TADAIMA

Disclaimer Masashi Kishimoto Sensei

Cand hanya pengagum berat Naruto-kun saja

Pairing Utama : NARUTO x HINATA

AR, Romance, Rate T, Mencoba untuk tidak ada typo, Bahasa sedikit tidak baku mungkin, (Semoga semuanya benar)

Don't Like Don't Read ^^

Agar tidak bingung, Cand suka membedakan tanda kutip untuk percakapan.

'blablabla' Cand gunakan untuk percakapan dalam hati.

"blablabla" Cand gunakan untuk percakapan langsung dengan lawan bicara.

"blablabla" Cand gunakan untuk mengulang flashback percakapan langsung.

Ah, sedikit pemberitahuan.

Dalam sequel kali ini Neji dan Tenten sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 4-5 bulan bernama Hyuuga Kaoru.

Kakashi dan Shizune memiliki anak laki-laki juga yang bernama Hatake Shouta, usia sekitar 3-4 tahun. Penampilannya seperti replica Kakashi kecil. Hanya saja memiliki sifat yang ceria dan kadang sedikit ceroboh seperti Shizune.

Penampilan terbaru Naruto kali ini Cand mengambil inspirasi dari Naruto the last movie. Berkat seseorang, Cand jadi tahu gaya keren terbaru Naruto. Arigatou oppa ^^

Hope all of you like this fiction.

Happy Reading Minna-san ^^

... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ... xOx ...

Swing…

Deru angin musim gugur menggelitik kulit seputih porselen gadis cantik beriris amethyst yang berdiri diam menunggu rekan misinya datang untuk melaksanakan misi khusus dari Rokudaime, mencari bunga tanpa nama yang racunnya begitu terkenal keampuhan membunuhnya, yang akan dijadikan senjata rahasia shinobi Konoha.

Hinata mendongakkan kepala menatap langit biru Konoha yang begitu cerah. Jika dia adalah Shikamaru, pasti gadis ini tak merasa senang karena tuan awan hanya sedikit terlihat berlarian di atas sana. Tapi Hinata tentu saja berbeda. Seulas senyum selalu disungging gadis ini jika langit Konoha bersih dari gelayut manja tuan awan, karena warna biru langit selalu mengingatkannya pada mata kekasihnya yang masih juga belum kembali ke desa walau 3 tahun telah berlalu. Mata biru yang selalu menyiratkan kehangatan hati pemiliknya. Mata biru yang selalu dirindukan Hinata.

'Naruto-kun, anata ni aitai.' Hinata tak jua ingin melepaskan tatapan rindu pada langit Konoha.

"Gomen, Hinata. Aku terlambat." Suara seorang gadis membuyarkan lamunan Hinata.

Hinata memutar kepala menatap gadis bersurai permen kapas yang baru saja mendarat di sampingnya. Gadis Hyuuga ini pun segera menyungging senyum hangat agar teman kunoichinya tahu bahwa dia tak merasa keberatan menunggu sedikit lama.

"Tak apa, Sakura-san." Hinata kemudian mengangguk maklum.

"Ayo berangkat. Ada yang ingin aku ceritakan padamu." Ajak Sakura.

"Un." Hinata mulai berjalan mengekor Sakura tanpa banyak bertanya lagi. Dalam misi kali ini memang Sakura yang ditunjuk sebagai kapten misi oleh Rokudaime.

.

.

"Kau tahu, Hinata? Aku sampai tak bisa tidur semalaman." Sakura memulai ceritanya dengan penuh semangat.

"Bukan karena Sasuke-kun tiba-tiba melamarku di depan kedua orangtuaku. Dia sudah pernah mengatakan rencananya itu padaku."

"Tapi ekspresi gugup yang tak pernah diperlihatkannya selama ini yang tak bisa aku lupakan." Hinata memilih diam mendengarkan tiap detil kebahagiaan yang diceritakan Sakura padanya.

"Hihihi," Sakura tertawa geli seorang diri. Melihat Sakura yang merona di depannya, Hinata tak bisa untuk tak ikut merasakan kebahagiaan gadis itu. Walau tipis, sebuah senyum tulus diukir Hinata untuk Sakura.

"Hinata kau tahu? Aku terlalu bahagia saat ini. Aku bahkan merasa kata bahagia tak cukup untuk menggambarkan perasaanku." Sakura tak bisa berhenti bercerita.

"Yokatta, Sakura-san." Balas Hinata masih dengan senyum tulus yang tipis. Walau Sakura tak mengatakan kebahagiaannya pun, sebagai sesama wanita, Hinata bisa melihat dengan jelas gambaran kebahagiaan dari senyum yang berkembang di wajah cantik Sakura.

"Bagaimana denganmu, Hinata?" Kali ini Sakura tak ingin bersikap egois memikirkan kebahagiaannya sendiri tanpa memikirkan perasaan Hinata.

"Atashi?" Ulang Hinata. Sakura menganggukkan kepala cepat.

"Kau masih menunggunya?" Tanya Sakura kemudian. Walau tanpa menyebut nama, Hinata cukup yakin orang yang dimaksud Sakura adalah Naruto.

"Te-tentu aku selalu menunggunya, Sakura-san." Jawab Hinata malu-malu. Sakura tersenyum simpul, reaksi Hinata tepat seperti yang dibayangkannya.

"Ya, ya, aku tahu. Kalian tak akan mengingkari kata-kata kalian karena itu jalan ninja kalian." Sindiran Sakura sukses membuat Hinata semakin merona.

"Cih. Naruto benar-benar beruntung disukai oleh gadis sepertimu." Pujian Sakura semakin menambah tebal rona merah di wajah cantik Hinata.

"A-arigatou, Sakura-san." Hinata mulai memainkan jari-jari lentiknya di depan dada. Sakura mendengus geli. Cukup lama tak dilihatnya Hinata memainkan jari seperti sekarang. Setelah semua ketegangan yang mereka rasakan beberapa tahun silam akibat perang, rasanya Sakura sedikit merindukan masa kecil mereka yang damai. Tapi tentu saja Sakura tak ingin mengulang masa lalunya. Masa lalu yang penuh ketegangan dalam hubungannya dengan Uchiha Sasuke? Tidak. Sakura tak merasa sanggup mengulangnya lagi.

"Bagaimana jika kita mulai melompat, Hinata? Sepertinya matahari sudah semakin tinggi." Usul Sakura.

Segera setelah Hinata menganggukkan kepala birunya pelan, kedua kunoichi itu mulai berlompatan dari satu dahan ke dahan yang lain dengan Sakura berada di samping kiri depan Hinata.

'Gomen, Hinata. Aku tak ingin mengacaukan kejutan yang susah payah direncanakannya.' Sakura tersenyum seorang diri di tengah lompatannya tanpa sadar jika Hinata masih memperhatikannya di belakang.

Hinata mengalihkan perhatiannya pada dahan-dahan di depannya, tak ingin berlama-lama merasa iri pada kebahagiaan Sakura. Hinata akan sabar menunggu kepulangan Naruto seperti janjinya pada anak Yondaime Hokage itu. Hinata yakin Naruto akan memberikan kebahagiaan yang sama seperti yang saat ini dipamerkan Sakura padanya.

Hinata mengepalkan kedua tangannya erat, berusaha menekan rasa rindu yang tiba-tiba membuncah dan membuat sesak dadanya. Hinata tak ingin kebahagiaan Sakura rusak oleh titik air mata kerinduannya.

"Hinata, berkonsentrasilah. Kita akan melewati perbatasan." Suara tegas Sakura kembali membuyarkan lamunan Hinata.

"Ha'i." Wajah Hinata sendiri mulai menegas. Hinata sadar jika saat ini bukan waktu yang tepat untuk tenggelam dalam perasaan pribadinya.

oOo oOo oOo

"Kau yakin ini tempatnya, Sakura-san?" Tanya Hinata ragu.

"Aku cukup yakin, Hinata." Jawab Sakura penuh keyakinan.

"Walau tempat ini tak seperti yang digambarkan Shizune-san, tapi letaknya benar-benar seperti yang terlukis dalam peta." Sakura membuka gulungan peta yang diberikan oleh Shizune di kantor Hokage saat dia dan Hinata menerima misi dari Rokudaime kemarin sore.

Hinata mendekatkan diri pada Sakura. Mata indigonya bergerak teratur mengikuti detil peta yang mereka jadikan petunjuk arah. Benar kata Sakura. Semua jalan yang mereka lewati sudah sesuai dengan petunjuk dalam peta.

"Hinata. Bagaimana jika kau gunakan byakuganmu untuk mencari keberadaan musuh? Mungkin saja kita sedang berada dalam genjutsu." Usul Sakura.

"Ha'i." Hinata mengangguk patuh. Walau tak merasakan cakra ninja lain selain miliknya dan Sakura, tapi instingnya sebagai kunoichi mengatakan ada sesuatu yang tak beres dengan taman bunga di depannya walau tak tahu dengan tepat apa itu.

"Byakugan!"

Setelah memastikan aliran cakra Sakura normal tanpa gangguan berarti, Hinata mengedarkan pandangan pada taman bunga yang terbentang sangat luas di depannya dengan bunga yang tumbuh dalam berbagai macam bentuk dan warna. Sudah tiga kali Hinata mengulang kegiatannya menyisir taman dan area di sekitar taman, namun tak satupun keberadaan musuh yang tertangkap oleh mata byakugannya. Hinata kemudian menonaktifkan byakugannya untuk menghemat cakra.

"Tak ada yang mencurigakan, Sakura-san." Lapor Hinata. Sakura mengangguk mengerti.

"Ingat, Hinata. Kita hanya mencari bunga yang memiliki mahkota hijau dan putik berwarna hitam." Ingatkan Sakura.

"Ayo kita segera mencari bunga itu!" Perintah Sakura. Hinata menganggukkan kepala mengerti.

Berpedoman pada petunjuk Hinata ketidakadaan musuh yang membahayakan mereka, kedua kunoichi Konoha ini mulai melangkah menyisir bunga berbagai macam warna yang berjajar rapi di seluruh taman. Sakura dan Hinata baru menyadari jika taman bunga yang indah itu terpasang jebakan berbahaya saat baru beberapa langkah berjalan, Sakura merasakan kakinya memutuskan sesuatu seperti tali. Tali yang tak terlihat.

Sriiing…

Belum sempat dua kunoichi Konoha ini menguasai rasa kagetnya, ratusan kunai berterbangan ke arah mereka.

"Ah!" Sakura memekik kesakitan tepat ketika satu kunai melesat sangat cepat menggores lengan kirinya. Tubuh Sakura limbung, gadis ini kemudian jatuh terduduk karena tiba-tiba tubuh bagian dalamnya terasa sangat panas.

"Byakugan!"

Hinata bereaksi cepat. Begitu byakugannya aktif, Hinata segera dapat melihat satu lagi kunai yang akan mengenai Sakura yang tiba-tiba tak mampu menggerakkan tubuhnya.

"Nggh!" Hinata memekik tertahan begitu punggung tangannya, yang dijadikan tameng untuk melindungi Sakura dari kunai yang melesat cepat dan menjadikan kening berwajik gadis Sasuke ini sasaran empuk, tertancap salah satu kunai terbang yang menyerangnya dan Sakura tanpa peringatan.

"Shugohakke Rokujuuyon Shou." Tanpa memperdulikan kunai yang masih menancap pada punggung tangannya dan darah yang deras mengalir dari luka itu, Hinata bergerak sangat cepat. Bahkan terlalu cepat hingga gerakkannya terlihat kabur. Karena jika tidak seperti itu, Hinata tak akan mampu menangkis ratusan kunai yang melesat dan membahayakan nyawanya dan Sakura.

Brug.

Sakura tak mampu bertahan lebih lama lagi untuk menyaksikan kehebatan Hinata, membagi konsentrasinya melawan ratusan kunai sembari tetap melindungi Sakura dari tusukan kunai terbang, karena Sakura jatuh pingsan setelah luka goresnya berubah menjadi ungu akibat kunai beracun.

.

.

"Ngggh…" Sakura mengerjapkan mata emeraldnya beberapa kali.

"Daijobou, Sakura-san?" Suara lembut yang terdengar sangat khawatir segera menyambut kesadaran Sakura.

"Hinata?" Sakura perlahan bangkit dengan bantuan Hinata karena pandangannya masih belum dapat benar-benar fokus dan kepalanya juga masih terasa sedikit pusing.

"Daijobou?" Ulang Hinata. Sakura mengangguk pelan. Menurunkan satu tangannya, yang beberapa saat lalu memijit kening berwajiknya, untuk membantu tangannya yang lain menyangga tubuhnya yang masih terasa sedikit lemas.

"Aku baik-baik saja." Jawab Sakura dengan suara berdesis lemah.

"Apa yang terjadi?" Tanya Sakura kemudian.

"Kau pingsan, Sakura-san." Jawab Hinata.

Mata emerald Sakura membulat kaget saat ingatan akan kejadian terakhir kali sebelum dirinya pingsan berputar kembali. Sakura memutar kepala cepat, berniat memeriksa luka gores yang telah berubah warna menjadi ungu tepat sebelum dirinya pingsan.

"Lukaku?!" Tanya Sakura dengan tatapan bingung pada Hinata karena lengan kirinya yang terluka sudah berbalut perban dengan begitu rapi.

"A-aku sudah mengeluarkan racunnya seperti yang pernah kau ajarkan padaku, Sakura-san." Cerita Hinata.

"Aku juga sudah menyuntikkan ketiga antibiotik yang dibuat oleh Shizune-san." Ekspresi Sakura berubah kaget saat mengetahui jumlah antibiotik yang Hinata suntikan padanya.

"Sebanyak itu?" Tanya Sakura tak percaya.

"Iya, Sakura-san. Sepertinya kunai yang mengenaimu dilumuri racun yang sangat berbahaya."

"Untunglah kunai itu tak terlalu dalam menggores lenganmu." Jelas Hinata.

"Lalu, bagaimana denganmu? Kau terluka?" Tanya Sakura memandang Hinata dengan tatapan khawatir.

"Tidak, Sakura-san. Aku baik-baik saja." Bohong Hinata.

"Yokatta," Sakura menghela nafas lega mempercayai begitu saja kebohongan Hinata.

"A-ano, Sakura-san. Gomen ne, aku menghabiskan persediaan air kita." Sakura melirik 3 botol air minum yang sudah kosong di samping Hinata yang luput dari perhatiannya.

"Tak apa, kita bisa mengisinya di jalan saat pulang nanti." Jawab Sakura maklum.

"Hahh…" Sakura menghela nafas lega, bersyukur dalam hati keadaan tak bertambah parah. Entah apa yang terjadi padanya jika bukan gadis Hyuuga ini yang menjadi rekan misinya.

"Arigatou, Hinata." Ucap Sakura sembari menyungging sebaris senyum tulus. Hinata menatap Sakura tak mengerti.

"Aku tak tahu bagaimana nasibku jika kau tak ada." Hinata membalas senyum Sakura tak kalah tulus dan menganggukkan kepala birunya begitu memahami maksud ucapan terima kasih Sakura padanya.

"Lebih baik kita kembali ke desa, Sakura-san. Kita harus mengobati lukamu. Aku tak yakin apa yang aku lakukan sudah cukup untukmu." Usul Hinata bijak. Sakura mempertimbangkan usulan Hinata dalam diam.

"Baiklah." Putus Sakura. Sakura kemudian mulai bangkit dari duduknya.

"A-akan aku bantu." Hinata kembali mengulurkan tangannya berniat membantu Sakura berdiri, melupakan luka yang sengaja disembunyikannya dari Sakura.

Mata emerald Sakura melotot kaget saat menyadari luka tusuk yang cukup dalam di punggung tangan Hinata. Bahkan gadis indigo itu tak menutup lukanya dengan perban yang seingat Sakura berada dalam tas nya.

Sreeet.

Sakura menyeret paksa tangan kanan Hinata yang terluka dalam keadaan keduanya sudah berdiri tegak.

"Kau terluka!" Sakura memberi penekanan pada tiap kata yang diucapkannya.

"Hanya luka gores biasa, Sakura-san." Hinata berusaha menarik tangan kanannya yang digenggam erat Sakura.

"Kau benar-benar!" Sakura menarik Hinata kembali duduk dengan gerakan sedikit kasar.

"Tak ada protes, Hinata! Kita akan kembali setelah aku mengobati lukamu!" Tegas Sakura sebelum Hinata membuka mulutnya kembali.

"Ba-baiklah." Akhirnya Hinata mengalah melihat ekspresi Sakura yang berubah sedikit ganas.

.

.

'Lukanya sangat sulit disembuhkan. Rasanya seperti mengobati luka bakar Naruto setelah berubah menjadi kyuubi ekor 4 dulu,' Batin Sakura dalam hati.

"Sakura-san, jangan memaksakan dirimu." Suara lembut Hinata menyadarkan Sakura dari lamunannya.

"Aku tak memaksakan diri." Kilah Sakura. Dilihat dari tatapan matanya, Hinata berani bertaruh kemarahan Sakura padanya sudah mereda.

"Seperti yang pernah Naruto katakan padaku, kau benar-benar pandai membuat orang khawatir, Hinata." Ungkap Sakura. Hinata tertegun mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sakura.

"Kau pasti tak akan percaya jika aku bilang Naruto suka sekali bercerita tentangmu, bukan?" Sakura tersenyum lembut pada Hinata tanpa meredupkan aliran cakra hijaunya barang sedetik pun. Sungguh begitu mudah gadis Sasuke ini berubah moodnya.

"Naruto-kun?" Tanya Hinata memandang Sakura dengan tatapan tak percaya pada cerita Sakura jika ternyata diam-diam Naruto selalu memperhatikannya. Sakura mengangguk geli melihat ekspresi tak percaya Hinata yang membuat gadis Naruto itu terlihat menggemaskan, apalagi ditambah hiasan rona merah pada kedua pipi tembem Hinata.

"Ya, tentu saja Naruto." Jawab Sakura. Hinata menundukkan kepala malu-malu.

Sakura tak bisa berhenti merasa geli melihat sikap malu-malu Hinata walau usia gadis itu hampir menginjak angka 23 tahun. Untuk beberapa saat Sakura memutuskan membiarkan saja Hinata tenggelam dalam lamunannya tentang Naruto.

"Hinata, kau yakin kunai yang menusukmu tak beracun?" Pertanyaan Sakura memecah lamunan Hinata.

"Tidak, Sakura-san. Aku sudah mengeceknya. Aku juga sudah menyuntikkan satu antibiotik untuk berjaga." Jelas Hinata segera.

Baiklah, Sakura tahu tak seharusnya meragukan daya nalar gadis Hyuuga ini. Walau dalam ilmu medis Hinata masih banyak belajar darinya dan Tsunade, tapi Hinata memiliki bakat alam yang Sakura yakin akan bisa mengalahkan kemampuannya jika saja Hinata tak memilih memfokuskan diri menjadi seorang miko.

"Hinata. Tak bisakah kau hentikan latihanmu menjadi miko?" Sakura tak lagi mampu menahan kekhawatirannya pada Hinata karena luka luar yang bisa disembuhkan Sakura dalam beberapa menit ternyata hanya mampu menutup sedikit luka Hinata walau hampir 14 menit lamanya Sakura mengalirkan cakra penyembuhnya.

"Apa kau tak sadar kau telah mengorbankan banyak hal?" Lanjut Sakura.

"Kau bahkan tak mampu mengobati dirimu sendiri." Sakura mulai melibatkan perasaannya dalam tiap kata yang diucapkannya.

"Kau…"

"Aku tak menyesali keputusanku sedikitpun, Sakura-san." Sela Hinata cepat.

"Bagiku ini seperti mewujudkan mimpiku."

"Berada di dekat Naruto-kun, menggenggam tangannya, berjalan disampingnya, dan…" Sakura dapat melihat ketulusan dan tekad kuat yang tersembunyi di setiap kata yang diucapkan Hinata.

"melindunginya adalah janjiku pada diriku sendiri."

"Karena itu, Sakura-san. Kau tak perlu memaksakan dirimu sekarang." Hinata tersenyum tipis demi menghargai rasa khawatir Sakura padanya.

"Lebih baik kita segera kembali dan melaporkan kegagalan misi kita pada Rokudaime."

"Sampai di rumah nanti, aku akan mengobati luka luarku dengan salep klan Hyuuga seperti yang selama ini aku lakukan." Bujuk Hinata.

Sakura bergeming, mencari sedikit celah untuk membantah bujukan Hinata di depannya, namun tak kunjung ditemukannya.

"Hahh…!" Sakura menghela nafas kesal.

"Baiklah, Hinata. Kau menang." Sakura melepaskan jutsunya.

"Kita kembali ke Konoha setelah aku menutup lukamu dengan perban." Sakura mengerutkan keningnya bingung menyadari raibnya semua perban yang dibawanya.

"Dimana semua perban itu?" Tanya Sakura bingung lebih kepada dirinya sendiri.

"Hehe, gomen ne, Sakura-san." Hinata tertawa kikuk.

"Aku juga menghabiskan semua perban yang kau bawa."

"Ya ampun, Hinata. Kau. Benar-benar!" Keluh Sakura yang menggelengkan kepala merah jambunya sedikit sweatdrop.

oOo oOo oOo

"Jadi, kalian tak tahu kira-kira siapa yang memasang jebakan kunai beracun itu?" Tanya Kakashi.

"Tidak, Hokage-sama." Jawab Sakura.

"Serangan begitu tiba-tiba, aku tak punya waktu untuk mencari tahu siapa musuh yang memasang jebakan karena harus membawa taichou menyingkir dari taman, Hokage-sama." Jelas Hinata.

"Sou ka?" Kakashi menganggukkan kepala peraknya sekali, mencerna informasi yang baru saja disampaikan kedua kunoichi bawahannya.

"Lalu bagaimana dengan bunga itu? Kalian menemukannya?" Tanya Kakashi kemudian.

"Maaf kami, Hokage-sama. Kami belum sempat mencarinya." Lapor Sakura.

"Hmm…" Gumam Kakashi tak jelas.

"Baiklah kalau begitu, kalian boleh pulang." Putus Kakashi.

"Walau misi gagal, kalian membawa informasi penting untuk desa."

"Aku akan mengirim ANBU untuk mencari bunga itu kembali berdasarkan informasi yang kalian berikan." Jelas Kakashi.

"Ha'I, Hokage-sama." Sakura dan Hinata menganggukan kepala bersamaan.

Kakashi memutuskan untuk berhenti bersikap formal dan mengalihkan perhatiannya pada lengan kurus Sakura yang tergores kunai beracun. Walau Hinata sudah berhasil mengeluarkan racun dari tangan Sakura tapi luka gores Sakura, yang tertutup perban dan ditutupi mantan muridnya dengan telapak tangan yang terbungkus oleh sarung tangan hitam gadis itu, cukup menganggu ketenangan Kakashi.

"Sakura, lebih baik kau segera pergi ke rumah sakit Konoha. Aku tak ingin kehilangan salah satu kunoichi terbaik Konoha." Perintah Kakashi.

"Ha'i, Wakarimashita." Sakura mengangguk patuh.

"Dan kau juga, Hinata."

"Ha'i, Hokage-sama." Hinata mengangguk patuh.

"Kalau begitu kami permisi, Hokage-sama." Pamit Sakura yang mendapat anggukan setuju dari Kakashi.

"Ah, Hinata." Panggil Kakashi pada Hinata, yang hampir memutar knop pintu ruang Hokage. Hinata memutar tubuh cepat kembali berhadapan dengan Kakashi.

"Apa kau tahu jika Naruto sudah kembali ke desa?" Tanya Kakashi dibalik senyum tipisnya, yang Hinata tahu disungging laki-laki tampan itu bukan sebagai Hokage melainkan sebagai Hatake Kakashi. Guru dan kapten jounin tim 7 yang sangat memahami detail cerita cinta rumit ketiga anggota teamnya.

Sakura melirik Hinata yang berdiri dengan ekspresi wajah sangat terkejut. Sepertinya gadis Hyuuga ini bingung harus bereaksi seperti apa mendengar informasi yang baru saja di sampaikan oleh Kakashi.

"Hinata," Panggilan Sakura bahkan tak mampu menarik Hinata dari keterkejutannya.

"Lekas pulang dan beristirahatlah. Kau bisa menemuinya besok di kantor Hokage, Hinata." Nasehat Kakashi.

Tak kunjung menjawab, Sakura menggoyang pelan bahu Hinata. Syukurlah usahanya kali ini mampu melepaskan Hinata dari rasa terkejut yang membelenggunya sampai beberapa saat lalu.

"A-arigatou, Kakashi sensei." Hinata menundukkan sedikit kepalanya kepada Kakashi sebelum berjalan keluar mengikuti Sakura yang sudah membuka pintu kantor Hokage untuk memberi mereka berdua jalan pulang.

oOo oOo oOo

Hinata menatap tak sabar medic nin yang mengalirkan cakra berpendar kehijauan pada luka gores di punggung tangannya. Walau Hinata sudah belajar cukup lama menjadi seorang medic nin, tapi Hinata tak mampu mengobati lukanya sendiri. Selama ini Hinata hanya memfokuskan diri mempelajari cakra Naruto dan Kyuubi. Karena untuk memahami cara kerja cakra Kyuubi dan mencoba mengendalikannya saja sangat sulit bagi Hinata yang memang bukan seorang jinchuuriki.

Demi menjadi seorang miko, Hinata beberapa kali harus mengorbankan diri mengalami luka dalam dan bahkan mengacaukan aliran cakranya sendiri. Membuat Tsunade, Kakashi, dan orang-orang yang tahu rahasia Hinata semakin mengkhawatirkan keadaannya bahkan semakin sering membujuk Hinata menghentikan latihannya menjadi seorang miko setelah tragedi byakugan Hinata yang tak bisa di nonaktifkan. Syukurlah entah bagaimana tiba-tiba setelah Naruto berangkat misi, cakra Hinata cenderung stabil dan memudahkan Hinata meneruskan latihannya sebagai seorang Miko.

Namun ternyata harga yang harus dibayar Hinata menjadi seorang miko cukup mahal karena setelah gadis cantik ini menguasai banyak jutsu pengobatan dan penyegelan, entah mengapa untuk mengobati dirinya sendiri, cakra Hinata mengalami penolakan pada cakra Hinata sendiri. Hasil yang di dapatkan gadis ini justru lukanya semakin bertambah parah jika memaksakan diri mengobati lukanya sendiri. Cakra orang lain pun menjadi tak ampuh mengobati luka gadis Hyuuga ini. Kejadian ini sempat membuat panik Tsunade dan Hiashi.

Namun di sisi lain, ada kebahagiaan tersendiri bagi Hinata dengan keadaannya sekarang. Hyuuga Hiashi, ayahnya, menjadi lebih lembut padanya. Hiashi pun perlahan namun pasti mulai tak malu-malu lagi menunjukkan kasih sayangnya pada Hinata dan Hanabi. Bahkan Neji, Tenten, dan Kaoru pun juga mendapat kasih sayang yang sama dari Hiashi.

"Aku tahu kau ingin segera menemuinya." Hinata memutar kepala menatap Sakura yang duduk samping Hinata.

"Bersabarlah, Hinata. Aku yakin Naruto tak akan suka melihat luka di tanganmu." Bujuk Sakura. Hinata menunduk malu tak menyangka keinginannya untuk segera menemui Naruto dapat dibaca dengan sangat jelas oleh Sakura.

"Sudah selesai?" Shizune yang baru saja masuk segera memeriksa lengan Sakura yang dialiri cakra Sakura sendiri dan telapak tangan Hinata yang sudah cukup banyak tertutup.

"Sebentar lagi, Shizune-san." Jawab Sakura.

"Kalian ini ceroboh sekali. Bagaimana kalian bisa terluka seperti ini?" Shizune segera menggantikan medic nin yang sepertinya sudah mulai kelelahan mengobati luka di punggung tangan Hinata yang terlalu lama menutup.

"Jika Sasuke dan Naruto tahu, Kakashi-kun pasti akan diajak bertarung lagi."

"Jangan membuat Shouta kehilangan ayahnya dan menjadikanku seorang janda!" Omelan Shizune ternyata masih berlanjut.

"Haha, jangan berlebihan seperti itu, Shizune-san." Sakura tertawa renyah.

"Mereka berdua begitu menyayangi Kakashi sensei seperti ayah mereka sendiri." Ungkap Sakura.

'Jadi, Naruto-kun benar-benar sudah kembali ke Konoha?' Batin Hinata dalam hati. Rasa rindu Hinata semakin menyesakkan dada gadis indigo ini.

"Aku tahu kau ingin segera menemuinya, Hinata." Hinata kembali dibuat terkejut oleh kata-kata Shizune yang begitu mirip dengan Sakura sebelumnya.

Hinata mendongakkan kepala birunya menatap Shizune yang tersenyum hangat padanya. Senyuman istri Rokudaime Hokage ini seolah memaklumi ketidaksabarannya untuk segera bertemu dengan Naruto.

"Aku yakin kau akan kaget melihat perubahannya." Goda Shizune.

"Aku hampir saja tak bisa mengenalinya." Shizune tersenyum geli mengingat kali pertama melihat Naruto di kantor Hokage siang tadi.

"Naruto-kun benar-benar pandai membuat kejutan." Komentar Shizune membuat Hinata semakin dan semakin ingin segera bertemu dengan Naruto.

Kali ini Sakura lebih memilih diam, tak ingin Hinata tahu jika sebenarnya sejak semalam Naruto sudah menemuinya dan Sasuke di rumah Sakura. Membuat sebuah rencana yang malu-malu diutarakan sahabat jabriknya itu untuk Hinata. Bahkan ejekan Sasuke pada Naruto yang selanjutnya memancing pertengkaran diantara keduanya, sukses membuat Sakura menghadiahi kedua laki-laki itu benjolan pada kepala mereka akibat jitakannya.

"Hahh…" Sakura dan Shizune saling memandang mendengar dengusan berat Hinata seperti gadis muda yang menahan beban perasaan terlalu berat saja.

'Naruto-kun, aku ingin segera bertemu denganmu.' Rengek Hinata dalam hati.

oOo oOo oOo

Hinata berjalan sangat cepat melewati satu per satu bangunan yang bermandikan gemerlap lampu.

"Hinata!" Panggilan seseorang membuat Hinata refleks menghentikan langkah dan memutar kepala mencari tahu keberadaan gadis yang baru saja memanggil namanya.

"Kau mau kemana?" Tanya seorang gadis yang surai pirangnya tergelung rapi di ke atas.

"A-aku…"

"Apa kau ingin bertemu Naruto?" Tebak Sai tak sabar.

"I-iya, Sai-kun." Jawab Hinata malu-malu.

"Sayang sekali. Kami baru saja dari rumah Naruto. Rumahnya gelap dan terkunci. Sepertinya bocah rubah itu tak ada di rumahnya." Cerita Ino.

"Hountou ka, Ino-san?" Tanya Hinata memastikan dengan suara lirih dan wajah menahan kecewa. Ino mengangguk penuh keyakinan.

"Aku tadi sore melihat Naruto di kedai ramen." Hinata, Sai, dan Ino memutar kepala mencari tahu pemilik suara berat yang menyela obrolan mereka.

"Hoooam…" Shikamaru menguap lebar.

"Mungkin dia masih disana. Bukankah Naruto penggila ramen?" Lanjut Shikamaru.

"Ho-hountou ka, Shikamaru-kun?" Wajah Hinata kembali berubah ceria.

"Naruto tak ada di kedai ramen. Aku, Akamaru, dan Shino baru saja bertemu dengannya di kantor keamanan desa." Kiba yang entah sejak kapan bergabung ikut terlibat dalam obrolan. Kiba dan Shino memang menjadi anggota kepolisian desa dengan Uchiha Sasuke sebagai kepala Polisi sejak difungsikan kembali oleh Rokudaime 2 tahun lalu.

"Sasuke hampir saja merobohkan kantornya dengan susano'o karena Naruto tak mau berhenti mengganggu pekerjaannya." Cerita Kiba.

"Benarkan, Akamaru?" Kiba mencari dukungan.

"Guk!" Jawab Akamaru nyaring.

"Benarkah?" Tanya Ino tak percaya pada Akamaru.

"Kenapa kau tak bertanya padaku, Ino? Aku juga ada di sana." Protes Shino.

"Hish! Kau ini suka sekali merajuk, Shino!" Ino berkacak pinggang dengan kesal di depan Shino.

"Hahahaha," Kiba, Sai, dan Shikamaru refleks tertawa. Akamaru mengaing lirih. Hinata tersenyum simpul melihat kelakuan teman-temannya yang ternyata masih tak banyak berubah walau usia mereka semua sudah semakin dewasa.

"Oi, Shikamaru! Kau lihat perubahan si jabrik itu?!" Kiba mengganti topik pembicaraan.

"Sialan, Naruto! Gayanya semakin keren saja." Kiba menyeringai memamerkan kedua gigi taringnya. Entah kalimat yang baru saja di ucapkannya adalah pujian atau umpatan untuk Naruto.

"Ya, dia juga terlihat lebih dewasa." Sambung Shino tanpa menanggapi komentar Ino.

"Eh, benarkah? Aku semakin ingin bertemu Naruto." Mata laut Ino berkilat penasaran.

"Dia masih tetap seperti Naruto sih, hanya penampilan luarnya saja yang banyak berubah." Jawab Shikamaru.

Hinata hanya bisa membisu mendengarkan obrolan teman-temannya tentang kekasih rubahnya.

'Naruto-kun, kau ada dimana sekarang?' Tanya Hinata dalam hati pada dirinya sendiri.

Hinata ingin sekali bertemu dengan Naruto, tapi keberadaan pemuda jabrik itu menjadi semakin tidak jelas karena cerita teman-temannya. Hinata menggenggamkan kedua tangannya dan menumpukannya di depan dada, mencoba menekan kerinduan seorang diri.

Slap. Tap.

Tiba-tiba seorang pemuda berambut raven mendarat tepat di samping Hinata. Kelima teman mereka spontan menghentikan obrolan, menatap heran pada kehadiran tiba-tiba Uchiha Sasuke di samping Hinata.

Keempat shinobi satu angkatan itu selanjutnya hanya bisa terbelalak kaget saat tanpa peringatan, Sasuke menggendong Hinata di depan dadanya dan membawa Hinata menghilang entah kemana bahkan tanpa memberikan kesempatan gadis itu memekik kaget.

"Apa yang dilakukan Sasuke disini? Bukankah dia bilang sedang sibuk tadi?" Heran Shino.

"Sasuke brengsek! Seenaknya saja menggendong Hinata!" Umpat Kiba tak terima.

"Guk. Guk. Guk." Akamaru menyalak garang.

'Aku akan mengadukannya pada Sakura. Lihat saja!' Tekad Ino dalam hati dengan bola mata berkilat kesal.

"Mendokusai na." Shikamaru tak mengerti apa yang harus diucapkannya dalam situasi seperti ini.

"Dia bukan Sasuke." Kata-kata Sai menarik pehatian keempat rekannya, bahkan Akamaru sekalipun.

"Dia Naruto." Sai memamerkan senyum simpulnya pada keempat rekannya yang masih diam mencoba mencerna informasi yang baru saja diberikan oleh Sai.

.

.

"Sasuke-kun, kita mau kemana?" Tanya Hinata dengan suara lembutnya dan menatap Sasuke yang melompat ringan di atas atap rumah penduduk sipil Konoha.

Sasuke tak menjawab, menundukkan kepala pun tidak. Sasuke sepertinya memilih untuk berkonsentrasi pada jalan di depannya. Jika sampai terpeleset jatuh. Hancur sudah imagenya sebagai pahlawan dunia shinobi.

"A-aku bisa melompat sendiri, Sasuke-kun. Turunkan aku." Pinta Hinata yang merasa tak enak dengan posisi mereka yang terlalu dekat. Bagaimanapun juga Sasuke adalah kekasih Sakura, Hinata sebisa mungkin tak ingin berhubungan terlalu dekat dengan kekasih teman kunoichinya. Menjalin hubungan sebagai rekan satu tim sudah cukup bagi Hinata. Selain itu, Sasuke juga sahabat baik Naruto. Bagaimana jika tanpa sengaja Naruto salah paham dengannya dan Sasuke?

Tak kunjung mendapatkan respons yang berarti, Hinata mengalihkan perhatiannya dari wajah tampan Sasuke di atasnya. Jika tak salah, Hinata menebak Sasuke akan membawanya menuju rumah Naruto. Hinata memutuskan untuk tak banyak berkomentar dan memikirkan berbaik sangka jika Naruto yang meminta Sasuke membawa Hinata.

Slap. Tap.

Sasuke berhenti melompat di atas sebuah pohon besar yang daunnya mulai memerah di dekat rumah Naruto. Cukup lama Sasuke mempertahankan posisinya berdiri, dengan Hinata masih berada dalam gendongannya, menikmati semilir angin musim dingin yang mempermainkan juntaian rambut ravennya dan rambut panjang Hinata yang hampir selalu dibiarkan pemiliknya tergerai. Tak lama kemudian, Sasuke menundukkan kepala ravennya, beradu pandang beberapa lama dengan mata amethyst Hinata sebelum menyungging sebuah senyum tipis pada gadis Hyuuga ini.

Dalam posisi seperti ini, dalam suasana romantis seperti ini, jika pemuda yang menggendongnya adalah Naruto, Hinata berani bertaruh dirinya akan segera pingsan karena terlalu bahagia. Namun cerita kali ini berjalan berbeda, karena walau senyum Sasuke terlihat menawan, walau benar wajah Sasuke beberapa kali lipat lebih tampan dibandingkan Naruto, tapi Sasuke bukanlah Naruto.

Uchiha Sasuke tak pernah sekalipun tersimpan dalam hati Hinata sebagai pemuda yang dikaguminya, dipujanya, dijadikannya inspirasi, dicintainya, bahkan Hinata tak pernah sekalipun berangan-angan menjalin hubungan dengan Sasuke melainkan hanya sebagai teman dan rekan ninjanya.

"Sasuke-kun, bisakah kau menurunkanku?" Pinta Hinata kembali. Hinata benar-benar merasa tak nyaman dengan kedekatan tubuh mereka. Hinata tak tahu apakah permintaannya pada Sasuke terdengar lucu sehingga bungsu Uchiha terakhir itu tersenyum kecil padanya.

"Tadaima, Hinata."

oOo oOo oOo

Mata indigo Hinata membulat kaget saat suara orang yang sangat dirindukannya 3 tahun belakangan ini tiba-tiba berdengung hebat dalam kepalanya.

Poft.

Masih dalam posisi menggendong Hinata, Uchiha Sasuke telah berganti wujud menjadi Uzumaki Naruto. Tepat saat perubahan wujud Naruto sempurna, kulit putih Hinata berubah warna. Walau tak memerah padam seperti biasa, namun rona merah yang bergelanyut manja pada kedua pipi gadisnya segera memancing senyum Naruto yang menahan gemas, baru mempercayai kata-kata Kiba bahwa hanya Naruto yang mampu membuat gadis Hyuuga dalam gendongannya ini merona merah.

"Apa aku terlalu mengagetkanmu, Hinata?" Tanya Naruto dengan suara yang bertambah berat saja. Hinata tak menjawab karena mata dan pikirannya masih terpaku pada penampilan baru sang jinchuuriki.

"Na-ru-to-kun?" Akhirnya gadis indigonya membuka suara setelah beberapa lama memperdengarkan suara yang tetap tak berubah kelembutannya. Naruto sedikit melebarkan senyum yang masih tak dilepaskannya dari wajah berkumisnya.

"Tentu saja ini aku." Jawab Naruto.

"Apa kau kecewa aku bukan Sasuke?" Goda Naruto. Hinata segera menggeleng cepat.

"Ka-kau terlihat berbeda." Komentar Hinata dengan suara lirih.

Naruto hanya menganggapi komentar gadisnya dengan seringai tipis. Naruto masih ingin mempertahankan aksi kerennya di hadapan Hinata. Untung lah semua berjalan lancar seperti yang direncanakannya. Naruto akhirnya dapat mewujudkan angan-angannya untuk meniru aksi keren ayahnya yang mampu membuat ibunya jatuh cinta, seperti yang pernah diceritakan Kushina padanya saat mereka bertemu untuk pertama kalinya di alam bawah sadar Naruto.

Keheningan antara mereka menciptakan kesempatan bagi Naruto dan Hinata untuk saling melepas rindu dan saling mengagumi melalui mata keduanya tak tak saling melepaskan tatapannya barang sedetikpun. Naruto begitu menikmati bagaimana Hinata dengan wajah merona memandangnya begitu intens dalam tiap desahan nafas gadis itu. Naruto juga tak ingin melewatkan kesempatan memandang wajah Hinata yang bertambah semakin cantik dan hangat dari terakhir kali mereka bertemu 3 tahun lalu.

"Apa kau tak merindukanku?" Naruto memecah keheningan.

Hinata kembali hanya diam membisu. Mata amethystnya masih belum puas mengagumi perubahan kekasihnya. Hinata sempat berfikir jika kembali ke desa nanti, Naruto akan memanjangkan rambut jabriknya seperti Yondaime Hokage, ayah pemuda ini. Namun ternyata perkiraannya terbukti salah besar.

Naruto lebih memilih memangkas rambut jabriknya sangat pendek. Syukurlah, keputusan Naruto ini ternyata menambah keren penampilannya. Apalagi didukung oleh wajah Naruto terlihat lebih dewasa. Dan yang lebih penting, Naruto terlihat semakin tampan bagi Hinata terutama saat tersenyum seperti sekarang. Hinata semakin tak menemukan kesalahan pada keputusannya memilih mencintai Naruto sejak kecil, sejak Naruto selalu diremehkan orang dan belum menjadi pemuda hebat seperti sekarang.

"Aku sangat merindukanmu." Jawab Hinata dengan suara lembutnya.

Blush!

Naruto tak pernah menyangka sebelumnya jika kejujuran Hinata mampu membuat wajah tan-nya menghangat begitu mudahnya. Apalagi dengan aksi gadis indigonya yang tanpa ragu menyandarkan kepala nyaman di dada bidang Naruto, Naruto merasa hatinya ikut menghangat. Hinata tersenyum geli mendengar degup kencang jantung Naruto, pertanda jika Naruto pun sebenarnya merasakan kegugupan yang sama dengannya walau pemuda itu berhasil menyembunyikannya dengan apik dibalik senyum tipis yang selalu disunggingnya.

Slap.

Naruto kembali melompat, kali ini menuju rumahnya. Udara di luar sudah semakin dingin saja. Naruto tak ingin gadis indigonya jatuh sakit karena keegoisannya ingin beraksi keren seperti ayahnya di depan Hinata.

Dalam gendongan Naruto, Hinata tak henti-hentinya mengulum senyum bahagia. Mengamini kata-kata Sakura jika kata "bahagia" saja sudah tak mampu lagi mewakili perasaannya. Hinata jelas merasa lebih dari sekedar bahagia. Entah apapun namanya. Karena penantiannya selama bertahun-tahun dengan sabar untuk Naruto membalas perasaannya, dengan kesadaran penuh pemuda jabrik itu, akhirnya terwujud.

"Okaeri, Naruto-kun." Gumaman Hinata dalam deru angin musim gugur yang indah semakin menambah tebal rona merah yang bergelanyut manja pada wajah tan Naruto.

oOo oOo oOo

"Kemarikan tanganmu, Hinata." Perintah Naruto yang mengulurkan satu tangannya di depan Hinata. Saat ini Naruto dan Hinata berada di dalam ruang bersantai rumah Naruto.

Dengan gerakan lambat Hinata menuruti perintah Naruto. Meletakkan tangan kanan yang punggungnya terluka di atas tangan Naruto yang menengadah.

"Bagaimana kau bisa sampai terluka seperti ini?" Tanya Naruto dengan jari telunjuk yang sibuk menyusuri luka di punggung tangan Hinata.

Hinata menggigit sedikit bibir bawahnya. Walau tak terdengar nada kesal ataupun amarah dari pertanyaan Naruto, tapi Hinata merasa sedih berfikir bahwa dirinya selalu terlihat lemah dihadapan Naruto dan hanya bisa membuat pemuda itu khawatir.

"Aku ceroboh membiarkan punggung tanganku tertusuk kunai, Naruto-kun." Jawab Hinata dengan suara lirih.

Naruto memang tak begitu saja mempercayai jawaban Hinata. Bagaimana mungkin seorang pemilik byakugan membiarkan tangannya terluka dengan begitu mudahnya. Naruto tahu pasti ada cerita di balik luka Hinata. Naruto akan menanyakannya pada Sakura nanti. Untuk saat ini Naruto tak ingin mempermasalahkan apapun jawaban Hinata.

"Bukankah kau seorang medic nin sekarang? Kenapa tak kau sembuhkan sendiri lukamu?" Naruto merubah arah pembicaraan.

Hinata menundukkan kepala birunya dalam, tak berani berbohong di hadapan Naruto yang menatapnya dengan sangat hangat saat ini. Tatapan yang mampu membuat lidah Hinata kelu.

"Hmm," Gumam Naruto saat Hinata tak kunjung memberikan jawaban.

"Hey, Hinata." Panggil Naruto kemudian. Hinata mendongakkan kepalanya dengan susah payah.

"Kau tahu? Aku juga seorang medic nin sekarang." Hinata mengerutkan keningnya, berfikir Naruto sedang mengajaknya bercanda.

"Be-benarkah, Naruto-kun?" Tanya Hinata dengan tatapan ragu.

"Tentu saja, ttebayou!" Jawab Naruto dengan cengiran rubahnya.

"Lihatlah baik-baik, Hinata. Jangan lepaskan pandanganmu dari tangan kita." Perintah Naruto. Hinata mengangguk patuh.

Detik berikutnya Hinata menaruh perhatian penuh pada tangan kanannya yang tenggelam dalam genggaman tangan besar Naruto. Mata amethyst Hinata membulat kaget saat dari tangan Naruto, cakra jingga kemerahan membungkus tangan mereka.

'Cakra Kyuubi.' Batin Hinata yang sudah bisa membedakan antara cakra Kyuubi dan cakra asli Naruto.

Walau hanya berlangsung beberapa detik saja, namun Hinata mampu merasakan kehangatan pada tangannya yang terbungkus cakra kyuubi itu. Kehangatan dengan dosis yang lebih tinggi dari cakra hijau para medic nin Konoha.

"Lukaku?" Hinata memandang tak percaya memandang punggung tangannya yang sangat mulus seperti sedia kala, begitu cakra kyuubi menghilang dan Naruto membuka genggaman tangannya. Seolah luka tusuk di punggung tangannya beberapa saat lalu hanya mimpi Hinata saja.

"Sekarang kau percaya kan?" Naruto kembali membuat cengiran rubah andalannya.

"Bagaimana bisa?" Tanya Hinata dengan tatapan bingung pada Naruto.

"Ya, sebenarnya aku banyak belajar tentang cakra Kurama selama berkelana." Terang Naruto.

"Bu-bukankah kau mencari kuil Uzumaki. Naruto-kun?" Ingatkan Hinata.

"Kau benar sih." Naruto menggaruk pipi berkumisnya yang tidak gatal dengan tangan lain yang bebas.

"Bagaimana aku menjelaskannya, ya?" Kali ini Naruto menggaruk belakang kepalanya yang benar-benar terasa sedikit gatal.

"Aku tak pintar menjelaskan sesuatu, Hinata."

"Pada intinya, aku tak hanya mencari reruntuhan kuil Uzumaki 3 tahun belakangan ini. Aku juga mencari banyak informasi tentang cakra Kurama. Tentu saja dengan bantuan Kurama." Naruto mengeratkan kembali genggaman tangannya pada tangan mungil Hinata.

"Karena itu, Hinata. Jangan berlatih diam-diam menjadi miko dan membahayakan dirimu seorang diri." Naruto menatap Hinata dengan mata safirnya yang berkilat hangat.

"Ajari aku semua tentang miko yang harus aku tahu."

"Dan aku akan mengajarimu tentang cakra Kurama, sebanyak apapun yang kau ingin tahu."

"Jangan hanya melindungiku. Biarkan aku juga melindungimu."

Blush!

Entah sihir apa yang berada dalam kalimat Naruto sehingga mampu membuat pipi tembem Hinata kembali menghangat.

"Bukankah yang seperti itu terlihat lebih keren?" Naruto kembali membuat cengiran lebar penuh semangat.

Walau Hinata ingin mengoreksi kata "keren" Naruto dengan kata "romantis", tapi Hinata memutuskan tak ingin mempermasalahkan penggunaan kata kekasihnya itu.

"Aku mengerti, Naruto-kun." Hinata menyungging senyum tipis penuh makna untuk Naruto yang masih mempertahankan cengiran rubahnya.

oOo oOo oOo

27 Desember

"Hey, Tenten. Kau yakin kita tak akan dibunuh ayah Hinata membuat rumah mereka penuh warna seperti ini?" Tanya Ino untuk ketiga kalinya.

"Tenang saja, Ino. Hiashi-sama dan semua orang pergi melakukan pertemuan klan dengan para tetua." Jawab Tenten yang sibuk menimang Hyuuga Kaoru dalam timangannya.

"Sudahlah, Ino. Kau tak usah berlebihan!" Sindir Sakura, yang berjalan mendekati Tenten untuk memberikan botol susu Kaoru.

"Nah, Kaoru-kun. Ayo ikut ba-chan. Kita minum susu dulu ya." Ajak Sakura pada Kaoru yang menatap Sakura dengan mata indigonya tanpa berkedip.

"Ino, tolong kau bawa botol susu Kaoru sebentar." Ino menerima botol susu yang dijulurkan Sakura padanya. Dengan sangat berhati-hati Tenten kemudian memindahkan Kaoru ke dalam gendongan Sakura.

"Dia terlihat semakin mirip dengan Neji." Komentar Ino yang menggenggamkan jari telunjuknya di tangan mungil Kaoru, dan menggoyang pelan tangan Kaoru untuk mengajak bayi laki-laki Neji dan Tenten itu bermain.

"Sayang, apa kau tidak merasa dingin?" Tanya Ino dengan nada lucu.

"Gggu." Kaoru tertawa kecil dan memamerkan seluruh gusinya.

"Haha." Ino tertawa geli melihat si kecil Kaoru yang begitu murah tersenyum walau baru berusia 4 bulan.

"Biarkan dia minum susunya, Ino." Ingatkan Sakura.

"Ah, baiklah." Ino melepaskan telunjuknya dari genggaman tangan mungil Kaoru untuk memudahkan jagoan kecil Tenten meminum susunya.

"Jadi kapan kalian akan menikah?" Pertanyaan Tenten membuat Sakura dan Ino salah tingkah.

"A-aku terserah Sasuke-kun saja." Jawab Sakura sekenanya.

"Ya, a-aku juga sama." Dukung Ino.

"Terserah Sasuke, Ino?" Goda Tenten.

"Tentu saja terserah Sai-kun!" Pekik Ino tak terima.

"Hahahaha…" Tenten tertawa lebar karena sukses menggoda Ino dengan mudahnya. Tawa Tenten kembali mengundang senyum Kaoru dalam gendongan Sakura.

.

.

"Haha."

Mendengar tawa geli Ino, Sai memutar kepala hitamnya mencari keberadaan gadis cantik bermata aquamarine itu. Sai tenggelam dalam lamunannya beberapa saat sampai Naruto menyikut perutnya pelan.

"Apa yang kau lamunkan?" Tanya Naruto dengan tangan sibuk mengikat mulut balon yang baru selesai ditiupnya.

"Naruto. Apa yang akan kau katakan untuk melamar seorang gadis?" Pertanyaan Sai cukup untuk menarik perhatian penuh Naruto.

"Kau ingin melamar Ino?" Tebak Naruto. Sai memalingkan wajah pucatnya yang telah ternoda warna merah muda tipis.

"Iya." Jawab Sai malu-malu dengan telunjuk menggaruk pipi meronanya. Naruto mendengus geli melihat tingkah ketua ANBU Konoha di depannya ini.

"Tanyakan pada Sasuke." Sai mengikuti arah jempol kanan Naruto yang menunjuk ke atas dinding, pada Sasuke yang sibuk mengikat balon dengan pita warna-warni di sudut dinding atas dengan posisi badan terbalik.

"Sebenarnya aku sudah membaca banyak buku." Cerita Sai.

"Hampir semua buku itu mengatakan aku dapat melamar Ino dengan sebuah cincin."

"Lalu?" Tanya Naruto dengan mulut dimonyongkan karena harus meniup balon kembali.

"Tunggu sebentar." Sai merogoh saku celana santainya beberapa lama mencari kotak kecil yang hampir selalu dibawanya 2 minggu belakangan ini.

"Apa cincin yang dimaksud dalam buku seperti ini?" Sai membuka kotak kecil hitam dengan dasar merah di dalamnya, yang tersemat sebuah cincin dengan mata mutiara sebiru warna mata Ino yang berkilat menyilaukan.

Brrrttt...

Saking terkejutnya Naruto dengan keindahan cincin Sai, balon yang susah payah ditiupnya melarikan diri begitu saja, membuat mulut Naruto bergerak tak beraturan oleh tekanan udara dalam balon, dan menimbulkan suara berisik dari udara balon yang kemps di tangannya.

"Kau membelinya sendiri?" Tanya Naruto dengan tatapan tak percaya.

"Aku membelinya dengan uangku." Jawab Sai.

"Tidak. Tidak. Bukan itu maksudku, ttebayou!" Naruto menggelengkan kepala jabriknya beberapa kali dengan cepat.

"Siapa yang memilihkan cincin ini?" Naruto kemudian merebut cincin Sai beserta kotaknya.

"Shikamaru." Jawab Sai.

"Shikamaru?!" Pekik Naruto sangat kaget. Memikirkan jika Sai yang membeli cincin seperti ini saja Naruto sulit untuk percaya, apalagi ternyata justru Nara Shikamaru yang membantu Sai memilihkan desain cincin yang sangat indah ini.

"Kau bercanda?!" Tanya Naruto tak percaya.

"Kenapa?" Tanya Sai balik, merasa bingung alasan dibalik kekagetan Naruto yang menurutnya sedikit berlebihan.

Tap. Tap. Tap. Tap. Tap.

Ketiga kunoichi dan kedua shinobi teman mereka mendarat hampir bersamaan mengelilingi Naruto dan Sai.

"Ada apa kau berteriak, Naruto?" Tanya Tenten yang beru kembali dari menidurkan Kaoru di kamar pribadinya dan Neji.

Sebelum menjawab pertanyaan Tenten, Naruto melirik Sai yang menanggapi lirikan Naruto dengan gelengan kepala. Naruto tahu arti dari gelengan kepala Sai adalah untuk tidak membocorkan rahasia besar Sai pada Ino yang juga berada dalam kerumunan.

"Ah, Hmm…"

"Naruto?! Apa itu cincin untuk melamar Hinata?!" Belum sempat memikirkan kebohongan yang tak mencurigakan, Ino memekik tak percaya melihat cincin dan kotaknya yang berada dalam genggaman tangan Naruto.

"Eh? Apa?" Naruto memekik kaget.

Tap.

Sasuke yang mendarat paling akhir di belakang Sakura, menatap cincin dan kotaknya yang berada dalam genggaman tangan Naruto dengan tatapan dinginnya tanpa ikut menyumbang satu dua komentar. Tentu saja Sasuke tahu jika cincin dalam kotak hitam itu adalah cincin Sai.

Bagaimana cerita Sasuke bisa tahu itu karena Shikamaru yang sedang terburu-buru akan suatu urusan meminta Sasuke menggantikannya menemani Sai. Tapi Sasuke yang tak ingin jatuh image ke-Uchiha-annya, memilih untuk menyamar sebagai Shikamaru saja. Tak masalah harus berakting sebagai Shikamaru. Toh Sasuke pernah sukses berakting sebagai Shizune.

"Heh? Aku tak menyangka kau laki-laki yang romantis, Naruto." Komentar Sakura dengan tatapan kagum pada Naruto.

"Naruto. Aku bangga dengan sikap dewasa mu sekarang." Komentar Shino.

"Cih. Brengsek. Kau benar-benar keren." Komentar Kiba.

"Tu-tunggu dulu," Naruto mencoba menghentikan kesalahpahaman teman-temannya dengan ekspresi bingung.

Sasuke mendengus geli melihat kebingungan rivalnya menghadapi tanggapan dari teman-temannya atas kesalahpahaman cincin Sai. Sasuke yang tak ingin penyamarannya terbongkar memilih meninggalkan Naruto, yang menghadapi komentar bertubi-tubi dari teman-temannya, untuk kembali menyibukkan diri dengan balon-balon yang berterbangan ringan kehilangan perhatian dari para shinobi.

"Hinata beruntung sekali." Gumam Ino yang memilih menarik diri dari keributan yang diciptakan Naruto.

"Kau suka cincin itu?" Tanya Sai yang berdiri di sampingnya. Ino mendongakkan kepala pirangnya mengadu pandang dengan mata obsidian Sai.

"Tentu saja, Sai-kun!" Jawab Ino dengan nada kesal pada Sai yang begitu lambat menyadari keinginannya untuk segera dilamar oleh Sai.

"Yokatta," Sai tertawa kecil. Ino memiringkan kepala pirangnya bingung untuk alasan apa Sai merasa lega.

oOo oOo oOo

"Ada apa, Neji Nii-san?" Suara tegas seorang gadis menarik perhatian Neji untuk menundukkan kepala mengimbangi tatapan mata amethyst gadis bersurai coklat panjang di sampingnya.

"Tidak ada apa-apa, Hanabi-sama." Neji menggelengkan kepala menutupi beban pikirannya. Hanabi menatap tajam Neji, tak begitu saja mempercayai gelengan kepala Neji.

"Kau bohong." Tebak Hanabi.

"Kau terlihat gelisah sejak para tetua memutuskan mengganti tempat pertemuan di rumah kita," Hanabi mulai menguraikan deduksinya.

"Apa kau dan Naruto Nii-san merencanakan sesuatu di rumah kita?"

"Ini hari ulang tahun Nee-san, bukan?" Tanya Hanabi begitu penasaran. Neji menatap takjub dengan kemahiran Hanabi menganalisa keadaan.

"Kau sudah tumbuh dewasa, Hanabi-sama." Neji menepuk pelan pucuk kepala coklat Hanabi, menyalurkan kasih sayangnya sebagai seorang kakak.

"Ya, karena kau kakakku, aku akan membiarkanmu melakukan ini." Neji tersenyum geli melihat cara Hanabi merajuk padanya.

"Apa Konohamaru suka melakukannya juga?" Goda Neji.

Blush!

Jika boleh jujur, Neji begitu tertegun melihat rona merah tipis mengotori kulit wajah Hanabi. Neji tak pernah menyangka jika Hanabi diam-diam sama pemalunya dengan Hinata dalam urusan cinta. Hanabi segera menurunkan tangan Neji dari atas kepala coklatnya, dan berjalan cepat meninggalkan Neji dengan membawa rona merah pada kedua pipinya. Hanabi melarikan diri untuk mengantisipasi godaan Neji lebih jauh lagi.

"Ada apa, Neji Nii-san?" Tanya Hinata yang sudah saja berdiri di samping Neji, padahal sebelumnya Hinata terlibat pembicaraan serius dengan para tetua klan Hyuuga.

"Ternyata kalian berdua begitu mirip, Hinata-sama." Komentar Neji di balik senyum gelinya. Hinata mengerutkan keningnya bingung tak mendapatkan informasi apapun dari senyum geli Neji padanya.

"Hinata! Neji! Ayo berangkat!" Panggil Hiashi.

"Ha'i." Jawab Hinata dan Neji bersamaan.

.

.

'Gawat, aku tak bisa membuat bunshin untuk memberitahu mereka.' Keringat dingin menetes deras dari kening Hyuuga Neji yang memendam panik di balik wajah tenangnya.

"Hinata. Berapa umurmu sekarang?" Tanya tetua pertama klan Hyuuga.

"23 tahun, Tetua." Jawab Hinata sopan.

"Hmm, kau sudah dewasa." Gumam tetua kedua klan Hyuuga.

"Kau sudah mencari calon yang tepat di klan kita, Hiashi?" Tanya tetua pertama.

Neji memandang khawatir pada Hinata yang menundukkan kepala birunya, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya pada pembicaraan yang membahayakan hubungannya dengan Naruto ini. Hiashi pun tak luput melirik Hinata, yang berjalan dalam diam disampingnya, sebelum menjawab pertanyaan tetua pertama. Tentu saja Hiashi tahu hubungan asmara putrinya dengan anak Yondaime Hokage ini. Tapi Hiashi memutuskan berpura-pura Hinata tak menjalin hubungan spesial dengan siapapun di depan tetua kedua.

"Aku belum menemukan calon yang tepat." Jawab Hiashi mengambang.

"Kau harus cepat menemukannya, Hiashi. Hinata sudah cukup umur untuk memberi kita keturunan Souke yang hebat." Nasehat Tetua kedua. Kali ini Hinata menggigit bibir bawahnya, menahan tubuhnya yang tiba-tiba bergetar.

"Aku akan segera menemukannya." Jawab Hiashi patuh.

"Hinata. Angkat kepalamu!" Perintah Hiashi membuat Hinata segera mengangkat kepala birunya.

"Jangan biasakan dirimu menunduk seperti itu, Hinata." Nasehat tetua wanita klan Hyuuga kepada Hinata dengan sabar.

"Ha'i." Hinata menganggukkan kepala patuh.

Detik salanjutnya Hinata sekuat hati menahan perasaannya untuk tetap terlibat dalam percakapan para tetua klan Hyuuga dan ayahnya yang masih melanjutkan tema tentang calon pendamping hidup Hinata demi kepentingan klan Hyuuga di masa depan.

Dibelakang para tetua, Hiashi, dan Hinata, Neji dan Hanabi saling memandang dalam diam. Kedua saudara sepupu ini sangat memahami perasaan Hinata saat ini. Pastilah dalam hati Hinata memendam kesedihan memkasakan diri berfikir untuk mulai merelakan perasaannya pada Naruto demi kepentingan klan. Bagaimanapun juga Hinata berada dalam garis keturunan Souke dan akan menjadi pewaris klan menggantikan ayahnya. Hinata memiliki kewajiban menjaga darah murni klan Hyuuga, dan yang lebih penting lagi adalah Hinata memiliki kewajiban untuk melahirkan generasi hebat yang akan menjadi pelindung klan.

.

.

'Aku harus melakukan sesuatu!' Tekad Neji dalam hati.

'Tapi apa?!' Pikiran Neji benar-benar terhambat oleh kepanikannya sendiri.

"Neji Nii-san. Sebentar lagi kita akan masuk halaman rumah utama." Bisikan Hanabi menambah kepanikan Neji.

"Hiashi-sama!" Panggil Neji tanpa berfikir panjang.

Panggilan Neji dengan suara yang terlampau keras berhasil menghentikan langkah Hiashi, Hinata, Hanabi, para tetua dan beberapa anggota bunke yang diajak serta mendampingi keluarga Hiashi melakukan pertemuan klan.

"Ada apa?" Hiashi dengan suara berat menjawab panggilan Neji dengan pertanyaan balasan. Neji meneguk ludah dengan susah payah karena belum memikirkan alasan yang tepat memanggil Hiashi dengan cara tidak sopan seperti ini dihadapan para tetua klan dan anggota bunke.

"A-aku ingin membicarakan tentang Kaoru." Jawab Neji sekenanya.

Hanabi menahan kikikan geli melihat wajah pucat Neji menghadapi ayahnya dan para tetua. Hanabi sekarang benar-benar yakin Neji merencanakan sesuatu di rumah mereka.

"Nee-san." Panggil Hanabi. Hinata memutar kepala menatap Hanabi di sampingnya.

"Ada apa, Hanabi-chan?" Tanya Hinata lembut.

"Ayo kita kembali ke rumah dulu." Ajak Hanabi.

"Tapi, ayah dan tetua." Hinata merasa keberatan dengan usulan Hanabi.

"Tak apa, Nee-san. Ayah tak akan marah hanya karena kita kembali lebih dulu ke dalam rumah kita sendiri." Bujuk Hanabi.

Hinata memutar kepala kembali menatap iba pada Neji yang berdiri dengan wajah pucat menghadapi para tetua dan ayahnya yang memandang Neji dengan tatapan menghakimi. Hinata sebenarnya ingin membantu Neji tapi Hinata tak tahu bagaimana caranya.

"Nee-san. Tubuhku menggigil dan kepala ku sedikit pusing." Bohong Hanabi yang sebenarnya tak sabar melihat kejutan apa yang disiapkan Neji dan Naruto dalam rumah mereka.

"Benarkah?" Hinata menatap khawatir pada Hanabi yang berakting lemah di depan Hinata.

Hinata kembali menatap Neji sesaat sebelum akhirnya melangkah dalam ragu menuju rumahnya bersama Hanabi. Dalam hati Hanabi bersorak senang karena kelembutan hati kakaknya, membuat Hinata gampang dibujuk seperti biasanya.

"Nee-chan, buka pintunya." Pinta Hanabi. Hinata mengangguk setuju. Perlahan namun pasti, pintu masuk rumah utama keluarga Hyuuga Hiashi terbuka dan menciptakan suara berderit.

oOo oOo oOo

"OTAJOUBI OMEDETTOU, HINATA!" Teriakan Tenten, Sakura, dan Ino segera menggema hebat tepat saat Hinata menginjakkan kaki di pintu masuk ruang depan rumah utama keluarga Hinata.

Teeet… Teeet… Teeet…

Bunyi terompet ulang tahun yang ditiup Kiba, Sai, Sasuke, dan Naruto tak kalah memekakkan telinga.

"Hah?!" Hinata memekik kaget. Menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya.

"Mi-minna," Suara Hinata terdengar bergetar menahan haru.

"Hinata-sama, selamat ulang tahun ke 23." Ucap Tenten penuh semangat.

"Semoga kau selalu diberkati Kami-sama, Hinata." Doa Ino dengan satu kedipan mata.

"Hinata. Selamat ulang tahun." Ucap Shino dengan gaya khasnya.

"Akhirnya kau menyusul umur kita semua, Hinata." Gurau Kiba.

"Guk. Guk. Guk." Akamaru menyalak senang.

"Akamaru bilang kau tak boleh melupakan traktiran untuknya." Terjemahkan Kiba.

"Hahahahahaha." Semua orang bahkan Hanabi tertawa geli mendengar keinginan Akamaru.

"Selamat ulang tahun, Hinata." Sai tersenyum simpul pada Hinata.

"Omedettou, Hinata." Ucap Sasuke dengan wajah datar kerennya.

"A-arigatou, Minna." Hinata tersenyum lembut dengan wajah tersipu menahan haru, membuat wajah Heiress Hyuuga yang sedang memakai kimono merah muda dengan obi ungu besar walau dalam suasana musim dingin itu terlihat menggemaskan.

"Selamat ulang tahun, Nee-san." Hinata menatap haru pada Hanabi yang dalam pikiran Hinata ikut terlibat dalam rencana pesta kejutan untuknya.

"Arigatou, Imouto." Hinata tersenyum hangat pada adik yang sangat disayanginya ini.

"Hey, Hinata. Jangan lupakan ninja satu ini." Hinata memutar kepala menatap Sakura yang mendorong paksa Naruto membelah kerumunan demi mendekatkan Naruto di hadapan Hinata.

"Otanjoubi omedettou, Hinata." Sakura tertawa kecil dan mengitip Hinata dari balik tubuh Naruto.

"Aku membawakanmu hadiah yang sangat kau suka." Godaan Sakura membuat Hinata tersipu malu, sialnya rona merah muda itu menambah pesona Hinata di mata langit kekasihnya.

"Ayo, Naruto. Katakan padanya! Kau lambat sekali!" Desak Kiba.

"Urusai yo!" Bentak Naruto kesal.

"Ah, maaf, Hinata." Naruto tersenyum kikuk menyadari kembali keberadaan Hinata di depannya. Sasuke memutar bola matanya bosan merasa sweatdrop melihat sikap manis Naruto pada Hinata.

"Ano, Hinata. Otanjoubi Omedettou." Ucap Naruto kemudian.

"A-arigatou, Naruto-kun." Hinata tersenyum lembut pada Naruto.

Hanabi menggelengkan kepala coklatnya heran. Sikap malu-malu dan kikuk Naruto dan Hinata seperti sepasang remaja yang baru jatuh cinta saja. Dalam hati Hanabi sedikit bersyukur walau Konohamaru tak kalah konyol dengan Naruto, setidaknya cucu Sandaime Hokage itu tak sekikuk Naruto.

"Hey, Hinata! Naruto menyembunyikan sebuah kado untukmu!" Suara Ino berhasil menarik perhatian Hinata.

"Ayo, Naruto! Berikan padanya!" Desak Tenten.

'Sial! Aku bahkan lupa dimana aku menyimpan kado Hinata.' Umpat Naruto dalam hati. Tak terlintas sedikitpun dalam pikirannya jika kado yang dimaksud dua kunoichi di belakangnya adalah cincin Sai yang mereka semua sangka sebagai cincin Naruto untuk melamar Hinata.

Naruto nyengir tak jelas pada Hinata. Ingin berkata jujur jika dia lupa tempat menyimpan kado Hinata, tapi Hinata yang menatapnya penuh harap membuat Naruto tak tega mengecewakan hati kekasih tembemnya itu.

Naruto hanya memiliki waktu yang terbatas karena harus melaksanakan misi dari Rokudaime mengawal Shikamaru menemui Mizukage untuk membahas kerja sama perdagangan dengan Konoha, jadi Naruto tak menaruh perhatian lebih pada bagian penting dari ulang tahun Hinata.

Setelah misi selesai pun, pemuda jabrik ini tak ingin mengulur waktunya lebih lama sekedar untuk makan ataupun untuk mengganti pakaian ANBUnya. Naruto tentu saja merasa tak enak hati pada teman-teman angkatannya karena Naruto sudah terlambat sangat lama sementara teman-temannya sudah hampir menyelesaikan dekorasi kejutan Hinata saat Naruto tiba di rumah Hinata. Naruto memutuskan untuk mengabaikan semua rasa lelah selama perjalanannya kembali ke Konohagukure dan segera ikut menyibukkan diri bersama teman-temannya agar pesta kecil untuk Hinata selesai tepat pada waktunya.

"Eh, baiklah." Jawab Naruto nekat.

"Ehm…" Naruto menggaruk pipi tan-nya kikuk mencari kata yang tepat untuk disampaikannya pada Hinata.

Sakura dan teman ninja mereka yang lain sampai dibuat kesal menunggu kata yang begitu alot diucapkan jinchuuriki kyuubi di depan mereka ini.

"Ano, Hinata. Aku baru saja pulang dari misi." Naruto kembali membuka suara. Semua orang menahan nafas menunggu kelanjutan kalimat Naruto, bahkan Hinata sekalipun.

"Jadi apa kau mau makan ramen denganku? Aku belum makan dan aku lapar sekali, ttebayou!" Naruto tertawa lebar dengan kikuknya.

Gubrak.

Semua teman-teman ninja pemuda jabrik ini tak terkecuali Sasuke terjungkal ke depan dan ke belakang terlalu sweatdrop mendengar ajakan Naruto pada Hinata.

Tap. Tap. Tap.

Sakura yang kepalanya terasa panas oleh rasa kesal, menghentakkan kaki keras-keras saat berjalan mendekati Naruto.

Duak.

"BAKA!"

"Ittai!" Naruto berjongkok refleks menerima jitakan Sakura yang begitu keras.

"Naruto-kun!" Pekik Hinata khawatir.

'Aw! Pasti sakit sekali.' Batin Sasuke dalam hati.

'Aku tak boleh terlalu sering menggoda Sakura.' Batin Sai dalam hati.

'Sakura ternyata sangat menyeramkan.' Batin Shino.

"Kaing. Kaing." Akamaru menutup kedua matanya dengan sepasang telinganya.

"Ssst! Jangan berisik, Akamaru. Aku tak ingin kau jadi korban Sakura juga." Desis Kiba.

"Daijobu?" Hinata berniat mengelus benjolan yang tumbuh cepat di kepala jabrik Naruto dengan tangannya yang lembut.

"Bukan itu yang ingin kami dengar, BAKA!" Bentak Sakura, yang berkacak pinggang di depan Naruto, penuh amarah.

"Bukankah kau akan melamar Hinata dengan cincin yang ada di kantong celanamu?!" Sakura sengaja membongkar semua kesalahpahamannya.

"Eh?" Mata amethyst Hinata membulat kaget, terlalu kaget hingga mampu membuat Hinata diam terpaku tak melanjutkan niatnya mengelus benjolan di kepala jabrik Naruto.

Naruto mendelik sama kagetnya dengan Hinata. Naruto segera berdiri cepat menghalangi Sakura mengeluarkan kata-kata asal lagi.

"Apa yang kau bicarakan, Sakura-chan?!" Pekik Naruto pada Sakura. Naruto khawatir Hinata akan salah paham juga mendengar kalimat asal Sakura. Pasalnya Naruto memang belum menyiapkan apapun untuk melamar gadis dari kalangan ningrat di depannya ini. Sebelum merasa yakin bahwa dirinya sudah pantas menjadi pendamping Hinata, Naruto tak ingin menyinggung sedikitpun tentang rencana melamar Hinata.

"Kau. Ingin. Melamar. Hinata!" Eja Ino dengan sangat jelas. Mata langit Naruto semakin membulat terkejut dengan bala bantuan Ino pada Sakura untuk memojokkannya. Naruto semakin panik karena Hinata mulai menunduk malu dengan wajah memerah padam.

Sasuke menyeringai melihat wajah Naruto yang memerah padam karena rasa panik, malu, gugup, dan entah rasa apa lagi yang bercampur jadi satu dalam hati Naruto. Sai tentu saja hanya menyumbang senyum simpulnya. Kiba menepuk jidatnya sweatdrop melihat kepanikan Naruto. Tenten terkiki geli, sementara Shino hanya diam tak bergerak. Entah ekspresi seperti apa yang disembunyikan oleh pemuda pengendali serangga ini di balik jaket tingginya.

"Huwaaa! Ino! Jangan bilang seperti itu pada Hi…"

"Siapa yang akan melamar Hinata?!" Belum sempat menyelesaikan kepanikannya, suara berat dan penuh tekanan memancing perhatian Naruto dan teman-temannya.

Hinata dan Hanabi memutar tubuh cepat memberi hormat pada para tetua klan Hyuuga yang bergerak maju mendekati Hinata dan Naruto. Hinata kemudian memilih melangkah mundur untuk memberi tempat bagi para tetua klan.

'Shimatta!' Batin Sakura, Ino, Tenten, dan Kiba.

.

.

"Siapa yang mengijinkan kalian mengotori rumah orang lain seperti ini?!" Tak kunjung mendapatkan jawaban dari seorang pun, tetua kedua ikut mengajukan pertanyaan dengan suara bergemuruh menahan kesal melihat keisengan anak-anak muda zaman sekarang.

Kiba dan Shino saling pandang dalam diam, memang sudah terbiasa sebenarnya menghadapi wajah dingin tetua klan sejak mereka menjadi rekan satu tim dengan Hinata. Tapi tatapan mata putih ketua kedua kali ini terlihat sangat menyeramkan. Para kunoichi terkecuali Tenten, bersembunyi di belakang tubuh kekasih mereka yang bergerak maju untuk melindungi pasangannya mengantisipasi segala kemungkinan yang terburuk.

"Ma-maafkan aku, Tetua. Aku yang seenaknya memberi izin pada teman-temanku untuk merayakan hari ulang tahunku." Hinata membuka suara mencoba menghindarkan teman-temannya dari masalah. Tetua pertama dan tetua wanita mendongakkan kepala membaca tulisan "Selamat Ulang Tahun Hinata" yang terpampang begitu jelas di atas dinding di depan mereka.

"Diamlah, Hinata!" Bentak tetua kedua.

"Jangan biasakan dirimu mengakui kesalahan orang lain sebagai kesalahanmu! Kau harus ingat posisimu saat ini!"

Hiashi merentangkan tangan kanannya, menghentikan langkah Neji yang ingin merangsek maju membela adik sepupunya. Bagaimanapun juga Neji merasa ikut andil dalam pesta kejutan Hinata. Neji menatap Hiashi dengan kening berkerut seolah bertanya kenapa Hiashi menghentikannya. Hiashi yang mengerti arti kerutan di kening Neji menggelengkan kepala coklatnya pelan, mencoba memberi pengertian pada Neji untuk memberikan Hinata latihan menghadapi para tetua klan seorang diri.

"Gomenasai." Ucap Hinata dengan suara bergetar, menahan malu di depan Naruto dan teman-temannya atas ketidakberdayaannya saat ini.

Hanabi diam membisu di samping Hinata menyembunyikan niat untuk membantu kakaknya itu menghadapi tetua kedua. Hanabi menyadari jika pembelaannya hanya akan membawa Hinata terlibat dalam suasana yang lebih buruk lagi. Apalagi Hanabi baru saja menyaksikan bagaimana ayahnya berusaha menghentikan langkah Neji membela Hinata.

Gigi Naruto bergemerutuk menahan amarah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Hinata dibentak oleh tetua Hyuuga. Seingat Naruto tak sekalipun dia pernah mengeraskan suaranya saat berbicara dengan Hinata, apalagi sampai membentak gadisnya itu, kecuali saat Hinata nekad melawan Pein untuk melindunginya dulu.

"Kalian belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang akan melamar calon pemimpin klan Hyuuga?!" Ulang tetua pertama dengan nada yang lebih stabil daripada tetua kedua.

Dengan langkah tegap tanpa keraguan sedikitpun tersirat di mata langitnya, Naruto berjalan mendekati para tetua klan Hyuuga dan mengadu pandang dengan sepasang mata putih tetua pertama di depannya.

"Aku." Semua orang menahan nafas meresapi ketegangan yang tercipta jelas antara Naruto dan para tetua klan.

Sudah kepalang tanggung Naruto memutuskan sekalian saja meneruskan kesalahpahaman melamar Hinata ini. Lagipula melihat kondisi saat ini, jika bukan dirinya, siapa yang akan berani membela dan melindungi Hinata di depan para tetua klan.

"Namaku Uzumaki Naruto." Naruto menundukkan sedikit kepala jabriknya tanpa merendahkan diri. Seharusnya Naruto tahu tanpa memperkenalkan diri pun, tak ada shinobi di lima negara besar aliansi shinobi yang tak mengenal Naruto.

"Aku tahu aku bukan anggota klan Hyuuga. Souke. Bunke. Atau apapun itu." Naruto mulai berceloteh tanpa peduli tatapan kesal tetua kedua padanya.

Ino, Sakura, Tenten, Hanabi, dan beberapa anggota bunke perempuan memandang kagum pada keberanian Naruto menghadapi para tetua klan. Namun Hinata berbeda. Wajah gadis berhati lembut ini menyiratkan kekhawatiran yang sangat pada Naruto. Berdoa dalam hati semoga tak akan ada perkelahian antara Naruto dan para tetua. Bukan berarti Hinata meremehkan kekuatan Naruto, hanya saja Hinata tak ingin kekasihnya itu terluka akibat serangan para tetua klan yang tak bisa diabaikan kehebatannya.

"Tapi aku tak bisa begitu saja membiarkanmu membentak seorang gadis seperti itu!" Sindir Naruto pada tetua kedua namun tak melepaskan barang sedetikpun tatapan mata langit Naruto semakin menajam pada mata putih tetua pertama.

"Apalagi dia adalah kekasihku!"

'Naruto-kun.' Sekuat tenaga Hinata mencoba menahan air mata harunya mendengar pembelaan Naruto padanya. Apa yang dilakukan Naruto saat ini, bagaimana bisa Hinata tak semakin mencintai jinchuuriki Kurama itu.

"Kau! Pemuda tidak sopan!" Bentak tetua kedua.

Sai dan Sasuke saling melirik dalam diam. Sai kemudian menganggukkan kepala hitamnya pelan pada Sasuke. Memberi tanda bahwa kapanpun satu dari ketiga tetua klan Hyuuga bergerak menyerang, Sai sudah siap membantu Sasuke menangkis serangan. Aura ketegangan benar-benar mengikis seluruh gelak tawa yang baru beberapa menit lalu menghiasi kediaman utama rumah Hyuuga Hiashi.

"Diamlah!" Hanya dengan mengeraskan sedikit suaranya, nyali tetua kedua terlihat ciut. Naruto segera tahu jika tetua pertama pastilah ninja terkuat di klan Hyuuga.

"Hinata adalah penerus klan. Dia harus menjaga darah murninya." Jelas tetua pertama. Naruto bergeming.

"Jika aku tak mengizinkanmu menikahi Hinata, apa yang akan kau lakukan?" Tantang ketua pertama.

Tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan tetua pertama, Naruto mengedarkan pandangan mencari keberadan Hinata. Sebuah senyum hangat disungging pemuda jabrik ini mencoba menghapus ketegangan yang begitu jelas tergambar di wajah Hinata, begitu sepasang mata mereka saling bertemu. Naruto kemudian menganggukkan kepala jabrik pendeknya pelan mencoba memberitahu Hinata bahwa semua akan baik-baik saja.

Naruto memutar kepala jabriknya kembali beradu pandang dengan mata putih tetua pertama.

"Aku akan membuatmu menyerah menolakku."

"Bila perlu aku akan menculik Hinata. Sekalipun aku harus menghadapi seluruh anggota klan Hyuuga!" Tantangan Naruto membuat tetua kedua menahan amarah hingga giginya bergemerutuk keras.

"Itu karena aku tak akan pernah menarik kata-kataku." Tegas Naruto.

Detik selanjutnya dan beberapa detik berikutnya tak ada suara yang terdengar dari satu orangpun ninja yang berkumpul di ruang depan rumah utama keluarga Hyuuga Hiashi. Hanya desah nafas menahan ketegangan yang terdengar disana sini.

"Kau putra Yondaime, bukan?" Pertanyaan tetua pertama menghentikan niat Hiashi untuk mengakhiri ketegangan dengan mengalihkan perhatian tetua pertama. Naruto mengerutkan kening bingung karena tiba-tiba tetua pertama melibatkan ayahnya dalam percakapan mereka.

"Ehm, ya. Kau benar, tetua." Naruto menggaruk belakang kepala jabriknya kikuk.

"Jyuuken!"

Semua orang menahan nafas terkejut melihat serangan tiba-tiba tetua pertama yang sebelumnya nampak begitu tenang pada Naruto. Naruto yang terpecah konsetrasinya oleh pertanyaan pengalih tetua pertama, melayang cepat kebelakang dan baru berhenti saat tubuhnya menghantam tembok rumah Hinata sangat keras. Bahkan karena getarannya, kue ulang tahun yang dibeli Naruto untuk Hinata jatuh berantakan dari atas kursi yang kebetulan berada di dekat tempat Naruto menghantam tembok.

"Uhuk." Naruto batuk darah. Serangan dari tetua pertama terlihat begitu lemah tapi ternyata efeknya begitu menyakitkan. Sepertinya Naruto terlalu meremehkan kekuatan tetua pertama.

Tanpa memberi kesempatan Naruto bangun dari rasa kagetnya dan pemulihan kekuatannya, tetua pertama melesat cepat mendekati tempat Naruto duduk terkapar.

Sai dan Sasuke bergerak cepat bahkan sebelum orang-orang di sekitar mereka bereaksi terkejut melihat tetua pertama mulai berlari cepat.

"Sharingan!"

Dengan sharingannya yang aktif, Sasuke berniat menghentikan gerakan tetua pertama. Namun ternyata tetua kedua dan tetua perempuan berdiri menghadap gerakan kedua ninja muda ini untuk mengganggu serangan lanjutan tetua pertama pada Naruto.

Nafas semua orang tercekat melihat pertarungan yang sedari mereka takutkan ini.

'Sasuke-kun!'

'Sai-kun!'

Sakura dan Ino memekik khawatir dalam hati dan hanya berdiri terpaku di tempat mereka tanpa bisa berbuat banyak.

Mengabaikan semua gangguan di sekitarnya, tetua pertama melayangkan kembali tangannya yang sudah terselimuti cakra bermaksud menghajar Naruto dengan jyuuken atau hakkenya. Namun gerakan telapak tangan tetua pertama berhenti tepat di depan wajah Hinata yang memasang kuda-kuda siap bertarung di depan Naruto yang masih diam tak bergerak.

Tetua pertama yang notabene adalah kakek Hinata dan Hinata, beradu pandang dengan byakugan yang aktif.

"Hinata! Matikan byakuganmu!" Hiashi membentak khawatir.

Hinata bergeming. Mempertahankan posisi siap bertarungnya tanpa sedikitpun menurunkan konsentrasinya. Jika konsentrasinya teralihkan barang sedetik saja, dengan gerakan yang sedikit terhambat oleh Kimononya, Hinata khawatir tetua pertama akan mengalahkannya dengan sangat mudah dan segera menyerang Naruto kembali bahkan sebelum jinchuuriki kyuubi itu memulihkan kekuatannya.

"Kau yakin mampu melawanku?!" Tanya tetua pertama dengan nada berat.

"Aku tidak ingin melawanmu, Ojii-sama." Hinata tak menunjukkan gelagat ketakutan ataupun rasa gugup, yang biasa menghiasi wajah cantiknya dalam keadaan normal, sedikitpun

"Aku hanya ingin melindungi orang yang penting untukku."

oOo To Be Continue oOo

Sepertinya Cand udah bales hampir semua review, tapi sepertinya juga belum. Karena bingung dan lebih tepatnya lupa, Cand putusin buat bales lagi aja lewat AN ini.

*Kelebihan semangat ini Cand -_-

Oppa : "How's that? I hope you love it ^.*"

Zombi-san, Ryuzan-san, Yuka-san, Ricardo-san, Hanami-san, Cici-kun, 41-san, Otsuka-san, Devil-san, Nata-san, Munya-san, Urmila-san, Rama-san, Yuli-san, : "Ini udah Cand buat sequelnya, semoga suka ^^ jangan lupa reviewnya ya "

Nanase-san : "Eh, haha. Gomen2. Cand memang masih belum bisa membuat akhir cerita yang pas."

Dylan-san, Endra-san, : "Epilog dan sequel apakah sama atau berbeda?"

Katherine-san : "Haha, ati-ati kena diabetes loh."

Rian-san : "Haha, apakah bagian "saya jadi ketularan suka nyiksa Naruto" maksudnya buat nyindir Cand?"

Uzu-san : "Arigatou ne, Uzu-san. Cand juga melting baca reviewnya Uzu-san. Hehe ^^"

Johari-san : "Arigatou, Jo-san ^^"

Urusai-san : "Niatnya Cand mau bikin angst takut digebukin massa. Hoho."

Amu-san : "Terima kasih buat pujiannya, Amu-san. ^^"

Ziela-san : "Love you too ^^"

Gian-kun : "Haha, dasar reader alay! Tidak dimaafkan sebelum bawain Cand dango Jepang."

Amai-san : "Cand ikutan lirik Neji ah. Hehe. Arigatou buat reviewnya ^,^"

Bunshin-san : "Hehe, lebih menakutkan lagi kalo akamaru yang memperlakukan Hinata dengan romatis :p"

Yuki-san : "Ada ungkapan cinta itu membutakan dan apakah ungkapan Cand singkron dengan reviewnya Yuki-san? Hehe. Gomen. Lagi sedikit error."

June-san : "Arigatou, June-san :D"

Akhyar-san : "Terima kasih juga menyempatkan waktu untuk mengetik review ^.^"

Ome-chan :"Masih kecil gak boleh kebanyakan melting, Ome-chan!"

Murasaki-san : "Yosh! Arigatou buat semangatnya ^.^"

Waluh-san : "Gimana kalo dilakuin? Jangan sama Cand tapi :p"

Ikhwan-kun : "Gak ikhlas ini mujinya -_-"

Janice-san : "Authornya suki juga gak? Khekhe :D"

Guest-san : "Boleh asal jangan lupakan disclaimer fic ini milik Cand ^,^"

Chimunk-san : "Hehe, niatnya sih emang mau buat penasaran reader. Entah jadinya geje seperti ini. Btw, thank for your review ^.^"

Uzumaki-san : "Dimaafkan asal ngetik review disini. Hoho *maksa banget Cand!"

Ran-san : "Hehe, gak asyik kan kalo gak tahu sendiri ^^"

Guest-san : "Arigatou ^.^"

Naru-san : "Kyaaa! *ikut jejeritan tak jelas. Yosh! Arigatou, Nara-san *.*"

Guest-san : "Eh, haha. Gomen."

Nami-san : "Eh, jangan loncat-loncat. Awas jatuh, Nami-san ^.*"

Hq-san : "Pernyataan cinta kah ini? Haha L.O.L"

Uzu-san : "Wah tidak seperti kerasukan juga, Uzu-san ^^"

Shiro-san, Guest-san, Rifki-san, Hayati-san, Namina-san, : "Arigatou _ "

Fanfiction : "Thank for your advice, I appreciate that. "

Poetri-san : "Hehe, authornya lebih lucu loh, Poetri-san :p"

Vinara-san : "Ehm, mungkin karena bukan pair utama di fic ini, Cand jadi gak fokus sama akhir hubungan SasuSaku. Gomen, Vinara-san."

Akira-san : "Hehe, gak pa-pa. Terima kasih sudah menyukai fic Cand ^^"

Rambu-san : "Kata temen Cand juga judulnya agak sedikit aneh. Entahlah."

Neko-san : "Miss you, Neko "

Lilia-san : "Antibiotiknya mahal sangat tapi, mau beli? ^^"

Erryeo-san : "Ini baru fic nya, Er-san. Authornya lebih manis lagi. Hoho *evilsmirk."

Alluka-san : "Salam kenal juga, Alluka-san. Cand sendiri juga newbie kok disini :D"

Amelon-san : "Haha. Terima kasih 2x. Cand ketawa sendiri baca review km, Amelon-san ^^"