Memory

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning: Misstypo, OOC, sinetron, gj, dll haha


Memory 5

Seperti biasa, karena akan banyak flashback, jadi kubuat yang normal POV(italic) adalah FLASHBACK, dan Normal/Hinata POV adalah alur cerita. Terimakasih!


.

.

"Dia tidak mau keluar dari kamarnya." ujar Neji saat melihat Sasuke datang di kediaman Hyuuga.

"Apa.. dia sudah makan?" tanya Sasuke, tak bisa lagi menahan kecemasan di raut wajahnya.

"Tidak, dia belum makan 2 hari ini."

Sasuke menundukkan wajahnya dalam. Sudah seminggu semenjak peristiwa kecelakaan yang menimpa Naruto. Hinata tidak pernah mengangkat teleponnya, bahkan Hinata tidak mau menemui Sasuke. Kejadian itu membuat Hinata terpukul. Ia terus menyalahkan dirinya, mengatakan bahwa dialah yang menyebabkan Naruto kecelakaan.

"..Hinata?" Sasuke berdiri di depan kamar Hinata. Ia tidak mendengar balasan dari Hinata di dalamnya. "Kenapa kau menyiksa dirimu begitu?"

.

.

Sasuke yang baru kembali dari kediaman Hyuuga menemukan Gaara sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Tampaknya lelaki berambut marun itu baru datang sebelum Sasuke.

"Hm? Untuk apa kau kemari?"

"Aku hanya ingin melihat keadaanmu, dan memberitahu keadaan Naruto." jawab Gaara sembari mempersilahkan Sasuke membuka pintu rumahnya.

"Ah, bagaimana?"

"Dia sudah lepas dari masa sekaratnya, si bodoh itu─ saat seperti ini juga tetap saja berjuang untuk hidup."

"Benarkah? Jadi, dia tidak apa-apa?" tanya Sasuke lega setelah mempersilahkan Gaara memasuki rumah. Ia lalu duduk di sofa bersama Sasuke. "Apa dia sudah bisa dijenguk?"

"Iya, dia koma. Entah kapan bangunnya, sampai sekarang masih kami pantau."

"Untunglah─ si dobe itu."

"Beritahulah pada Hinata, agar dia tidak usah merasa bersalah begitu." ujar Gaara santai. Ia lalu melihat sebuah album di atas meja dan membukanya. "Sudah berapa lama sejak kita lulus sekolah?"

"...Entah."

"Hm, aku jadi ingat perjuanganmu dengan Hinata."

"Tutup mulutmu, bahkan usahaku dari dulu sekarang sia-sia." Sasuke menurunkan pandangannya dan tersenyum pahit. "Pada akhirnya si dobe yang akan selalu menang."

"..Kau yakin? Kalau Hinata masih menyukai Naruto, dia tidak akan mau bertunangan denganmu. Apa kau pikir Hinata adalah wanita yang seperti itu?"

"Benar juga." Sasuke lalu melihat kembali album kenangannya. Ia lalu mulai mengigat, bagaimana dia dan Hinata berkenalan lebih dekat, hingga akhirnya bertunangan seperti sekarang.

.

.


"Sudah jam 11.." bisik Hinata. Dari pagi ini Ia memang sudah sibuk. Sibuk memilih baju, membuat bento untuk Naruto, bahkan Hinata menyentuh makeup yang belum pernah Ia gunakan sebelumnya. Tak mau membuat Naruto menunggu, Hinata bahkan datang 1 jam lebih cepat dari jam janjian, yaitu jam 9.

"Mungkin dia terkena macet.." semangat Hinata pada dirinya sendiri. "Mungkin dia tertinggal sesuatu? Atau mungkin keretanya datang terlambat? Atau─ mungkin dia tidak akan datang.."

.

"Hinata!" seru seorang lelaki di belakang Hinata.

"S-sasuke-san?"

"Kau masih menunggu disini?" tanya Sasuke yang mengenakan sweater dengan syal hitam di lehernya. "Dia tidak akan datang."

"Eh? Kenapa?"

"...Entahlah."

Sasuke dan Hinata terdiam. Canggung. Memang mereka tidak terlalu dekat di sekolah. Bahkan pembicaraan mereka hanya berlangsung saat teman-teman Hinata berkumpul dengan para lelaki. Selain itu, tidak ada.

"Sudah jam 4 sore. Kau masih mau menunggunya?" tanya Sasuke datar. Ia terlihat menutupi alasan mengapa Naruto tidak datang sekarang.

"Ah, benar juga. Mungkin aku harus pulang. Besok kelulusan Sekolah, 'kan? Aku harus istirahat." balas Hinata terbata-bata. Ia benar-benar bingung dan gugup berada di sebelah Sasuke sekarang.

"Hoi," panggil Sasuke sebelum Hinata melangkahkan kakinya. "Kau luang kan? Besok hanya upacara kelulusan biasa, tidak perlu bersiap-siap."

"..Tapi"

"Ikut aku." Sasuke membalikkan tubuhnya dan segera berjalan, tak peduli Hinata yang masih bimbang untuk ikut padanya atau tidak. Hinata yang bingung dengan situasi ini, mau tak mau mengikuti Sasuke di belakangnya.

Sesampainya di sebuah kafe, Sasuke buru-buru memesan cokelat panas dan beberapa donat manis di hadapan Hinata yang sudah duduk di salah satu bangku disana. Hinata yang tidak bisa melawan, hanya bisa mengikuti apapun perkataan Sasuke.

"Minumlah, hangatkan tubuhmu."

"Anu, terimakasih."

"Hn"

Hinata mulai menyeruput cokelat di cangkir itu perlahan. Ia menatap Sasuke perlahan. Tak ada yang aneh, hanya Sasuke yang biasa Hinata temui di sekolah. Tapi, bedanya raut wajah Sasuke lebih lembut dibanding biasanya.

.

.

.

"Aku mengambil Universitas yang sama denganmu." ujar Sasuke saat melihat Hinata di sebuah minimarket tiba-tiba.

"Ah! Sa-sasuke-san, kau mengagetkanku."

"Maaf, kau ambil jurusan apa?" tanya Sasuke.

"Aku mengambil keperawatan. Dengan begitu"

"Kau bisa menolong orang?" potong Sasuke, membuat Hinata segera tersenyum senang.

"Kenapa kau bisa tahu?"

"Aku tahu sifatmu, Hinata." Sasuke tersenyum tipis dan segera membuka minuman ditangannya. "Aku mengambil bisnis. Jadi gedungnya akan berbeda denganmu, tapi hubungi aku jika kau butuh sesuatu."

"Ah ba-baik." wajah Hinata tersipu malu. Semenjak kelulusan sekolah, sifat Sasuke sangat baik padanya. Bukannya kepalsuan, sifat itu terasa dari lubuk hatinya. Itu bukan hanya sandiwara belaka. Hinata tahu itu.

.

.

Sudah 2 tahun mereka bersama. Hinata dan Sasuke lambat laun mendekat dengan perlahan. Tahun 3, mereka mulai menjalani hubungan. Tahun ke 4 saat kelulusan, Sasuke melamar Hinata menjadi tunangannya. Hinata sendiri dengan hati yang senang menerimanya tulus. Hinata menyukainya, Ia suka sifat Sasuke. Seluruhnya. Baik itu Sasuke yang sedang dingin maupun Sasuke yang terkadang membuka hatinya di depan Hinata. Hinata suka semuanya. Dari sanalah, hubungan mereka berjalan lancar, hingga telepon dari Naruto datang.

.

.


"Sasuke" Gaara yang menyadarkan lamunan Sasuke memandangnya tajam. "Baiklah, aku akan pulang dulu."

"Ah, uhm." Sasuke mengangguk pelan melihat Gaara yang keluar dari rumahnya. Ia lalu melihat jam dinding. Sudah pukul 11 malam. Sasuke lebih mengkhawatirkan keadaan Hinata sekarang. Apa dia sudah makan? Apa dia baik-baik saja? Pikiran-pikiran itu membuat Sasuke mulai kehilangan arah. Ia terlalu takut kehilangan Hinata melihat keadaannya.

.

.

.

BRAAKK!

Tepat beberapa detik setelah Hinata keluar dari kediaman Sasuke, suara kericuhan mulai terdengar.

"Ada yang tertabrak!"

"Hei, panggil panggil ambulans! Jangan gerakan tubuhnya."

"Pengemudinya mabuk! Keluarkan dia dari sana!" Satu demi satu kalimat terlontar dari warga yang panik. Dada Sasuke kian menyusut saat mendengarnya. Takut apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan. Buru-buru Ia bergegas keluar dan menemukan Hinata sudah terkapar di atas aspal dengan lumuran darah segar.

Bukannya langsung menghampiri Hinata, kaki Sasuke langsung lemas dan kepalanya mulai kacau.

"AAAH!" Suara teriakannya menggema kencang hingga warga disana ikut berlari menenangkan dirinya. Dirinya yang sudah runtuh dalam sesaat. "HINATA! HINATA!"

Sasuke yang masih terhuyung-huyung segera berlari menuju ke arah Hinata yang tergeletak tak berdaya dengan darah yang mengalir dari kepalanya.

"HOI! BANGUNLAH! INI TIDAK LUCU, HINATA!" seru Sasuke kencang dengan air mata yang mulai mengalir di wajahnya. "Hinata, hoi.."

"Sasuke-kun!?" Sakura yang kebetulan lewat segera berlari bersama Gaara yang juga baru keluar dari mobil. "Sasuke-kun! Hinata!"

"Hinata! Hinata, hei─" suara Sasuke gemetar. Ia yang mengangkat Hinata kedalam dekapannya hanya bisa terpaku tak percaya. Tangannya kini berlumuran darah Hinata. Matanya membulat, kaget melihat apa yang ada di depannya.

"Sasuke! Ada apa ini? Gaara, panggil Ambulans!" teriak Sakura tak kalah kencang.

"Aku sudah menguhubunginya." jawab Gaara yang juga tidak bisa lagi menutupi rasa cemasnya.

"Jantungnya melemah" ujar Sakura saat mengecek denyut nadi Hinata yang masih dalam dekapan Sasuke. "Sasuke-kun, tenanglah.."

"Bagaimana bisa aku tenang saat melihat tunanganku berlumuran darah!?" Sasuke menatap Sakura kesal. Nafasnya mulai tak beraturan. "Aku..jika terjadi sesuatu padanya.."

"Sasuke.."

Tepat beberapa detik kemudian, Ambulans mulai datang. Dengan cepat, Sasuke dan yang lainnya memasuki ambulans, seraya berdoa dengan keselamatan Hinata.

.

.

"Sekali lagi, kuingatkan ini bukan salahmu." tegas Gaara saat Hinata sudah masuk dalam ruang perawatan. Ia lalu menatap Sasuke tajam. "Jangan kau ulangi kesalahan yang sama dengan Hinata, menyalahkan diri sendiri."

"..." Sasuke yang masih tak percaya dengan kejadian ini hanya bisa diam.

"Sasuke"

"Aku tahu.. Hanya saja."

"Ini bukan salahmu, Sasuke." tegas Gaara lagi. "Lalu, ini cincin Hinata. Lusa lalu dia menitipkannya padaku. Seharusnya kau"

"Dia tunanganku! Kau tidak tahu perasaanku! Mau dia menyerahkan cincinnya atau tidak, aku" seru Sasuke seraya menepis tangan Gaara yang berada dipundaknya. "Entahlah, aku bingung. Aku harus berbuat apa"

Sasuke meremas kepalanya. Ia lalu melihat lampu ruang ICU mulai berganti hijau. Dengan segera Sasuke berdiri dan melihat seorang dokter bernama Tsunade keluar dari sana.

"Bagaimana?" tanya Gaara.

"Kemana saja kau?! Aku mencarimu untuk membantu proses operasi!" seru Tsunade kesal.

"Ini bukan saatnya, Tsunade-san." balas Gaara datar. "Bagaimana Hinata?"

"Sejauh ini kondisinya baik. Hanya kehilangan darah yang cukup banyak, sehingga harus dirawat di RS sampai dia terbangun. Lalu, dia koma. Entah kapan bangunnya, tapi kami akan terus memantau."

"..Dia masih hidup?" tanya Sasuke tak percaya.

"Iya."

"...Haah syukurlah.." Sasuke segera tersungkur di lantai. Mendadak kakinya langsung lemas mendengarnya. Betapa bersyukurnya Sasuke mendengar hal tersebut. Sasuke lalu segera memasuki ruang operasi. Ia tersenyum tipis, melihat Hinata yang tampak tenang berada di atas kasur meski selang serta infus berada di tubuh tunangannya itu.

.

.


.

.

Sepulang dari Rumah Sakit, Hinata hanya bisa pulang terhuyung-huyung. Ia masih sedikit lemas dengan apa yang diceritakan para sahabatnya barusan. Naruto, Sakura, bahkan Gaara berkontribusi menceritakan seluruh hal yang mereka tahu. Sekarang, Hinata tahu segalanya. Tak ada yang berubah meski ingatannya sudah mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Hinata lalu memegang erat dadanya. "Kenapa hatiku sakit?"

Hinata lalu berhenti berjalan. Dengan kejadian ini, Ia tahu seberapa besar cinta Sasuke padanya. Seberapa besar pengorbanan Sasuke pada dirinya yang terus mengkhianati cinta lelaki bermata onyx tersebut.

"Maafkan aku, Sasuke-san.." bisik Hinata. Ia lalu mulai berjalan ke arah halte. Wajahnya masih pucat kala itu. Lalu, Ia tiba-tiba mengingat kejadian saat di RS sebelumnya. Saat Sasuke melempar cincin pertunangan mereka di RS. "Pasti masih ada..Harus kutemukan, satu-satunya penghubung antara aku dan Sasuke-san."

Dengan lunglai, Hinata segera berlari kembali ke arah RS. Belum sepuluh langkah, tiba-tiba Hinata jatuh tersungkur. Kepalanya masih terasa berat. "tsk kenapa harus disaat seperti ini.."

"Hinata?" tiba-tiba terdengar suara familiar. Dengan segera, tubuh Hinata diangkat cepat.

"S-Sasuke-san?"

"Sedang apa kau disini? Seharusnya kau masih di RS, 'kan?" Sasuke menatap Hinata tajam.

"Aku... sudah tahu segalanya" bisik Hinata perlahan. Sore kala itu semakin kelam. Suara bising para manusia yang melewati jalan itu tak dihiraukan oleh Hinata sekarang.

"Masuklah ke mobil dulu." Sasuke menarik lengan Hinata. Tampaknya Ia ingin bicara empat mata dengan wanita bersurai biru gelam ini.

Di dalam mobil, Hinata yang duduk disebelah bangku pengemudi hanya diam. Sasuke sendiri tampaknya masih canggung dengan keadaan ini.

"Kenapa kau sudah keluar dari RS?" tanya Sasuke membuka topik pembicaraan.

"Aku pikir keadaanku sudah lebih baik."

"Lalu, kenapa kau berjalan ke arah RS?" Sasuke menatap mata Hinata yang semakin redup cahayanya.

"Aku ingin mengambil kembali cincin yang...kau lempar saat itu." ucap Hinata seperti berbisik. Sasuke hanya bisa diam mendengarnya. Ia memang sudah tahu kalau Naruto, Sakura, dan Gaara sudah menceritakan segalanya pada Hinata.

"Untuk apa? Pertunangan kita sudah putus." balas Sasuke dingin, membuat Hinata segera membelalakan matanya. Ia kaget dengan apa yang Ia dengar sekarang.

"Kau kenapa menyembunyikan pertunangan kita?" tanya hinata pelan.

"Seperti yang Sakura bilang. Aku ingin hatimu sendiri yang tahu siapa tunanganmu. Tapi, pada akhirnya yang kau pikirkan tetap saja"

"Bukan begitu! Pikiranku tercampur. Saat itu, aku merasa bahwa aku Naruto. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, tapi mungkin itu karena besarnya rasa bersalahku padanya"

"Sekarang, juga?" tanya Sasuke. Hinata diam. Ia seperti sedang disidang sekarang. Perasaannya tak menentu. Hinata sedikit takut dengan tatapan Sasuke sekarang.

"Aku tidak punya perasaan apapun padanya. Sungguh." jawab Hinata perlahan.

"Itu karena ingatanmu belum kembali, 'kan?" balas Sasuke datar. "Aku tidak tahu.. sekarang siapa Hinata yang ada di depanku."

.

.

Hening. Suasananya tiba-tiba hening saat ucapan Sasuke keluar. Hinata sendiri bingung menjawabnya. Ingatannya memang belum kembali. Lalu? Apa yang harus Hinata lakukan?

"Sasuke-san.. tapi ingatanku kembalipun aku rasa aku menyukaimu" ujar Hinata spontan.

"Tapi, bagaimana kalau ternyata ingatanmu yang dulu menyukai Naruto?! Kau bahkan masih meragukan perasaanmu sendiri!"

"TAPI, AKU INI HINATA!"

"YANG MANA?! Apa kau Hinata yang kukenal?! Apa kau Hinata yang bersamaku selama 5 tahun lalu?!" Sasuke menolehkan kepalanya, tak mau memandang Hinata. "Ingatanmu yang sekarang tidak ada, 'kan?"

"Sa-Sasuke-san.. Kau, meragukan aku? Bagaimanapun, aku tunanganmu, 'kan?"

"..Aku akan menyerah padamu. Aku lelah, Hinata."

Sasuke terdiam. Tak lagi membuka suaranya. Ia benar-benar dihantui rasa takut, kalau-kalau Hinata masih menyukai Naruto. Ia takut bahwa saat ingatan Hinata kembali, yang disukai Hinata bukanlah dia tapi Naruto.

"Baiklah. Aku memang kehilangan ingatan. Tapi, hatiku tidak rusak, Sasuke-san. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan Hinata yang dulu maupun aku yang sekarang. Satu hal yang kutahu pasti, aku mencintai Sasuke-san." Hinata lalu keluar dari mobil dan bergegas, berlari meninggalkan Sasuke yang masih tetap terdiam.


.

.

"Tidak ada, dimana? Dimana cincinnya?" Hinata yang mencari-cari cincin di lorong RS selama lebih dari 3 jam itu mulai kehabisan tenaga. "Haah dimana terlemparnya.."

"Hinata?! Kau masih mencarinya?" Sakura yang memang sudah menemui Hinata satu jam lalu menghampiri Hinata. "Sudahlah, kau bisa mengatakannya pada Sasuke kalau cincinnya hilang."

"Aku tidak punya muka lagi bertemu dengan Sasuke-san. Dia bahkan tidak mau melihatku, tampaknya." Hinata tersenyum tipis. "Jadi, cincin ini bisa jadi perantara. Alasan untuk aku menemui Sasuke-san lagi."

"Hinata.." Sakura tersenyum simpul dan langsung memeluk Hinata. "Wajahmu pucat, pulanglah sekarang. Aku akan memberitahumu jika aku temukan cincinnya."

"Aku hanya lelah, tidak apa."

"Sakura-san!" terdengar suara wanita di lorong, berlari kecil ke arah Sakura dan Hinata. "Ini, aku diberitahu pembersih ruangan tadi. Dia tidak sengaja menyapu-nya. Silahkan."

Sebuah cincin perak terlihat di depan mata Hinata. Itu cincin Sasuke.

"Syukurlah!" teriak hinata pelan. Ia segera berterimakasih pada perawat bernama Shizune itu dan menatap Sakura senang. "Sakura-chan, arigatou!"

"Ung! Temui Sasuke secepatnya. Dia pasti akan mendengarkanmu."

"Baiklah, terimakasih banyak!"

Hinata lalu segera keluar dari RS. Ia langsung berlari dan berlari kencang. Hinata begitu senang memikirkan cincin yang ada di genggamannya sekarang. Ia tampaknya sudah menyiapkan kata-kata apa saja yang harus disiapkan untuk dibicarakan pada Sasuke. Hinata yakin bahwa Sasuke mau mendengarkannya kali ini. Pasti.

.

.

TIIIIIIINNN!

BRAAKKKK

.

.


Hinata POV

"Bangun! Bangunlah! Jangan tinggalkan, aku!"

Siapa? Siapa yang menangis?

"Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi, Hinata!"

Suara siapa? Sasuke-kun? Kenapa kau menangis? Badanku terasa berat. Siapa yang berada di atasnya? Sasuke-kun?

Kugerakan mataku untuk terbuka. Kulihat Sasuke sedang berada di atas perutku. Menangis. Untuk pertama kali aku melihat Sasuke menangis. Jangan menangis, kenapa kau menangis?

"Sasuke..san?"

"Hinata!?" Sasuke yang mendengar suaraku, segera bangun dan menatapku. "Hinata.."

"Sasuke-san.." bisikku pelan. Tubuhku masih terasa mati rasa. Kenapa?

"Hinata?! Kau, tertabrak mobil. Ya tuhan, harus berapa kali kau membuat kami kaget?!" kulihat Sakura di sebelahku juga menitikkan air matanya. "Beruntung kecelakaannya tidak fatal. Tapi, karena kondisi tubuhmu sedang menurun, kau langsung pingsan di tempat."

"..Maaf." kutolehkan pandanganku ke arah Sasuke yang masih terdiam. Kenapa kau menangis, Sasuke?

"Baiklah, aku akan keluar." Sakura lalu menghapus air matanya dan tersenyum sebelum keluar dari ruang perawatan. Meninggalkan aku dan Sasuke berdua di ruangan ini. Ruangan yang sunyi.

"Sasuke-san?" panggilku pelan. Kucoba gerakkan pergelangan tanganku untuk menggapai tangannya yang berada di samping ranjang. "Maaf, ingatanku belum kembali."

"..." dia masih tetap diam, meski tangannya tidak melepas genggaman tanganku. Aku tersenyum tipis merasakan jari-jarinya mulai mengeratkan tanganku. Dia lalu menghapus air matanya, dan menatapku serius. "Untuk apa ingatanmu kembali jika kau tidak ada disini?!"

"Sasuke-san.."

"Sasuke-kun, kau biasa memanggilku begitu." koreksi Sasuke pelan, membuatku terkekeh geli.

"Baiklah, Sasuke-kun." jawabku menurut. Ia lalu mulai duduk di kursi sebelah ranjang kasur. Tangannya tidak berusaha melepaskan genggamanku. Kami tetap diam, tak bicara sedikitpun. Tapi, rasa-rasanya kami berbicara melalui jari-jari kami yang terus bermain.

"Aku mengerti, Hinata."

"Hm?"

"Aku mengerti. Bagaimanapun dirimu, kau tetap Hinata. Mau kau kehilangan ingatanpun, kau tetap Hinata yang kutahu. Maafkan aku."

"Kau, tidak lagi meragukan aku?" tanyaku takut-takut.

"Tidak akan. Aku tahu, mau ingatanmu kembali atau tidak, kau pasti akan mencintaiku lagi. Jika tidak, aku akan membuatmu jatuh cinta padaku lagi, terus seperti itu." balas Sasuke. Ia lalu tersenyum tipis dan menatapku lembut. "Maaf, aku menyadari hal ini saat akan kehilanganmu. Benar-benar laki-laki rendahan, 'kan?"

"Sasuke-kun, kenapa kau menangis?" tanyaku tiba-tiba. Aku benar-benar penasaran dengan ini.

"Kenapa? Tentu saja karena kau membuat jantungku melayang untuk kedua kalinya! Kau tahu betapa gilanya aku saat mendapat telepon kau kecelakaan lagi?!" Sasuke menatapku tajam. "Entah harus seberapa ketat aku menjagamu."

Aku tertawa kecil mendengarnya. "Anu, cincinnya?"

"Tenang saja," Sasuke menunjukkan cincin yang berada di jarinya dan segera menyerahkan cincin di dalam kantungnya ke arahku. "Pakailah, kau harus tahu dengan siapa kau terhubung dengan cincin ini."

"Baik, baik" jawabku dengan nada bercanda. "Sasuke-kun, terimakasih. Aku mencintaimu."

"Hm, aku tahu." Sasuke lalu mendekatkan wajahnya ke arahku dan mencium bibirku lembut. Ia lalu kembali menatap mataku dan segera memeluk tubuhku erat. "Kau tahu seberapa rindunya aku memelukmu lagi?"

"Maaf, membuatmu menunggu terlalu lama."

"Tentu saja." Sasuke semakin mengeratkan pelukannya dan kembali menatap wajahku yang sudah merona merah. "Ini baru wajah tunanganku."

"Tadaima, Sasuke-kun."

"Hn, okaeri."

.

.

.


END

Waah, akhirnya ending juga.. /fiuh Agak terburu-buru memang dan aku sadar

Tapi, kalau terlalu banyak basa-basi dan bertele-tele kalian pasti jadi bingung ;;

Maaf ya kalau nggak sesuai keinginan kalian, dan semoga ada peningkatan untukku kedepannya

Aku menerima request Fic! Silahkan lewat review/PM aku, ya! Tapi untuk fandom Naruto hehe

Plis, jangan request fic genre mystery lagi yap /bosen/ hahaha XD

Thank you untuk yang sudah ngikutin dari awal hingga akhir.

Terimakasih juga yang sudah review. Maaf ya nggak bisa balesin satu-satu tapi aku baca semuanya heheu

Sampai ketemu di fic selanjutnya! ^^