TADAIMA

Warning : Khusus untuk chapter 5 Tadaima ini Rate nya Cand naikin jadi Rate M. Tapi chapter berikutnya Rate akan kembali ke Rate T.

Terima kasih Cand ucapin buat Dylan-san yang beri masukan buat Cand. Gomen Cand lupa belum kasih warning sebelumnya dan ya, Cand emang pelupa.

Oh ya, satu lagi. Chapter ini kolaborasi Cand sama author Devanno. Dan dia laki-laki. Nah, karena author Devanno-lah chap 5 Tadaima Rate M ini bisa diupdate dengan selamat walau ada kesalahan teknis sebelumnya.

Oke, Minna-san.

Selamat membaca dan semoga kalian menyukai jalan ceritanya. Dan jangan lupa meninggalkan jejak review setelah membaca ya ^,^ Arigatou.

-.- -.- -.-

NaruHina's First Night

Sfx : Ciiit… Ciiit... Cuiiit…

Suara kicauan burung-burung pagi yang begitu berisik memancing kesadaran Uzumaki Naruto dari tidurnya. Mata langit Naruto yang terpejam mulai menampakkan geliat kehidupan. Bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri tanpa Naruto membuka mata. Naruto nampaknya masih mencoba untuk berdamai dengan sinar matahari pagi yang tetap terasa sedikit menyilaukan walau sudah terhalangi oleh tirai tebal yang terpasang di setiap jendela dalam kamar Hinata.

Setelah beberapa lama, sepasang mata safir yang berhasil berdamai dengan sinar mentari pagi itu, bergulir ke bawah. Lagi-lagi seperti kemarin dan 2 hari lalu, ada yang menindihnya hingga Naruto tak bisa leluasa bergerak untuk sekedar merenggangkan tubuh. Adalah istri cantiknya, Hyuuga Hinata, yang membuat Naruto tak bisa bergerak karena sisi kiri tubuh kekarnya terkunci oleh pelukan manja Hinata.

"Hahh…" Naruto menghela nafas berat. Hinata tak mau berhenti memberi ujian berat pada jiwa laki-lakinya. Apakah itu disengaja Hinata ataupun tidak.

Bukan Naruto tidak suka Hinata bersikap manja padanya dan tak lagi terlihat malu berdekatan dengannya, hanya saja batin Naruto selalu tersiksa karena belum tiba waktu untuknya membalas semua sikap manja Hinata dengan kasih sayang. Naruto khawatir jika dia akan kehilangan kendali seperti yang hampir dilakukannya pada malam hari pernikahan mereka. Naruto tak ingin perjuangannya menahan diri dengan susah payah dua hari belakangan ini berakhir sia-sia.

"Hahh…" Naruto sekali lagi menghela nafas berat. Sibuk merutuk dalam hati kemalangan nasibnya yang bahkan setelah menikahpun masih harus mengalami ujian yang sangat berat seperti ini.

Naruto melarikan mata langitnya ke atas, mengawasi langit-langit kamar Hinata yang di dominasi oleh warna lavender, warna kesukaan istrinya yang cantik.

'Sabar, Naruto! Sabar! Tinggal hari ini.' Naruto mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri dalam hati.

"Hmmm… Naruto-kun," Hinata menggumam lirih.

Sfx : Psssh!

Kedua pipi berkumis Naruto mulai ternodai oleh warna merah saat pelukan Hinata pada tubuh bagian kirinya semakin mengerat.

"Kau sudah bangun?" Tanya Naruto dengan suara parau khas orang baru bangun tidur.

"Hmmm… nyam… nyam…" Hinata kembali bergumam tak jelas.

Sfx : Psssh!

Rona di pipi berkumis Naruto semakin tebal saat Hinata mulai menggigiti baju tidur Naruto, pada bagian kiri bahunya, dengan mata terpejam erat. Walau tidak bersentuhan langsung dengan kulitnya, Naruto bisa dengan jelas merasakan bibir lembut Hinata pada daerah yang sedikit basah oleh air liur istrinya itu.

'Sial! Dia melakukannya lagi!' Umpat Naruto dalam hati.

Pertama kali Naruto tahu Hinata ternyata suka menggigit sesuatu yang dipeluknya saat tidur adalah hari pertama Naruto bangun pagi sebagai seorang suami. Awalnya Naruto pikir Hinata sedang melancarkan agresi sebagai seorang istri. Naruto mengeluarkan begitu banyak argumen tanpa arah dengan nada gugup luar biasa pada Hinata agar istrinya menghentikan gigitan pada lengan kirinya karena Naruto mulai merasa seluruh tubuhnya panas dingin dan menegang menahan hasrat kelaki-lakiannya.

Tak berhasil menghentikan gigitan Hinata, Naruto bahkan saat itu terpaksa mendorong kasar tubuh Hinata agar menjauh darinya. Hinata dengan mata terpejam kemudian hanya bergumam tak jelas dan membalikkan tubuh membelakangi Naruto untuk melanjutkan tidurnya. Meninggalkan suaminya yang sibuk menenangkan diri serta mengontrol nafasnya yang memburu karena panik, dalam posisi duduk bersandar pada kepala ranjang Hinata.

"Hinata! Bangunlah!" Naruto mengguncang bahu Hinata sedikit keras untuk menyeret Hinata secepatnya ke dunia nyata.

"Nggggh!" Hinata menggeliat kecil masih dalam posisi memeluk Naruto. Seolah mewakili protes Hinata yang masih belum mau dibangunkan oleh Naruto.

"Hahh…" Sekali lagi Naruto menghela nafas berat.

"Bukankah semalam kau bilang ingin bangun pagi?" Ingatkan Naruto, yang semalam tanpa sengaja mendengar igauan Hinata sebelum terlelap tidur. Diguncangnya bahu Hinata lebih keras dari sebelumnya.

Tak ada pergerakan berarti dari istrinya kecuali gumaman-gumaman lirih tak jelas. Naruto menyerah. Daripada Hinata benar-benar menggigitnya, lebih baik Naruto berusaha kembali ke alam mimpi. Atau jika sudah tidak bisa, Naruto akan memaksa kyuubi menemaninya berbincang-bincang saja seperti biasanya.

"Ngggh…"

Setelah 13 menit terlewati dalam keheningan, kini giliran Hinata mulai menampakkan geliat kehidupan. Hinata mengerjap beberapa kali sebelum sepasang mata indigonya terbuka lebar seutuhnya. Sedikit demi sedikit rona merah menjalari wajah tembemnya saat Hinata sadar posisinya sekarang sedang memeluk erat tubuh sebelah kiri suaminya.

Hinata bangkit dari tidurnya. Tangan mungilnya terulur untuk membangunkan Naruto. Namun kurang sejengkal saja meraih bahu kiri Naruto, Hinata mengurungkan niatnya. Ada rasa malu membangunkan suaminya dalam keadaan bahu kiri Naruto basah oleh air liurnya. Kebiasaan buruk yang sangat sulit dihilangkan Hinata bahkan setelah menikah.

Menahan malu, Hinata mengelap bahu kiri Naruto dengan ujung baju yang terlalu besar untuk ukuran tubuh Hinata. Memang semalam Hinata sengaja hanya memakai kaos lengan pendek milik Naruto. Atas saran dari Tenten. Walau memalukan, tapi tak ada salahnya jika Hinata mencoba memakainya. Mungkin Naruto akan kembali memperlakukan Hinata dengan manja seperti hari-hari sebelum menikah, dan mengakhiri kegundahan hati Hinata atas perubahan tiba-tiba suaminya tanpa alasan yang jelas. Tapi sayang sekali seperti 2 hari belakangan ini, Naruto selalu saja baru pulang saat Hinata sudah jauh terlelap dalam alam mimpi.

"O-ohayou gozaimasu, Naruto-kun." Sapa Hinata dengan suara yang dibuat selirih mungkin. Tak ada jawaban dari Naruto. Tentu saja. Naruto benar-benar kembali tidur untuk mengalihkan perhatiannya dari igauan dan gigitan menggemaskan Hinata.

Setelah selesai mengelap bahu kiri Naruto, walau tak ada perubahan berarti pada kadar kebasahannya, Hinata membenarkan selimut mereka yang kini berada di pinggul jinchuuriki kyuubi ini sebelum turun dari tempat tidur menuju meja riasnya.

Cukup lama Hinata duduk diam di meja riasnya sebelum memaksakan diri untuk mengukir senyuman bahagia saat mata indigo sendunya menyusuri pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Hinata mengangkat tangan kanannya untuk mengelus bibirnya yang berkembang demi mengelabui hatinya yang berduka.

"Ohayou gozaimasu, Hyu… Uzumaki Hinata." Sapa Hinata pada dirinya sendiri.

"Mungkin hari ini hari keberuntunganmu. Ganbarimasu." Hinata mencoba menyemangati dirinya sendiri. Mengepalkan tangan sebagai simbol tekatnya yang dibulatkan.

Ya. Mungkin hari ini Naruto akan berhenti bersikap seolah Naruto menyesali pernikahannya dengan Hinata. Mungkin Naruto akan berhenti membuang muka saat Hinata menatapnya penuh arti. Mungkin Naruto akan berhenti menghindar saat Hinata berusaha mendekatinya. Mungkin Naruto akan mengatakan kesalahan yang tanpa sadar dilakukan Hinata hingga membuat Naruto berubah drastis setelah malam pernikahan mereka. Mungkin Naruto akan kembali bersikap seperti dulu. Kembali menjadi Uzumaki Naruto yang selalu terlihat sangat mencintai dan menyayangi Hyuuga Hinata.

.

.

"Ohayou gozaimasu, Hinata-sama." Sapaan dari anggota Bunke kepada Hinata terdengar memenuhi jalan menuju dapur yang dilewati Hinata.

"Ohayou gozaimasu." Balas Hinata dengan sebaris senyum manis yang selalu disunggingnya sejak dia masih kecil.

"!" Hinata tanpa sengaja melihat Hanabi hendak masuk dapur dengan membawa keranjang belanja penuh isi seorang diri dan Tenten yang berjalan disampingnya.

"Hanabi! Tenten Nee-san!" Panggil Hinata setengah berteriak.

"Ohayou gozaimasu, Nee-sama." Sapa Hanabi, pada Hinata, yang sudah tampil cantik dengan surai biru panjang dikuncir kuda rapi dan tinggi.

"Ohayou gozaimasu, Hanabi." Balas Hinata.

"Ohayou, Hinata-sama." Sapa Tenten.

"Ohayou, Tenten Nee-san." Balas Hinata.

"Kenapa tidak mengajakku berbelanja juga?" Tanya Hinata tanpa basa-basi.

"Eh? Kami kira kau masih tidur." Jawab Tenten.

"Biasanya kan Naruto selalu bangun lebih dulu daripada dirimu." Tambah Tenten. Hinata menggeleng cepat.

"Naruto-kun sepertinya mendapatkan misi yang melelahkan kemarin. Dia masih tidur saat aku bangun tadi." Jelas Hinata.

"Gomen, Hinata-sama. Aku tidak tahu." Jawab Tenten.

"Iie. Daijobu." Balas Hinata.

"Demo, bi-biarkan aku bantu memasak makan pagi, Tenten Nee-san. Aku ingin memasak untuk Naruto-kun." Pinta Hinata.

"Heee? Untuk Naruto Nii-san saja?" Protes Hanabi dengan nada suara meninggi.

"Aku, Tenten Nee-san, Neji Nii-san, Tou-sama, Ojii-sama, Obaa-sama, dan Kaoru-kun tidak kau bagi, Nee-sama?" Hanabi menghitung dengan jari penghuni meja makan utama di depan Hinata. Hinata yakin protes yang dilayangkan Hanabi bukan sekedar untuk menggodanya saja dilihat dari wajah cemberut adiknya yang natural.

"Tentu bukan untuk Naruto-kun saja, Hanabi." Hinata terkikik geli dengan tulus. Setidaknya kepolosan Hanabi mampu sedikit mengalihkan pikiran Hinata dari kegundahan hati yang disembunyikan apik oleh sulung Hyuuga berparas ayu ini.

"Kau ini seperti anak kecil saja, Hanabi." Tenten mengacak gemas rambut coklat panjang Hanabi, membuat bungsu Hyuuga itu semakin merengut kesal karena tak bisa berbuat apa-apa semenjak kedua tangannya dipakai untuk membawa keranjang belanja yang berat sendirian.

"A-ayo kita mulai masak." Hinata mengambil alih keranjang belanja dari tangan Hanabi. Hinata kemudian melenggang masuk ke dalam dapur diikuti oleh Tenten yang tertawa kecil dan Hanabi yang masih menggerutu karena rambut coklat indahnya jadi terlihat kusut oleh ulah kakak iparnya yang sedikit tomboy itu.

.

.

Hinata masih berdiri tegang di depan pintu masuk kamarnya tanpa banyak bergerak. Hinata meremas jari jemari lentik miliknya yang saling ditautkan di depan dada. Jantungnya tiba-tiba bergemuruh hebat. Hinata tak bisa menghindar dari rasa gugup akan pikirannya cara membangunkan Naruto untuk pertama kalinya setelah mereka berdua menikah.

"Na-naruto-kun, bangun sa-sayang…" Hinata berlatih dengan suara lirih.

"Kyaaa…." Hinata menjerit kecil malu-malu mau di balik telapak tangan yang menangkup erat wajah semerah tomatnya itu.

"Ehem!" Mendengar deheman suara baritone di belakangnya, Hinata berbalik cepat.

"Tou-sama?!" Pekik Hinata kaget.

"Apa yang kau lakukan di depan pintu kamarmu sendiri?" Tanya Hiashi dengan wajah datarnya yang biasa.

"A-aku ba-baru mau ma-masuk untuk membangunkan Na-naruto-kun." Jawab Hinata dengan wajah memerah menahan malu. Rasanya Hinata ingin sekali menggali lubang dan menyembunyikan dalam-dalam wajahnya saat ini juga.

"Hmmm…" Hiashi hanya bergumam tak jelas dan mulai melangkah meninggalkan Hinata.

"Baka Hinata!" Hinata memukul pelan kepalanya sendiri menyesali sikap konyol yang diperlihatkannya pada Hiashi, tanpa tahu jika diam-diam ayahnya tertawa geli setelah berjalan sedikit jauh darinya.

Hinata kembali memutar tubuh untuk kali ini benar-benar membuka pintu kamarnya.

Sfx : Cklek!

Hinata membuka pintu kamarnya tanpa banyak membuat suara. Walau sudah 2 jam lebih terlewati sejak terakhir kali Hinata meninggalkan kamarnya untuk memasak di dapur dan menyiapkan meja makan, kamarnya masih dalam keadaan remang-remang oleh cahaya matahari.

Hinata berjalan menuju ranjangnya setelah menutup pintu kamar terlebih dahulu. Membuat suasana remang dalam kamarnya menjadi sedikit lebih gelap.

"Na-Naru…"

Belum lengkap panggilan Hinata pada suaminya, Hinata berhenti melangkah dan termenung menatap ranjangnya yang kosong. Tidak ada sosok Uzumaki Naruto di sana. Tak ada satupun jendela yang terbuka. Bahkan ranjangnya tertata rapi seolah semua keberadaan Naruto, yang disebut urakan oleh Sakura dan Ino, dalam kamar ini hanya khayalan Hinata semata.

Sfx : Tes.

Hinata cepat-cepat menghapus setitik air mata yang meluncur begitu saja melewati mata indigonya tanpa izin. Hinata tak lagi mampu menampik hatinya yang terasa sakit. Seolah ada kunai yang baru saja ditancapkan oleh musuh hingga menembus jantungnya dan memaksanya merasakan perih yang tak tertahankan. Merajalela sampai sel terkecil dalam jaringan tubuhnya.

Hari ini bukan hari keberuntungan Hinata. Bukan. Hari ini sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Hari yang akan dilewatinya begitu saja tanpa kehadiran Naruto. Hari yang akan dilewatinya dengan senyuman palsu yang harus diukirnya sedemikian rupa agar tak memancing kecurigaan dari mata-mata byakugan disekitarnya.

"Aku tak pintar menjelaskan sesuatu, Hinata."

"Pada intinya, aku tak hanya mencari reruntuhan kuil Uzumaki 3 tahun belakangan ini. Aku juga mencari banyak informasi tentang cakra Kurama. Tentu saja dengan bantuan Kurama."

"Karena itu, Hinata. Jangan berlatih diam-diam menjadi miko dan membahayakan dirimu seorang diri."

"Ajari aku semua tentang miko yang harus aku tahu."

"Dan aku akan mengajarimu tentang cakra Kurama, sebanyak apapun yang kau ingin tahu."

"Jangan hanya melindungiku. Biarkan aku juga melindungimu."

"Hahh…" Hinata menghela nafas panjang. Sedikit menyesali sikap cengengnya.

"Jika bukan hari ini mungkin besok." Gumam Hinata pada dirinya sendiri.

"Jika bukan Naruto-kun yang menjelaskannya, mungkin harus aku yang bertanya." Hinata memotivasi dirinya agar kembali kuat.

oOo oOo oOo

"Hahhh…!"

Sai melirik Naruto yang baru saja menghela nafas berat dengan sangat keras. Jika dihitung-hitung dalam 15 menit terakhir sudah lebih dari 11 kali Naruto menghela nafas berat. Artinya hampir setiap menit Naruto menghela nafas berat dan itu sangat mengganggu pendengaran Sai.

"Apa semalam adik kecilmu tidak bisa berdiri, Naruto?" Tanya Sai dibalik senyuman tanpa dosa keahliannya.

"APA?! Jangan sembarangan bicara, Sai!" Naruto mendelik kesal. Enak saja Sai meragukan kejantanannya, walau memang Naruto belum pernah mengujinya bersama Hinata.

"Lalu untuk apa kau datang ke markas ANBU?" Tanya Sai, masih sibuk berkutat dengan teleskop yang sedari tadi di pakai untuk mengawasi kekasihnya, Yamanaka Ino, yang tak sengaja tertangkap kaca teleskopnya sedang sibuk berbicara dengan Inuzuka Kiba di depan sebuah toko obat herbal.

"Bukankah kau sendiri yang ribut minta cuti selama 3 hari, satu bulan sebelum kau menikah, Naruto?" Ingatkan Sai.

"Dan saat kau mendapatkannya dari Rokudaime, kau menyia-nyiakannya di tempat ini bersamaku." Lanjut Sai dengan nada setengah menyindir.

"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu." Sai mengakhiri sindirannya.

Naruto merengut kesal. Tak disindirpun Naruto ingat benar bagaimana dia harus membujuk Kakashi dan mengikutinya kemanapun Rokudaime Hokage itu pergi, bahkan ke dalam toilet sekalipun, hanya untuk mendapatkan cuti menikah sebagai ANBU. Tapi siapa yang tahu jika hanya sehari sebelum menikah Naruto diberi wejangan oleh kyuubi untuk menjauhi istrinya sampai kyuubi dan Naruto berhasil melaksanakan rencana kyuubi agar Hinata tak terlalu banyak menyerap cakra kyuubi, lalu menjadi monster seperti yang ditakutkan oleh Sai dan Neji. Yang kemudian ditakutkan oleh Naruto sendiri.

"Bukan urusanmu!" Naruto tak mau bersusah payah memikirkan sebuah kebohongan.

"Jangan bilang kau menghindari Hinata?" Tebak Sai, tanpa menoleh pada Naruto sedikitpun.

Sedikit terkejut Naruto mendengar tebakan Sai yang entah karena instingnya yang terasah atau memang kelebihan pemuda pucat ini sebagai kapten ANBU, seperti sebelum-sebelumnya, entah bagaimana tebakan Sai hampir selalu benar.

"Kau menghindari Hinata karena adik kecilmu yang mengecewakan." Lanjut Sai.

Sfx : Gubrak!

Naruto terjungkal sweatdrop mendengar kelanjutan kalimat Sai. Naruto tak habis pikir kenapa dari awal berkenalan sampai sekarang Sai sangat suka menyindir adik Naruto yang menurut Naruto tidak kecil itu.

Sembari berusaha berdiri kembali dengan bertumpu sejenak pada meja di sampingnya, Naruto tak berhenti merutuki Sai. Hampir saja Naruto tertipu oleh nada suara Sai yang terdengar begitu serius, ternyata pacar Yamanaka Ino ini tetap saja tidak bisa menyaring kata-kata pedasnya.

"Hahaha. Aku hanya bercanda, Naruto." Sai tertawa begitu lepas. Akhirnya pemuda pucat ini memberi perhatian penuh pada Naruto. Sepertinya sesuatu yang diawasi Sai, yang Naruto tak tahu apa itu, sudah tidak butuh diawasi lagi.

"Baiklah. Ceritakan padaku." Sai menunggu dengan wajah polosnya. Tak terlalu terkejut dengan Naruto yang baru saja terjungkal sweatdrop oleh candaannya yang tidak lucu.

"Cih." Naruto hanya berdecih menanggapi tawaran Sai.

"Ingatlah untuk tidak menceritakan rahasia kita pada siapapun!" Jika saja nasehat kyuubi tak diingatnya, sudah sejak hari pertama pernikahannya dia akan bercerita pada Sai ataupun Sasuke untuk membagi beban pikirannya.

"Kau tak punya misi untukku?" Tanya Naruto mengalihkan topik.

"Misi apapun. Aku membutuhkannya." Tambah Naruto.

Sai bersidekap dalam posisi duduk. Memejamkan mata dan sedikit menundukkan kepala hitamnya, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.

"Gomen, Naruto." Jawab Sai setelah beberapa lama. Jawaban yang sebenarnya sudah bisa ditebak oleh Naruto.

"Karena kau seharusnya libur, jadi tak ada pembagian misi untukmu." Tambah Sai.

"Hahhh…." Penyakit menghela nafas Naruto kambuh.

"Baiklah. Aku akan mencarinya di tempat Sasuke." Naruto melangkah keluar ruangan dengan langkah gontai. Membiarkan kaki panjangnya pergi menuntun Naruto menuju Kantor Kepolisian Konoha.

oOo oOo oOo

Setelah seharian penuh keluyuran tak jelas di desa, Naruto merebahkan tubuhnya yang lelah dan kelaparan di atas rerumputan hijau di belakang gedung Hokage. Entah kenapa semakin merindukan Hinata, membuat Naruto semakin enggan pulang ke rumah. Bukan apa-apa, sekali lagi Naruto khawatir tidak mampu menahan diri untuk tak melakukan apa yang seharusnya suami istri lakukan.

"ARRRGHH! SIAL! SIAL! SIAL!" Naruto mengacak frustasi rambut cepak kuningnya masih dalam posisi tidur. Hanya kurang beberapa jam, tapi Naruto rasanya sudah tak mampu menahan diri lagi.

"Hahhh…" Naruto menghela nafas berat untuk kesekian kalinya.

Naruto kembali menyilangkan tangan dan menjadikannya sandaran kepala. Naruto menatap pasrah langit malam Konoha yang entah mengapa menjadi sekelam iris obsidian Sai. Bintang-bintang seolah enggan menemani Naruto yang terjebak dalam kesepian yang diciptakannya sendiri.

Tak berapa lama Naruto memilih untuk memejamkan mata. Bukan karena mengantuk. Naruto hanya ingin berbincang dengan kyuubi untuk membunuh waktu.

Sfx : Tik. Tik. Tik.

Naruto membuka mata langitnya saat suara tetesan air tertangkap oleh indera pendengarannya. Naruto sudah berada di dalam lorong remang dalam kandang kyuubi sekarang.

Sfx : Cpuk! Cpuk! Cpuk!

Naruto berlari penuh semangat menuju kandang kyuubi. Naruto tak ingin terlalu banyak membuang waktu. Setiap detik terasa begitu berharga bagi Naruto yang hampir selalu merasa sesak di bagian bawah tiap kali ingat Hinata dalam pakaian minimnya kemarin malam. Dan itu rasanya menyakitkan sekali. Cukup ampuh membuat Naruto kelabakan mencari pengalih pikirannya sejak pagi tadi.

"Kurama!" Panggil Naruto setengah berteriak.

"KU-RA-MA!" Panggil Naruto lebih keras.

"Sialan! Kemana perginya rubah itu!" Umpat Naruto.

Naruto meneruskan kembali langkahnya hingga masuk semakin dalam ke kandang Kyuubi.

"KU-RA…"

"BERISIK!" Teriak kyuubi kesal. Saking kerasnya suara kyuubi hingga mampu menciptakan angin besar dan membuat Naruto jatuh terguling-guling ke belakang beberapa kali.

"Kenapa kau selalu mengganggu waktu istirahatku, Naruto!" Protes kyuubi pada Naruto yang berusaha berdiri tegak kembali.

Naruto memiringkan kepala dan menepuk pelan kepalanya beberapa kali untuk menghilangkan sedikit air yang masuk ke dalam telinganya. Setelah melakukan hal yang sama pada satu telinganya yang lain, Naruto kembali berjalan mendekati kyuubi.

"Hey, Kurama! Tak adakah cara lain agar Hinata tak terlalu banyak menyerap cakramu, ttebayou?!" Tanya Naruto langsung pada intinya. Mengabaikan raut kesal kyuubi padanya.

"Pasti kau belum tahu, tapi Hinata memiliki pengendalian cakra yang sangat baik. Bahkan lebih baik daripada Sakura-chan." Cerita Naruto. Kyuubi menaikkan sebelah alisnya, mencoba mencari tahu arah percakapan Naruto.

"Bukankah hanya tinggal hari ini? Memangnya apa yang membuatmu menjadi tidak sabar?" Pertanyaan kyuubi memancing kerucutan bibir Naruto.

"A-apa ti-tidak ada kesempatan un-untukku dan Hinata seperti ini?" Naruto menganalogikan bibirnya dan Hinata dengan kedua tangannya yang dikerucutkan untuk saling ditempelkan, dengan pipi bersemu merah.

"Huh!" Kyuubi mendengus geli.

"Jadi kau bisa menahan sakit berminggu-minggu saat berkelana tapi tidak bisa tahan untuk tidak mencium gadis Hyuuga itu?" Sindir kyuubi.

Sfx : Pssssh!

Rona merah di pipi tan Naruto semakin menebal. Naruto tidak bisa mengelak atau beradu argumen seperti yang sering dilakukannya bersama kyuubi. Karena sindiran kyuubi sangat sesuai dengan keadaannya sekarang.

"A-aku hanya sa-sangat menyukai bibirnya yang lembut itu." Jujur Naruto.

"Lebih dari semangkok ramen?" Tanya Kurama dengan pandangan geli. Naruto mengalihkan pandangannya dari mata merah kyuubi.

"Le-lebih dari ramen rasa apapun." Jawab Naruto dengan wajah memerah padam tanpa cela.

"Huuaahahahaha! Dasar kau murid Jiraiya!" Tawa Kurama meledak menggetarkan dinding, dan membuat riak besar-besar pada genangan air di dalam kandangnya.

oOo oOo oOo

Sfx : Cklek.

"!" Naruto tertegun di depan pintu yang terbuka, dengan tangan kanan berperban Naruto masih memegang erat kenop pintu kamar Hinata.

"Kau belum tidur?" Tanya Naruto sedikit terkejut melihat Hinata duduk di tepi ranjang dengan sebuah pigura di pangkuannya.

Jika tidak salah tebak, Naruto yakin gambar dalam pigura itu adalah gambar pernikahan mereka yang diam-diam dilukis oleh Sai. Gambar memalukan dirinya dengan wajah melongo konyol karena terlalu terpesona oleh kecantikan Hinata.

"A-aku menunggu Naruto-kun pulang." Jawab Hinata dengan suara lirih.

Sfx : Blum!

Begitu Naruto menutup pintu, suasana dalam kamar menjadi remang-remang oleh lampu tidur di dinding dekat ranjang Hinata.

"Kau tidak perlu menungguku sampai selarut ini!" Naruto tanpa sadar mengeraskan suara untuk menutupi rasa gugupnya.

Hinata menunduk, mencoba menyembunyikan wajah sendunya di balik juntaian rambut biru panjang indahnya yang tergerai bebas. Walau sebenarnya Naruto mengatakannya dengan nada gugup karena obrolannya dengan kyuubi semakin menambah galau hatinya, tapi yang tertangkap oleh pendengaran Hinata adalah nada kesal Naruto. Membuat Hinata berfikir jika Naruto semakin membencinya sekarang.

"Gomenasai." Lirih Hinata dengan suara bergetar. Naruto terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tak mendengar getaran dalam suara Hinata.

"Tidurlah, Hinata. Besok kita akan pindah rumah. Pasti akan sangat melelahkan." Perintah Naruto.

"…."

Tak kunjung mendapat jawaban dari Hinata membuat Naruto mengerutkan keningnya curiga. Tak biasanya Hinata mengacuhkannya. Naruto meletakkan kantong senjatanya di atas meja rias Hinata untuk kemudian berbalik mendekati Hinata yang tubuhnya terlihat samar sedang berguncang.

"Hinata?" Panggil Naruto.

"Hey, ada ap…" Naruto yang mendongakkan paksa wajah Hinata terbelalak kaget melihat air mata mengalir deras melewati kedua pelupuk mata indigo Hinata.

"Kenapa menangis?!" Tanya Naruto panik.

"Hiks. Hiks. Hiks. A-apa Naruto-kun membenciku?" Tanya Hinata ditengah isakan kecilnya dengan emosi yang membuncah.

"Kenapa aku harus membencimu, ttebayou?!" Jawab Naruto dengan sebuah pertanyaan.

Naruto menekuk tubuhnya ke bawah untuk menangkup wajah Hinata dengan kedua tangannya. Kedua ibu jarinya kini tak henti menghapus air mata Hinata yang mengalir semakin deras.

"Kalau tidak membenciku, ke-kenapa Naruto-kun se-selalu menghindar dariku?!" Hinata meneguhkan hati untuk mengungkapkan perasaannya pada Naruto. Karena jika tidak seperti ini, Hinata yakin hubungannya dengan Naruto akan semakin dingin. Dan Hinata tak mau itu terjadi.

"Naruto-kun ti-tidak pernah lagi memelukku, atau menciumku."

Sfx : Psssh!

Naruto tak bisa menahan diri untuk tak tersipu mendengar protes Hinata padanya. Selama ini Naruto berfikir kediaman Hinata berarti istrinya itu tidak keberatan dengan keputusan sepihak Naruto untuk menjauhinya 2 hari belakangan ini tanpa mengatakan satu alasanpun.

Naruto berfikir tidak sepertinya, Hinata tidak terlalu mementingkan hal-hal seperti sebuah pelukan atau ciuman. Ternyata Naruto salah besar. Naruto baru tahu jika bahkan seorang gadis pemalu seperti Hyuuga Hinata menginginkan hal-hal intim dari orang yang dicintainya.

"Naruto-kun tidak pernah lagi mau menatapku dan berkata aku mencintaimu se-seperti dulu. Hiks. Hiks." Wajah sembab Hinata sedikit memerah karena terlalu semangat Hinata menangis.

Naruto menghela nafas panjang. Ditariknya paksa Hinata berdiri tegak sebelum Naruto membawa kepala Hinata dengan sayang ke dalam pelukannya. Disusupkan jari-jari panjangnya yang diperban dan dielusnya pelan surai biru Hinata dari pucuk kepala istrinya itu sampai ke ujung rambut Hinata yang terasa sangat lembut di sentuh Naruto.

"Maaf. Aku selalu saja membuatmu sedih." Naruto memejamkan sepasang mata langitnya, menyesapi bau alami istrinya yang harumnya mampu menyejukkan dan menghangatkan hatinya di saat yang bersamaan. Sedikit mirip dengan yang Naruto rasakan saat memeluk Kushina untuk pertama kali dalam alam bawah sadarnya dulu.

"Aku punya alasan yang tak bisa aku katakan padamu." Cerita Naruto tanpa berhenti mengelus surai panjang istrinya.

"Tapi besok akan aku ceritakan semua padamu." Janji Naruto.

"Hountou ka?" Desis Hinata di dada Naruto. Naruto mengeratkan pelukannya pada kepala Hinata.

"Ya." Naruto mengangguk kecil.

Hinata tersenyum lega sebelum ikut memejamkan sepasang mata amethystnya dan semakin menyamankan diri dalam pelukan Naruto. Hinata percaya sepenuhnya pada janji Naruto mengingat suaminya itu tipe orang yang selalu berusaha menepati janji yang pernah diucapkannya.

"Arigatou, Naruto-kun." Kini semua kegundahan yang sempat menggerogoti hatinya tiba-tiba dirasakan Hinata menguap tanpa bekas.

oOo oOo oOo

Setelah melewati 3 hari yang berjalan sangat lambat bagi Naruto dan Hinata, kini saatnya sepasang pengantin baru ini pindah ke rumah baru mereka. Rumah yang diam-diam dibeli Naruto dari tabungannya selama ini. Rumah mungil yang sudah saja terpasang manis papan nama Uzumaki Naruto dan Hyuuga Hinata di samping pintu masuk, yang Hinata bahkan tidak tahu jika Naruto selama ini sangat menghemat pengeluarannya hanya untuk membeli rumah yang setidaknya pantas untuk ditinggali oleh Hinata, calon pewaris ketua klan Hyuuga.

Di sebuah rumah yang menurut Hinata sangat manis dan berkesan karena itu pilihan Naruto tentunya. Melakukan tahap awal bagi semua orang yang akan menempati rumah baru yaitu membereskan segala yang ada di dalamnya. Sebutlah mereka bersih-bersih. Hinata sangat terampil dalam hal ini karena memang ia sudah terbiasa disiplin walau seorang anak ketua klan, berbeda dengan Naruto yang sudah menganggap kata "urakan", "berantakan" dan "jorok" seperti sahabatnya sendiri. Tapi sepertinya ia harus membuang kebiasaan itu jauh-jauh jika tidak ingin Hinata kecewa.

Ah, naluri seorang suami.

Naruto sedang menyusun tumpukan buku-buku di rak saat Hinata menghampirinya.

"Naruto-kun..." panggilan Hinata direspon sangat baik oleh Naruto yang seketika menoleh, membuat jarak antar wajah mereka yang terlalu dekat, dan memancing rona merah di pipi Hinata.

"Ya, ada apa Hinata?" sahutnya menikmati rona merah yang menyebar di wajah cantik istrinya.

Hinata sedikit menggeleng untuk melupakan kegugupannya dan menyampaikan tujuannya pada Naruto yang masih berdiri menatapnya.

"U-umh ano kau harus me-menyusun buku ini sesuai abjad dan warna agar mudah dicarinya, Naruto-kun" Jawab Hinata.

"Aah begitu ya? Gomen, Hinata. Aku kurang begitu mengerti soal ini." Ucap Naruto sembari menggaruk pipinya.

"Ka-kalau begitu biar aku saja."

Mereka berdua membereskannya bersama. Di tengah kegiatan mereka tiba-tiba Naruto berhenti, dan lebih memilih untuk memperhatikan Hinata di sampingnya. Menelisik rupa sang istri dari samping yang begitu serius dan telaten akan pekerjaannya. Dan tanpa perintah otak tangannya terangkat, tersulur menuju wajah Hinata saat ia melihat beberapa anak rambut yang menempel di sisi wajah Hinata karena keringat.

Sedikit tersentak Hinata perlahan menoleh pada Naruto yang masih sibuk menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Tapi saat itu juga Hinata menemukan pemandangan lain yang membuatnya tertawa.

"Ada apa?" tanya Naruto tak mengerti.

"Kau kotor sekali, Naruto-kun." jawab Hinata sambil membawa tangan mungil miliknya ke wajah Naruto untuk mengusap debu yang menempel di sana.

Naruto terpejam sesaat merasakan sentuhan halus tangan Hinata yang masih berlama-lama di wajahnya. Ia tak keberatan namun cukup membuat napasnya sedikit memberat kala mencium aroma khas Hinata. Dengan sedikit tergesa ia menangkap kedua tangan Hinata, membawanya pada bibir untuk ia ciumi, membuat jantung Hinata berdegup kencang karena respon Naruto.

Hari ini adalah hari yang Naruto janjikan, dan tanpa Hinata tahu hari ini bagi Naruto adalah hari kemenangannya. Hari dimana Naruto tidak lagi harus menahan diri untuk bermesraan dengan istrinya yang sangat menggemaskan ini.

Perlahan tapi pasti Naruto menunduk dan Hinata yang terbawa arus mulai memejamkan mata. Naruto menarik pinggang Hinata untuk merapat padanya. Dan saat napas mereka membaur demi mulai menyentuhkan ujung-ujung bibir mereka tiba-tiba...

Sfx : Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan yang membuat Naruto jengkel setengah mati. Dengan menyatukan kening keduanya Naruto menghela napas. Tak jadi mencium Hinata yang wajahnya sudah memerah karena kehadiran tamu tak diundang.

Keduanya masih sama di tempat, Naruto masih enggan melepas Hinata dan memilih tak mengabaikan ketukan yang datang beberapa kali. Bahkan saat Hinata meremas kaus bagian depan yang digunakannya dan mulai membuka suara, Naruto masih bertahan.

"Naruto-kun? A-ano biar aku buka pintunya dulu..."

"TIDAK!" Bantahan Naruto membuat Hinata terkejut.

"Biar aku saja yang menyambut tamu istimewa kita itu." Lanjut Naruto sinis. Dalam hati ia bersumpah akan menghajar siapapun seseorang di luar sana yang sudah menghancurkan momen berharganya tadi.

"Awas saja jika itu tak penting!" Gerutuan Naruto membuat Hinata tergelak.

Dengan raut wajah masam Naruto membuka pintu sedikit cepat, tak sabar ingin mengetahui si pengganggu suasana pagi indah miliknya. Dan Naruto tak menutupi wajah jengkelnya saat mengetahui siapa tamunya.

"Teme!" Sahutnya agak malas.

"Aku tahu kau memang menyebalkan. Ada apa?" Tanya Naruto dengan wajah masam menahan kesal.

'Mungkin memang Uchiha satu ini juga perlu lenyap di tanganku' Batin Naruto.

"Tahan dulu makian tidak bergunamu, kita dapat perintah dari Hokage." Penjelasan Sasuke berhasil membuat Naruto menelan semua argumen yang hendak ia lontarkan.

Naruto memasang wajah seriusnya jika itu sudah menyangkut sebuah misi. Walau agak janggal rasanya karena tidak seperti biasanya sang kapten ANBU, Sai, yang memberi kabar misi padanya. Kali ini entah kenapa justru Uchiha Sasuke, sang mantan kapten tim 7, yang memberitahunya. Lagipula baru kemarin Sai bilang tidak ada misi untuknya, kenapa saat ini tiba-tiba saja Sasuke membawa misi dengan wajah tegang?

"Ada apa, Naruto-kun?" Sebelum bicara lebih lanjut, mereka terinterupsi oleh kehadiran Hinata yang datang menepuk pundak sang suami.

"Ah, Sa-sasuke-kun? Silahkan masuk..." Salam Hinata dengan sedikit basa-basi.

"Tidak perlu. Kami sedang buru-buru, Hinata." Balas Sasuke dan kembali memandang Naruto memberi pesan non verbal untuk segera bersiap. Dengan segera Naruto alihkan tatapannya pada Hinata disampingnya.

"Baiklah aku bersiap-siap dulu. Hinata ayo bantu aku bersiap!" Ucapnya seraya menarik pergelangan Hinata menuju kamar mereka.

"E-eh?"

"Tidak baik jika kau berlama-lama dengan si teme jelek itu, lebih baik kau bantu aku bersiap." Lanjutnya yang kini sudah mengilang di dalam rumah, dan meninggalkan Sasuke berdiri sendirian di depan pintu rumahnya yang terbuka.

"Baka!" Sahutan Sasuke yang hanya didengar olehnya seorang.

.

.

Sesampainya di dalam kamar mereka Hinata masih menunduk dengan tangan mereka yang masih bertautan. Kalimat "bantu aku bersiap" yang dikatakan Naruto sebelumnya membuat ia canggung dan malu. Mengembalikan kenyataan bahwa sekarang ia seorang istri yang harus melayani suaminya. Apalagi setelah menikah baru kali ini Hinata bermesraan berdua dengan sesungguhnya bersama Naruto. Itu membuatnya merasa... gugup.

"Nah, selagi aku di kamar mandi bisakah kau siapkan bajuku?" Tanya Naruto lembut.

"T-te-tentu saja, Naruto-kun..." Jawab Hinata tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.

Dan saat Naruto sudah mengilang di balik pintu kamar mandi, Hinata segera melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Memikirkannya membuat ia merona sendiri. Setelah menyiapkan baju Naruto dan meletakkannya rapi di atas kasur ia segera menuju dapur, Hinata berinisiatif untuk menyiapkan ocha. Ketika kembali ke kamar, ia dikejutkan oleh pemandangan tubuh bagian belakang Naruto yang terekspos. Naruto hanya mengenakan handuk yang dililitkan menutupi area bawahnya. Membuat Hinata secara tak sadar memekik tertahan hingga Naruto berbalik.

"Hinata ada apa?" Tanya Naruto kaget.

"A-ah aku m-mau memberimu i-ini... ocha hangat sebelum be-berangkat." Hinata bisa merasakan getaran tangannya yang membuat isi dalam gelas yang dipegang Hinata berguncang meski tak sampai tumpah. Setelah meletakkannya di meja dekat ranjang mereka, ia segera berbalik melesat pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Perlu waktu lima menit untuk Naruto bersiap dan saat keluar kamar mencari Hinata, Naruto harus menerima wajah merengut Sasuke yang kesal karena dibiarkan menganggur seorang diri di pintu masuk rumah Naruto. Tapi itu bukan masalah baginya, yang ia pikirkan sekarang adalah tak adanya keberadaan Hinata saat ia keluar kamar. Naruto berbalik menuju dapur, satu-satunya tempat yang memiliki kemungkinan besar keberadaan Hinata. Dan benar saja, di dapur ia menemukan Hinata sedang sibuk dengan peralatan makan yang sedang ia bersihkan.

Dengan langkah yang sengaja dipelankan ia mendekat perlahan, melingkarkan tangannya mengelilingi tubuh Hinata dari belakang. Membuat Hinata hampir menjatuhkan gelas di tangannya jika Naruto tak sigap.

"N-na-naru-to-kun..." Gagap Hinata semakin parah. Terlalu kaget dengan sikap manja Naruto yang berbeda 360 derajat dari 3 hari sebelumnya.

"Aku tadi mencarimu, ternyata kau di sini?" Kata Naruto sembari memejamkan mata, mengirup wangi tubuh Hinata. Naruto sangat suka melakukannya. Wangi tubuh Hinata sudah seperti lilin aroma therapy yang mampu merilekskan otak Naruto saja.

"Aku akan berangkat." Lanjutnya sambil memutar tubuh Hinata dan tertawa ketika mendapati rona merah yang menyebar di wajah cantik Hinata.

Hinata tak menjawabnya, tak sanggup lebih tepatnya. Ia merasa malu jika ingat protes yang dilayangkannya semalam pada Naruto padahal dirinya sendiri belum terbiasa dengan keintiman mereka yang sudah berganti status dan lagi kini mereka hanya tinggal berdua. Mungkin kalau Sakura atau teman lainnya tahu ia akan dikatai konyol, namun mengingat sikap Hinata yang rasa malunya sudah pada tahap kronis itu bisa dimaklumi.

"Aku hanya ingin pamit. Jangan menungguku jika aku belum pulang sampai larut malam." Ucap Naruto sebelum mendaratkan sebuah ciuman di kening Hinata yang tertutup poni. Dan Hinata wajahnya sudah sepenuhnya memerah padam mendapatkan perlakuan seperti itu.

"Ittekimasu!" Salam Naruto.

"I-itte-ra-sai!"Jawab Hinata susah payah setelah Naruto pergi meninggalkannya seorang diri di dapur.

.

.

"Sudah?" Sindir Sasuke saat Naruto masih membawa cengiran bahagianya, bahkan setelah berdiri di depan Sasuke.

"Sudah apanya, heh, Teme?!" Naruto balik bertanya.

"Ritualnya." Jawab Sasuke malas. Dan satu kata itu cukup membuat Naruto kikuk.

Dengan wajah sedikit bersemu Naruto menyahutinya dengan nada yang sedikit keras.

"Ritual? Ritual apa yang kau bicarakan itu? Sudahlah, ayo!" Naruto segera melompat meninggalkan Sasuke.

'Heh, seperti tahu saja ia harus pergi ke mana? Baka!' Sasuke membatin.

Setelah menyamai langkahnya segera Sasuke mengambil alih sebagai pemimpin jalan. Melompati beberapa pohon menuju perbatasan. Dan Naruto yang tidak sabaran kembali membuka suara memberi pertanyaan.

"Teme? Sebenarnya apa yang ditugaskan oleh Kakashi-sensei pada kita?"

Sasuke yang malas menjawab hanya diam tak menggubris pertanyaan lain yang muncul dari Naruto. Hanya gumaman menyebalkan yang ia berikan.

Berdecak, Naruto bertanya lagi, "Kau itu punya telinga, kan? Heh, Sasuke-teme?!"

"Jangan cerewet!" Bentak Sasuke kesal.

"Kita bicara setelah sampai, Dobe!" Tambah Sasuke.

Pada akhirnya Naruto memilih diam, meski kesal ia mengikuti apa yang Sasuke katakan. Ketika sampai di perbatasan desa di sana sudah ada Kiba tanpa Akamaru yang menanti kehadiran mereka.

"Kau juga datang, Kiba?" Sapa Naruto.

"Ya, seperti kau tak tahu saja jika Sasuke sangat suka membuatku sibuk." Sindir Kiba pada Sasuke, yang berpura-pura tak mendengar apapun.

"Ikou!" Perintah Sasuke sebelum melompat lebih dalam lagi di hutan dekat perbatasan Konoha.

Naruto ikut melompat saat Kiba juga melompat mengekor Sasuke. Dengan kening berkerut Naruto mulai memutar otak. Apa gerangan yang terjadi di dalam hutan sampai Sasuke harus menjemputnya sendiri? Walau penasaran setengah mati, Naruto tak punya pilihan lain selain merapatkan gigi agar mulutnya tak terbuka dan pertanyaan yang diikatnya erat di dalam kerongkongannya tak berlarian keluar.

.

.

Sfx : Tap! Tap! Tap!

Sasuke, Kiba, dan Naruto mendarat tak jauh dari sekelompok shinobi berseragam biru dan jaket hijau, khas seragam misi resmi Konoha, berdiri mengitari sesuatu. Tanpa perlu menoleh padanya, Naruto tahu jika kelima shinobi tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang adalah teman-temannya. Sakura, Ino, Neji, Shikamaru, dan Sai.

"Sedang apa mereka?" Tanya Naruto pada siapapun diantara Sasuke dan Kiba yang mau menjawab pertanyaannya.

"Kau akan segera tahu." Jawab Sasuke sambil lalu. Naruto melirik Kiba menuntut jawaban, sial bagi Naruto Kiba hanya mengendikkan bahunya acuh sebelum kembali mengekor Sasuke.

Naruto menggerutu pelan, sibuk mengomel bagaimana sifat buruk Sasuke ternyata sudah menular pada Kiba. Bukan tidak mungkin semua shinobi yang bekerja di Kepolisian Desa tanpa disadari mereka sudah terjangkiti virus sok keren Uchiha Sasuke.

"!" Mulut Naruto berhenti mengeluh. Sepasang bola mata langit Naruto membulat penuh karena terlalu kaget dengan pemandangan yang tersaji di depannya.

Seorang shinobi yang tak dikenalnya terbujur kaku dengan kedua bola mata memutih dan kulit yang mengeriput seperti kulit orangtua yang terlalu lama hidup. Mayat shinobi di depannya serupa dengan para korban pohon dewa yang kehabisan cakra karena terserap tanpa sisa oleh pohon terkutuk itu. Ya. Naruto tak pernah melupakan wujud mengerikan yang mampu memancing gelombang air matanya dulu.

"Apa yang terjadi disini, ttebayou?!" Tanya Naruto dengan suara bergetar menahan amarah.

"Tidak ada satupun ingatan yang bisa aku lihat. Semua ingatannya terkunci." Ino sepertinya melanjutkan penjelasan yang dilakukannya sejak sebelum Sasuke, Kiba, dan Naruto bergabung.

"Ini seperti saat aku dan ayah mencoba menggali ingatan shinobi Amegakure yang berhasil disandera Jiraiya-sama sebelum Pein menyerang Konoha dulu." Tambah Ino.

"Dan saat aku…" Ino menghentikan kata-katanya untuk melirik Sai ragu. Tiba-tiba Ino tak yakin harus menceritakannya juga pada semua teman-temannya atau tidak, bahwa ingatan shinobi yang terkunci ini hampir mirip dengan ingatan Sai yang dikuncinya sendiri saat Ino mencoba mencari tahu kebenaran bakteri cinta dulu.

"Ada apa?" Tanya Sai dengan wajah polos.

"Tidak. Tidak ada." Ino menggeleng cepat.

"Sakura, giliranmu." Perintah Ino. Sakura mengangguk mengerti.

"Tak ada luka luar sedikitpun di tubuhnya." Sakura ganti memberi penjelasan.

"Aku sudah meminta Katsuyu-sama untuk memeriksa cakranya, dan tepat seperti tebakan Shikamaru. Tak tersisa sedikitpun cakra dalam dirinya." Lanjut Sakura.

"Lalu mengenai mata putihnya, aku sangat ingat jika dia bukan salah satu dari anggota klan Hyuuga. Souke ataupun Bunke." Neji masuk dalam obrolan tanpa menunggu perintah.

"Kami tahu, Neji." Tanggap Shikamaru, sedikit menoleh pada Neji disampingnya.

"Kami pernah melihat kondisi mayat seperti ini saat perang dunia." Tambah Shikamaru yang kembali memasang wajah berfikir serius sembari menatap mayat shinobi aneh di depannya.

"Benarkah? Aku tidak ingat." Ragu Neji.

"Tentu saja. Itu karena saat itu kau sudah ma…"

Sfx : Plok!

Sakura secepat kilat membekap mulut Sai dengan telapak tangan kanannya. Mengabaikan setitik air mata yang hampir terjatuh dari ujung mata obsidian Sai karena Sakura tidak mengukur kekuatannya lebih dulu.

"Sai! Jangan membuat onar disini!" Desis Sakura dengan mata melotot kesal.

Bagaimanapun juga Sakura tidak mau ada keributan antar teman-temannya lagi. Seperti yang dilakukan mereka semua di kedai Yakiniku_Q beberapa hari yang lalu. Itu lumayan menakutkan bagi Sakura. Terlebih saat ini Sasuke ada disini. Bisa-bisa mereka semua akan gosong terpanggang amaterasu Uchiha Sasuke.

"Hey! Apa gunaku ada disini?!" Tanya Kiba kesal pada semua orang yang mengacuhkan kehadirannya.

"Kiba benar! Sudah cukup kalian mengabaikan kami!" Naruto memutuskan untuk membantu Sakura merubah topik dan menyelamatkan Sai dari jyuuken Neji.

Naruto tak yakin Sai mampu bertahan dengan jurus mematikan klan Hyuuga itu. Karena bahkan Naruto yang memiliki kyuubi dalam dirinya pun masih bisa merasakan sakit yang luar biasa setelah menerima pukulan jyuuken.

Naruto yang entah sejak kapan sudah berubah menjadi mode kyuubi, membelah lingkaran dan berjongkok disamping mayat yang kondisinya nampak sangat mengenaskan. Naruto menggenggam lengan mayat tersebut untuk memastikan tak ada hal membahayakan yang tersembunyi di balik tubuh keriput tanpa daya itu.

Tanpa disadari satu orangpun, Sasuke yang sedari tadi hanya menyimak penjelasan teman-temannya, diam-diam memisahkan diri dari kerumunan. Setelah berjalan sedikit jauh dan yakin tak ada yang melihatnya, Sasuke mulai melaksanakan aksinya.

Uchiha Sasuke membuat segel tangan babi, anjing, monyet, dan kambing dengan cepat sebelum menggigit jempol kanannya hingga mengeluarkan sedikit darah untuk dihantamkannya keras-keras di atas tanah. Lalu tak lama sesudahnya tiba-tiba muncul tato khusus berupa huruf-huruf kanji yang merupakan mantra pemanggil, membentuk sebuah lingkaran dengan tujuh garis yang berlarian keluar dan berpusat dari balik telapak tangan Sasuke.

"Kuchiyose no jutsu." Sasuke merapalkan nama jutsunya.

Sfx : Poft!

Seekor ular raksasa muncul dihadapan Sasuke, dan menatap Sasuke dengan sorot mata yang terlihat licik.

"Ada apa kau memanggilku, Sasuke-sama?" Tanya ular kuchiyose Sasuke.

"Aoda. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku!" Perintah Sasuke dengan suara berat.

"Katakan apa yang harus aku lakukan, Sasuke-sama." Ucap Aoda setelah mengangguk patuh.

Sasuke mulai bercerita detail kasus mayat bertubuh keriput yang aneh kepada Aoda. Mengatakan dengan sangat jelas kemudian informasi apa saja yang Sasuke ingin Aoda cari tanpa ada seorangpun yang boleh tahu.

"Wakarimashita, Sasuke-sama." Aoda mengangguk mengerti.

"Baiklah. Kau boleh pergi, Aoda." Perintah Sasuke. Tak segera menghilang, Aoda justru kembali membuka mulut untuk bertanya.

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Sasuke-sama?" Tanya Aoda. Sasuke mengangguk lemah sebagai tanda persetujuan.

"Kenapa sekarang kau begitu ingin melindungi desa Konoha? Bukankah orang-orang di desa ini telah menghianati klanmu? Dan membuat kakakmu menderita?" Pancing Aoda.

"…" Sasuke tak segera menjawab, keningnya berkerut mendengar pertanyaan Aoda yang seolah ingin kembali mengusik ingatan lama Sasuke.

"Kenapa kau ingin tahu?" Sasuke balik bertanya.

"Hanya ingin meyakinkan diri, Sasuke-sama." Jawab Aoda.

"…" Bukan segera menjawab, Sasuke justru membalikkan badan dan mulai melangkah pergi. Walaupun begitu, Aoda masih setia menunggu jawaban Sasuke. Beruntung Aoda tak perlu menghabiskan waktu lama karena Uchiha bungsu itu tiba-tiba berhenti berjalan.

"Karena masa depanku ada di desa ini." Jawab Sasuke tanpa menoleh, membuat Aoda tak bisa melihat jelas ekspresi Sasuke saat mengatakannya. Namun Aoda yakin, Sasuke menjawabnya dengan kesungguhan hati.

'Haruno Sakura, eh, Sasuke-sama?' Batin Aoda dibalik seringai ularnya.

"Pergilah, Aoda." Perintah Sasuke kembali.

"Ha'i, Sasuke-sama."

Sfx : Poft!

Aoda menghilang dibalik asap tebal putih. Meninggalkan Sasuke dengan wajah merona tipis seorang diri di dalam hutan.

oOo oOo oOo

Karena tak kunjung menemukan petunjuk dari mayat keriput yang ditemukan di dalam hutan dekat perbatasan, atas usulan Shikamaru semua orang pulang ke rumah masing-masing untuk mengistirahatkan fisik dan batin mereka.

Suasana desa sudah mulai sepi, semua sudah kembali ke peraduannya masing-masing ketika Naruto berjalan seorang diri di sepanjang perjalanan menuju rumah barunya. Sesampainya di depan rumah, ia bersegera masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, mengira Hinata sudah tidur. Naruto berencana pergi ke dapur untuk melepas dahaga sebelum kembali ke kamar. Namun baru di perbatasan ruang langkahnya terhenti oleh kehadiran Hinata yang berdiri manis di hadapannya.

"Okaeri, Naruto-kun." Alunan suara yang sungguh merdu menyapa gendang telinga Naruto yang masih tertegun.

Di sana Hinata berdiri menyapa Naruto dengan senyum teduh miliknya. Naruto merasa ia lebih dari terpukau melihat Hinata. Bahkan baju rumah berwarna merah muda dan ungu yang dikenakannya menambah kata 'manis' di dalamnya. Dan setelah panggilan Hinata yang ke berapa kali, Naruto baru bisa menguasai diri agar tak terpesona lebih jauh dengan sedikit berdehem canggung.

"Ah gomen Hinata... ehm, tadaima..."

Dan keduanya mengulangi proses penyambutan itu dengan tawa yang hadir dari masing-masing. Wajar saja jika Naruto menganggap ucapan tadi itu suatu hal spesial—kelewat spesial malah—karena sepanjang ia hidup ia tak pernah mendengar ucapan "okaeri" ketika ia pulang. Siapa pula yang akan mengucapkannya? Kecuali Iruka yang kebetulan bisa hadir menemui Naruto. Selebihnya ia tak pernah mendengar kata itu meski sesekali ia ingin mendengar itu dari ibunya, walau itu mustahil.

Dan tadi itu sesuatu yang membuat suatu tempat di bagian hatinya merasa terisi yang selama ini kosong. Membuncahkan kebahagiaan yang ia rasakan. Akhirnya akan ada yang menjawab salamnya ketika ia pulang dengan Hinata yang mengucapkannya.

Setelah itu Hinata menggiring Naruto menuju ruang makan yang sudah Hinata siapkan di hari pertama mereka serumah.

"Ba-bagaimana rasanya, Naruto-kun?" Tanya Hinata dengan wajah penuh harap.

"Hmmm…" Naruto bergumam dengan sendok yang masih dikulumnya dalam mulut. Melihat wajah Hinata yang menggemaskan, Naruto jadi tak tahan untuk tidak menggoda Hinata.

"Tidak enak." Wajah Hinata berubah kecewa mendengar jawaban singkat Naruto.

"Tapi saaaaangat enak, Hinata. Haha." Naruto tertawa puas berhasil menggoda Hinata.

"Mou, Naruto-kun." Rajuk Hinata.

Senyuman geli disungging Hinata menyadari Naruto hanya menggodanya. Sementara itu Naruto kembali menyantap makanannya dengan lahap dan tak ragu meminta tambah. Sepertinya masakan istrinya lambat laun akan menggeser kedudukan ramen dari peringkat pertama dalam perut Naruto.

Begitu menyelesaikan makan malam pertama keduanya di rumah baru mereka, mereka membereskan peralatan makannya yang kotor bersama yang diselingi candaan Naruto yang menguapkan suasana canggung yang biasa Hinata rasakan.

Namun di tengah-tengah kegiatan mereka membersihkan peralatan makan mereka, Naruto teringat sesuatu. Janjinya pada Hinata kemarin malam. Sesaat setelah selesai membasuh tangan dan merapikan alat makan bersama, Naruto menggenggam tangan Hinata berniat menyampaikan maksudnya.

"Hinata, ada yang ingin aku tunjukan padamu."

"Apa itu?"

Naruto menjawabnya dengan genggaman tangan besarnya pada telapak tangan mungil Hinata, mengajaknya menuju kamar mereka. Setelah sampai ia segera menutup pintu dan mendudukkan Hinata pada ranjang. Hinata yang masih tak tahu tujuan Naruto hanya bisa menautkan kedua tangannya di atas pangkuannya. Dan ketika Naruto mulai melepas hitai-ate dengan cepat otaknya memberikan dugaan yang berpengaruh pada kondisi wajahnya yang seketika memerah.

"Hinata..." Naruto kembali menghadap Hinata dengan memegang sisi depan kerahnya tepat di tarikkan risleting dan mulai menurunkannya perlahan.

"Aku ingin memenuhi janjiku padamu..." katanya membuka perlahan jaket hitam orangenya dengan gerakkan lambat, membuat irama jantung Hinata berdegup cepat. Hinata bisa melihatnya, tiap inchi lekuk tubuh Naruto yang sering ditempa latihan. Berliuk, kokoh dan... terlihat kuat.

Pikirannya mengambang, ingin pingsan namun sekuat hati ia tahan. Ia tak ingin melewatkan sedetikpun untuk menatapi setiap sisi bagian tubuh milik Naruto, suaminya. Maka dengan degup jantung yang kian menggila dan wajah yang memerah sempurna ia jelajahi indera penglihatannya mulai dari wajah serius Naruto lalu turun pada dadanya yang bidang namun berhenti saat melihat gambar segel di bagian perut rata Naruto. Ia tergugu tanpa ekspresi. Ia tak pernah tahu jika Naruto memiliki itu di tubuhnya. Bukan karena Naruto tak pernah bertelanjang dada di depannya, tapi lebih pada alasan memang Naruto tak pernah memunculkan segel diperutnya itu pada orang lain kecuali beberapa orang.

Naruto yang melihat arah tatapan Hinata segera bergerak maju mendekati Hinata. Meraih telapak tangan Hinata dan mengarahkannya pada perut.

"Ini segel yang dibuat oleh ayahku, Yondaime Hokage, saat menyegel Kurama ketika aku lahir."

Tangan itu bergetar, menyusuri tiap simbol yang tergambar di perut Naruto.

"Ap-apakah itu sa-kit?"

"Jika seperti ini ... tidak, tapi saat usiaku dua belas tahun Ero-sannin pernah membukanya dan yah itu sakit." Seketika Hinata menarik tangannya, membuat Naruto tergelak pelan.

"Tak apa, Hinata... sebenarnya bukan ini saja yang ingin kutunjukkan padamu."

"Bersiaplah!"

.

.

Naruto mengangkat tangannya yang entah sejak kapan sudah bebas dari perban yang sering membalutnya penuh. Mulai dari ibu jari, satu per satu ujung jari Naruto terselimuti oleh api biru berukuran kecil. Bersamaan dengan kemunculan api biru di ujung jarinya, pada telapak tangan Naruto mulai timbul tato lingkaran yang tak penuh dengan banyak segitiga didalamnya, yang melingkari lingkaran lain yang lebih kecil ukurannya. Kemudian kotak-kotak tebal berderet tak beraturan disepanjang garis lurus tebal mulai memenuhi hasta bagian dalam Naruto.

Ekspresi wajah Hinata menegang, tak berbeda jauh dengan Naruto sendiri. Naruto meneguk ludah dengan susah payah, tak benar-benar yakin jika apa yang dilakukannya sekarang tak akan membawa dampak buruk pada Hinata, kyuubi, atau bahkan dirinya sendiri.

Naruto menempelkan seluruh jari yang ujungnya masih terselimuti api biru kecil membara pada segel di perutnya. Secara ajaib, gambar segel diperut Naruto itu mengikuti pergerakan tangan Naruto berputar ke atas melawan arah jarum jam.

Mata amethyst Hinata mendelik tak percaya saat segel di perut Naruto yang berubah bentuk seperti satu mata dengan empat gambar api yang berkobar, 2 dibagian atas dan 2 dibagian bawah, itu menghitam sedikit demi sedikit untuk menggambarkan segel yang mulai terbuka.

Saat lingkaran segel Naruto menghitam seluruhnya, tiba-tiba dari dalam perut Naruto keluar dengan sangat deras cairan liquid berwarna merah api yang bercahaya jingga.

"Ergh!" Naruto meringis dan sedikit menggerang menahan sakit. Namun apa yang dilakukan jinchuuriki kyuubi ini tak berhasil memancing sedikitpun perhatian penuh Hinata pada perut Naruto.

Perlahan tapi pasti cairan merah api yang bercahaya jingga itu mulai menggumpal di bawah kaki Naruto. Semakin banyak cairan itu keluar dari perut Naruto, semakin jelas apa yang akhirnya terbentuk. Sosok kyuubi bertubuh mini yang belum sempurna.

"Hah?!" Hinata memekik tertahan oleh kedua telapak tangan yang dipakainya untuk membungkam mulutnya yang menganga.

"Kuso! Sakit sekali!" Umpat Naruto dengan suara berdesis.

Padahal hanya satu menit yang diperlukan cairan merah api bercahaya jingga itu sampai benar-benar berhenti keluar dari dalam perut Naruto dan membentuk sempurna tubuh mini kyuubi. Tapi bagi Naruto, rasa sakitnya sudah seperti terjebak dalam tsukoyomi Uchiha Itachi selama 10 menit saja.

Saat cairan merah api bercahaya jingga itu benar-benar berhenti mengalir, segel di perut Naruto perlahan namun pasti ikut menghilang tanpa bekas. Seolah memang tak pernah ada gambar segel apapun di perut Naruto.

Kyuubi duduk berjongkok di atas kedua tangan dan kakinya dengan kesembilan ekor yang terangkat keatas dan bergerak ke sana kemari tanpa arah. Mata merahnya menatap lugu pada Naruto yang masih meringis sakit seolah baru saja melahirkan kyuubi, dan Hinata yang masih keukeh membekap mulutnya tak percaya.

"Yo." Salam kyuubi pada Naruto dan Hinata.

.

.

"Ky-kyu-kyuubi-kun," Hinata mencoba menyapa kyuubi. Pandangan takjub pada sosok mini kyuubi yang sangat menggemaskan masih saja dipertahankan Hinata.

"Kun?!" Protes kyuubi garang. Naruto terkikik geli mendengar suara kyuubi yang bukannya terdengar garang justru terdengar sangat lucu.

"Cih!" Kyuubi berdecih kesal. Tak menyangka jika Naruto malah mengeluarkannya dalam bentuk mini seperti ini. Jika sampai teman-teman monsternya tahu, hancur sudah harga dirinya sebagai monster berekor sembilan yang gagah dan menyeramkan.

"Baka Naruto! Kenapa kau mengeluarkanku dalam bentuk menjijikkan seperti ini?!" Kyuubi menggeram kesal. Mengabaikan tangan Hinata yang mulai jahil menyentuh satu per satu ekornya yang bergerak liar tanpa arah.

"Heh?! Apa kau lupa?! Jika aku mengeluarkanmu dalam bentuk sempurna, aku akan mati, Kurama!"

"Itu sama saja kau membunuhku!" Teriak Naruto tak terima dengan protes kyuubi.

"Bagaimana kau berhasil membelah cakraku dan mengeluarkan tubuhku semini ini?!" Tanya Kurama masih dengan suara lucu yang diberusaha dibuat garang.

"Bukankah kau yang mengajariku saat kita berkelana dulu?!" Ingatkan Naruto. Kyuubi merengut kesal. Benar juga. Bagaimana bisa dia lupa jika dia sendiri yang mengajari Naruto semua hal tentang cakranya bahkan sampai pada membagi cakra dan mengeluarkan tubuhnya walau tak sempurna.

Kurama pikir bentuk tak sempurnanya ada pada ekornya yang berkurang 2 atau 4. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirannya tubuh gagah miliknya mengecil selucu ini.

'Sial!' Umpat kyuubi dalam hati.

"Hey! Jangan bermain dengan ekorku!" Bentak kyuubi pada Hinata yang semakin berani bermain menangkap ekor kyuubi yang tak henti bergerak liar tanpa arah. Membuat Hinata seperti bayi yang kegirangan dengan mainan barunya saja.

Hinata yang kaget oleh bentakan kyuubi, refleks menarik kedua tangannya dari ekor kyuubi yang berhasil di tangkapnya. Hinata menatap kyuubi dengan wajah yang kentara jelas sedang menahan keinginan. Disisi lain Naruto menatap tak suka pada kyuubi yang tak mau memperlakukan Hinata dengan lembut seperti janjinya pada Naruto sebelumnya.

"Kurama! Jangan membentak istriku!" Bentak Naruto balik.

Menghiraukan bentakan Naruto padanya, kyuubi berdiri dan mulai merangkak mendekati pintu masuk kamar Naruto. Sepasang mata amethyst Hinata tak mau berhenti mengikuti pergerakan kesembilan ekor kyuubi.

"Buka pintunya, Naruto!" Perintah Kyuubi.

"Ekh?! Jangan keluar rumah, Kurama!" Ingatkan Naruto sedikit panik.

"Jangan khawatir, aku akan bermain di dalam rumah." Jawab kyuubi masih membawa rasa kesal pada nada suaranya.

"Aku hanya tidak mau melihat kau dan Hinata melakukan adegan mesum seperti yang suka orangtuamu lakukan."

Sfx : Pssssh!

Naruto dan Hinata yang tahu maksud dari sindiran Kurama segera merona dan salah tingkah sendiri. Naruto kemudian berjalan cepat mendekati pintu kamarnya dan membukanya untuk kyuubi. Jika tidak segera membiarkan kyuubi keluar, Naruto khawatir akan ada banyak hal memalukan yang kyuubi ungkapkan. Naruto baru sadar jika mulut kyuubi sama berbisanya dengan Sai, sang kapten ANBU.

"Sudah terbuka!" Lapor Naruto walau sebenarnya tidak perlu.

"Cepat keluar!" Usir Naruto tak sabar.

"Ya. Ya." Ekor kyuubi bergerak anggun kali ini.

"Aku tahu kau tidak sabar untuk bergulat dengan istrimu seperti yang sering kau keluhkan padaku." Gerutuan kyuubi semakin menambah tebal rona merah pada wajah Naruto dan Hinata.

Sebelum benar-benar keluar dari dalam kamar, kyuubi mendongak untuk menatap Naruto dengan seringai rubah penuh arti.

"Pastikan kau tidak membuat istrimu menjerit terlalu keras, eh, Naruto." Kyuubi masih berusaha menggoda Naruto.

"Urusai!" Naruto menendang kyuubi tak sabar dan menutup pintu dengan keras hingga meggetarkan dinding kamar Naruto.

.

.

"Na-Naruto-kun..." Panggil Hinata gagap.

"Hm." Jawab Naruto dengan sebuah gumaman tak jelas. Naruto berusaha agar tidak salah tingkah di depan Hinata.

"Soal yang tadi itu..."

"Lupakan! Lupakan saja yang Kurama ucapkan tadi, ya?" Pungkas Naruto.

"Ayo, berdirilah." Naruto mengulurkan tangan untuk membantu Hinata berdiri dari lantai kamar karena sebelumnya Hinata duduk bersimpuh di dekat kyuubi.

"!" Naruto merasa udara di sekitarnya berjalan cepat ketika Hinata bukannya menerima uluran tangannya, justru sibuk meraba dan membelai perut tanpa segel Naruto. Tanpa sadar Naruto memejamkan mata, menyesapi sesuatu yang lain yang dibangkitkan oleh sentuhan lembut Hinata.

Naruto sekuat tenaga untuk tak langsung menepis kasar kedua tangan yang masih bergerak makin ke bawah. Ia mengumpat kasar dalam hati dengan napasnya yang kian memberat.

"Hinata... kau tak tahu apa yang kau lakukan?!" Desis Naruto yang segera meremas tangan Hinata untuk menghentikan gerak tangan Hinata lebih jauh.

Hinata hanya menatap kedua tangannya yang tergenggam erat tangan Naruto. Cukup terkejut dengan gerakkan cepat Naruto. Namun sedetik kemudian genggaman itu melemah dan terlepas, menyisakan raut heran Hinata yang melihat Naruto yang gusar.

"Na-naruto-kun gomen na..."

Naruto hanya tersenyum dan menggeleng mencoba melegakan suasana hatinya meski kenyataannya tidak. Naruto kembali mengulurkan tangannya. Kali ini Hinata menerima uluran tangan Naruto dan dengan sedikit tarikan, keduanya sudah berdiri saling berhadapan.

Kemudian sampai beberapa lama, mereka hanya diam saling menatap satu sama lain. Menikmati raut wajah orang yang mereka cintai sampai Naruto mulai membelai wajah Hinata yang terlihat sangat manis itu. Mengurai poni rata Hinata dan mendaratkan sebuah kecupan lama di kening. Hinata sendiri hanya memejamkan mata sambil menyesapi aroma yang menguar dari tubuh hangat Naruto. Berdekatan seperti ini memang membuatnya berdebar tak karuan tapi dengan sejalannya waktu ia sudah terbiasa namun belum pada tahap sentuhan yang lebih intim.

Memikirkan itu membuatnya secara tak sadar mencengkeram bahu Naruto. Kecupan Naruto berlanjut pada ujung hidung mungil Hinata dan Naruto cukup senang melihat rona merah di kedua pipi Hinata. Ia menyeringai melihat geliat Hinata yang gugup dalam dekapannya. Dan tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup sudut bibirnya.

"Naru..."

Naruto tak membiarkan Hinata berkata-kata lagi meski itu sebuah lantunan namanya. Ia menekan dua belah bibirnya, menguasai benda yang sama milik istrinya yang terasa begitu manis. Kini tidak ada alasan bagi Naruto untuk bersabar dan menahan diri. Naruto sebenarnya memang bukan tipe penyabar untuk urusan tertentu, tentu saja ... ia sering lepas kendali dalam mengontrol emosi yang berakhir dengan kekuatan Kurama yang menguasainya ketika ia masih mengejar Sasuke ataupun ketika invasi Pein. Yah ketika wanita dalam dekapannya ini melindunginya dan menyatakan perasaannya. Naruto takkan melupakan itu.

Dan kini?

Sebutlah perasaan ini nafsu, sebuah gejolak yang tercipta karena cintanya yang membuncah. Suatu perasaan ingin memiliki lebih, ingin menguasai dan keinginan merasakan kedekatan yang lebih intim. Hei, ia lelaki normal, jadi apa yang dirasakannya sekarang bukan hal yang aneh bagi semua orang yang sudah menikah.

Hinata memang tidak berpenampilan terbuka atau sengaja menggodanya. Ia wanita yang sederhana, terlalu sederhana yang kurang percaya diri dan lebih menutupi tubuhnya di balik pakaian longgar. Tapi itu takkan luput dari mata lelaki tak terkecuali dirinya. Ah, Naruto membencinya.

Wanita ini miliknya. Hinata-nya.

"Mmhh—hahh..." Tarikan napas Hinata ketika ciuman itu terlepas.

Naruto sendiri meski terengah ia masih tenang, berdiri kokoh menyangga Hinata yang limbung dalam dekapannya. Matanya tak lepas dari wajah memerah istrinya, bahkan hawa napas yang tercipta dari mulut mungil itu begitu menggoda di matanya.

'Sial!' Umpat Naruto dalam hati. Naruto tahu dirinya tak bisa menahan hasrat ini lebih lama.

Hinata...

Terlalu menggoda untuk dilewatkan.

Dan Naruto...

Terlalu sulit untuk menolaknya.

Tangan kanan yang berada di pinggang itu naik, menelusuri punggung dan lengan atas Hinata sebelum singgah di pipi. Menyentuh lembut wajah halus milik Hinata. Dan Naruto memberikan cengiran menggoda ketika Hinata sudah balas menatapnya.

"Kau tahu apa warna kesukaanku?" bisik Naruto.

Dengan cengkeraman erat telapak tangannya, Hinata menjawab "O-oranye?"

Gelengan Naruto membuat Hinata bingung, "Lalu...?"

"Merah." Ujarnya menyeringai sembari mengusap-usapkan ibu jarinya pada pipi Hinata yang semakin merona.

Naruto bergerak, bertindak sesuai insting yang ia punya. Merengkuh Hinata ke dalam gendongannya dan mendaratkannya ke kasur, pelan. Menyatukan kembali indera perasa mereka, membiarkan alunan itu hadir mengiringi pagutan mereka yang semakin dalam. Tak berapa lama ia melepasnya perlahan. Membiarkan udara kembali mengisi paru-paru keduanya.

Pandangannya menggelap, melepas helai demi helai pakaian wanitanya yang terlihat pasrah di bawah kungkungannya. Hinata sendiri membiarkan Naruto memperkerjakan kedua tangan kokohnya untuk menyentuhnya.

Namun sesaat setelah semua terlepas ia berhenti. Menggulirkan sepasang mata sewarna langit itu pada Hinata. Hinata yang menggigit telunjuknya malu. Ah, Naruto ingat, apa sebutan Kiba untuknya waktu mereka berkumpul waktu itu?

Bajingan yang beruntung.

Seringainya muncul bersamaan dengan napasnya yang memberat. Kembali menenggelamkan dirinya pada hangat tubuh Hinata. Tak peduli pada erangan yang Hinata bunyikan. Tak peduli rona merah yang mulai menyebar ke seluruh wajah istrinya. Ia lupa atau sengaja melupakannya bahwa akan seperti apa nantinya jika Hinata mulai memerah seperti ini.

Semuanya terlupakan. Tertutupi oleh kabut hawa yang menyelimutinya. Menggiring kembali Hinata pada perasaan yang sama. Hinata memanggilnya, mengeratkan pegangannya yang lemah di bahu-bahu Naruto. Ia menatap Naruto yang bangkit membenahi sisa pakaiannya untuk ia tanggalkan.

Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, menatap Hinata yang sama bergairah sepertinya. Ia mengecup singkat sebelum meregangkan tungkai kaki Hinata. Mendekatkan diri. Hinata gemetar, terlihat dari arah pandangnya yang bergulir ke bawah. Namun Naruto tak membiarkannya, ia bawa wajah Hinata untuk memandangnya, menatap matanya saat ia mulai menyatu.

"Naruu..." jerit Hinata sakit.

"Sshh... maafkan aku..." Naruto menenangkan.

Ia sapukan ibu jarinya mengusap air mata yang keluar. Menghujani dengan kecupan-kecupan lembut di wajah memerah Hinata.

Di tengah ringisannya menahan perih Hinata tersenyum, bahagia atas penyerahan dirinya pada Naruto. Kemudian mereka memulainya.

Saling mendekap.

Melantukan nama masing-masing.

Berbagi hawa tubuh mereka yang panas.

Menyerah atas kuasa gejolak yang mereka rasakan.

Naruto melakukannya perlahan, menjadikan Hinata miliknya. Melewati malam bahagia yang terasa begitu panjang. Lantunan nama, cengkeraman dan pelukan erat Hinata pada tubuhnya tak kuasa ia redam. Hinata menghipnotisnya, melumpuhkan kerja otaknya dan menjeratnya dalam ilusi yang bahkan lebih hebat dari milik Itachi.

Dan bagi Hinata, Naruto terlalu tangguh. Begitu mengukungnya, merajamnya dan menguasai setiap saraf dalam tubuhnya. Ia terbuai dalam hangat tubuh Naruto.

"Naruto-kun..." Adalah gumaman terakhir Hinata sebelum terlelap dalam mimpi bersama Naruto karena keduanya terlalu lelah.

.

.

Sfx : Ciiit… Ciiit…Cuiiit…

Dan pagi tak ada yang begitu cerah selain pagi ini. Suara cicitan burung di dekat jendela yang bahagia bahkan tak sebanding oleh rasa bahagia yang Naruto rasakan. Ia hanya diam dengan senyuman yang terpahat di wajahnya. Terlalu larut memandang pucuk kepala Hinata yang terlelap di dadanya.

Hanya usapan lembut di punggung polos, lengan atau pucuk kepala biru Hinata yang kini bisa Naruto lakukan. Naruto kemudian tersenyum penuh arti, kembali teringat bagaimana semalam Hinata terus-menerus meneriakan namanya dengan lantang.

"Ngggh…" Hinata menggeliat kecil.

Sepasang mata amethystnya terbuka dan tertutup dengan cepat untuk mencoba berdamai dengan sinar matahari pagi yang terasa menyilaukan, dan rasa lelah yang masih bergelanyut manja padanya.

"Ohayou, Hinata." Sapa Naruto lembut pada Hinata yang sudah sepenuhnya sadar. Naruto menundukkan kepala untuk mengintip gerakan pelan Hinata dalam pelukannya.

Sfx : Psssh!

Hinata menenggelamkan wajahnya yang memerah padam tanpa cela di dada telanjang Naruto. Membuat Naruto menaikkan sebelah alis kuningnya bingung.

"Ada apa? Kenapa kau menyembunyikan wajahmu?" Tanya Naruto bingung.

"A-aku ma-malu, Na-naruto-kun." Jawab Hinata dengan suara berdesis karena mulutnya tak bisa bergerak bebas, terhalang oleh dada Naruto yang berkilat oleh keringat.

"Malu? Kenapa?" Naruto tidak mengerti arah pembicaraan istrinya. Pasalnya ini kali pertama Naruto bangun tanpa bahu atau lengan kiri yang basah oleh air liur Hinata.

"…." Hinata tak menjawab, tak juga bergerak dari posisinya membenamkan wajahnya yang terbakar rasa malu di atas dada Naruto.

Sebuah seringai dibuat Naruto saat otaknya yang sedikit lemot sudah memahami apa yang membuat Hinata malu.

Sfx : Sreeet! Brug!

"Ekh?!" Hinata memekik kecil terkejut oleh gerakan tiba-tiba Naruto mengubah posisi mereka. Kini Naruto menyangga tubuhnya dalam posisi menungging di atas Hinata.

"Kau kan istriku, kenapa harus malu?" Goda Naruto dibalik cengiran lebarnya.

"Toh kita akan melakukannya setiap hari. Hehe." Naruto membuat cengiran lima jari keahliannya.

"Se-setiap hari?" Ulang Hinata dengan wajah merona menahan malu.

"Ya. Ya." Naruto mengangguk penuh semangat.

"Sehari tiga. Ehm… mungkin empat." Naruto memasang wajah berfikir serius.

"Tidak. Tidak. 5 kali sehari." Naruto menatap serius pada Hinata.

"Li-lima kali?" Hinata memekik kaget. Naruto mengangguk setengah serius pada Hinata.

Hinata hanya bisa menggigit bibir bawahnya menahan malu karena godaan suaminya. 5 kali sehari? Hinata membayangkan bagaimana lelahnya dia jika Naruto tidak bercanda saat ini.

"Jangan gigit bibirmu seperti itu, Hinata! Kau akan melukainya." Naruto melepas lembut bibir bawah Hinata dari gigitan kecil istrinya itu. Menggoda Hinata ternyata sangat menyenangkan.

"Biar aku saja yang menggigitmu." Naruto perlahan mulai membunuh jarak antar wajah bahagianya dan wajah merona Hinata yang menggemaskan.

"Mmmmm…" Hinata mengerang kecil.

Merasa Hinata tak mendapatkan cukup pasokan oksigen, Naruto mengakhiri ciuman selamat paginya. Naruto tak mau berhenti menatap sayang pada Hinata yang terlihat sangat cantik dan menggemaskan saat sedang merona seperti ini.

"Lihat, aku sudah memelukmu dan menciummu. Apa kau masih berfikiran aku membencimu?" Goda Naruto kembali.

"Mou, Naruto-kun…" Rajuk Hinata manja. Hinata memalingkan wajah merona malunya ke samping, menghindari tatapan menggoda Naruto padanya.

"Hahahaha." Naruto tertawa lepas.

"Owh. Benar juga. Aku belum mengatakan alasanku menghindarimu selama ini." Naruto meluruskan kedua tangan yang dipakainya untuk menahan tubuh tannya. Hinata kembali menatap wajah serius suaminya.

"Hmm, kau tahu kan? Aku tidak pintar menjelaskan sesuatu, Hinata." Naruto memulai penjelasannya. Hinata mengangguk sekali tanda mengerti.

"Tapi pada intinya, aku harus mengeluarkan Kurama dari dalam tubuhku agar kau tidak terlalu banyak menyerap cakranya karena itu akan membahayakanmu."

"Tentu saja aku tidak bisa melakukannya di rumahmu."

"Karena itulah atas nasehat Kurama, aku terpaksa menghindarimu selama kita berada di rumahmu sampai kita pindah ke rumah ini."

"Jadi bukan karena aku membencimu, Hinata." Naruto memberi jeda pada penjelasannya, untuk mengukir sebuah senyuman hangat pada istri cantiknya ini.

"Asal kau tahu. Aku sangat. Sangat. Saaaaaangaaaat mencintaimu, sayang." Ungkap Naruto.

Sfx : Blush!

"A-aku juga sangat. Sangat. Saaaaangat mencintai Naruto-kun." Balas Hinata malu-malu dengan wajah merona.

Masih membawa senyum tipis penuh arti miliknya, Naruto kembali membunuh jarak antara dirinya dan Hinata. Namun kali ini bukan untuk mengulum bibir Hinata yang entah bagaimana selalu terasa manis dirasa Naruto, tapi untuk memberi gigitan gemas pada leher jenjang Hinata.

"Naruu…" Hinata menggeliat geli. Hinata kemudian menjauhkan kepala Naruto refleks dari lehernya.

"Heh?! Kenapa?!" Tanya Naruto tak terima.

"Geli, Naruto-kun." Jawab Hinata.

"Anggap saja itu hukuman karena kau selalu menggigitku setiap pagi, ttebayou!" Bujuk Naruto dibalik cengiran tanpa dosanya. Hinata hanya bisa menatap Naruto malu tanpa bisa banyak membantah.

"Ada apa lagi, Hinata?" Tanya Naruto tak sabar saat Hinata kembali menghentikan gerakannya yang kembali mendekati bibir ranum Hinata.

"Ada yang ingin aku katakan sebelum aku melupakannya, Naruto-kun." Jelas Hinata cepat.

"Baiklah. Cepat katakan." Putus Naruto dengan berat hati.

"Aku bisa mengontrol jumlah cakra kyuubi yang aku serap karena aku sudah terlatih untuk menyeimbangkan cakra dalam tubuhku." Hinata memulai penjelasannya.

"Jadi, ini seperti bagaimana aku bisa dengan mudah mengaktifkan atau mematikan byakuganku, Naruto-kun." Naruto mencoba menyerap penjelasan Hinata.

"Selama aliran cakraku baik-baik saja. Aku tidak akan setiap waktu menyerap cakra kyuubi."

"Da-dari mulut a-ataupun yang lain."

"A-aku rasa kyuubi juga bisa merasakannya. Bagaimana aku membatasi penyerapan cakranya selama ini, Naruto-kun." Hinata mengakhiri penjelasannya.

"Jadi, itu, seperti, lalu, kenapa…" Naruto menegakkan tubuh di atas Hinata, dan bergumam sendiri dengan wajah bingung.

"Kau tak usah bingung seperti itu, Naruto."

"Aku akan menawarkan sebuah penyelesaian untukmu."

"Pasang telingamu baik-baik karena aku tak akan mengulanginya lagi."

Naruto merutuk dalam hati saat pikirannya mengingat kembali bagaimana kyuubi memberi arahan padanya untuk menahan diri selama 3 hari tidak berciuman dan menyentuh Hinata karena khawatir seperti dugaan Sai dan Neji, Hinata overdosis cakra panas miliknya.

Naruto menjadi jauh lebih kesal saat pikirannya mengingat kembali bagaimana dengan bodohnya Naruto percaya begitu saja ketika kyuubi memanfaatkan kesempatan ini untuk bisa keluar dari kandangnya, setelah sekian lama tidak berhasil membujuk Naruto untuk mengabulkan keinginannya bermain di luar kandangnya yang membosankan dan basah.

Dunia disekitarnya serasa runtuh saat Naruto sadar ternyata semua usahanya mati-matian menahan diri, sampai Naruto sering sekali bergulingan menahan hasrat di lapangan belakang kantor Hokage setiap malam hari, hanya untuk lelucon garing kyuubi padanya saja.

"Kurama brengsek! Dia menipuku mentah-mentah!" Umpat Naruto keras-keras.

Tanpa pemberitahuan lebih dulu, Naruto melompat dari atas ranjang dan berjalan penuh rasa kesal keluar kamar. Naruto berniat untuk menjitak keras-keras kepala rubah Kurama, mumpung tubuh kyuubi jauh lebih kecil darinya sekarang.

"Tunggu, Naruto-kun!" Hinata tidak benar-benar tahu maksud dibalik umpatan Naruto pada kyuubi, tapi satu yang sangat Hinata pahami adalah dia harus menghentikan langkah Naruto. Sekarang juga.

"Jangan menghentikanku, Hinata! Aku harus memberi pelajaran pada rubah brengsek itu!" Jelas Naruto.

"De-demo, Naruto-kun. Kau belum…"

Sfx : Blum!

Tanpa memberi Hinata kesempatan untuk menyempurnakan kalimatnya, Naruto membanting pintu kamarnya kencang. Sekali lagi membuat dinding di dalam kamar mereka bergetar.

Hinata kembali menggigit bibir bawahnya. Bukan merasa takut rumah barunya dan Naruto akan roboh karena terlalu banyak Naruto membanting pintu, tapi Hinata khawatir dengan keadaan Naruto saat ini.

"… memakai baju." Hinata menyempurnakan kalimatnya dengan suara lirih untuk dirinya sendiri.

Hinata meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuh sampai wajahnya yang merona hebat, setelah melihat tubuh bugil belakang Naruto dengan sangat jelas. Hinata baru sadar dirinya sendiri juga belum memakai pakaian sehelaipun. Itu artinya dari sejak bangun tadi, dia dan Naruto berbincang-bincang dalam keadaan telanjang bulat.

"WAAAAAA!" Dan sekali lagi dinding di kamar Naruto dan Hinata bergetar hebat oleh suara teriakan kaget Naruto yang sangat keras.

oOo OWARI oOo

Author Note Cand_Cand :Nah, Nah. Akhirnya selesai juga ini chapter. Walau butuh waktu lama. Hehe. Sepertinya terlalu lama #pundungdipojokkamar.

Oz, btw, pada chapter kali ini Cand melakukan kolaborasi cerita dengan author yang tampan, Author Devonne. Terima kasih banyak buat ide cerita rate-M yang sangat menarik untuk chapter ini. Cand sih berharap bisa kolaborasi lagi selain di chapter ini. Hehe.

Karena fic ini genre utamanya Hurt-Comfort, sepertinya mulai chapter depan ceritanya akan lebih ke sweet angst, atau mungkin angst sweet? Entahlah. Tapi Cand jadi sedikit galau buat endingnya jadi sweet atau angst gegara Naruhina canon. Haha. #Alasanapaitu?!

Minna-san, arigatou gozaimasu buat apresiasinya di fic Tadaima ini. Cand selalu menangis haru membaca review kalian, jadi jangan bosan-bosan nulis review kalian ya ^,^

Author Note Devonne : Akhirnya jadi juga fic collab ini setelah banyak melewati halang rintang untuk menulisnya #halah lebay! Kesan Dev buat fic ini banyak sekali. Dev yang request fic gak nyangka malah dilibatin Cand buat nulis juga #Hahaha. Gak tahu mau nulis apa lagi karena Dev bukan author tersohor. Yang jelas Dev berdoa semoga fic kita ini disukai oleh para reader.

Author Note Cand_Cand : Amiiin, Dev #berdoapenuhharap. Minna-san, don't forget type your review for us ^,^ #benergaksihinggrisnyagitu? #doeng!

.

.

.

And it's time for replay :

Tampan-san : "Omegoz, NaruHina canon entah kenapa Cand kesurupan pengen buat cerita angst. Wkwkwkwk. Maaf ya gak mau janjiin happy end."

Andy-san : "Seneng rasanya tahu fic Cand bisa menghibur orang #menangisharu. Arigatou gozaimasu, Andy-san. Terima kasih untuk menyempatkan waktu ngetik review buat Cand ^^"

Kiryuu-san : "Senjutsu karangan Cand. Haha."

Syeren : "Ini udah jelas maksudnya 3 hari Naruto kan, Syeren? Ini udah di rumah sendiri NH-nya, Syeren ^.^ Oh dan dan buat Neji, dia tahu waktu gak sengaja denger obrolan Tetua pertama dan Hiashi. Hanya saja gak Cand masukin dalam cerita."

Anna-san : "Ini sudah dijelaskan apa yang diomongin kyuubi ke Naruto walau gak eksplisit, Anna-san."

Amai-san : "Ah, iya. Gomen-ne. Itu maksudnya Sakura yang jitak kepala Naruto keras-keras, Amai-san."

Dylan-san : "Hehe, maaf ya. Cand tidak mau terlalu menggambarkan rate-M nya secara eksplisit. Dylan-san."

Obssessive-san : "Eh, iya kah? Pilm barat? Jujur Cand belum pernah lihat."

Aginta-san : "Hehe, iya, Cand memang sedikit suka menyisipkan humor dalam cerita. Nah, kalo ditanya waktu update, Cand bingung jawabnya "

Dewi-san : "Pengennya sih kembar, tapi sepertinya Cand mau jadiin yang seperti Canon. Boruto dan Himawari Uzumaki. Sepertinya."

Khunee-san : "Haha. Rencana Kurama hanya untuk menggoda Naruto saja."

Ome-chan : "Ini Nee-chan lempar kipas. Tangkaaaaap!"

Bunshin-san : "Haha, kenapa harus mode hentai, Bunshin-san? Cand jadi malu."

Hq-san : "Cand juga jadi pengen nonton THE LAST! #Teriakpaketoa"

Munya-san : "Nah, kalo Cand jawab pertanyaan Munya-san disini nanti reader tahu dong inti cerita ficnya Cand? Haha. Jadi jawabannya ada di tiap chap yang Cand update :p"

Nafas-san : "Yosh! ^,^"

Hana-san : "Hahaha, karena Cand gak bisa bayangin, Cand meminta bantuan author baik hati yang mau kolaborasi sama Cand. Author Devonne."

Budey-san : "Ah, hahaha #tertawagaring. Sepertinya updatenya lama sekali. Cand jadi khawatir semua orang sudah kehilangan feel sama cerita ini."

Durara-san : "Hahaha, kayak pembagian zakat fitrah aja, Dura-san. Adil. Tapi Cand kepikiran ngasih anak kayak canonnya aja. Sepertinya."

Neko-san : "Apa yang dibisikkan Kurama sepertinya Cand tampilkan secara tersirat saja, Neko-san."

Selena-san : "Haha, Cand dicolek-colek kayak tahu petis saja :p Beneran loh, Lena-san. Cand tunggu terus ceritanya."

Amexki-san : "Haha. Kalo kebanyakan adegan NH nanti pilek :p"

Darmawan-san : "Hahaha #speechless."

Oktaviani : "Vinara-san, arigatou :*"

Otsuka-san : "Lha dichapter ini udah ada yang mati :'{"

Uzumaki-san : "Fifty : fifty."

Arul-san : "Arigatou gozaimasu, Arul-san ^,^"

Nanase-san : "Iya gak pa-pa. Selanjutnya ditunggu review Nanase-san terus ."

Zizii-san : "Wah sepertinya chapter ini terlalu panjang ya? 3 harinya udah di jelasin Cand dichapter ini ;D"

Akhika-san : "Arigatou pujiannya, tapi jangan mati dulu. Chapternya belum tamat, Akhika-san :v"

Nazura-san : "Arigatou gozaimasu, Nazu-san ^^"

Venna-san : "Ini udah diupdate."

Nara-san : "Haha. Maju tak gentar, Nara-san. Asal bukan maju mendokusai saja."

Mintje-san : "Iyap ini udah diupdate ^^"

oOo OMAKE oOo

Sfx : Sraaaak!

Hinata menyerek resleting jaket misi resmi Naruto masih ditemani kikikan gelinya.

"Berhenti menertawaiku, Hinata!" Pekik Naruto menahan malu.

Hinata berhenti terkikik geli untuk kemudian mengalungkan kedua tangannya manja pada leher Naruto, dan memaksa suami yang jauh lebih tinggi darinya itu menunduk ke bawah padanya.

"Cepat pulang, Naruto-kun. Aku selalu menunggumu dirumah."

Sfx : Cup.

Hinata mengecup sayang bibir suaminya, yang akan berangkat misi bersama Sasuke dan Sai keluar desa sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Misi yang dibawa Sai langsung ke rumah mereka tadi pagi, saat Naruto dengan penuh percaya diri berjalan keluar kamar tanpa sehelai benangpun menempel pada tubuh kekarnya.

Mata Naruto berkaca-kaca menahan rasa haru yang dirasakannya akan nasehat Hinata padanya. Akhirnya untuk pertama kali dalam hidupnya, Naruto merasa memiliki rumah yang sebenarnya. Bukan hanya sekedar bangunan tempat Naruto berteduh dari teriknya matahari atau dinginnya salju seorang diri.

"Ittekimasu" Naruto balas mengecup sayang sebelah mata Hinata yang terpejam.

oOo To Be Continue oOo