.
Warning(s):BL/shonen-ai, MAJOR CHARACTER'S DEATH (tuh di-capslock jadi kalau yang udah masuk dan engga pengen sakit hati dan broken heart dan menggelinding kokoro-nya, silakan tekan tombol back :p)
Pairing(s):MikoRei alias Mikoto/Reishi dan SaruMi alias Saruhiko/Misaki
Also as a cross-over fiction with Maleficent (c) Disney, 2014(meskipun engga Night Antares masukin ke dalam kelompok crossover fiction, karena Night Antares cuma pinjem latar tempat dan nama kerajaannya Maleficent doang yakni Moors... sisanya engga ada satu pun karakter dari Maleficent yang Night Antares munculkan)
Oke, kembali bersama Night Antares XD *plak*. Mohon maaaaaff karena lagi-lagi Night Antares melenceng otaknya, bukannya nyelesaiin Kings dan malah bikin cerita baru terus asal main post aja kan... *nangis*
Fanfiksi kali ini Night Antares persembahkan seperti biasa untuk pemilik akun sazyanaita dan kali ini tambahan Bakso Puyuh Kuriitama. Sebenernya proyek kali ini adalah proyek yang terinspirasi dari fanfiksi Deathbid-nya Bakso Puyuh Kuriitama-san XD, tapi kalau di Deathbid itu tokoh utamanya SaruMi sementara di proyek Night Antares yang jadi tokoh utama *tertindas* adalah MikoRei. Dan judul kali ini bakal jadi prekuel untuk next project Night Antares yang berjudul Twenty-Four. Apa dan bagaimana, silakan ikuti dulu jalan cerita fanfiksi ini. Tak lupa, Night Antares tetap terbuka akan saran, kritik, dan masukan yang positif dan mendukung ^^
Last but not least, happy reading~!
.
.
.
...
.
Jika kau melongok keluar jendela dan menemukan sebuah hutan rimba di balik patung-patung batu tinggi berjajar mengelilinginya, maka pastikan kau tidak pernah menutup matamu akan keajaiban yang terjadi di dalam sebuah negeri di balik hutan rimba tersebut.
Ya, Moors. Sebuah kerajaan tanpa kastil tua yang tergantikan oleh batu-batu kuarsa menjulang indah seperti istana kristal yang terbentuk oleh sapuan alam. Tidak perlu dibuat kedukan kali selebar puluhan meter untuk melindungi istana Moors dari mara bahaya, karena istana kristal itu sendiri berdiri di tengah danau seluas ratusan meter, lengkap dengan air terjun dari sudut belakang istana kristal. Tidak perlu melatih ribuan prajurit bersenjata pedang dan berperisai baja, karena peri-peri kecil, seluruh margasatwa hutan, bahkan pohon-pohon pun dilengkapi dengan sengat, racun, dan gigitannya yang fatal untuk sekedar melumatkan beberapa ruas tulang jari atau mencongkel bola matamu.
Tidak perlu ada raja untuk memimpin Moors. Kalaupun ada, ia yang lebih tepat disebut sebagai sang pelindung Moors dan ia tidak akan hidup di dalam istana kuarsanya. Sang pelindung akan lahir dan menghabiskan sisa waktunya di pegunungan batu di puncak air terjun. Sang pelindung akan memiliki sepasang sayap besar, kuat dan kokoh, paras cantik dan senyum yang membius makhluk apapun yang menatap ke dalam sepasang mata miliknya, tubuh yang gemulai namun sekokoh berlian. Dan mata itu yang akan menatap ke bawah, mengamati penduduknya, mencintai pelangi yang muncul dari bias air terjun dan pantulan istana kuarsa, lalu bibirnya yang akan selalu melengkung senyum, mensyukuri segala bentuk kedamaian yang berlangsung di dalam kerajaannya.
Nama sang pelindung Moors adalah Reishi, serupa anak manusia namun dengan tambahan tanduk hitam melengkung mencuat dari surai biru tuanya dan sepasang sayap besar berwarna sama seperti surai rambutnya. Sayap yang bahkan lebih tinggi dari tubuhnya, kerap kali terseret setiap kali Reishi melangkahkan kakinya. Hal itu yang kemudian membuat Reishi lebih senang membentang sayapnya, menjatuhkan diri dari puncak gunung tempatnya tinggal, menghempaskan tubuh rampingnya pada anak-anak angin, membuatnya meluncur jatuh dari ketinggian puncak adrenalin, dan ketika tinggal beberapa meter dari permukaan air danau, Reishi akan mengepak sayap lebar-lebar, memacu bulu-bulu di punggungnya, menaiki aliran angin, menikmati sapuan yang menampar lembut pipi berkulit pucatnya.
...
.
Project K (c) GoRA & GoHands
ONCE UPON A KING AND HIS FAERY
Chapter 1: The Faery and the Lost Wings
.
'Manusia tidak dianugerahi sepasang sayap maupun tanduk. Hanya dengan sepasang tangan dan kaki, kelima indera, dan manusia sanggup membangun kastil megah dan benteng kokoh.'
.
.
.
Setiap pagi, Reishi akan terbang mengelilingi kerajaannya. Menyapa dan balas disapa oleh lumba-lumba bertanduk yang melompat di permukaan air, atau oleh para kurcaci tanah bertubuh bantat berhidung bengkok yang senang melemparinya dengan lumpur. Tak lupa para penjaga istana kuarsa, makhluk humanoid yang tubuhnya terbentuk dari jalaran akar dan ranting pohon yang kekar dengan tombak dan perisai di kedua tangan serta sepasang tanduk di kepala, membungkuk hormat setiap kali Reishi terbang mengitari istana. Dan yang paling senang Reishi temui ketika ia terbang di sekitar istana tidak lain adalah sang peri kuarsa itu sendiri, dengan sepasang sayap kupu-kupu yang membiaskan warna merah marun dan merah jambu begitu indahnya, lalu sepasang manik rubi bulat yang selalu menatap Reishi dengan sorot polos penuh keingintahuan.
"Selamat pagi, Anna," sapa Reishi, mengepak sayapnya kuat-kuat dan menjejak di pekarangan istana kuarsa—di antara padang bunga berwarna merah jambu yang Reishi yakin musim semi yang lalu bunganya berwarna putih semua. Sementara sang peri kuarsa cilik hanya menggumam lemah dan menggoyangkan tubuhnya canggung, telapak kecilnya menggenggam erat ujung gaun berenda merahnya. Penasaran dengan sendu yang tidak biasanya mampir di wajah tuan putri kecil itu, Reishi menenggerkan tangan di atas kedua pundak Anna.
"Ada apa, Anna? Tidak biasanya kau—"
"—Izumo, Tatara, dan Seri… mereka bertengkar lagi…."
Mendengar jawaban lirih dari Anna—disertai sang peri mungil yang lantas menggembungkan pipinya, begitu menggemaskan—Reishi menghela napas. Dari seluruh entitas peri di Moors, tiga peri petinggi inilah yang paling membuat Reisi sering meremas ujung jubahnya sampai menjambaki rambutnya dengan kesal. Peri petinggi pertama adalah Izumo si peri flora, pelindung dari tumbuh-tumbuhan di seluruh hutan Moors, dengan sepasang sayap lebah dan hobi minum anggur emas yang tumbuh di dekat air terjun. Peri petinggi kedua adalah Tatara si peri fauna, pelindung seluruh margasatwa yang menghuni Moors tanpa terkecuali, memiliki sepasang sayap capung dan senyum lebar-cenderung-bodoh yang selalu menemani. Dan yang terakhir adalah Seri sang peri cuaca, mengontrol cuaca dan musim di seantero Moors, melindungi Moors dari ancaman musim dingin agar tidak membekukan danau dan dari sengatan musim panas agar tidak meranggaskan isi hutan, dilengkapi sepasang sayap kupu-kupu namun lebih ramping dari milik Anna, merupakan peri paling cantik namun berlidah paling tajam di antara semua peri yang ada.
Dan ketiga peri ini yang punya hobi saling tuding satu sama lain, saling tuduh jika ada masalah menimpa Moors. Bagaimana Reishi tidak habis kesabaran?
"Mereka di mana?"
"Di pinggir hutan," jawab Anna, jemarinya menunjuk ke arah selatan istana kuarsa. Reishi mengangguk dan melompat—setelah sempat memberikan satu tepukan di puncak kepala Anna—kembali membentang sayapnya lebar, mengayuh kuat-kuat dan membawa tubuhnya ke tempat tujuannya. Benar saja, di pinggir hutan rimba—yang Reishi tahu dalam radius lima kilometer ke depan nyatanya terhubung dengan dunia manusia—ketiga peri ini bercekcok tanpa henti, berkacak pinggang, dan sebentar lagi tampak akan memulai perang-lempar-ranting-pohon-babak-satu.
"Itu anak manusia…! ANAK MANUSIA…! Dan kau sebagai peri penjaga hutan, beraninya membiarkan anak itu menyelinap masuk ke Moors, Izumo…!"
"Hei hei…! Kenapa kau terus-terusan menyalahkanku di sini, Seri?! Penghuni hutan 'kan bukan hanya pohon-pohonku, tapi juga tikus-tikus dan serangga kecilnya Tatara, lalu kenapa kau tidak memberikan tuduhan yang sama terhadap Tatara…?!"
"Karena Tatara itu bodoh dan kau seharusnya tahu kalau ia bodoh jadi kau jangan mengandalkannya untuk urusan macam begini, Izumo…!"
"Seerriiiii… kenapa kau selalu saja jahat padakuuu—"
Tidak tahan. Pitak berbentuk pertigaan anak sungai sudah kepalang mampir di pelipis Reishi. Berterima kasih pada kesabaran yang sudah sampai batasnya, Reishi mendarat tidak jauh dari tiga mulut yang masih adu argumen, sayapnya merentang lebar untuk kemudian memberikan satu kepak sapuan keras pada ketiga peri tersebut, hingga ketiganya terpelanting keras, masing-masing tubuh terbanting menabrak dahan pohon di belakang mereka.
"Selamat pagi, semuanya," ujar Reishi, senyum lebar mengambang di bibirnya, meski sarat kesinisan dan aura membunuh yang kuat. Ia kemudian melipat kedua sayapnya dan menyilangkan tangan di atas dadanya. "Kudengar dari Anna, pagi ini kalian sudah membuat satu keributan lagi di Moors, eh? Bisa ceritakan padaku apa masalahnya? Ini masih pagi dan jangan membuatku ingin mengumpankan kalian pada para manusia—"
"—nah, itu dia masalahnya, Reishi—aduh duh duh…," sambar Tatara cepat-cepat, sembari merangkak bangun dan menepuk-nepuk pantatnya—yang peri itu gunakan untuk mendarat dari terjangan serangan mendadak Reishi. "Aku sendiri belum melihat, tapi… kata Seri, ada anak manusia berhasil menyelinap masuk ke dalam hutan Moors."
"Anak manusia itu belum sampai di tepi hutan ini, dan aku sudah meminta para pengawal untuk menahannya di tengah hutan, menakutinya hingga terkencing-kencing kalau perlu," tanggap Seri, dengan gemulai merapikan rambutnya yang digelung di atas tengkuk. "Bisa bahaya jika anak itu benar-benar melihat apa yang ada di dalam Moors."
"Hmm, begitu? Tunjukkan tempat di mana kau melihat anak manusia ini, Seri. Aku ingin melihatnya sendiri—"
Namun kata-kata Reishi terputus, tepat ketika ia mendengar bunyi dari semak-semak tepat di belakang punggungnya. Reishi berbalik, seluruh inderanya waspada, meski ia sempat merentangkan tangan, menghalangi Izumo yang sudah memasang kuda-kuda menyerang. Reishi melangkah perlahan, sayapnya menggesek pelan dedaunan kering di kakinya, mendekati semak-semak bergemerisik itu.
"Siapa di situ?"
Reishi tahu ada seseorang di sana. Dan aroma yang asing di penciumannya, bukan aroma tumbuh-tumbuhan maupun makhluk hutan lainnya yang sudah begitu Reishi kenal masing-masing detailnya. "Keluarlah! Aku tahu kau di sana!" seru Reishi lagi. "Aku tidak akan membunuhmu! Kau boleh keluar sekarang."
Detik berikutnya, surai merah menyembul keluar dari balik semak hijau. Dan ketika dedaunan rendah itu tersingkap, yang Reishi temukan adalah degup jantungnya yang berlari. Anak manusia, tingginya sama sepertinya—belum mencapai ukuran tubuh dewasa penuh seperti Izumo, Tatara, maupun Seri—tidak bertanduk maupun bersayap, warna kulit agak gelap dan kusam, namun yang paling tidak bisa membuat Reishi berpaling adalah sepasang manik amber mengkilat yang menatap ke dalam ungu miliknya. Tatapan mata yang terperangah, terlihat bergantian menyusuri ungu miliknya, lalu pada tanduknya, lalu pada sayap di punggungnya.
Tubuh Reishi sendiri kaku. Sesuatu mengganjal dadanya. Sesak. Reishi tidak bisa bernapas. Sementara jantungnya berdegup kencang, dipercepat berkali-kali lipat dari yang semestinya.
"Kau… peri…?"
Suara parau anak manusia itu yang berhasil mengembalikan Reishi pada dunianya. Menjatuhkan kesadarannya pada tempatnya semula berpijak.
"Ya. Maaf, aku… aku tidak pernah melihat anak manusia sebelumnya."
Anak manusia itu menggeleng. "Aku juga… baru kali ini melihat peri. Bisa kau beritahu di mana aku? Aku sedang mencari tumbuhan obat untuk orang tuaku, dan kupikir aku bisa mencarinya di hutan, lalu aku tersesat di hutan itu."
"Kau… kau sekarang berada di—"
"—kau tidak seharusnya ada di tempat ini, Bocah," tanggap sang peri flora ketus memotong kata-katanya, seraya maju selangkah menjajari Reishi. "Seperti yang kau lihat, ini tempat tinggal kami para peri. Kau mencari tanaman obat seperti apa? Aku penguasa hutan di sini, aku bisa menunjukkan tanaman yang kau butuhkan, namun setelah itu kau harus segera pergi dari sini."
"Izumo…!"
"Aku melakukan ini untuk melindungimu, Reishi. Kau tahu peraturan di sini. Aku yang akan mengantarnya setelah ia menyelesaikan urusannya di hutan ini."
Sorot matanya melunak, namun Reishi mengalah. Izumo benar. Tidak seharusnya ada anak manusia bisa sampai ke tempat itu, menjelajah hutan angker hingga tiba di perbatasan dengan negeri Moors. Dan tidak seharusnya pula Reishi berpikir sejak awal bahwa ia bisa berkenalan, atau mungkin berteman dengan anak manusia itu. Reishi tidak mengerti dengan jalan pikirnya sendiri. Reishi tidak mengerti dengan hasrat yang berenang manis di benaknya.
Sementara Reishi hanya bisa menatap terpaku ketika punggung itu digiring Izumo, diikuti Tatara, masuk kembali ke kedalaman hutan. Serta si pemilik manik amber yang terus-terusan menengok ke belakang. Memandang ke arahnya. Mencuri kesempatan untuk bertemu dengan ungunya sekali lagi. Berkali-kali lagi.
...
"Reishi…!"
Sejak hari itu, Reishi tidak pernah tidur tenang, sebagaimanapun ia merasa nyaman meringkuk di antara dedaunan dan gemerisik ranting tipis di puncak gunung tertingginya. Reishi yang kerap mendengar sebuah suara memanggil namanya, menggaungkan namanya jauh dari luar Moors.
"Reishi…! Kau di mana…?!"
Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Hingga akhirnya Reishi menyerah. Reishi turun dari gunung bebatuannya, terbang tinggi di atas hutan rimba yang melindungi Moors, hingga ia tiba di tepi hutan satunya, perbatasan pada dunia manusia.
Dan anak manusia itu berdiri di sana, di tepi hutan, berteriak memanggil namanya.
"Reishi…!"
Menghentak sayapnya, Reishi mendarat tepat di hadapan anak manusia itu. Sepasang amber yang kemudian melebar, menatapnya senang. Desir hangat yang muncul di benak Reishi, menjalar membungkusnya dalam kehangatan.
"Aku tahu kau akan datang jika aku memanggilmu."
"… darimana kau tahu namaku?"
Si anak manusia mengangkat sebelah alisnya. "Peri flora itu menyebutkan namamu di hutan, ingat? Terima kasih kau sudah mau menjawab panggilanku, Reishi. Aku juga ingin berterima kasih pada Izumo. Berkat tanaman obat yang diberikannya, ibuku sembuh dari penyakitnya."
"Hmm, sama-sama," balas Reishi, tidak tahan untuk tidak mengulas satu bentuk senyum di bibirnya. "Aku belum tahu namamu."
"Namaku Mikoto."
"Salam kenal kalau begitu, Mikoto," ujar Reishi, tersenyum lembut sembari mengulurkan tangannya, yang lantas balas dijabat oleh si anak manusia itu. Reishi kemudian mengamati anak di hadapannya itu lekat-lekat, dari gaya berpakaian yang dikenakan hingga jubah yang melambai di balik punggung Mikoto. Mata Reishi yang kemudian terpancang pada sebuah lambang di dada kiri Mikoto. Lambang kerajaan manusia. Reishi sontak melepas genggamannya pada anak itu.
"Kau… dari kerajaan manusia…?!"
"Eh? Ya, aku anak raja. Memangnya ada apa—"
"—kau tidak tahu kalau kerajaanmu dan Moors berperang…?!" sembur Reishi sengit, setengah tidak percaya dengan kepolosan anak manusia di hadapannya ini.
"Oh, tentang itu? Aku tahu, tapi aku tidak mau ambil peduli," jawab Mikoto singkat, mengedikkan bahu. Sungguh, kepolosan dan kelurusan anak manusia ini mengingatkan Reishi pada perangai Tatara, hanya saja Mikoto tampak tidak punya setelan wajah-tersenyum-bodoh seperti yang dimiliki sang peri fauna. "Suatu saat aku akan menjadi raja, dan aku bersumpah akan menjadi raja pertama yang mampu membawa kedamaian bagi kerajaanku dan Moors. Bahkan ibuku sembuh berkat tanaman obat dari tanah kerajaanmu, jadi bagaimana aku bisa mengabaikan Moors begitu saja?"
Reishi terperangah. Dari yang selama ini ia ketahui tentang manusia, bahwa manusia adalah makhluk egois yang mau menang sendiri demi tujuan pribadinya masing-masing. Manusia tidak segan membunuh sesama manusia lainnya. Namun Reishi tidak menemukan rasa permusuhan dan kebencian itu muncul dari diri seorang Mikoto. Anak manusia ini seperti entitas yang asing bagi Reishi. Yang bisa Reishi rasakan adalah hangat yang menyeruak dari diri Mikoto. Dan untuk pertama kalinya, Reishi merasa dirinya begitu aman. Begitu nyaman. Begitu tenang dan tentram.
"Kau beruntung, Mikoto. Dari seluruh penghuni Moors, dan yang kau ajak berkenalan kini adalah peri yang mungkin setara kedudukannya dengan rajamu. Suatu langkah awal yang sempurna sebagai seorang calon raja, yang punya mimpi tidak masuk akal untuk membawa kedamaian di antara kerajaanmu dan kerajaanku."
"Heh. Kalau begitu, kita berteman?"
Tarikan sudut bibir Reishi semakin melebar. Luapan hangat yang semakin memanjakan tubuhnya.
"Setuju, kita berteman."
...
Belasan tahun berlalu. Baik Reishi dan Mikoto sama-sama tumbuh pada bentuk dewasa mereka masing-masing, meski rentang umur yang dimiliki keduanya terlampau jauh dan seringkali keduanya tertawakan. Reishi bertemu Mikoto ketika anak manusia itu baru berusia dua belas tahun, sementara Reishi telah hidup selama sembilan puluh dua tahun dalam tubuh remajanya. Hingga dua belas tahun kemudian, Reishi yang genap menginjak umur keseratus empatnya, kini dengan tubuh jenjang dewasanya yang sudah sepantaran Izumo, Tatara, juga Seri, dan Mikoto menghadiahkannya cemooh di wajah beserta satu termos teh hijau khas kerajaan Mikoto yang sangat digemari lidah Reishi.
"Seratus tahun dan pertumbuhanmu baru berhenti? Aku tidak perlu mendoakan semoga kau panjang umur kalau begitu, Reishi."
"Kalian saja para manusia yang terlalu cepat menua dan mati, Mikoto," balas Reishi, senyum melengkung ketika mulutnya berpapasan dengan rasa teh hijau kesukaannya. "Jadi…? Kapan hari penobatanmu sebagai raja?"
Jeda beberapa detik, dan Reishi bersumpah menemukan awan kelam menggantung menutupi amber mengkilat itu. "Kau tidak perlu datang, Reishi. Aku tidak ingin melihatmu ada di sana."
"Kenapa? Kau takut ayahmu dan pasukannya berhasil melukaiku, menangkapku, memenjarakanku, atau kemudian membunuhku, begitu? Kau meremehkan kekuatanku, Mikoto? Bagaimana denganmu sendiri? Jangan kau pikir aku tidak tahu bahwa setiap kali kau mengunjungiku kemari ternyata kau sedang mempertaruhkan lehermu dari penggalan pedang ayahmu sendiri."
"Situasi memanas di balik tembok kastil, Reishi. Tidak ketika ibuku meninggal beberapa waktu lalu dan rakyat menyalahkan ramuan obat yang kudatangkan dari Moors. Rakyatku tidak bisa semudah itu menerima kekuatan dan keajaiban yang tidak mereka mengerti. Tentang Moors, juga tentangmu. Dan jika kau berani memunculkan hanya sekedar kepakan sayapmu di sana, keadaan berubah dan kau akan menyulitkan segalanya."
"Aku tidak akan berpikiran sempit dan bodoh, Mikoto. Aku punya rakyatku untuk kulindungi. Aku juga… menyampaikan rasa bela sungkawaku pada ibumu…."
"… terima kasih, Reishi. Tapi aku tidak menyalahkan kalian. Ibuku sudah tua. Dan manusia memang mati dengan cepat, seperti yang kau katakan."
"Heh. Manusia selamanya akan menjadi makhluk yang lemah, ya, Mikoto?"
Yang menjawab Reishi kemudian hanya dengus pelan dan lengkung senyum penuh kepedihan dari pria tersebut. Reishi mengamati. Dalam diam Reishi mencari. Mempelajari segala seluk-beluk mengenai manusia melalui entitas Mikoto. Manusia yang lemah. Manusia yang banyak keinginan. Manusia dengan sejuta ego. Manusia dengan keterbatasan dan sekelumit kemampuan. Meski di mata Reishi kini, manusia adalah makhluk yang indah. Manusia tidak dianugerahi sepasang sayap maupun tanduk. Hanya dengan sepasang tangan dan kaki, kelima indera, dan manusia sanggup membangun kastil megah dan benteng kokoh.
Tanpa sadar, Reishi menyandarkan tubuhnya di atas dada bidang Mikoto. Satu bahasa tubuh dari Mikoto, kaku dan ragu, walau pria itu sama sekali tidak melontar satu patah kata pun. Reishi menahan tawanya. Butuh beberapa detik berlalu hingga lengan Mikoto melingkar di pinggangnya. Menarik Reishi mendekat. Mengundang Reishi untuk menghisap wangi tumbuhan tembakau yang menguar dari tubuh pria itu.
"Hey, Mikoto… kau masih ingat janjimu padaku dulu…? Bahwa aku sebagai pelindung Moors dan kau sebagai raja di kerajaan manusia, dan kau akan membawa kedamaian pada—"
Kata-kata Reishi terputus. Sesuatu telak membungkam mulutnya rapat-rapat. Reishi hanya mampu membelalakkan mata ketika satu bibir dingin mencumbu miliknya. Begitu hangat. Begitu lembut. Sarat makna. Namun disertai perih yang merayap hingga ke lubuk terdalamnya. Reishi terhanyut. Reishi larut dalam luapan rasa itu. Dalam segala sentuhan yang Mikoto berikan padanya.
"Mikoto… kenapa? Ada apa…?"
Namun pria itu bungkam. Mikoto hanya menatap ke dalam ungunya dalam diam. Reishi semakin tidak mengerti, karena untuk pertama kalinya ia merasa terancam dengan kehadiran Mikoto di sampingnya. Untuk pertama kalinya Reishi dilanda ketakutan. Reishi merasa bahwa tidak lama lagi entitas seorang Mikoto akan sirna dari hidupnya.
"Kau akan pergi, Mikoto…? Kau akan melupakan janjimu padaku? Melupakan mimpi besarmu untuk kerajaanmu dan Moors…?"
Pria itu tidak menjawab. Alih-alih sorot amber itu melunak. Dan jawaban yang Reishi dapatkan hanyalah sepasang tangan yang mendekap erat tubuhnya. Begitu menuntut. Begitu mengiba. Seolah sama-sama tidak ingin kehilangan. Tidak ingin meninggalkan. Tidak ingin ditinggalkan.
...
Satu minggu kemudian, perang besar menghadang Moors. Satu gemuruh tiupan terompet dan Reishi tahu itu adalah satu panggilan perang untuk ia jawab. Ratusan kepak burung-burung dari langit kemudian memberi kabar pada Reishi bahwa pasukan dari kerajaan manusia telah siap dengan bara api di tangan mereka, siap membumihanguskan hutannya. Reishi ingin tertawa. Betapa bodohnya pada manusia itu. Ini bukan kali pertama Reishi berhadapan dengan kobar merah milik para manusia, dan tentara penjaga hutannya tidak pernah gagal mengemban tugas mereka. Namun yang kali ini, Reishi tidak ingin mengambil resiko. Pada perbatasan hutan rimbanya dengan padang luas negeri manusia, Reishi berdiri tanpa gentar. Satu lambaian tangan, dan tanah di sekelilingnya merekah terangkat, duri-duri tajam raksasa menyeruak, melingkar dan membelit satu sama lain, membentuk tembok kokoh mengelilingi hutan rimbanya. Dan belum selesai sampai di sana. Reishi kemudian menjetikkan jemarinya, pasukan penjaga hutannya yang lantas bermunculan dari dalam hutan durinya, dan batu-batu yang berdiri berjajar kemudian terangkat dari tanah, bertransformasi menunjukkan bentuk aslinya, menjadi patung-patung raksasa setinggi tiga meter yang siap menginjak apapun di hadapan mereka.
"Reishi…."
Reishi tersenyum menanggapi panggilan Anna di sampingnya. "Jangan cemas, Anna. Kau kembali saja ke hutan. Kau harus menjaga istanamu. Sementara aku akan selalu di sini, berada di garis depan untuk melindungi Moors. Kembalilah ke istana bersama Seri."
Peri mungil itu mengangguk. Reishi kemudian melempar pandang pada sang peri cuaca, yang tanpa basa-basi menggiring sang peri kuarsa terbang kembali ke dalam hutan. Sementara di belakang punggungnya, Izumo dan Tatara mendarat dalam satu bunyi menghentak lembut.
"Kau benar-benar menambah pekerjaanku dengan hutan duri dan raksasa batu ini, Reishi," keluh Izumo, "Sementara kau seperti biasa akan menyerang frontal memporakporandakan formasi lawan, begitu?"
"Tenang saja, Izumo… pasti ada jalan, kok!" kilah Tatara, meregangkan kedua tangan ke atas kepala. "Berkat taktik perang dan pertahanan Reishi, selama ini kita tidak pernah kalah. Dan tidak pula saat ini. Manusia itu boleh membawa api, atau baja, atau besi, atau apapun. Tapi mereka tidak akan pernah bisa menembus tembok hutan duri kita sedikitpun. Bukan begitu, Reishi?"
Reishi tersenyum tipis. Setegar apapun, Reishi tidak bisa menyembunyikan getar di sudut benaknya. Ingatannya melayang pada pria bersurai merah itu. Satu minggu berlalu, dan besar kemungkinan Mikoto kini telah menjadi seorang raja. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa penyerangan kali ini dipimpin oleh sang raja muda tersebut. Meski setengah bagian dari dirinya berteriak. Reishi ingin menulikan telinganya, ingin membutakan matanya, ingin menutup logikanya dan mempercayai bahwa ia, seperti biasanya, pada peperangan kali ini pun tidak akan menemui sosok Mikoto di medan perang.
"Mereka datang."
Bisikan dari Izumo sudah cukup untuk membuat bahu Reishi menegang. Derap ribuan pasukan berkuda mendekat. Kedua peri di kanan-kirinya siaga. Reishi mengembangkan sayapnya, menekan aura di sekelilingnya, berusaha mengintimidasi.
Namun ketika yang menyapanya dari barisan terdepan adalah sepasang amber dan surai merah mencuat, tersembunyi dari balik helm berlambang kerajaan, sesuatu dalam dada Reishi mencelos.
Karena Mikoto berdiri di hadapannya. Lengkap dengan balutan baju zirah yang hanya dipakai seorang raja. Sahabat manusianya yang terkasih, telah dinobatkan menjadi raja hanya dalam waktu satu minggu, untuk kini berbalik menyerang Reishi. Melupakan segala bentuk janji manis dan ikatan mereka di hari-hari yang lalu.
"Mi… koto…."
Pandangan Reishi memburam. Matanya terasa panas.
"Reishi, mundur…! Kalau kau tidak tahan, mundur dari sini!"
Indera pendengarannya yang berdenging. Reishi tidak bisa mendengar apa yang diteriakkan Izumo. Yang Reishi lihat adalah ketika Mikoto mengangkat sebelah tangannya, dan dari jauh sepuluh menara ketapel mulai menghujani hutan durinya dengan bongkahan-bongkahan api. Dentum ledakan menyusul. Pasukan penjaga hutannya yang meraung marah. Raksasa-raksasa batunya yang menggelinding, mengguncangkan tanah.
Untuk pertama kalinya, Reishi menampakkan kemurkaannya. Dirinya yang dikhianati. Rakyatnya yang dicampakkan oleh janji manis manusia lemah yang tidak bisa dipenuhi. Dan betapa Reishi marah pada dirinya sendiri yang semudah itu terhasut oleh segala tumpahan rasa dalam dadanya.
"MIKOTOOOO…!"
Reishi menerjang, membentang sayapnya kuat-kuat. Desing angin dari sayapnya yang berhasil menyabet manusia-manusia di sekelilingnya. Satu sapuan saja, dan bulu-bulu dari sayapnya seolah pisau tajam yang menembus hingga baju zirah para manusia. Reishi tidak segan mengarahkan serangannya pada titik-titik vital lawannya. Reishi terbang, meluncur indah memporakporandakan formasi jajaran manusia di hadapannya, menghindar dengan lincah dari setiap anak panah maupun lontaran rantai berduri yang berusaha menjerat tangan, kaki, dan sayapnya. Tubuhnya meliuk, berputar, kemudian mencari sepasang amber dan surai merah yang lenyap di tengah kerusuhan tersebut.
Hingga pada satu titik, di sebelah timur medan perang, satu-satunya kuda putih milik raja, menderap cepat memasuki hutan. Reishi mengejar sosok itu, melesat cepat bagai peluru, dan ketika sosok berkuda itu memasuki hutan, Reishi menghantamkan tubuhnya pada sosok itu hingga sang raja terguling jatuh dari kudanya, keduanya yang melesak jauh ke kedalaman hutan, menumbangkan pepohonan. Helm kerajaan yang terlepas dan memunculkan surai merah berantakan, tertarik ke belakang.
"Mikoto…." Reishi mendesis rendah. Nada bicaranya sarat ancaman. Manik ungunya berkilat mengerikan. "Kau pikir apa yang kau lakukan…! Dulu kau berjanji padaku! Kau akan menjadi raja dan kau akan membawa kedamaian untuk—AAAAKKHH…!"
Satu tusukan di perutnya. Reishi menjerit, menyambut sakit yang menyambar sekujur tubuhnya. Dan sang raja yang mendorong tubuh gontainya, memojokkannya pada sebuah batang pohon besar. Reishi terkekeh, tangannya balas mencengkeram erat lengan Mikoto, berusaha mematahkannya, bila perlu.
"Jangan bercanda—Mikoto… kau pikir… aku bisa mati hanya dengan… tusukan kecil seperti ini—"
"—memang tidak, Reishi. Peri hanya baru akan mati jika jantungnya dikorek keluar dari rongga dadanya, bukan begitu?"
Belum sempat Reishi bereaksi, pedang di perutnya tertarik dengan kasar, untuk kemudian ditancapkan sang raja tepat di atas dada Reishi, hanya beberapa milimeter jarak yang tersisa dari jantungnya. Bola mata ungunya yang terbelalak. Darah biru kehitamannya meluncur keluar dari mulutnya, serta mengalir deras dari kedua luka di tubuhnya. Reishi terjatuh, bersamaan dengan pedang yang sekali lagi tertarik dari rongga dadanya.
"…Mi… —koto… khh—"
"Maafkan aku, Reishi…. Maafkan aku. Kumohon, maafkan aku…."
Kelopak mata Reishi yang kemudian memberat. Kesadarannya menipis. Seluruh energinya yang tersedot keluar meninggalkan tubuhnya. Dan yang terakhir kali Reishi lihat adalah sepasang amber itu, berkilat dalam duka dan ketakutan yang teramat sangat. Lalu kedua tangan sang raja yang terangkat, pedang masih tergenggam erat di tangan sang raja.
Lalu Reishi jatuh dalam dunia hitam gelapnya.
...
Sang raja melangkah keluar dari hutan. Tubuh bermandikan darah biru pekat kehitaman. Dan tangannya mendekap dua buah benda besar berwarna biru langit malam.
Sepasang sayap.
"PENYIHIR MOORS TELAH MATI…!" teriak sang raja pada para prajuritnya, mengacungkan sepasang sayap di genggamannya itu ke arah angkasa. Lalu sorak-sorai riuh, disusul pasukan berkuda yang kemudian ditarik mundur, membawa rekan-rekan manusia mereka yang telah gugur terlebih dahulu, kemudian meninggalkan medan perang.
Meninggalkan Izumo dan Tatara dalam keringat dingin membasuh dan degup jantung memburu. Penuh kengerian.
"REISHI…!"
Kedua peri itu berpacu dengan angin, melesat ke arah hutan tempat munculnya sang raja. Apa yang mereka lihat dari tangan sang raja tidak akan salah. Sepasang sayap itu. Sayap kebanggaan milik sang pelindung Moors. Jatuh ke tangan raja manusia. Apa… apa yang terjadi…?
Lalu satu jeritan lain menyusul. Kali ini pekikan pedih penuh kepiluan, melengking tinggi menggema di seluruh penjuru hutan gelap. Dan ketika Izumo serta Tatara tiba di sumber suara memilukan tersebut, pemandangan yang mereka temui selanjutnya mungkin akan menjadi mimpi buruk untuk ratusan tahun ke depan. Bagaimana tidak?
Sang pelindung Moors, Reishi, jatuh meringkuk dan tidak berhenti meneriakkan pilunya ke langit. Dengan luka di tubuh yang masih mengalirkan darah biru kehitaman. Serta ditinggalkan tanpa sepasang sayap kokoh sewarna biru langit malam yang seharusnya tertanam indah di punggung pucat itu.
...
Satu tahun berlalu. Sejak hari di mana Reishi kehilangan sepasang sayapnya, Moors lantas kehilangan cahaya matahari. Selalu ada mendung menggantung di langit, tidak peduli seberapa keras usaha Seri meniup awan-awan kelabu dan berusaha menarik cahaya matahari untuk kembali menyinari tanah Moors. Hingga di bulan keenam Seri akhirnya menyerah dan sapuan angin dingin membeku lantas mulai menghujani Moors.
Satu tahun. Dan tidak ada lagi seruan perang dari kerajaan manusia. Bahkan seolah Moors terlupakan begitu saja. Tidak ada lagi manusia yang ingin tahu, menyelusup masuk ke dalam hutan yang kini permanen terbalut hutan duri. Izumo sampai geleng-geleng kepala, tidak tahu bagaimana caranya untuk menghilangkan hutan berduri tersebut di luar hutan rimbanya.
Satu tahun, dan Anna tahu Reishi belum berhenti berduka atas segala bentuk kehilangan sang pelindung Moors. Satu tahun, dan Reishi tidak pernah turun dari pegunungan batunya. Satu tahun, hanya untuk Anna, Izumo, Tatara, dan Seri bolak-balik bergantian untuk mengunjungi Reishi, membawakannya beri berwarna-warni pelangi, bergantian mengoleskan ramuan obat di atas luka-luka fisiknya, atau menceritakan hal-hal menarik dan lucu yang mereka harap dapat membawa senyum kembali pada wajah pucat dan pipi tirus Reishi.
Satu tahun. Anna nyaris menyerah untuk mengembalikan cahaya Reishi kembali seperti sedia kala.
"Ia berubah," desah Seri, suatu hari dalam perjamuan anggur di istana kuarsa. Di sampingnya duduk Izumo, sementara Anna di hadapannya, ditemani Tatara di samping peri mungil itu. "Tidak hanya dari perawakan. Kekuatannya pun berubah. Ia kini sangatlah… mengerikan. Belum lagi dengan tongkat yang mengeluarkan aura biru menyala di tangannya itu…."
"Seri, kau tahu tongkat itu ia gunakan untuk membantunya menyeimbangkan langkahnya," kilah Izumo cepat. "Bayangkan saja sayap indah di punggungmu itu tiba-tiba hilang begitu saja, dan kau pastinya kesulitan untuk berjalan normal, bukan?"
Peri petinggi terakhir, Tatara, menggoyang-goyangkan beri hijau di tangannya sebelum menyambung topik pembicaraan. "Tapi aku setuju dengan Seri. Semakin hari, aura yang membungkus tubuh Reishi semakin mencekam. Mungkin kita harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa selamanya bersedih dan murung akibat kehilangannya yang teramat sangat itu."
"Tidak ada… yang bisa kita lakukan."
Suara mungil Anna seolah menjadi pernyataan final bagi tiga peri lainnya di ruangan berdinding kuarsa tersebut. "Tidak ada yang bisa kita lakukan. Peri yang terjatuh ke bumi karena kehilangan sayapnya… akan berubah menjadi penyihir kegelapan. Dan Reishi… kini menjadi salah satunya."
"… kehilangan sayap, eh?" Izumo menghela napas berat. "Secara denotasi maupun secara konotasi, Reishi kehilangan keduanya. Kehilangan sepasang sayap di punggungnya, juga kehilangan sayap mimpi dan harapannya."
"Jadi kita harus bagaimana?"
Keempat peri itu lantas terdiam. Terlarut dalam pemikiran masing-masing. Bahkan dalam keadaan seperti ini, peri paling berpikiran positif layaknya Tatara sudah tidak mampu lagi mengucapkan kalimat andalannya.
...
Seekor monyet berbulu hitam memanjat menaiki balkon batunya. Reishi melirik, dan mata besar hitam si monyet yang menatap ke arahnya, penuh rasa ingin tahu. Reishi mendesis, bermaksud mengusir monyet tersebut. Namun si monyet kecil nyatanya diam bergeming di tempatnya, hanya memiringkan kepala dan tetap menatap Reishi.
Terdengar suara tawa renyah Tatara dari sisinya. "Kau jangan terlalu kaku, bahkan pada seekor monyet sekalipun, Reishi. Anggap saja ia ingin berteman denganmu."
Mendengus, Reishi membalas dingin. "Aku bersyukur hari ini kau yang datang menemuiku, Tatara. Boleh kuminta kau mengusirnya dari sini sekarang juga? Kau sebagai peri fauna, seharusnya hanya dengan menjentik jari saja dan monyet itu akan pergi ke tempat lain, bukan?"
"Baik, baik…." Sang peri fauna kemudian mendekati si monyet, menyuarakan bahasa yang tidak dimengerti Reishi, hingga akhirnya si monyet—dengan satu tatapan terakhir terpancang di kedua mata Reishi—melompat pergi dan menghilang dari pandangannya. Reishi membuang napas. Ia tidak butuh satu harinya untuk bermain bersama monyet aneh yang terlalu ingin tahu dirinya seperti itu.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Reishi?" tanya peri fauna itu padanya. Reishi sendiri hanya tersenyum tipis sembari menurunkan jubah hitam panjangnya.
"Baik, kurasa. Tidak ada yang berubah."
Reishi menanggalkan jubahnya, memperlihatkan dua buah luka di punggungnya pada Tatara. Satu ritual lain yang harus Reishi jalani beberapa hari sekali, adalah ketika satu dari keempat peri terdekatnya mendatanginya, membawakan ramuan obat untuk lubang di punggungnya. Lukanya yang masih juga belum mau mengering dan menutup, sangat berlawanan dengan dua buah luka tusuk di perut dan dadanya, yang hanya butuh waktu satu minggu saja hingga luka-luka itu menutup sempurna tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dan Reishi membayangkan Tatara kini tersenyum lembut menatap lukanya, bersamaan dengan kedua telapak tangan sang peri fauna yang mengoleskan substansi kenyal dan dingin di punggungnya. Reishi mengernyit. Menahan perih yang seketika menusuk.
Oh. Rupanya dirinya masih bisa merasakan sakit.
"Setelah ini apa rencanamu, Reishi?"
Reishi hanya mengangkat sebelah alisnya seraya memasang kembali jubah di pundaknya. "Maksudmu…?"
"Kau… tidak berencana membalaskan dendam pada manusia, 'kan?"
Satu senyum melengkung di bibir Reishi. Sinis dan satir. "Ide bagus, Tatara. Kenapa tidak pernah terpikirkan olehku sejak dulu?"
"Reishi, dengar. Kekuatanmu ini bukan untuk—"
"—aku peri yang jatuh ke bumi, Tatara. Peri yang terlanjur menjadi penyihir, yang tidak akan pernah lagi terbang ke langit. Dan apa yang akan dilakukan penyihir sepertiku bukanlah urusan bagi peri-peri langit macam kau, Izumo, Seri, atau Anna sekalipun."
"Jadi, kau akan berhenti melindungi Moors, begitu maksudmu?"
Menengadah. Reishi menatap langit kelam yang menaunginya. Sudah berapa lama semenjak kali terakhir ia melihat matahari menyinari pegunungan tempat tinggalnya?
"Kalian bisa melindungi Moors tanpa aku, sebetulnya."
"Tapi jika kau memang sudah tidak peduli pada Moors, kau tidak akan ada di sini sekarang, dan utamanya kau akan mencabut hutan duri yang melindungi kami dan Moors selama setahun ke belakang ini."
Reishi tersentak. Matanya kontan menatap nyalang Tatara, menyipit sinis meski sang peri fauna hanya balas memberinya satu sorot teduh menyejukkan. Reishi menggeram. Ia kemudian memutar langkahnya. Jubah hitamnya yang berat menyapu ketika ia menuruni undakan tangga batunya, membiarkan tamunya termenung dalam segala kemelut tingkah lakunya.
...
Kali pertama Reishi menjejak kaki kembali ke dunia manusia, tidak jauh dari perbatasan, dan medan perangnya satu tahun lalu yang kini telah menjadi semak belukar tinggi. Tersembunyi di balik semak, Reishi menemukan dua orang manusia, berkutat dengan sebuah jaring yang berhasil memerangkap seekor monyet.
"Monyet ini—astaga… dia nakal sekali…! Enomoto, ambilkan aku pacul! Lama-lama aku pusing dengan kelakuannya…!"
"Kau serius mau membunuhnya, Hidaka? Padahal kupikir kita bisa melatihnya untuk kita jadikan pertunjukan di pusat kota—"
"—aaarrgghh…! Cari monyet lain saja…! Aku kesal dengan monyet yang satu ini…! Enomoto, cepat! Sebelum monyetnya kabur lagi—"
Ketika Reishi memiringkan tubuhnya, ia dapat melihat jelas pola hitam yang melingkar di sekitar mata si monyet kecil. Oh, rupanya monyet yang sama dengan yang mengganggunya di pegunungan batunya tempo hari. Kekeh pelan meluncur dari pita suaranya. Dan sebelum logikanya menyadari—dan mungkin menyesali—apa yang ia lakukan, Reishi menjentikkan jemarinya, mengirimkan aura birunya ke arah monyet itu, hingga si monyet kecil—yang kemudian terbungkus aura biru—berubah bentuk menjadi sesosok manusia dewasa.
Dan kedua manusia yang memerangkap si monyet itu lari tunggang-langgang. Reishi tertawa terbahak.
"Oi. Daripada kau tertawa, bagaimana kalau kau juga membantuku keluar dari jaring ini, penyihir murung."
"Oh? Kau ingat padaku, rupanya?" tanya Reishi, setengah terkesima. Satu gerakan tangan, dan jaring yang menjerat pemuda monyet itu lenyap. Tidak lupa sebuah jubah yang mendadak menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu. "Siapa namamu?"
"Saruhiko," jawab si pemuda monyet tersebut, mendecak lidah di awal kalimatnya. "Tentu saja aku ingat kau. Kau penyihir gila yang tinggal di atas gunung batu, setiap hari kerjanya hanya termenung dan menyumpah serapah, atau menyobek dedaunan untuk kemudian kau susun ulang, berulang kali."
"Kuanggap kau sudah lama mengamatiku kalau begitu, Saruhiko?"
Decak lidah lagi. "Tidak juga. Aku hanya tidak bisa melupakan setiap detail yang kulihat, meski hanya dengan sekali lihat saja. Jadi… apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan?"
Reishi tercengang. Setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja pemuda itu lontarkan padanya. Menyadari reaksi kebingungannya, si pemuda monyet mendecak lidah lagi dan melanjutkan, "Aku berhutang nyawa padamu. Kau menyelamatkan aku. Dan sepertinya kau butuh teman untuk menyelamatkan hidupmu yang sangat kesepian itu. Jadi, bagaimana? Aku bersedia kau ubah menjadi monyet lagi untuk membantumu."
"Kalau begitu, aku ingin kau menjadi sayapku, Saruhiko."
Kali ini ganti giliran si pemuda monyet terbelalak. "… sayap…? Tapi, aku 'kan monyet—"
Belum sempat si pemuda monyet menyelesaikan kata-katanya, satu jentikan jemari Reishi sudah mengubah Saruhiko menjadi seekor gagak hitam gagah. Si gagak yang kemudian mengepak sayapnya, terbang berputar-putar dan berkicau parau di sekeliling Reishi. Reishi mengulurkan tangan, dan Saruhiko mendarat di atas pergelangan tangannya. Sebelah tangannya yang kemudian membelai lembut bulu-bulu si gagak hitam.
"Kau bilang kau juga punya ingatan yang kuat, Saruhiko? Kalau begitu, kau akan menjadi sayap dan mata untukku. Terbanglah ke istana manusia, dan beritahu aku apa yang sedang terjadi di sana, segala detail, terutama yang menyangkut tentang Raja Mikoto."
.
...
.
.
.
Yak, sekian untuk chapter satu. Read and review-nya, mungkin? :p