kucintai. Aku tak peduli lagi. Seberapa kerasnya pun Jongin memintaku untuk tidak mendekat, aku hanya akan mendekat dan memeluknya erat.

"Dasar bodoh! Aku sudah bilang jangan mendekat!"

"Aku memang bodoh, jadi aku tak akan mau mendengarkanmu untuk tidak mendekat"

Jongin terisak dengan hebat di dalam pelukanku. Suara isakannya terdengar sangat jelas di telingaku, dan itu membuat hatiku semakin nyeri. Bahunya bergetar hebat. Dan aku yang brengsek ini hanya bisa menenangkannya dalam tangisan bisuku.

"Maafkan aku Jongin, maaf. Aku memang brengsek. Maafkan aku. Maafkan aku.."

"Kau tidak salah, Sehun"

"Tidak. Aku yang salah"

"Kau tidak salah. Ini salahku"

"Tidak. Kau tidak salah. Akulah yang selama ini tidak menjagamu dengan benar"

"Tidak. Kau adalah orang terbaik yang pernah kukenal, Sehun"

"Lalu mengapa kau pergi?"

"Aku.. aku hanya tak bisa bersamamu"

"Kenapa?"

"Ada alasan yang tak bisa kukatakan langsung, Sehun"

"Kalau begitu jangan pergi lagi"

"Aku tidak bisa, Sehun. Aku harus pergi"

"Kumohon. Aku mencintaimu"

"Aku tidak bisa, Sehun.. aku tidak bisa"

Kulepaskan pelukanku lalu aku duduk bersujud di atas salju. Memohon pada Jongin untuk tetap tinggal bersamaku.

"Kumohon. Jangan pergi lagi. Aku tidak akan bisa hidup jika seperti ini"

"…"

"Aku mencintaimu. Kumohon, aku bisa mati"

"…"

Malam itu benar-benar sunyi. Hanya ada suara tawa orang-orang di sana. Isakan Jongin yang memilukan. Dan suara permohonanku yang terus bersujud tanpa memikirkan seberapa dinginnya salju malam ini. Aku hanya akan terus bersujud di sini hingga Jongin mau kembali hidup di sisiku. Aku bahkan tidak peduli jika aku mati oleh dinginnya salju di sini.

Yang kutahu, aku sudah mati setelah mengetahui satu hal.

Jongin tidak akan kembali bersamaku.

Dan aku benar-benar merasa mati dalam tangisku.

Tak ada kubangan darah, atau jeritan histeris.

Yang ada hanya luka besar dan air mata. Itu cukup untuk membuktikan bahwa perasaanku dan aku, Oh Sehun telah mati dalam jiwa cinta yang menyesakkan.

Aku ak peduli kau tahu aku mati dalam artian apa. Yang jelas, Oh Sehun sudah mati. Dan Oh Sehun adalah pria brengsek yang mencintai Kim Jongin sampai mati.

So I wonder where were you?
when all the roads you took came back to me
so I following the map that leads to you
ain't nothing I can do, the map that leads to you

END

eww, saya gak bener-bener tahu ini tentang apa. yang jelas ini niatnya cuma untuk ikutan event HunKai Sweet Couple atas permintaan beberapa teman.

Dan untuk quotes dengan italic di atas, itu saya ambil dari lagu Maroon5 berjudul Maps. Tapi gak disarankan untuk denger sambil baca loh, ya. Kebetulan cocok aja liriknya hehe..

maaf jika mengecewakan, saya hanya berharap readers bisa menikmatinya, itu aja

sampai jumpa di fanfict lainnya^^

ciao!

- AllHearts . Sehun . Jongin -