.

"Sudah sadar?"

Misaki membuka mata. Sinar matahari nyaris membutakan matanya. Sementara ia merasakan tubuhnya bergoyang-goyang. Bukan seperti yang ditiup angin. Misaki tidak pernah mengetahui sensasi ini sebelumnya.

"Ini di…."

"Kereta jeramiku. Aku menemukanmu pingsan tak sadarkan diri semalam di lumbung padi milikku. Dan aku cukup terkejut… tadi pagi aku baru dari kota dan menemukan selebaran bahwa Raja Mikoto mencari putra mahkotanya yang hilang. Dan dari ciri-ciri yang diberikan, kau sangatlah mirip dan sesuai dengan kriteria yang disebutkan! Rambut chesnut dan mata hazel. Kalau kau memang benar putra mahkota, lalu mengapa semalam kau bisa pingsan di lumbung padiku?"

Misaki tidak bisa mencerna keutuhan kalimat dari si pria berambut pirang berwajah ramah di sampingnya ini. Kepalanya sakit, telinganya berdenging. Misaki tidak ingat apa-apa, selain ketika energinya yang terkuras setelah ia melarikan diri dari istana kuarsa, dan kumpulan aura biru yang menjemputnya lalu menghilangkan kesadarannya.

"Aku… aku… tidak tahu, aku…."

"Eh? Kenapa? Kau amnesia? Atau kau memang bukan anak Raja Mikoto?"

"Anak Raja Mikoto… kau tahu siapa namanya?"

"Pertanyaan aneh. Kau sendiri, ingat siapa namamu?"

"Misaki. Namaku Misaki."

"Dan pangeran penerus tahta kerajaan ini juga bernama Misaki! Hanya ada satu nama Misaki, setidaknya dalam dua puluh tahun ke belakang, jadi kau pastilah Pangeran Misaki yang sedang dicari-cari Yang Mulia Paduka Raja ke seluruh penjuru negeri. Perkenalkan, namaku Rikio. Aku akan mengantarmu sampai istana, jangan khawatir. Kalau kau merasa pusing atau lelah, kau bisa beristirahat di tumpukan jerami. Tidak lama lagi kita akan sampai di kastil Raja Mikoto."

Misaki tersenyum kikuk, membalas jabatan tangan pria muda itu dengan kaku. Ini kali pertama Misaki berkenalan dengan manusia. Dengan sesama rasnya. Suatu hal baru yang membuat Misaki tertegun. Bahwa yang namanya manusia tidak ada bedanya dengan peri yang tinggal di kedalaman hutan Moors. Sama-sama hangat ketika disentuh. Sama-sama bisa tersenyum. Sama-sama ramah dan menyenangkan.

Lalu mengapa keduanya harus terpisahkan? Mengapa Moors harus tersembunyi di balik hutan duri dan hutan rimbanya yang mencekam?

Dan mengapa Reishi, sang pelindung terkuat yang dimiliki Moors, harus terkhianati dan jatuh terpuruk di tangan manusia?

Misaki ingin tahu. Namun Misaki sadar, waktu hidupnya tidak lama lagi. Dan ia hanya tinggal menghitung waktunya. Melakukan apa yang bisa dilakukannya sebelum tangan nasib menggenapkan kutukan itu di atas tubuhnya.


...


.

Project K (c) GoRA & GoHands

ONCE UPON A KING AND HIS FAERY

Chapter finale: The King and His Faery

.

'Tetes-tetes perak yang semakin deras meluncur dari sang raja, menitik membasahi wajahnya sendiri. Reishi mengangkat tangannya, membawa pipi tirus Mikoto dalam telapaknya.'

.

.

.

"Reishi, kubilang diam di sini. Tetaplah di lingkungan Moors, atau—"

"—atau apa, Izumo? Hoo, kau berani mengancamku sekarang, begitu?"

"… tolong, Reishi. Yang selama ini aku—kami semua lakukan adalah untuk melindungimu. Kau adalah pelindung kami, pelindung Moors, tidak ada yang lain. Siapapun kau, seterpuruk apapun kau sebagai peri yang jatuh ke bumi, kau tetap yang terkuat dan terhebat di antara kami. Dan tidak ada satupun dari kami yang sudi kehilanganmu hanya demi manusia arogan seperti Raja Mikoto—"

"—kau hanya tidak mengerti tentangnya, Izumo."

"Dan kau akan sampai kapan terbutakan oleh perasaan dan masa lalu itu, Reishi?!"

"Kau sendiri, sudah berapa kali kubilang bahwa aku hanya ingin menemui Misaki di sana? Dan apabila keringanan kutukan yang diberikan Anna terbukti manjur, aku ingin mempertaruhkan Saruhiko untuk menyelamatkan Misaki! Aku tahu dari cara mereka berdua saling menatap satu sama lain, Izumo. Kau harus percaya padaku…!"

"Kalau begitu, biarkan Saruhiko pergi seorang diri! Kau sudah tidak punya andil apapun dalam hal ini, Reishi. Jika kau pergi, kau akan semakin mengacaukan keadaan!"

"Lalu bagaimana dengan Anna, Seri, dan Tatara?! Mereka bertiga pergi dari semalam untuk memperingatkan Mikoto tentang Misaki dan belum kembali hingga tengah hari seperti ini…! Tidakkah kau pikir bahwa ini adalah sebuah undangan lain darinya, Izumo…? Bahwa memang harus aku yang pergi dan menyelesaikan segala hutangku sembilan belas—tidak, dua puluh tahun yang lalu dengan pria itu—"

"Persetan dengan itu, Reishi! Moors tidak bisa kehilanganmu—"

"—tapi aku juga tidak bisa terus-terusan kehilangan setengah bagian dari diriku seperti ini, Izumo."

"Reishi… kau sungguh-sungguh…."

"… mencintainya? Atau begitukah manusia menyebutnya? Ya, Izumo. Butuh satu tahun berkubang dalam derita dan sembilan belas tahun dalam penyangkalan hingga aku sadar… aku jatuh terlalu dalam untuk pria itu. Jika ini akhirku, aku tidak ingin menyesalinya, Izumo. Maafkan atas segala keegoisanku, Izumo. Dan selalu, seperti yang kukatakan, Moors dan kalian semua akan baik-baik saja tanpa aku, aku percaya hal itu."


...


"MISAKI…!"

Misaki terkejut, bagaimana tidak? Baru satu malam ia keluar dari Moors dan tiba-tiba saja di hadapannya telah terentang peluk kecemasan Tatara dan Seri. Tidak lupa Anna yang tidak lepas mengawasinya di samping seorang lelaki bertubuh tegap dengan surai rambut tertarik ke belakang dan garis wajah seliar singa. Jika Misaki tidak merasa asing dengan tembok kastil yang mengelilinginya, mungkin Misaki mengira dirinya masih berada di negeri Moors saat itu.

"Bocah nakal… kau betul-betul nakal…!" Seri mencubit pipinya keras-keras, terisak kencang tanpa bisa menahan derasnya air mata yang mengalir membingkai pipi lonjong sang peri cuaca. Betapa afeksi sang peri yang sudah seperti ibunya sendiri ini membuat tulang pipi Misaki ikut merona matang. "Jangan kau berani membuatku khawatir seperti ini lagi, mengerti…!"

"I—iya… maafkan aku, Bibi Seri…."

"Sudah, sudah, sekarang… biarkan Yang Mulia bertemu dengan Misaki dulu. Ayo sini, Misaki. Kau harus bertemu dengan ayahmu."

Misaki menurut, dan Tatara membawanya pada sang pria segarang singa di samping Anna. Sepasang amber kemudian menatapnya. Begitu dalam. Penuh haru. Penuh kerinduan.

Dan pria itu membuka mulut, meluncurkan suara berat yang Misaki yakin pernah mendengarnya di suatu tempat. Mungkin di dalam mimpinya. Mungkin di masa kecilnya yang terlupa.

"Misaki… anakku, kau sudah besar rupanya…."

"Yang Mulia…. A—ayah…."

Dalam satu gerakan, lengan kekar pria itu membungkus tubuhnya. Jubah bertahtakan permata yang belum pernah Misaki lihat sebelumnya itu melambai mengikuti gerak tubuh sang raja. Misaki lantas membenamkan wajah di dada sang raja, ayahnya. Menyesap kerinduan dan hangat yang begitu akrab di ujung ingatannya. Matanya yang mendadak terasa begitu panas.

"Aku pulang, Ayah… maafkan aku… aku sudah tahu… semuanya. Tentang Ayah, tentang Reishi…."

Sang raja, kentara tidak bisa menyembunyikan raut keterkejutannya. Sang raja yang kemudian melepaskan pelukannya pada pangeran kecilnya. Amber sang raja yang kemudian mencari di balik hazel Misaki.

"Apa yang penyihir itu katakan padamu, Misaki?"

Misaki, meski polos, ia mampu merasakan aura menekan dan kebencian ayahnya, mengalir ketika sang raja menyebutkan frase pengganti nama Reishi itu di hadapannya. Misaki berjengit ngeri, namun sontak menggelengkan kepala. "Ayah, dengarkan aku…! Delapan belas tahun, dan aku bersumpah di hadapanmu bahwa Reishi tidak pernah melukaiku sedikitpun! Ia tidak peduli siapa aku, bahwa aku adalah anak dari manusia yang pernah mengambil hal paling berharga yang dimilikinya, tapi Reishi… Reishi tidak pernah berhenti menjagaku…! Reishi tidak pernah lelah melindungiku…!"

Sang raja tetap bergeming di tempatnya. Sementara pundak Misaki yang dicengkram sang raja mulai kebas. Misaki meringis nyeri.

"Kumohon, Ayah… jika memang Ayah yang mengambil paksa sepasang sayap milik Reishi dua puluh tahun yang lalu, maka tolong kembalikan sayap itu padanya. Aku… aku…."

"… tapi ia tetap akan mengambilmu dariku, Misaki. Dan sepasang sayap miliknya adalah jaminan hingga kutukannya terhadapmu punah."

"TAPI KAU YANG MENGKHIANATINYA TERLEBIH DAHULU…!" sembur Misaki. Dan sekelebat bayangan wajah Reishi, timbul-tenggelam mengisi ingatannya. Sorot mata yang selalu dirundung luka. Sorot mata yang tidak pernah bahagia. "KAU YANG MEMOTONG SAYAP KEBANGGAAN MILIK REISHI, DAN KAU DENGAN JANJIMU DULU BAHWA—"

Satu bogem mentah, dilayangkan sang raja tepat di sisi wajah Misaki. Misaki kemudian jatuh tersungkur. Ada darah menetes dari tepi bibirnya.

"Yang Mulia, Anda sudah kelewatan…!" sambar Seri, bersiap melemparkan anginnya namun ditahan oleh serpihan kristal berwarna perak dari si peri kuarsa mungil. "Kalian manusia menyedihkan…! Kami ke sini dan yang kami inginkan hanyalah perdamaian! Yang kami minta darimu hanyalah sepasang sayap yang kau curi dua puluh tahun yang lalu, dan kami bersumpah bahwa kami tidak akan menyentuh dunia manusia seujung kuku pun…! Tapi mengapa…."

"Sampai aku mendapatkan jaminan bahwa putraku berhasil terselamatkan dari kutukan penyihir itu, kuminta kalian tetap mengawasinya di kamar yang sudah kupersiapkan khusus untuknya. Apabila putraku selamat, sayap itu akan kukembalikan pada kalian. Namun jika Misaki tidak selamat, kupastikan tidak ada satu pun dari kalian bertiga yang bisa meninggalkan kastil ini untuk selamanya."

Dan yang Misaki ingat setelahnya hanyalah dirinya yang diseret oleh para prajurit berseragam baja, bersama para peri petinggi Moors, melewati lorong dan koridor dan undakan tangga, hingga ia terkunci di dalam sebuah kamar di menara paling tinggi yang menjulang di kompleks kastil sang raja.


...


"Tch. Lalu… bagaimana setelah ini?"

Reishi mendengus pada seekor kuda yang baru saja dibuatnya bertransformasi menjadi sesosok pemuda bernama Saruhiko.

"Aku menyesal bahwa aku tidak pernah belajar sihir transformasi diri sendiri, Saruhiko. Jika aku melenggang masuk dari pintu depan, maka sama saja bunuh diri namanya."

"Tch. Kau seharusnya bilang dari awal, Tuan. Kau lupa kalau kau sudah berkali-kali menyuruhku memata-matai istana? Aku sudah hafal seluk-beluk benteng ini, dan aku bisa menunjukkanmu jalan masuk yang benar-benar luput dari pengawasan para prajurit istana."

"Hoo? Kalau begitu, tolong tunjukkan jalannya, Saruhiko."

"Tch. Lewat sini, kalau begitu, Tuanku Penyihir Agung dari Moors."

"… hentikan sebutan menjijikanmu itu, Saruhiko. Aku sedang tidak ingin mengubahmu menjadi siput."

"Heh. Terima kasih banyak, kalau begitu."


...


Satu-satunya jendela di puncak menara berderit mengerikan. Misaki bergidik, namun Seri cepat-cepat melangkah mendekati jendela, mengetuknya beberapa kali, sebelum berbisik, "Reishi… Reishi datang menyusup ke kastil ini…!"

"Dari mana kau mendapat kabar angin itu, Seri?"

"Izumo. Anak-anak angin ini kiriman dari Izumo. Izumo sendiri sedang dalam perjalanan kemari. Dan Reishi… Reishi tidak bermaksud mencari sayapnya. Reishi ke sini membawa Saruhiko. Reishi mempertaruhkan Saruhiko dalam permainan ini."

Tanpa sadar Misaki melongo. Tidak mengerti arah pembicaraan dari kedua peri di hadapannya itu. Sedangkan jantungnya yang berdegup kencang tidak karuan ketika mendengar Seri menyebutkan nama itu.

"Lalu sekarang bagaimana? Yang penting adalah membawa Saruhiko ke tempat ini, 'kan? Lagipula, kita hanya punya waktu lima belas menit sampai matahari tenggelam, dan—"

"Bukankah lebih baik mencari sayap Reishi terlebih dahulu, agar ia bisa kabur dengan mudah dari tempat ini jika terjadi sesuatu?"

"Tapi kalau memang Saruhiko orangnya, bahkan tanpa perlu Mikoto tahu apakah Misaki sudah kena kutuk atau belum, yang penting adalah keberadaan Saruhiko dan—"

"—HEY HEEEY SEMUANYAAAA…! Bisa tolong tenang dan jangan lupa kalau aku masih ada di sini…?!"

Sontak Seri dan Tatara terdiam. Misaki sendiri kemudian menarik napas panjang, melempar pandang bergantian pada kedua peri di hadapannya, lalu melanjutkan kata-katanya, "Oke, aku tahu ini gila, tapi… lima belas menit lagi dan aku tahu, aku tidak akan selamat dari kutukan itu. Dan yang kuinginkan dari kalian semua lakukan adalah… agar kalian melakukan apapun yang kalian rasa terbaik untuk saat ini."

Kedua peri itu terlihat saling bertukar pandangan, begitu sangsi. Namun Misaki tahu dirinya tidak punya waktu lebih lama lagi. Perutnya sendiri sudah melilit, dan keringat mulai membanjiri tengkuknya. Dan ia tahu dua peri yang sulit berpikiran jernih—meski yang satu sangat gemar menebar emosi positif ini—tidak akan melakukan apa-apa, atau lebih parah hanya akan menghabiskan waktu mereka dengan terisak di sampingnya ketika dirinya sudah teronggok termakan kutukan itu.

"Dengarkan aku baik-baik. Aku ingin kalian meninggalkanku di sini dan berpencar. Anna, aku ingin kau pergi mencari sayap milik Reishi yang ditawan di suatu tempat di kastil ini. Lalu Bibi Seri dan Paman Tatara, aku ingin kalian bisa menemukan Reishi—dan Saruhiko, lalu memandu mereka ke tempat ini. Aku… aku akan baik-baik saja," Misaki menelan ludah, merasakan dingin yang merayapi lengan dan kakinya, "Jujur aku takut, tapi aku tahu aku akan baik-baik saja. Kutukan itu hanya membuatku tertidur dan tidak akan membunuhku, 'kan? Ja—jadi… aku akan menunggu, selama apapun… karena aku percaya, kalian bisa melakukannya. Atau malah… hanya kalian yang bisa melakukannya. Aku hanya manusia biasa. Aku tidak punya kekuatan apa-apa."

Ketiga peri saling bertatapan. Cukup lama. Hingga Anna menubrukkan tubuhnya pada Misaki. Sang peri kuarsa mendekapnya erat. Mata rubi milik sang peri yang berkaca-kaca, meski tidak ada satupun tangis yang menetes. "Misaki bukan manusia biasa. Misaki adalah manusia yang telah kami berkati. Keberanian, kekuatan, dan ketegaran jiwa Misaki… juga kelapangan hati Misaki untuk memaafkan dan mengerti beban derita Reishi. Misaki… jika Misaki menjadi raja negeri ini, berjanjilah padaku bahwa kau akan membawa kedamaian untuk kerajaanmu dan Moors, kerajaan kami."

Dada Misaki mendadak terasa sesak. Sekujur tubuhnya yang gemetar. Oleh haru yang bercampur takut. Misaki mengangguk. "Ya, Anna. Jangan khawatir. Aku janji. Pergilah. Sekarang."

Sang peri kuarsa membungkuk, dan dalam sebuah sapuan cahaya, mengubah bentuknya menjadi cahaya kecil serupa kunang-kunang berwarna perak, terbang melayang dan menembus lubang kunci sebagai satu-satunya pintu keluar yang tersisa dari ruangan yang terkunci rapat itu.

"Misaki… Misaki kecil kami, kau benar-benar sudah dewasa rupanya."

Kali ini giliran sang peri fauna yang menggasak habis surai chesnut Misaki. Dan luapan hangat itu semakin membuncah dari dadanya. "Pa—paman Tatara… sudah, ah…! Cepat pergi…! Bibi Seri juga…! Kalian tidak punya waktu seharian di sini…!"

"Kau juga, pangeran kecil. Tunggulah kami, dan kami akan kembali dengan membawakan cinta sejati bagimu."

"Heh. Kau terlalu banyak dengar cerita roman picisan dari anak-anak anginmu itu, Bibi Seri."

Sang peri cuaca hanya tersenyum. Mengangguk pelan ke arah sang peri fauna, keduanya lantas berubah bentuk, serupa dengan sang peri kuarsa sebelumnya, menjadi setitik kecil persis kunang-kunang berwarna merah marun dan biru, melesat cepat melalui lubang kunci.

Tinggal Misaki seorang diri, terduduk di ranjang kelambu. Menarik napas. Setengahnya lega. Sisanya tenang. Bahkan Misaki heran, bagaimana ia yang hanya seorang anak manusia sanggup memeluk takdir gelap yang membelenggunya dengan kepasrahan luar biasa seperti ini. Misaki tersenyum. Tidak peduli apakah ia ditakdirkan untuk bisa membuka mata dan menjalani hari setelah ada yang berhasil memunahkan kutukan itu atau tidak. Yang jelas, Misaki tidak pernah menyesali hidupnya. Misaki tidak pernah mengingkari sembilan belas tahun kehidupannya yang penuh tawa dan suka cita.

Cahaya matahari di ufuk yang semakin memerah, menipis. Misaki memandang keluar jendela. Sudah waktunya.

Dan pada perapian di sudut ruangan, sebuah bola aura biru melayang-layang. Derak cahayanya yang memanggil Misaki. Bola aura tersebut yang kemudian berubah bentuk. Memipih memanjang. Menyerupai belati. Misaki yang melangkah mendekat. Senyum masih belum hilang dari wajahnya.

"… kita bertemu lagi, eh? Aku ingat kau. Di mimpiku, aku ingat Reishi menggendongku, mendekapku erat, meski dari tangannya menari bola cahaya. Dan itu kau, eh? Aku tahu. Kau yang waktu itu lantas menghujam ke arahku, memandikanku dengan pendaran birumu. Selama sembilan belas tahun ini, kau selalu berada dalam tubuhku, mengawasiku, mengendap-endap menunggu waktumu untuk melaksanakan tugasmu, bukan begitu?"

Misaki mengulurkan tangan. Telapaknya terbuka. Dan sebilah belati padat berwarna biru jatuh ke genggamannya. Tangan kirinya yang menggenggam belati tersebut. Dan tangan kanannya terjulur. Mengusap belati itu. Menyusur dingin benda asing di tangannya. Dari pangkal gagang hingga tiba di mata belati tersebut….

Tanpa ragu, Misaki menancapkan ujung jarinya pada mata belati tersebut. Tanpa gentar, Misaki memeluk erat kutukannya. Tangan takdirnya. Tanpa pernah menyesali apapun. Sedikitpun.


...


Tercekat, Reishi merapat pada ke dinding saluran air bawah tanah. Tubuhnya berguncang. Reishi tahu matahari telah terbenam di ufuk barat. Reishi tahu dirinya telah terlambat. Meski saat itu ia tengah memperjuangkan masa depan Misaki, namun tetap saja Reishi tidak bisa berhenti berharap bahwa ia akan tiba tepat pada waktunya untuk memunahkan kutukan itu seorang diri.

"Tuan…."

Bisik panggilan Saruhiko yang seolah mengembalikan kesadarannya. Ya, ia tidak boleh berhenti sampai di situ. Ia harus menebus segala kesalahan masa lalunya. Ia tidak bisa berhenti. Reishi tidak boleh menghentikan langkahnya.

"Aku tidak apa-apa, Saruhiko. Lanjutkan saja."

Keduanya kembali berjalan dalam diam. Hanya ditemani kecipak air saluran pembuangan setiap kali Reishi menyeret jubahnya yang mulai memberat dirembesi air. Beberapa meter di depan dan Reishi melihat ujung dari saluran pembuangan tersebut. Ia mulai bertanya-tanya apakah Saruhiko sengaja menjebaknya lalu menerjunkannya pada arus sederas ini atau—

"Tuan, kau jangan berpikiran yang tidak-tidak. Di sebelah sini ada tangga, dan aku tahu kau tidak bisa berenang."

Reishi merasa harga dirinya tertohok oleh kalimat ketus pelayan setianya baru saja itu.

"Kerja bagus, Saruhiko. Kau rupanya tahu—erhm, seleraku—untuk tidak berlama-lama berkecimpung di dalam air."

"Tch. Aku hidup hampir dua puluh tahun bersamamu, dan aku sudah bosan dengan wajah memelasmu setiap kali Misaki berusaha menceburkanmu ke sungai dangkal hanya untuk membuatmu tertawa, setahun belakangan ini."

Lidah Reishi tercekat, tidak jadi melontarkan pembelaan dirinya. Di saat seperti ini, dan ingatannya masih saja sempat melayang pada hari-hari penuh kebahagiaan itu. Hari-hari di mana tanpa ia sadari, cahaya matahari mulai menyelusup malu-malu di langit Moors. Dan semua itu berkat Misaki. Berkat sang pangeran kecil yang menjembatani Moors dan dunia manusia. Sebagai satu-satunya manusia yang mampu memberikan kehangatan bagi seantero Moors yang nyaris membeku dilalap musim dingin berkepanjangan dari dukanya.

"Lewat sini, Tuan—"

Kata-kata Saruhiko yang tiba-tiba saja terputus. Reishi hendak menanyakan apa yang terjadi, tepat ketika dua bulir cahaya, berwarna merah marun dan biru terang menyala, terbang melayang-layang mengitari dirinya dan Saruhiko.

"Oh? Lihat siapa yang datang? Tatara dan Seri, kah?"

Kedua peri itu kemudian terbang rendah, satu di dekat daun telinga Reishi dan satunya lagi melipir di pendengaran Saruhiko. Dan dari yang Reishi tangkap dengan apa yang dibisikkan Seri di telinganya, kedua peri itu datang untuk memandunya ke tempat Misaki berada.

"Namun kita harus menunggu waktu yang tepat," bisik Tatara, "saat ini, Raja Mikoto pasti sedang mengecek ke kamar tempat Misaki dipingit, dan tentunya Raja akan murka ketika ia menemukan Misaki terbaring tak sadarkan diri akibat kutukannya, lalu ketiga peri yang seharusnya menemani sang pangeran mendadak tidak bisa ditemukan di mana pun."

"Dan kamar tempat Misaki berada….?"

"Di puncak menara barat."

Reishi mendengar decak lidah dari Saruhiko. "Kamar di puncak menara sisi barat? Tempat yang bagus untuk menyekap Misaki sekaligus menunggu kedatanganmu kemudian menyergapmu, Tuan. Satu-satunya jalan keluar-masuk hanyalah tangga spiral dari sayap barat kastil, dan kau tidak akan punya jalan keluar lain dari menara itu, kecuali kau punya nyali untuk terjun bebas dari satu-satunya jendela yang ada di kamar tersebut."

Terkekeh, Reishi bahkan mendengar getir dari nada tawanya. "Informasi yang lengkap dan merupakan sebuah tempat perburuan sempurna, Saruhiko. Dan idemu agar aku melompat dari puncak menara juga tidak jelek adanya."

"Tch. Kau jangan coba-coba melakukan hal bodoh yang ingin membuatku menenggelamkanmu ke dasar danau, Tuan."

"Heh heh. Aku ingin melihat kau mencobanya, Saruhiko."

"Tch. Lalu? Sampai kapan kita harus menunggu?"

"Sebentar lagi," dengung Tatara, yang kemudian disusul anggukan oleh Seri, "serangga-serangga kecilku dan anak-anak angin milik Seri mengatakan bahwa Raja Mikoto saat ini masih ada di kamar tersebut, tengah memindahkan Misaki ke ranjang kelambunya. Kita harus benar-benar menunggu hingga keadaan tenang, barulah kita bisa bertindak."

"Lalu bagaimana dengan Anna? Anna, baik-baik saja?"

Dengung lembut yang kemudian menjawab pertanyaan Reishi.

"Jangan khawatir, Reishi. Anna kini sedang mencarikan sayapmu yang dicuri dua puluh tahun lalu. Ya, sayapmu, Reishi. Sayapmu ada di sini. Dan kami tahu, kau pun sanggup merasakan keberadaan sayap kebanggaanmu itu, terkunci di suatu tempat di dalam kastil ini."


...


Gelap malam mulai meninggi. Anna mengepak sayap kupu-kupu mungilnya dengan cepat. Beruntung bahwa di negeri manusia kini sedang berada pada pertengahan musim panas dan para manusia itu juga mengenai satwa bernama kunang-kunang, sehingga kerlipan Anna dalam bentuk peri ekstra-mininya ini, apabila tertangkap mata, hanya akan dikira sebagai kunang-kunang tersasar dari kelompoknya semata. Meski demikian, Anna tetap memilih terbang merapat pada langit-langit kastil yang berdebu dan berlumut. Atau berusaha menyamarkan kerlipnya dengan cahaya rembulan yang mulai masuk menerobos jendela-jendela kaca.

Hingga akhirnya Anna tiba di sayap timur kastil, ruang tempat tinggal Raja Mikoto, tempat yang Anna perkirakan sebelumnya sebagai satu-satunya tempat paling memungkinkan untuk sang raja menyimpan sayap milik Reishi.

Mengapung di sepanjang lorong, Anna melesat masuk ke dalam lubang kunci dari satu-satunya pintu di koridor tersebut, terletak tepat di sudut koridor. Terbang rendah, Anna mengepak sayapnya kuat-kuat, kembali menempel pada langit-langit. Sementara mata rubinya menyisir sekelilingnya. Ruangan yang seperti sebuah kamar, lengkap dengan lemari, patung-patung, perapian dan satu set sofa di depan perapian… pernak-pernik manusia yang sebenarnya begitu ingin Anna bawa untuk menghias interior istana kuarsanya.

"Reishi…."

Suara rendah itu membuat Anna terlonjak dan nyaris membenturkan kepalanya pada rantai lampu gantung di dekatnya. Anna kemudian terbang pada satu pintu dengan kilauan cahaya lilin memancar dari dalam ruangan tersebut. Menyambut suara bisik yang berasal dari ruangan tersebut.

Dan di dalam ruangan itu, Anna menemukannya. Satu ruangan kecil, berpenerangan lilin temaram. Raja Mikoto berdiri di sana. Memunggungi pintu masuk. Kepala tengadah menatap ke dalam sebuah lemari kaca yang diletakkan tepat di hadapan jendela setinggi dua meter. Sementara Anna terperangah, karena apa yang ada dalam lemari kaca tersebut, tidak lain adalah sepasang sayap berwarna biru tua, sewarna langit malam.

Sayap milik Reishi.

"Reishi…."

Suara berat Raja Mikoto terdengar lagi. Begitu lirih. Begitu menyesakkan hati Anna. Anna terbang ke atas kepala sang raja, mengamati dari langit-langit. Memandang lemah ketika Raja Mikoto mengulurkan tangan, mengusap lemari kaca tersebut, seolah tengah membelai lembut bulu-bulu biru itu di telapaknya. Seolah sejak awal tidak pernah ada kaca yang menghalangi sang raja untuk membenamkan tangan pada bulu-bulu lembut dari sayap tersebut.

"Maafkan aku… kumohon…. Maafkan aku…."

Puluhan tahun yang lalu ketika Reishi meminta izin pada Anna untuk membawa masuk anak manusia bernama Mikoto ke negeri Moors, Anna sudah melihat hal ini akan terjadi. Sang peri kuarsa bukan hanya sekedar sebagai penjaga istana kuarsa yang menjadi lambang kemakmuran Moors, melainkan sebagai satu-satunya peri yang dianugerahi kekuatan untuk membaca masa lalu dan masa depan melalui pantulan kuarsa di istananya. Anna sudah tahu. Anna melihatnya sendiri. Masa depan yang menanti Reishi dan Mikoto apabila jalan takdir keduanya ditautkan bukanlah merupakan masa depan indah berbalut ketentraman hingga akhir hayat.

Meski Anna tetap bertaruh. Ada yang bersikeras Anna sampaikan pada Reishi. Ada yang ingin Anna ajarkan pada sang pelindung Moors. Juga pada Mikoto. Betapa Anna ingin mengajarkan pada manusia tentang keindahan dari negeri impian yang penuh keajaiban. Betapa Anna ingin memberitahu manusia, bahwa bukan manusialah yang seharusnya takut akan kekuatan para penghuni Moors, melainkan bahwa Moors yang menutup diri karena takut oleh teknologi dan peradaban yang dimiliki manusia. Kedua dunia yang mungkin tidak ditakdirkan untuk sejalan, namun Anna tetap ingin mempercayai mimpinya. Anna ingin mempercayai setiap bentuk keindahan dari kedua dunia itu. Dari Moors. Maupun dari dunia manusia.

Tentunya Anna pun sudah tahu apa yang menjadi alasan bagi Mikoto untuk mencabut sayap Reishi dua puluh tahun lalu. Apa arti di balik pengkhianatan Mikoto terhadap makhluk yang paling dicintai sang raja tersebut. Dan Anna, sesuai tugasnya, hanya akan diam dan mengawasi. Satu-satunya hal yang tabu untuk dilakukan oleh peri kuarsa adalah turun campur dalam mengubah masa depan. Berani mengusik jalan takdir menuju masa depan yang tergambar dalam pantulan istana kuarsanya, maka sang peri akan kehilangan nyawanya, tercabik dan terbakar, meranggas dan berubah menjadi abu dalam hitungan detik. Anna tahu konsekuensinya. Maka dari itu Anna hanya bisa melihat dalam pedihnya. Mengawasi dalam diamnya.

Berusaha mencari arti dari apa yang duka selalu ajarkan padanya.

Di bawah kakinya, pundak Raja Mikoto bergetar. Seolah tengah melawan luapan emosi yang ingin tumpah-meruah. Besar keinginan Anna untuk menggapai. Untuk mengulurkan tangan dan menenangkan raja manusia itu. Untuk mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa Reishi tidak lagi membencinya. Bahwa selama dua puluh tahun berlalu, dan Reishi tidak pernah berhenti mencintainya.

Apa daya… masa depan yang Anna lihat tidaklah semudah itu. Tidaklah semenyenangkan harapannya. Tidaklah bahagia apa adanya.

"Yang Mulia Raja Mikoto…."

Satu prajurit berbaju zirah muncul di ambang pintu. Cepat-cepat Anna melesat naik, sebelum sang raja menyadari keberadaannya.

"Ada apa?"

"Mohon maaf, kami… belum bisa menemukan jejak para peri di mana pun."

"… kalian benar-benar tidak bisa melakukan apapun tanpa kehadiranku, eh?"

Membuang napas keras, sang raja berbalik, mengibaskan jubah bertahta permatanya, lalu membanting pintu ruangan tersebut. Derap langkah sang raja yang menggaung, menjauh. Hingga Anna yakin gema langkah itu hilang dari pendengaran tajamnya, Anna turun dari langit-langit dan menjelma kembali dalam sosok peri semulanya.

"Psstt… Anna…."

Anna menoleh. Satu kerlip cahaya emas terbang mengelilingi lemari kaca tersebut. Detik berikutnya, titik yang layaknya kunang-kunang itu menjelma di sisinya. Menampakkan sosok sang peri flora.

"Izumo…? Bagaimana…."

"Hahh… nyaris sekali, Anna. Aku masuk ruangan ini bersamaan dengan Raja Mikoto masuk ke dalam kamarnya. Dan aku tidak punya tempat berlindung lain selain di belakang pintu yang mendadak menjeblak terbuka sampai aku nyaris terjepit di sana. Dan Misaki… Reishi terlambat, ya?"

Anna mengangguk. Matanya terpancang pada sepasang sayap di hadapannya. "Seri terus mengirimkan anak anginnya padaku. Seri bilang bahwa mereka akan menunggu sampai dini hari, sampai para prajurit manusia itu mulai menurunkan penjagaan mereka, sampai Mikoto yakin bahwa kita memang sudah pergi meninggalkan kastilnya ini."

Sang peri flora di sampingnya ikut memandang ke arah sayap biru tua tersebut. "Jadi…? Yang harus kita lakukan adalah membebaskan sayap ini dan membawanya ke tempat Reishi berada sekarang?"

"Terlalu beresiko, Izumo. Reishi bukan tipe peri seperti kita yang bisa mengubah bentuknya menjadi serupa kunang-kunang. Dan kita juga tidak bisa membawa sayap besar Reishi ini ke tempat persembunyiannya. Kita bisa mengubah bentuk tubuh kita, namun kita tidak bisa menyamarkan sayap yang akan kita bawa bersama kita."

"Lalu? Apa rencanamu, Anna…?"

Anna memiringkan kepala. Tubuhnya terangkat dan mengapung beberapa sentimeter dari atas lantai marmer, berayun mengelilingi kotak kaca tersebut. Anna kemudian mengintip ke luar jendela. Ruangan itu berada di tingkat tiga di sayap timur kastil, sementara tujuannya adalah menara menjulang tinggi di sisi barat sana.

Meski Anna lantas tersenyum. Isi kepalanya menampilkan gambaran-gambaran jelas tentang apa yang harus dilakukannya. Apa yang bisa dikerjakannya.

"Anna…?"

Menoleh ke arah Izumo, Anna memamerkan senyum penuh percaya dirinya.

"Bersiaplah, Izumo. Karena aku akan membutuhkan bantuan tanaman rambatmu."


...


Dini hari. Masih terjebak dalam gorong-gorong. Gigi Reishi mulai bergemelutuk. Padahal sehari-harinya ia habiskan di atas puncak gunung tertinggi Moors, dan bisa-bisanya sekarang ia menggigil kedinginan dan basah kuyup hanya karena saluran air yang diciptakan para manusia.

Menyadari sang pelindung Moors yang kelelahan, sang peri cuaca menghela napas dan mengibas tangannya. Air menyibak dari tempat Reishi dan Saruhiko menjejakkan kaki.

"Kau seharusnya bilang padaku kalau kau kedinginan karena kakimu yang berjam-jam berada dalam air, Reishi."

"… terima kasih banyak kalau begitu, Seri."

Sang peri cuaca mengangguk anggun. Sementara Saruhiko mendengus, kentara menahan tawa. Reishi yang kemudian memicing, bersamaan dengan lolongan serigala, samar-samar terdengar di daun telinganya dari kejauhan, jauh dari balik tembok gorong-gorong kastil.

"Saruhiko, kuingatkan kau jangan melolong di sini, atau kau akan membuatku tertangkap."

"… tch. Kau balas mengejek, begitu, Tuan?"

"Oh? Kau merasa terejek? Aku hanya mengingatkan. Siapa tahu kau sudah gatal ingin berubah wujud menjadi serigala, semenjak terakhir kali aku mengubahmu menjadi salah satunya, sembilan belas tahun yang lalu."

"Tch. Terima kasih banyak, Tuan, saat itu kau membuatku tidak berhenti mandi karena kutu-kutu sialan itu."

"Sudah, sudah… jangan bertengkar terus, kalian berdua," potong Tatara, yang sama seperti sang peri cuaca, telah kembali ke wujud asli mereka dan kini tengah mengapung demi menghindarkan kaki masing-masing dari terjangan aliran air. "Aku baru saja mendapat kabar dari para tikus dan serangga malam… penjagaan sudah mereda. Mungkin kita bisa keluar sekarang?"

"Ya. Aliran udara juga sepertinya sudah stabil. Aku tidak merasakan semilir angin mencekam. Kurasa ini saat yang tepat."

"Seri, jangan lupa kirimkan kabar pada Anna kalau kita akan bergerak sekarang."

Reishi kemudian melangkah cepat, mendekati Saruhiko yang memandunya menaiki palang-palang tangga. Dua butir cahaya, merah marun dan biru, menyusul mendahului Reishi dan Saruhiko, kemudian menggeser pintu gorong-gorong agar tidak menimbulkan bunyi dentang memekak berlebihan. Kedua peri dalam bentuk kunang-kunang itu melesat terlebih dahulu, dan ketika keadaan aman, Saruhiko lantas memberinya isyarat untuk memanjat palang-palang itu dan merangkak keluar dari gorong-gorong.

"Ini di…."

"Kamar mandi di ujung koridor barat. Kita tinggal keluar, dan pintu menuju menara ada tepat di seberang pintu keluar kamar mandi ini. Yang jadi masalah, di koridor luar, ada penjaga atau tidak?"

Memilih tidak menjawab, Reishi menyentak tongkatnya ke arah pintu, dan asap biru mengepul dari ujung tongkatnya, mengapung menyelusup melalui lubang kunci. Menjalar perlahan. Hingga beberapa detik kemudian, terdengar bunyi baju zirah berkelontangan. Dan pintu kayu itu yang menderit terbuka, menampilkan gurat wajah kesal Seri dan tawa miris Tatara—kembali dalam sosok peri mereka semula.

"Reishi…!" Seri mendesis, nada suaranya naik satu oktaf. "Seharusnya kau beritahu kami tentang asap-bius-mu barusan…! Kalau aku dan Tatara sampai tertidur juga, kau mau tanggung mengangkut kami hingga ke puncak menara, hah?!"

"Sudah, sudah, Seri…. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan, toh para penjaga sudah tumbang semua."

Tanpa bertukar kata lebih panjang, Reishi menuruti kata-kata Tatara. Ia melangkah cepat, meringankan tubuhnya dan sapuan jubahnya. Matanya sempat melempar pandang pada lima penjaga yang bergelimpangan di sepanjang koridor, dengan awan biru masing mengambang memenuhi lorong tersebut. Cepat-cepat, Reishi mengikuti Saruhiko, masuk ke dalam satu pintu lagi, yang lantas menjemputnya dengan ratusan anak tangga spiral meliuk yang bahkan tidak bisa Reishi lihat ujungnya.

"Hei hei… ini tidak bercanda, 'kan?"

"Tch. Tentu tidak. Atau kau berniat mengubahku menjadi—"

Kali ini naga hitam, atau mungkin hanya sebesar buaya dan bersayap—Reishi tidak peduli, toh yang dibutuhkannya hanyalah sepasang sayap yang mampu membawanya terbang tanpa harus kelelahan mendaki anak-anak tangga itu satu per satu. Dan satu decih yang khas meluncur dari lidah menjulur si naga hitam. Reishi hanya terkekeh geli ketika si naga merendahkan tubuh, mempersilakannya untuk memanjat naik ke atas punggung si naga, lalu mengangkatnya terbang tinggi, sementara dua cahaya merah marun dan biru saling menyusul, terbang indah di sampingnya.

Tiba pada undakan terakhir, Reishi mendarat dan mengembalikan Saruhiko menjadi manusia seperti semula. Seri dan Tatara pun menghentak mulus dan kini berdiri berdampingan di belakang Reishi. Saruhiko, maju terlebih dahulu, menekan daun pintu dan mendorong pintu kayu tersebut.

Dan apa yang ada di dalam ruangan itu, mungkin bagi Reishi adalah pemandangan paling menenangkan yang pernah ditemuinya. Misaki yang tertidur, dada naik-turun berirama di atas sebuah ranjang berkelambu sutra berwarna keemasan. Misaki dengan wajah lelapnya, bibirnya melengkung tipis. Penuh kedamaian. Bahkan hingga ke relung terdalam Reishi.

Bahwa dirinya telah diampuni. Ketika Misaki membuka matanya nanti, Reishi tahu, Misaki telah mengampuninya.


...


"Tch, jadi...? Apakah kalian harus berada di sini sementara aku menciumnya?"

"Lakukan saja, Saruhiko. Kita tidak punya banyak waktu."

"Tch. Baik, baik. Dasar peri berdada besar—"

"—apa katamu?!"

"Sudah, sudah. Saruhiko… silakan."

Saruhiko menelan ludah. Tidak lagi mencari tanda-tanda bahwa ketiga peri—oh ya, tuannya itu juga sebetulnya masih termasuk ras peri—di sekelilingnya akan meninggalkannya sendiri di ruangan itu demi melaksanakan tugasnya pada Misaki—dan jangan berpikir macam-macam, tugasnya hanya untuk mencium bocah itu saja, bukan?

Namun Saruhiko tidak sanggup memalingkan perhatiannya dari debaran menghangat di dadanya. Wajahnya yang bersemu merah. Serta berbagai macam gelegak hasrat memabukkan lainnya yang begitu ingin ditumpahkannya terhadap tubuh yang terbaring di hadapannya itu.

"Lakukan saja apa yang harus kau lakukan, Saruhiko. Hatimu mengetahuinya."

Saruhiko mungkin tidak akan ingin tertawa sinis jika yang mengucapkan kalimat barusan adalah Tatara dan bukan dari mulut seorang penyihir yang menderita putus cinta semacam Reishi. Meski Saruhiko harus mengakuinya. Satu anggukan dan senyum samar di wajah Reishi, dan sorot teduh sang penyihir, terlihat berkilau ketika Reishi bersandar di ambang jendela, mampu meredam desir menggilanya.

Dan yang kini mengisi kepala Saruhiko adalah segala hal mengenai Misaki. Tawa polos Misaki. Suara teriakan Misaki. Manik hazel Misaki yang selalu menatapnya dengan binar seterang matahari pagi. Segala rasa dan jalaran hangat yang tumpah-ruah. Menyesakkan dada Saruhiko.

Saruhiko membungkukkan tubuhnya. Tangannya mengusap pelan sisi wajah Misaki, menyapu helai rambut chesnut yang menghalanginya. Bibirnya yang lantas melengkung manis. Berbisik.

"Aku mencintaimu, Misaki."

Dan bibirnya yang bertemu dengan milik Misaki. Begitu lembut.

Butuh beberapa detik Saruhiko bertahan dalam posisinya, hingga ia merasakan ritme napas Misaki berubah. Ia melepaskan kontaknya pada sang pangeran. Tepat bersamaan dengan sepasang kelopak yang mengatup perlahan, terbuka dan menampakkan hazel yang sangat dirindukan Saruhiko.

"Aku juga mencintaimu, Monyet Bodoh…."

Saruhiko membantu Misaki bangun dari ranjangnya. Pemuda itu menggeliat dan menguap, punggung tangan menggisik kedua matanya. Barulah ketika kesadaran sang pangeran muda pulih sepenuhnya, Seri dan Tatara ikut menjatuhkan diri ke atas tubuh Misaki, membuat sang pangeran kembali terjengkang ke atas ranjangnya.

"He—hei… Paman Tatara… Bibi Seri…."

"Anak bodooooh…! Kupikir aku tidak akan bertemu lagi denganmu…! Sudah kubilang, jangan pernah membuatku cemas lagi, Misaki…!"

"Bibi Seri, sudaaah…! Aku sesak—kau menimpaku…."

Dan sebelum terjadi adegan dramatis-satu-abad lainnya, Saruhiko buru-buru menarik tangan Misaki, membantu sang pangeran muda membebaskan diri dari dua peri yang terlampau mencemaskan Misaki itu.

"Misaki…."

Kemudian, tatapan hazel yang bertemu dengan sepasang ungu. Saruhiko mampu merasakan aura di sekeliling tuannya menegang. Namun aura tersebut mencair sesaat kemudian. Atau tepatnya ketika Misaki berlari dan memeluk tubuh yang terbalut jubah hitam panjang itu.

"Misaki, maaf… aku…."

"Reishi, sudahlah. Aku sudah mengerti semuanya. Sekarang, karena bebanmu tentang kutukanku sudah lepas… kau mau temani aku bertemu ayahku? Aku akan memintanya mengembalikan sayapmu, dan setelah itu kita bisa hidup bahagia bersama, bagaimana?"

"… kurasa tidak semudah itu yang namanya bahagia-sekarang-dan-selamanya, Anakku."

Tepat di ambang pintu, sang raja berdiri. Tatapan selayak singa ganas. Diikuti derap langkah menderu dari tangga spiral menuju ruangan itu. Saruhiko melempar pandang pada tuannya.

Saruhiko tahu. Inilah saatnya. Saat bagi tuannya untuk membayar apa yang terjadi di antara sang penyihir Moors dan sang raja manusia. Dan Saruhiko tahu tuannya tidak bisa lari lagi, tidak tanpa sayap besar kebanggaan milik sang tuan.


...


"Lama tidak bertemu, Reishi. Terakhir kali semenjak kau datang ke pesta kelahiran Misaki, dan kuingat kau tidak sekurus ini."

Tubuh Reishi menegang, seolah terkunci kaku ketika sepasang amber yang sudah nyaris dilupakannya selama sembilan belas tahun itu menatap nyalang pada ungunya. Tangannya terkepal. Sementara Seri dan Tatara telah menarik langkah, berdiri menjajarinya, sama-sama memasang kuda-kuda. Dan Saruhiko di hadapannya, menggeram ganas layaknya serigala, ditemani Misaki.

Misaki yang merentangkan tangan di hadapannya. Berusaha melindunginya. Dari ayah anak manusia itu sendiri.

Reishi melihat amber itu digenangi kekecewaan. Sarat ketidakpercayaan.

"Misaki. Kutukanmu sudah punah. Kembalilah padaku. Kau tahu di sini tempatmu."

"Tempatku adalah sebagai seorang raja, yang mencintai dan dicintai rakyatnya, dan juga…," sang pangeran muda sesaat melempar pandang dan seringai lebar pada Reishi, "sebagai manusia yang mampu mengagumi dan melindungi keindahan Moors, beserta para penduduknya."

"Heh. Otakmu sudah dirasuki apa oleh penyihir itu, Misaki?"

Reishi merasakan bahu kecil di hadapannya itu berguncang. Menahan amarah dan sebentuk kekecewaan lainnya. Menepuk bahu sang pangeran dengan lembut, Reishi melangkah maju. Ia tidak bisa terus-menerus dilindungi para peri petingginya. Bahkan sampai ditamengi oleh seorang anak manusia dan pelayan setianya. Reishi, sang pelindung Moors, dan ia harus berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Melindungi dirinya sendiri. Perasaannya.

"Lama tak jumpa, Raja Mikoto. Kau sendiri, cekungan di bawah matamu itu bertambah dalam saja, sepertinya. Namun tentunya kau kini bisa tidur nyenyak setelah keselamatan pangeranmu terjamin, bukan?"

"Tidak, Reishi. Belum. Aku tidak akan bisa tidur sebelum aku tahu apa lagi yang akan kau lakukan untuk membalaskan dendammu. Apa lagi yang akan kau ambil dariku sebagai bayaran setelah aku mengambil sayap indahmu itu."

Mendesah. Reishi tahu tidak mudah berargumen dengan manusia yang satu ini. "Sejujurnya, Mikoto," ucap Reishi, dengan nada bicaranya yang melunak dan ia pun menanggalkan panggilan satirnya pada sang raja, "kupikir aku bisa datang ke sini dan bernegosiasi denganmu agar kau mengembalikan sayapku. Atau aku bahkan sudah berbesar hati jika aku harus pulang dengan tangan hampa."

"Begitu? Jadi maksudmu, kau melupakan apa yang terjadi dua puluh tahun lalu, begitu saja, Reishi?"

"Bukannya melupakan, tapi memaafkan," bantah Reishi, pahit menggenang di pangkal lidahnya. Ia mengadu ungunya lagi dengan amber itu. Dirinya membatin. Memohon. Berharap. "Aku memaafkanmu, Mikoto. Apa itu tidak cukup bagimu?"

"Bagiku itu cukup. Tapi Moors dan utamanya keberadaanmu, tidak cukup bagi rakyatku, Reishi."

Satu lambaian tangan, sejumlah prajurit berbaju zirah menyeruak masuk dengan tombak teracung ke arahnya. Reishi melangkah mundur. Keringat mulai membanjiri tengkuknya.

Reishi benar-benar tidak punya jalan lain. Reishi tidak bisa lagi mengorbankan para perinya, atau Saruhiko, atau Misaki sekalipun. Satu tarikan napas, Reishi berbalik, berlari, melempar sebentuk bola energi berwarna biru dari tongkatnya ke arah jendela.

Sang penyihir menjatuhkan dirinya dari ambang jendela.


...


"REISHI—"

Misaki merasa tubuhnya ditahan sedemikian rupa oleh Saruhiko. Misaki berontak, sedangkan kedua peri di seberang ruangan yang tertawan kepungan tombak, tersudutkan. Namun yang lebih tidak Misaki mengerti adalah apa yang ayahnya lakukan.

Karena tepat ketika Reishi berlari ke arah jendela, Mikoto turut memburu langkah, seolah tahu apa yang akan dilakukan sang penyihir itu. Dan ketika Reishi menjatuhkan dirinya dari jendela, sang raja manusia ikut menerjunkan dirinya, hilang dalam kegelapan malam.


...


"Izumo… DI SANA…!"

Meniti atap kastil dengan tanaman rambat membalut kencang di pinggangnya dan Anna, Izumo mengibaskan tangan. Sebentuk kepompong tanaman rambat terlempar dari sampingnya, kemudian merekah terbuka, membebaskan sepasang sayap besar sewarna biru langit yang kemudian melesat cepat. Menjemput tuannya yang meluncur terjun bebas dari puncak sebuah menara menjulang tinggi.

"Terbanglah, Reishi. Terbanglah…."


...


Reishi nyaris muntah ketika rasa sakit menghujam punggungnya. Namun sedetik kemudian, tulang-tulang di punggungnya berderak. Sayapnya yang kembali tertanam di punggungnya. Reishi meringis. Menahan nyeri dan haru. Ia tidak tahu siapa dan bagaimana, namun yang kini bisa Reishi lakukan hanyalah membentang sayapnya. Ia harus menyelamatkan kepalanya yang tinggal beberapa belas meter lagi menyapa tanah—

—namun ketika ia merentang sayapnya, menahan tubuhnya horizontal, satu tubuh lain lantas menabraknya, membuatnya oleng akan beban yang mendadak tertumpu menindih sekujur tubuhnya.

"Mikoto—"

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke mana pun, Reishi."

Dan Reishi tidak bisa lagi mengendalikan jatuhnya. Berusaha mengepak sayap sekuat tenaga sembari membawa tubuh yang mendekapnya erat, Reishi menukik tajam, melaju seperti peluru. Namun jaraknya yang terlalu dekat dengan tanah dan atap perumahan Reishi melesak di atas atap-atap, terseret sejauh beberapa meter, diiringi bunyi berdebam nyaring. Tubuhnya yang kemudian terpelanting dan berguling, jatuh terjerembab dari atap.

Sementara Reishi masih memeluk tubuh sang raja manusia erat-erat dalam dekapannya. Tidak peduli pada bunyi menderak keras dari punggung dan kakinya. Tangannya yang memeluk tubuh itu yang mulai kebas. Tetes demi tetes substansi kental yang mengaliri kepalanya.

"Mikoto…? Kau baik-baik saja—"

Satu belati, terhunus di dadanya. Dan rasa sakit yang sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Reishi kehilangan kata-katanya. Reishi tidak lagi bisa berpikir ketika si pemilik amber membebaskan diri dari dekapannya, dengan kedua tangan gemetaran membenamkan belati itu di atas dadanya.

"… kena—pa….?"

"Maafkan aku, Reishi… maafkan aku… kumohon, maafkan aku…."


...


"IZUMO, CEPAT…!"

Anna melayang rendah, menyerang prajurit-prajurit yang mengejarnya dengan kristal-kristal putihnya. Sementara Izumo dan tanaman rambatnya menghadang prajurit yang datang dari arah depan, mengikatnya pada lantai dan dinding terdekat, lalu Tatara yang menyerukan pasukan tikus gotnya untuk mengerubungi dan menjatuhkan para prajurit yang tersisa.

"SEBELAH SINI…!"

Seri, dengan tiupan anak anginnya, memandu ketiga peri lainnya, juga Saruhiko yang menyeret Misaki untuk terus berlari, ke tempat Reishi berada.

"Kenapa…?" Misaki berteriak, menuntut jawaban meski sang pangeran sendiri tampak tidak yakin tengah melayangkan pertanyaannya pada siapa. "Kenapa ayahku sebegitunya membenci Reishi? Reishi sudah memaafkannya, dan apalagi yang—"

"—karena rakyatmu, Misaki… karena manusia, yang selamanya akan takut dan tidak pernah tenang jika Reishi, sang pelindung Moors, belum mati dan selamanya akan menjaga Moors."

Jawaban miris dari Tatara. Sang pangeran muda membelalakkan matanya.

"Tapi—tapi… manusia tidak ada alasan takut pada Moors, 'kan? Moors tidak pernah menyerang manusia terlebih dahulu. Moors tidak pernah… jadi kenapa…."

"… sesederhana arti ketakutan itu sendiri, Misaki. Manusia terlalu takut dengan kekuatan yang dimiliki oleh Moors, sama seperti ketakutan yang dimiliki Moors terhadap teknologi dan peradaban manusia. Kami penduduk Moors memilih diam dan menghindari, sementara manusia, mereka akan memilih untuk menghancurkan daripada memilih untuk mengerti. Dan kau, Misaki, jangan bantah apapun mengenai hal ini. Kau adalah manusia istimewa dengan keteguhan hati. Kau adalah manusia beruntung yang dapat mengerti Moors karena delapan belas tahunmu yang kau habiskan di dalamnya. Karenanya kau tidak akan mengerti kemelut yang manusia rasakan tentang Moors… setidaknya tidak untuk saat ini."

"Jadi hanya untuk itu, dan Reishi harus…."

Untuk pertama kalinya, sang pangeran muda menitikkan air mata. Bersamaan dengan tetes-tetes perak yang juga meluncur dari mata rubi sang peri kuarsa, yang belum berhenti melambaikan tangan dan meluncurkan serangan kristalnya.


...


Reishi terbatuk keras. Substansi kehitaman meluncur dari mulutnya. Napasnya sesak. Nyeri di dadanya terasa begitu membakar.

"Aku mengerti… Mikoto…. Aku—tahu…," bisik Reishi lemah. Kata-katanya sudah tidak bisa lagi ia ucapkan dengan lugas dari bibirnya yang bergetar menahan sakit. "Kau boleh… lakukan tugasmu… Mi—koto. Bunuh aku… itu yang—rakyatmu mau… bukan…?"

Namun sang raja bergeming. Sang raja hanya mendekap tubuhnya erat, menggeleng keras seperti anak kecil.

"Mi—koto… kau… menusuk tepat… di jantungku…. Jika kau—tidak mengoreknya… kau… hanya akan… membuatku menderita—seperti ini… seumur hidupku…."

Satu tarikan napas. Tangan Mikoto yang bergetar hebat. Reishi tahu, sang raja mati-matian menahan segala emosi yang berkecamuk dalam tubuh manusia yang rapuh itu.

"Bunuh aku, Reishi. Berikan kutukanmu padaku. Aku akan menerimanya. Kalau kau bilang kau ingin aku bahagia, maka aku menolak untuk bahagia, Reishi. Aku mengemban tugasku sebagai raja, tapi aku menolak kehilanganmu.

"Aku menolak bahagia tanpamu, Reishi…."

Reishi memejamkan matanya. Terbatuk keras lagi, kali ini tenggorokannya sudah benar-benar dipenuhi oleh darahnya sendiri. Bibirnya tertarik ke samping. Ah, raja manusianya ini memang sangatlah egois. Sangatlah arogan.

Sangatlah mencintainya.

Perlahan, tangan Reishi terangkat, tepat ke atas dada Mikoto. Aura biru melesat keluar dari telapak tangannya, membentuk satu formasi lingkaran sihir. Reishi kemudian menggoreskan jemarinya di atas pendaran asap lingkaran sihir itu, seolah melukiskan pola-pola dan huruf-huruf lain pada lingkaran sihirnya. Mulutnya yang membisik mantra di balik nyeri yang mati-matian ditahannya. Hingga pada akhirnya asap biru itu meluas, membungkus sekujur tubuh sang raja.

"Dua puluh—empat…," bisik Reishi, terbatuk dan memuntahkan darah untuk kesekian kalinya, meski lengkung hangat di bibirnya masih belum sirna. "Dua puluh… empat kali… kita akan bertemu… di ruang—dan waktu… yang lain—uhukk…. Dan kau—hkkk… akan terus mencariku… dan aku—akan selalu—kkhh… berakhir—di tanganmu…."

Senyum kemudian terbit di bibir sang raja. Sarat kelegaan. Disertai setetes perak yang meluncur jatuh, membingkai wajah keras Mikoto. Sang raja yang kemudian membungkuk, mengadu kening hangat itu di atas dahinya yang mendingin. Lalu satu kecupan lembut di keningnya.

"Sudah cukup, Reishi. Terima kasih…."

Tetes-tetes perak yang semakin deras meluncur dari sang raja, menitik jatuh hingga menghujani wajahnya sendiri. Reishi mengangkat tangannya, membawa pipi tirus Mikoto dalam telapaknya.

"Sampai—bertemu… —Mi… koto…."

Aku mencintaimu.

Dan Reishi tidak lagi merasakan nyeri menusuk dan membakar ketika Mikoto menarik keluar jantungnya dari rongga dadanya, juga tidak lagi mendengar jerit suara Anna dan Misaki yang memanggil namanya dari kejauhan. Yang Reishi rasakan hanyalah kedamaian, hangat membasuh tubuhnya. Lalu dirinya yang bermandikan cahaya di sekelilingnya.

Ditemani satu senyuman, Reishi sang pelindung terkuat Moors, akhirnya memejamkan matanya.


...


.

You take me to a world as bright as this

I am still cowering from the radiance

You gently hug my back

.

You turn the fragility of the things I believe in into light

The tears in the morning I awake fall like jewels

Towards the future

.

.

.

(Kimi ga Hikari ni Kaete Iku—You Turn It Into Light

by. Kalafina, translated)

.


...


"Selamat pagi, rakyatku sekalian. Aku Pangeran Misaki. Aku berdiri di sini, untuk memperkenalkan diriku, memperkenalkan mimpiku, memperkenalkan harapanku, sebagai anak manusia yang kelak akan memimpin negeri ini.

"Rakyatku, seperti yang kalian ketahui selama ini. Sembilan belas tahun yang lalu, di hari penobatanku sebagai pangeran negeri ini, juga dengan perayaan hari kelahiranku, negeri ini didatangi oleh seorang penyihir dari negeri yang jauh. Lalu sang penyihir yang memberiku kutukannya. Sang penyihir mengatakan bahwa aku hanya memiliki delapan belas tahun untuk hidup di muka bumi, dan pada malam ulang tahun kesembilanbelasku, aku akan mati karena kutukannya.

"Rakyatku sekalian… setelah itu selama delapan belas tahun lamanya, nyaris sembilan tahun, aku hidup dalam pengasingan. Aku dijauhkan dari segala hal yang berkaitan dengan kutukan itu. Aku kemudian dibesarkan di sebuah tanah yang jauh, tanah yang penuh mimpi dan hal-hal gaib, tanah yang penuh warna-warni alam dan binatang-binatangnya yang ramah, tanah yang penuh tawa dan hari-hari bahagia. Aku dibesarkan di antara para peri dan kurcaci, bermain bersama lumba-lumba bertanduk, memetik anggur bersama para penjaga hutan. Di tanah yang jauh, namun aku pun diajarkan oleh mereka bahwa aku adalah seorang manusia, yang memiliki waktu hidup terlampau singkat dibandingkan para peri dan kurcaci. Manusia yang memiliki kompleksitas perasaan yang lebih rumit dari para penghuni seantero negeri yang jauh itu.

"Suatu hari… aku bertemu sang penyihir. Seperti yang kalian semua ketahui, sang penyihir adalah penyihir paling kuat di negeri yang jauh itu… atau mungkin yang terkuat di muka bumi. Namun kalian tahu, rakyatku sekalian, apa yang penyihir itu lakukan padaku? Sang penyihir, ia melindungiku. Tidak henti ia menjagaku, menemaniku dalam bayangannya setiap kali aku gelisah tidak bisa tidur nyenyak, menganyam akar-akar rambatnya agar aku tidak jatuh ke jurang, mengubah isi sungai menjadi lumpur lunak agar aku bisa bermain dengan aman bersama ikan dan kodok. Sang penyihir… juga mengajarkanku akan kebaikan hati dan… dan betapa rasa kasih sayang mampu menghapus segala bentuk dendam dan benci yang menggerogoti hati terdalam sekalipun. Sang penyihir mengajakku belajar banyak hal untuk mengerti, memapahku berjalan dan menggenggam lembut tanganku agar aku bisa menghadapi ketakutanku. Sang penyihir mengajariku bahwa… tidak ada hal yang perlu kutakutkan dari hal yang tidak kumengerti. Yang harus kulakukan hanyalah terus mencari, terus bertanya, tidak peduli berapa kali aku terjatuh, dan… sang penyihir akan selalu ada di sana, mengulurkan tangannya ke arahku, membantuku berdiri, melawan rasa ketakutanku….

"Rakyatku sekalian, aku mengerti ketakutan yang kalian rasakan, ancaman yang kalian pendam tentang sebuah negeri di luar sana, negeri mistis penuh kekuatan ajaib bernama Moors. Aku juga… apabila delapan belas tahun hidupku tidak kuhabiskan di bawah naung langit hangat itu, maka mungkin aku akan sama takutnya seperti kalian. Namun kupastikan satu hal pada kalian. Moors, tidak pernah bermaksud membawa bencana bagi manusia. Moors ada negeri impian di mana segala hal yang tidak mungkin terjadi di negeri ini, sangat mungkin terjadi di negeri itu. Dan Moors akan selamanya menjadi sebuah negeri impian, penuh misteri dan keajaibannya, terlepas dari apapun yang kita, manusia, lakukan semasa hidup kita. Moors adalah negeri yang damai dan mandiri, di mana kita tidak perlu takut akan setiap keindahan yang mereka miliki.

"Rakyatku sekalian, aku sebagai pangeran yang meninggalkan negeri ini selama sembilan belas tahun lamanya, belum merasa pantas untuk meminta begitu banyak hal muluk dan kesetiaan pada kalian semua. Meski satu hal; mimpi untuk berdamai dan hidup saling bertenggang rasa bersama Kerajaan Moors, mimpi yang selama ini dipendam mendiang ayahku, mendiang Raja Mikoto, kini terukir pula dalam diriku. Dan selama aku hidup di muka bumi ini, aku, sebagai pangeran maupun sebagai manusia, akan terus menjaga mimpi itu. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun, dari kerajaanku dan juga dari Kerajaan Moors, untuk menghancurkan kedamaian yang telah mendiang ayahku dan sang penyihir agung sepakati.

"Terakhir, kuminta kalian mengangkat gelas anggur kalian, rakyatku sekalian. Bersulang… untuk Yang Mulia Raja Mikoto, dan Yang Mulia Peri Agung Reishi, atas kedamaian di antara kedua kerajaan yang indah ini."


...


"Orasi yang mengharukan, Mi—sa—kiiii~~ kau tahu? Aku nyaris menangis mendengarnya."

"Cih. Bilang saja kalau kau sedang mengejekku, titisan monyet! Dan berhenti mendendangkan namaku seperti itu—dan tanganmu jangan gerayangan—hiiiihh…!"

"Ahhahahahahaaa…! Kau masih jadi bocah kecilku yang menggemaskan, Misaki…. Meskipun sekarang kita terpisah, aku tahu kau selamanya, akan menjadi pangeran kecil paling imut yang pernah Moors miliki."

"… Saru…."

"Jangan menangis, Misaki. Ayolah…. Kita sudah sepakat, bukan? Aku kini mendapatkan kekuatan Reishi—yah, hanya setengahnya, hanya untuk mengubah wujud sesuka hati saja, dan meski Reishi memintaku untuk selalu melindungimu, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Moors yang dicintainya begitu saja. Aku akan menggantikannya, berada di garis depan untuk melindungi Moors, meski aku tidak sekuat dirinya."

"Dan dengan begitu, kau bisa menyelinap dengan mudah ke kastilku ini, bukan? Atau aku akan minta paman hulubalang kerajaan untuk membiarkanku bermain ke Moors, paling tidak sebulan sekali."

"Misaki… kurang dari satu tahun sampai kau dinobatkan jadi raja, dan masih banyak hal yang harus kau pelajari di kerajaanmu! Mau sampai kapan kau mangkir dari tugas belajarmu, Mi—sa—kiiii~~? Atau apa? Kau mau beralasan rindu pada Izumo, Tatara, Seri, atau Anna? Rajukanmu tidak akan mempan, Misaki. Kau tahu kalau anak-anak angin Seri terus mengawasimu, dan kami akan datang kapanpun kau membutuhkannya."

"Aku tahu itu, aku tahu. Dan… terima kasih banyak, Saruhiko. Atas sembilan belas tahun yang berharga ini. Aku mencintaimu."

"Tch. Aku juga mencintaimu, pangeran canggung."


...


Gaun berenda milik sang peri kuarsa melambai tertiup angin, berlomba berarak dengan helai seputih saljunya. Tangannya memeluk bunga mawar berwarna biru dan merah. Kakinya yang terus melangkah, mendaki gunung batu, hingga tiba di puncaknya. Pada sebuah altar dengan tiba buah batu berjajar mengitarinya. Tempat tinggal sang pelindung terkuat Moors.

"Kau terlambat, Anna."

Anna berlari kecil menghampiri Izumo, Tatara, dan Seri yang sudah tiba di tempat itu sebelumnya. Tangannya kemudian meletakkan buket bunga mawar merah dan biru itu ke atas altar.

"Merah dan… biru?"

Anna mengangguk manis sebelum menjawab pertanyaan sang peri cuaca, "Merah untuk Mikoto. Dan biru untuk Reishi. Selamanya, kedua warna itu akan ada untuk mereka."

"Mikoto… aku tidak menyangka bahwa selama dua puluh tahun, ia juga menderita penyakit yang sama seperti mendiang ibunya terdahulu. Dan memutus hubungan dengan Moors adalah salah satu tanda bagi rakyatnya, bahwa Moors memang negeri indah yang menjadikan segala hal yang awalnya mustahil untuk dapat terkabul—bahwa rakyatnya harus memilih antara menjauhi Moors dan kehilangan raja mereka, atau menjalin hubungan kembali dengan Moors agar sang raja pulih seperti sedia kala. Mikoto berkorban terlalu banyak untuk rakyatnya, agar rakyatnya tidak lagi merasa takut dan terancam dengan keberadaan Moors. Sementara para manusia itu, tetap saja…."

"Izumo, setelah ini adalah giliran Misaki. Biarkan Misaki melanjutkan tugasnya, melanjutkan apa yang menjadi impian besar dan bodoh seorang Raja Mikoto. Dan kita semua tahu bahwa Misaki selalu memiliki kita untuk menyokong bahunya yang kecil itu."

Anna memandang ke arah Tatara, merasa begitu tentram dengan kata-kata terakhir sang peri fauna baru saja. Melangkah ke tepi altar, Anna kemudian melongok ke bawah. Menemukan pemandangan indah dari puncak tertinggi Moors. Pemandangan menakjubkan yang selalu dilihat Reishi setiap hari. Lukisan alam nyata yang selalu mengundang Reishi untuk menjatuhkan diri dan merentang sayap di setiap pagi hari yang menjemput.

Tersenyum. Anna menengadahkan kepala. Tangannya terentang ke arah matahari. Menyambut sinar hangat dalam dekapannya, turun mengalir menyelimuti tubuh mungilnya.

.

"Selamat beristirahat, peri tersayangku. Sampai bertemu lagi pada dua puluh empat kali hingga kau benar-benar menemukan kebahagiaan abadimu."

.


...


.

.

.

Author's note:HOREEEEE NIGHT ANTARES SIAP DIGEBUKIN PEMBACAAAAA~! *nangis* Yap, sekian aja dari fanfiksi Night Antares kali ini. Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan dan OOC dan segala macam keanehan lainnya. Next project, Twenty-Four, bakal Night Antares publikasikan dalam kurun waktu yang tidak ditentukan *ngumpet di balik selimut*. Terakhir, terima kasih banyaaaak karena udah nyempetin main ke lapaknya Night Antares yang super angst dan tragedy kali ini~ terima kasih udah membaca sampai tamat, jangan lupa review, saran, dan kripik asinnya *kriuk* :D Sampai jumpat di fanfiksi Night Antares berikutnya~! ^^v