Memory

Disclaimer : Masashi Kishimoto


Halo semuanyaaa! Akhirnya aku membuat fanfic baru lagi setelah Link of Us.

semoga fic ini bisa membuat yang lain senang /apa

Hehe lagi lagi chara tetap Hinata .. pairnya? Belum tahu /dibuang

Oke.. silahkan dibacaaa

Warning: Misstypo, OOC, sinetron, gj, dll haha


Memory 1


"Hinata! Hinata?!"

Sebuah suara menggema di kepalaku. Siapa? Siapa yang memanggilku?

Dengan perlahan kubuka kelopak mataku dan seketika pandanganku yang kabur mulai jelas. Terlihat sekerumunan orang mengitari kasur yang kini kutiduri. Wajahku tampak kaku untuk bergerak.

Seorang wanita yang berambut merah jambu di sebelahku tampak cemas dengan beberapa banyaknya laki-laki. Mataku masih mengerjap pelan. Lalu seketika bola mataku menatap satu demi satu orang yang berada di sana.

"Hinata? Kau baik-baik saja?" Tanya seorang lelaki berambut cokelat. Siapa dia?

"Siapa?"

"Eh?"

"Kalian... Siapa?"

Mataku yang sudah sepenuhnya terbuka memandangi wajah mereka satu persatu. Tampak kekagetan serta kecemasan yang tertulis di wajah mereka. Kenapa? Apa pertanyaanku aneh? Kurasa tidak. Aku tidak mengenal mereka. Wajah mereka semua tampak asing bagiku. Dan lagi, yang paling penting adalah..

Siapa aku?

"Hinata, kau mengalami kecelakaan dan koma selama 6 bulan." Jelas sebuah wanita berambut pink itu. Tampaknya 'Hinata' yang disebut-sebut itu adalah namaku. 'Hinata' adalah aku. Seperti apa dia? Dan, yang mengejutkanku adalah, aku koma? Enam bulan? Ya tuhan, selama itukah aku terbaring disini.

"Kurasa kau mengalami gangguan pada ingatanmu. Sudah enam bulan kau tidak terbangun." Seorang lelaki berjas putih dengan kuncir di rambutnya menjelaskan padaku serta kumpulan orang-orang disana.

"Hinata, apa yang kau ingat?" Tanya wanita berambut pink itu lagi. Tampaknya dia sangat suka bicara dibandingkan yang lainnya.

"Aku─" Kugerakkan bibirku yang masih sedikit kaku. "Tidak ingat apapun. Sama sekali."

"Eh? Kau yakin?" Laki-laki yang tampaknya seorang dokter itu menghampiriku.

"Ya, begitulah. Aku benar-benar tak ada bayangan apapun mengenai kalian semua." Ujarku ragu. Tapi sungguh, aku benar-benar tidak merasakan apa-apa. Rasanya sulit sekali untuk membangkitkan sesuatu yang tidak ada.

"Tidak apa. Biarkan saja dulu, pelan-pelan dia pasti akan mengingatnya." Lagi-lagi seorang dokter memasuki ruangan. Tubuhnya yang cukup tinggi dengan rambut marun yang menghiasi kepalanya tampak mencolok saat memasuki ruangan ini.

"Sensei, jangan bicara begitu." Dokter yang memakai kacamata segera menyenggol pinggang si dokter berambut marun itu.

"Tapi, kami bersyukur.. Akhirnya kamu terbangun juga setelah enam bulan ini, Hinata." Gadis berambut pink itu lalu memelukku. "Jika kau lupa segalanya, kami akan membantumu mengingatnya. Namaku Haruno Sakura."

"Ha-haruno-san?" Ucapku terbata.

"Sakura-chan! Kau biasa memanggilku begitu!" Sakura lalu melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar didepanku. Kurasa, diriku yang sebelumnya pasti sangat dekat dengan gadis ini. Mungkin.

"Ah, baik─Sakura..chan?"

"Iya!" Sakura lalu tersenyum simpul dan menyikut seorang lelaki di sampingnya. "Hei, kalian tidak mau bicara pada Hinata?"

"Eh─" Laki-laki berambut cokelat disamping Sakura tampak canggung. Kulihat wajahnya tampak kebingungan melihat wajahku yang bahkan diriku sendiri belum melihatnya.

"Ano, apa yang kalian ketahui tentang diriku?" Tanya diriku polos. Sungguh, aku benar-benar ingin tahu siapa diriku. Bagaimana tidak? Aku seperti seorang anak kecil yang baru lahir dengan tubuh dewasa dan hanya tahu cara berbicara dan membaca.

"Namamu Hyuuga Hinata, umurmu 23 tahun." Ujar Sakura.

"Dulu kita semua satu sekolah. Kau dan aku sempat satu kelas." Seorang lelaki berambut hitam dengan alis tebalnya tersenyum ke arahku. "Kau sahabat dekat kami semua. Karena itu kami sering menjengukmu."

"Ah, begitu?"

Aku masih tidak percaya. Kepalaku benar-benar tidak mengingat apapun. Entah karena efek apa, tetapi aku sungguh-sungguh tidak tahu mengenai hal apapun. Aku lalu mulai menatap satu persatu orang yang ada disana.

"Apa aku benar-benar teman kalian?" Tanyaku lagi. Jujur, aku ingin ingatanku ini kembali secepatnya.

"Tentu saja!" Lelaki berambut cokelat dan Sakura berseru secara bersamaan. "Bukan hanya itu, bahkan tunanganmu juga ada disini!"

Aku langsung terkejut. Tunangan? Maksudku, aku bahkan tidak ingat siapa diriku dan kini aku mengetahui bahwa aku punya tunangan? Tidak mungkin.

"Si-siapa?" Tanyaku takut-takut. Disana hanya ada lelaki berambut cokelat, lelaki beralis tebal, si rambut hitam dengan kulit pucat, dan satu lagi lelaki berambut hitam jabrik. Sisanya hanya dua dokter itu. Tapi dari perkataanku tadi, semua tampak kaget mendengarnya.

"Yang mana? Tunanganmu─"

Belum sempat Dokter berambut putih itu menunjukkan tunangan Hinata, tiba-tiba Sakura langsung menutup mulut Dokter itu.

"Diam!" Bisik Sakura pelan. Aku hanya terdiam kebingungan. Siapa? Siapa diantara mereka tunanganku?

"Sakura-chan─Kenapa?"

"A-aku ingin kau tahu dengan sendirinya siapa tunanganmu." Ujar Sakura. Dia lalu menatap keempat lelaki itu cepat. "Hei, perkenalkan diri kalian. Kalian juga, pak dokter."

"Eh? A-ano─" Seorang lelaki berambut hitam bob menatapku mantap. "Namaku Lee. Kita sama-sama berada di satu kelas dulu."

"Inuzuka Kiba, aku juga satu kelas denganmu." Lanjut si rambut cokelat itu.

"Sai, kita sama-sama di klub melukis." Pria dengan kulit pucat yang awalnya hanya diam kini angkat bicara.

"─Uchiha, Uchiha Sasuke." Lelaki berambut jabrik itu tampak dingin menjawabnya. Tidak dijelaskan hubungannya denganku. Yang pasti, dulu dia satu sekolah denganku.

Keempat orang itu lalu menatapku yang tampak bingung. Aku benar-benar tidak tahu dengan mereka. Persetan dengan ingatanku. Aku harus mengenal mereka seperti dari awal lagi.

"Hei, sensei! Cepat kenalkan diri kalian!" Sakura menatap kedua Dokter itu sangar.

"Ah, aku lupa. Namaku Kabuto. Aku yang menjadi Dokter penanggung jawabmu." Kabuto tersenyum tipis dan menunjukkan name tag yang berada di sakunya.

"Gaara, Sabaku Gaara. Aku dokter bagian penyakit dalam." Lelaki berambut merah marun itu mengenalkan dirinya tanpa menatapku.

"Baiklah! Semua sudah memperkenalkan diri!" Sakura tersenyum lebar dan kembali menuju ke arahku.

"A-anu, bagaimana─Tunanganku? Siapa?" Aku menatap Sakura serius. Tentu saja hal ini penting. Tunanganku sudah pasti mengenal baik diriku. Aku bisa membangkitkan kembali ingatanku jika bertemu dengannya.

"Yang mana?" Sakura tersenyum jahil. "Menurutmu yang mana?"

"Eh? A-aku.. Tidak tahu─" Aku menggeleng pelan. Keempat pria itu memang terlihat baik. Tapi, dadaku tidak terasa bergetar sama sekali meski melihat mereka berempat. Aneh.

"Kalau begitu, seiring dengan berjalannya waktu kau pasti tahu siapa tunanganmu." Sakura memandangku jahil. "Kalian tidak keberatan, 'kan?"

Keempat laki-laki itu saling berpandangan dan mengangguk serempak. "Tidak apa."

Aku memandang Sakura tampak tak mengerti. "Ke-kenapa tidak kau beritahukan saja, Sakura-chan?"

"Jadi, kau mau bertunangan dengan siapapun?"

Dadaku langsung berdenyut. Benar juga. Aku sama sekali tidak merasa apapun pada mereka. Mana mungkin aku menerima begitu saja. Jika benar aku bertunangan dengan salah satu di antara mereka, pasti suatu saat aku akan merasakan perasaan yang sama sebelum ingatanku hilang.

"Kalau begitu, kau setuju, Hinata?"

"Iya. Tidak masalah."


Pagi ini adalah pagi terakhir bagiku di rumah sakit ini. Tampaknya keadaanku belum pulih. Kakiku yang sudah tidak pernah digerakkan selama enam bulan masih kaku untuk berjalan hingga masih butuh bantuan orang lain. Bahkan dua hari yang lalu berdiri saja tidak bisa. Aku lumpuh selama dua hari itu. Beruntung aku melakukan rehabilitas sehingga bisa berjalan kembali perlahan.

"Hinata-nee! Barangmu sudah kusiapkan." Seorang gadis bernama Hanabi menunjukkan tas besar milikku. Beberapa hari lalu keluargaku datang dan tahu mengenai kondisiku. Hanabi yang ternyata adikku sendiri langsung syok ketika tahu aku tidak mengenalnya sama sekali.

"Hanabi, bisa kau panggilkan Ayah untuk membantuku berjalan?" Tanyaku yang masih duduk di atas kasur, bersiap-siap untuk pergi dari ruangan itu.

"Ah, boleh. Aku akan memanggilnya."

"Tidak usah, Hanabi!" Tiba-tiba seorang lelaki berambut panjang datang dari pintu dan berjalan menuju ke arahku. "Kudengar kau pulang hari ini, jadi aku berniat menemuimu."

"Ah, Neji-niisan?"

"Ya, untunglah kau tidak lupa namaku." Neji yang terakhir kali kutemui saat pertama kali aku terbangun itu tersenyum simpul. Dia datang larut malam, dan memperkenalkan dirinya sebagai sepupuku.

"Iya, karena ingatanku sama sekali tidak ada, makanya aku ingat semua hal yang terjadi saat aku terbangun." Aku membalas senyumnya. Selesai berbasa-basi, Neji langsung menjulurkan tangan kirinya.

"Ayo, kudengar kau masih harus dipapah saat berjalan. Kau selalu membantuku, biarkan aku membalas budi sekarang!"

"Iya, terimakasih." Perlahan kugapai tangannya dan segera berdiri. Dengan pelan-pelan aku berjalan keluar ruangan itu diikuti Hanabi yang langsung bergegas menuju lift.

"Neji-niisan, tadi kau bilang aku membantumu─Apa kita sangat dekat?"

"Hm?" Neji tampak berpikir. "Yah, selain kita pernah satu sekolah, kita sering berkumpul bersama yang lainnya juga. Dan lagi aku ini sepupumu, lalu─"

"Neji? Kapan kau datang?" Tiba-tiba seorang lelaki berambut marun yang berpapasan dengan kami menatap Neji datar.

"Gaara? Sudah lama aku tidak melihatmu." Ujar Neji sambil tetap memegangi tubuhku. Dilihat dari ke akrabannya sudah pasti mereka sudah lama berteman.

"Baru beberapa minggu lalu, 'kan?" Gaara tampak menghela nafasnya dan kembali menatap Neji lagi. "Datanglah ke reuni besok."

"Besok? Bukannya tahun depan?" Neji tertawa kecil. "Tampaknya aku salah melihat tahunnya."

Aku tertawa dalam hati. Rupanya Neji ini tak sedingin tampangnya.

"Hinata, kau juga datang, kan?" Ucapan Neji tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Eh? Kemana?"

"Reuni."

"Aku.." Aku menundukkan wajahku. Bagaimana bisa aku datang ke sebuah reuni yang bahkan aku tidak tahu siapa saja orangnya. Mungkin hanya Neji, Sakura dan yang lainnya yang akan ku ketahui.

"Datanglah, aku akan menjemputmu." Neji tersenyum simpul.

"Ah, baik─"


Malam ini aku sudah siap menggunakan sebuah baju terusan hitam dengan mantel untuk menutupi pundakku mengingat musim dingin ini. Neji yang menelepon bahwa akan menjemputku tampaknya sudah datang. Dengan cepat aku turun dari lantai 2 dan menemukan Neji sudah berdiri di depan pintu.

"Maaf, aku terlalu cepat." Ujar Neji terburu-buru. "Sakura menyuruhku untuk datang lebih cepat karena ternyata reuninya dimulai lebih awal."

"Ah, tidak apa. Sakura juga tadi mengirimiku email." Jawabku canggung. Neji tampak santai dengan kemeja putih dan celana denimnya.

"Baiklah, masuklah ke mobil. Ngomong-ngomong, tenang saja. Aku sudah dapat sim." Canda Neji sebelum aku memasuki mobil sedan silver miliknya.

"Hmm─Kenapa Neji-niisan berbaik hati mau mengantarku?" Tanyaku bingung.

"Karena kalau bukan aku, siapa lagi?" Lagi-lagi Neji memandangku tajam. "Aku bercanda. Kebetulan rumahku yang paling dekat denganmu."

"Eh? Dimana?" Tanyaku penasaran.

"Di blok 21. Itu masih kawasan Hyuuga." Memang benar, Blok 21 hanya melewati 4 rumah dari milikku. Itu artinya kita tetanggaan. Pantas saja dia mau mengantarku juga.

"A-apa saat reuni banyak orang yang kukenal?" Tanyaku lagi.

"Yah, begitulah. Kau orang yang sangat baik. Karena itu tidak ada satupun yang menjadikanmu musuh. Mereka semua sangat mencemaskanmu saat mendengar kau kecelakaan." Neji yang tetap fokus dengan jalanan mulai bercerita. "5-6 tahun lalu kita masih kelas 3, dan sedang sibuk-sibuknya ujian masuk universitas dan yang lainnya."

"Eh? benarkah?"

"Iya. Saat itu, kau juga duduk di kelas 3. Kita semua sedang memikirkan untuk jurusan kuliah, dan waktu itu kau berpikir untuk menjadi perawat, kau pintar." Neji menjelaskannya rinci. Rasanya bagaikan mimpi mendengar cerita itu semua.

"Bagaimana dengan Sakura dan yang lainnya?" Dengan penasaran aku menatap wajah Neji.

"Hm.. Mereka cukup rumit. Sakura awalnya berminat menjadi karyawan, tetapi malah mejadi perawat. Sasuke, Sai, dan Kiba semuanya bekerja di perusahaan. Hanya Gaara dan Kabuto-san yang menjadi Dokter. Padahal aku juga mencoba jadi Dokter tapi ujungnya bekerja di perusahaan."

"Eh─? Gaara-san dan Kabuto-san juga satu angkatan dengan kita?" Ujarku. Memang dia cukup muda sebagai seorang Dokter.

"Iya, Gaara sama denganmu. Dia pintar. kalau Kabuto-san, dia Senior kita yang cukup dekat karena pernah bersama dalam acara komite."

"Ah, begitu."

Pantas saja Gaara dekat dengan yang lainnya. Neji dan Gaara saja terlihat bersahabat saat bertemu kemarin. Bagaimana denganku? Apakah aku yang dulu dekat dengan mereka? Apa aku benar-benar ada hubungannya dengan mereka?

"Anu- Neji-niisan,"

"Hm?"

"Apa.. Kau tahu siapa tunanganku?" Tanyaku sedikit ragu.

"─Sakura bilang agar kau menemukannya sendiri, bukan?" Neji mendelik ke arahku.

"I-iya.."

"Temukanlah, jika memang benar berjodoh, dirimu pasti bisa menemukannya." Neji tersenyum simpul dan menepuk kepalaku pelan. "Dulu kau percaya dengan keajaiban, kurasa sekarangpun kau masih percaya kan?"

"Benarkah?" Ujarku tampak ragu.

"Ya, lagipula─Meski lupa ingatan, tetapi kau tidak berubah."

"Mak-maksudmu?"

"Ah, sudah sampai!"


Sesampainya di sebuah restoran, aku dan Neji segera memasuki lantai 2 dan menemukan banyak orang sudah ramai disana. Kulihat Sakura juga memakai baju terusan putih dengan aksesori sebagai pemanis di pergelangannya. Cocok dengan restoran yang didominasi dengan warna putih itu. Dinding restoran itu hampir diisi oleh jendela besar yang membuat sinar matahari yang memasuki restauran itu tampak segar.

"Hinata─!" Sakura yang melihatku segera menghampiri diriku yang masih tampak lelet berjalan di sebelah Neji.

"Ma-maaf, aku terlambat." Aku menunduk pelan dan membalas senyum manis milik Sakura.

"Tidak apa," Sakura memelukku dan menunjuk ke arah kumpulan para wanita dan lelaki yang tampaknya sebaya denganku. "Ngomong-ngomong, mereka sudah kuberitahu mengenai keadaanmu."

"Eh? Apa─Tidak apa-apa? Aku benar-benar tidak mengenal mereka." Aku menatap kumpulan disana, muka yang tampak asing itu menatapku ramah.

"Tentu. Ayo, cepat kemari." Sakura menarik tanganku. Dengan perlahan aku menuju ke arah kerumunan itu. Selain orang-orang yang berada di RS saat itu, aku tidak mengenal mereka sama sekali. Rasanya bagaikan datang ke sebuah reuni orang lain.

"Ah! Hinata! Syukurlah, kau akhirnya bisa sembuh." Seorang gadis dengan kuncir kuda didepanku memeluk tubuhku erat. "Aku Ino, kita satu kelas."

"Ah, ma-maaf─Aku tidak ingat.."

"Tidak apa, aku paham kondisimu." Ino menepuk pundakku pelan. "Pelan pelan kau bisa mengingatnya. Lagipula, tunanganmu bisa membantu, bukan?"

"Eh?" Aku menggeleng pelan. "Aku sendiri tidak tahu tunanganku yang mana." Dengan tawa kecil aku menatap Ino.

"S-Sakura? Kau tidak memberitahunya? Beritahulah dia, jadi dia akan lebih cepat mengingatnya!" Ino memukul punggung Sakura pelan. Sakura sendiri hanya cengengesan mendengarnya dan membalas pukulan kecil Ino.

"Tidak. Biar Hinata sendiri yang menemukannya." Sakura menarik tanganku. "Kuharap kau bisa cepat ingat."

"Eh?I-iya, aku juga merasa hal itu akan lebih baik." Wajahku sedikit memerah memikirkannya. Bagaimana tidak. Tunangan itu artinya sudah berencana menikah, 'bukan?

"Ya, benar." Sakura lalu melirik ke arahku dan tersenyum senang. "Syukurlah, sifatmu tidak banyakk berubah."

"Berubah?"

"Iya. Dari dulu kau lemah lembut dan pemalu. Tampaknya hal itu tidak berubah. Kecuali bicaramu. Sudah tidak banyak yang terbata-bata." Sakura menggelayuti lenganku dan tertawa kecil. "Tapi, mungkin akan aneh ya jika saat terbangun itu sifatmu malah kebalikannya."

"Begitukah?" Aku mengangguk paham. Mungkin aneh juga. Jika benar sifatku yang sekarang sama dengan yang dulu, itu artinya memang hanya Ingatankulah yang menghilang.

"Sakura, mobilmu menghalangi mobilku. Bisa kau pindahkan?"

Tiba-tiba terdengar suara berat dari belakangku. Kuputar tubuhku dan yang kutemukan adalah seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit putih dan tato yang berada di keningnya.

Ya, dia Sabaku Gaara. Seorang Dokter yang pernah kutemui saat itu.

"Ah! Maaf! Aku memang sengaja membiarkannya agar aku tidak perlu repot-repot memarkirkannya." Ujar Sakura sembari tertawa.

"Ya, dan itu merepotkanku." Gaara membalasnya dingin. Mendengar jawaban Gaara, dengan segera Sakura bergegas menuju tempat parkiran.

Kulirik Gaara yang masih berdiri di sampingku. Dia memakai kemeja putih dan celana hitam. Tampak santai dengan sepatu hitamnya juga. Kupandangi wajahnya. Tidak jelek, malah tergolong tampan dimataku.

"Ada apa?" Merasa dipandangi, Gaara melongokkan matanya ke arahku. Dengan segera aku langsung mengalihkan pandanganku cepat.

"A-ah, ti-tidak. A-apa.. Gaara-san baru datang?"

"Ya."

Aku langsung tertegun. Hanya satu kata? Apa dia ini pelit bicara atau sedang sakit gigi? Entahlah, tapi dia terlihat dingin. Matanya, kelakuannya, cara bicaranya. Seluruhnya tampak tak bersahabat.

"A-anu, apa benar─Kau.." Belum sempat aku bicara, tiba-tiba lelaki bertubuh semampai ini menarikku dan meninggalkan Sakura yang baru kembali menuju balkon yang tak jauh dari ruangan itu. Terlihat lantai 1 dari balkon itu ke arah jalan raya.

"Maaf, aku tidak mendengar apa yang kau katakan tadi." Ujar Gaara. Memang benar suasana di dalam sangat ramai, membuatku harus sedikit berteriak untuk membuatnya mendengar suaraku yang kecil ini.

"Ti-tidak apa.."

"Lalu?" Gaara memandangku dan kembali meminum minuman kaleng yang sedari tadi ditangannya.

"Ah, anu.. Apa benar kau dokter yang berada di RS kemarin?" Takut-takut aku memandang matanya yang tajam. Tampaknya Ia sedikit kaget dengan hal itu dan mengalihkan pandangannya ke arah jalanan. "Ke-kenapa?"

"Tidak. Tak kusangka aku mendapat pertanyaan seperti itu."

"Ma-maaf.. Aku hanya sedikit tidak percaya." Aku menggeleng cepat.

"Tidak apa. Lalu, memang benar aku dokter disana." Gaara tersenyum tipis. Tak kusangka laki-laki satu ini tahu cara tersenyum rupanya.

"Anu, Gaara-san.."

"Hm?"

"A-apa kau mau menceritakan segalanya tentang diriku yang kau tahu?"Tanyaku.

Bagaimanapun, aku harus menggali ingatan. Meski dengan laki-laki dingin ini sekalipun. Gaara sendiri tampaknya tidak keberatan dengan pertanyaanku.

"Ya, tidak masalah."

"A-apa.. Kau masih punya album saat di sekolah? Aku kemarin menanyakannya pada Hanabi, tapi mereka bilang semua masih berada di rumah keluargaku."

"Masih. Kau mau berkunjung ke rumahku?" Gaara memandang wajahku. Dia menunjukkan kunci mobilnya dan menarik tanganku pelan.

"A-anu, apa tidak apa-apa kita meninggalkan tempat reuni ini?" Aku memandang sekeliling yang masih ramai. Neji, Ino dan Sakura sendiri masih asik berbincang berduaan.

"Ya, tenang saja. Lagipula mereka bahkan tidak menghiraukan kita."


Hanya dengan 30 menit aku sudah sampai di rumah Gaara. Rumahnya ternyata tidak terlalu besar. Hanya rumah minimalis dengan 2 lantai, 2 kamar tidur, satu kamar mandi dan sebuah dapur. Ruang tamu yang menyatu dengan dapur juga tampak bersih. Tidak terlihat seperti rumah yang hanya ditinggali satu orang laki-laki.

"Ru-rumahmu, manis sekali." Ucapku malu-malu. Takut menyinggung perasaannya. Tapi tampaknya Gaara tidak peduli. Ia hanya tetap sibuk menyalakan lampu rumahnya yang sebelumnya dalam keadaan mati.

"Duduklah, aku akan cari albumnya." Gaara memberiku sebuah minuman kaleng rasa jeruk dan duduk disebelahku. "Apa kau merasa familiar dengan rumah ini?"

"Eh? Ti-tidak." Aku menatap minuman kaleng yang berukuran sedang di tanganku canggung. Dengan pelan-pelan aku membukanya dan meminumnya. Kulihat Gaara sibuk mencari albumnya di lemari sebelah rak cd. "A-anu, apa aku pernah kemari sebelumnya?"

"Saat kerja kelompok dulu. Ini albumnya." Gaara memberikanku sebuah album besar berwarna cokelat tua ke atas pangkuanku.

"Ah, ini.."

"Ya, fotomu saat kelas 2." Gaara menunjukkan foto di bagian kelasku dulu dalam album itu, dan kulihat wajahku yang tampak sedikit aneh menyeruak di kertas berukuran a4 tersebut.

"Ah, iya..Aku dengar dari Neji-niisan─Jadi, aku bersama dengan yang lainnya hanya dua tahun, ya?"

"Benar, kau murid pindahan. Tapi, dalam dua tahun itu kau memikat banyak orang sehingga kau memiliki banyak teman." Gaara lalu membuka lembaran saat angkatan kami masih di kelas dua. Kulihat foto saat aku, Sakura, dan Ino bermain basket bersama. Ada diriku yang sedang tersenyum senang di sebelah Ino dan teman-teman lainnya disana.

"Apa kau mulai mengingatnya?" Tanya Gaara.

"Ah- ti-tidak, maaf─" Aku mencoba mengingat seraya melihat foto itu tapi nihil. Tak ada sesuatu yang membuatku ingat akan apapun.

"Aneh."

"Eh?"

Kulihat Gaara menatapku jeli dan langsung mengalihkan pandangannya lagi. Membuatku penasaran, karena sedari tadi dia melakukan hal yang sama berulang kali.

"Maaf- kita berbicara terakhir kali enam bulan yang lalu.. Tiba-tiba bicara denganmu lagi, rasanya─"

"Gaara-san..." Aku memandang Gaara cemas. Benar juga. Bagaimana tidak aneh, berbicara dengan orang yang tertidur selama setengah tahun, lalu terbangun kembali.

"Ano, apa yang kau tahu tentangku?" Tanyaku penasaran. Saat di RS kemarin, dia tidak mengatakan bahwa dia adalah murid satu kelas denganku.

"Maksudmu?"

"Ehm, kita hanya pernah sekelas satu tahun. Tapi, apa yang kau tahu? Aku sangat ingin ingatanku kembali." Aku memandang Gaara heran. Gaara sendiri hanya diam dan kembali membuka lembar demi lembar album tersebut.

"Kau lapar?" Gaara tiba-tiba mengubah topik pembicaraan dan berdiri dari sofa. Tidak menggubris pertanyaan yang masih berkecamuk dalam pikiranku ini.

"Ah, ti-tidak.. Sebelum ke acara tadi aku makan dulu." Ujarku masih penasaran dengan pertanyaanku tadi. Kenapa dia tidak mau menjawabnya? Padahal, menjawab pertanyaan tadi bukanlah hal sulit. "Ano, kau tahu kenapa aku bisa amnesia?"

"Hm?" Gaara menatap mataku. Pandangannya yang tampak dingin itu menggeluti pikiranku yang sedari tadi masih penuh tanda tanya mengenai dirinya juga diriku sendiri. Gaara lalu memberikkanku sebuah cincin perak dan langsung berjalan menuju ruang dapur.

"I-ini apa?" Kupandangi cinci perak silver itu dengan seksama. Tidak ada yang aneh, hanya cincin berlian pada umumnya. Kulihat Gaara yang sibuk merapihkan dapurnya yang awalnya cukup berantakan menjadi rapih kembali. "Ga-Gaara-san?"

"Apa kau tidak ada bayangan? Itu cincin pertunanganmu." Gaara menghela nafasnya seraya menutup laci lemari didepannya.

Mendengar kalimat itu, aku langsung kembali menatap sang cincin. Dengan segera aku berfikir, jika Gaara yang memiliki cincinnya, itu berarti.. "Kau.. Tunanganku?"

Kulihat matanya dalam-dalam agar mengetahui Ia berbohong atau tidak. Gaara sendiri tidak merasa kaget atau apapun. Ia tetap memasang wajah datarnya.

"Kenapa? Kau mau aku yang menjadi tunanganmu?" Gaara menatapku tajam. Dengan segera aku langsung menggeleng cepat.

"Bukan begitu─"

"Ah, sudah jam segini. Ayo, kuantar kembali ke pesta itu. Jika mereka tahu kau menghilang, pasti semuanya akan menyalahkanku." Gaara lalu mengambil kunci mobilnya. Meninggalkanku yang masih memiliki beribu pertanyaan. Kenapa dia tidak mengiyakan atau apapun yang membuatku paham Ia adalah tunanganku atau bukan? Apa ada yang Ia sembunyikan? Kenapa cincin ini ada padanya jika dia bukan tunanganku? Pertanyaan itu terus mengambang di kepalaku, tak peduli aku kini sudah berada dalam mobil Gaara yang melaju pesat.


"Hi-na-ta!" Sakura membuyarkan lamunanku. Sesampainya ke tempat pesta tadi, aku hanya duduk diam. Tidak mengikuti yang namanya dansa bersama atau apapun. Aku tetap bertanya-tanya dengan kejadian tadi.

"Hinata, apa kau mau pulang?" Neji yang ikut menghampiriku tersenyum simpul.

"Eh.. Ng─Tidak. Aku mau ke balkon dulu, mau mencari angin." Ucapku basa-basi. Sebenarnya aku ingin keluar dari tempat ini, tapi tampaknya Neji yang akan mengantarku pulang masih ingin berada di sini lama. Tentu saja, ini reuni 'mereka'.

Sesampainya di balkon, kulihat langit malam yang tak memiliki banyak bintang itu terasa dingin. Melodi angin yang melewati telingaku membuat kantuk. Andai Gaara belum pulang kerumahnya, aku mungkin akan memberanikan diriku memintanya mengantarku. Walau mungkin, aku akan menahan malu setelahnya.

"Hinata?" Suara bass di sebelahku sampai ditelingaku yang langsung membuatku menoleh ke arahnya. Kulihat lelaki di rumah sakit saat itu. Seorang lelaki berambut hitam jabrik, dengan mata onyx-nya yang bisa membius wanita masuk ke dalamnya.

"Sasuke-san?" Sapaku formal. Entah aku dulu atau dia duluan yang berada di balkon ini, tapi kehadirannya tidak terasa sama sekali. "Ma-maaf, aku mengganggu."

"Tidak. Kau tidak perlu pergi." Sasuke memangku tangannya diatas balkon didepannya. Matanya tampak malas terbuka hingga tampak sayu di depanku. "Kau sendiri belum pulang?"

"E-eh.. Aku menunggu Neji-niisan. Dia yang akan mengantarku pulang."

Sasuke hanya ber-oh ria dan kembali diam. Ia tetap menatap lurus kedepan. Aku sedikit penasaran dengannya. Tampaknya dia bukan orang jahat, tapi juga bukan orang baik hati. Entahlah, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik orang untuk menjauh darinya.

"A-anu.. Sasuke-san, a-apa kau tahu─Tunanganku?" Aku menengok ke arah Sasuke yang sedikit kaget dengan pernyataanku. Ia lalu tersenyum tipis. Tak percaya, aku mengedipkan mataku beberapa kali. Ia dengan cepat memudarkan senyumannya dan kembali menatapku.

"Sudah lama.."

"Eh?"

"Sudah lama kita tidak bicara ya. Tidak bisa dipercaya." Sasuke mulai kembali menaikkan sudut bibirnya dan menyandarkan tubuhnya di tembok. "Biasanya kau selalu malu-malu berdiri dan bicara berdua saja denganku. Tapi, sekarang perasaan itu tampak ilusi."

"Ma-maksudmu?" Aku tidak mengerti. Apa maksudnya? 'Biasanya'? Apa biasanya aku selalu begini dengannya? Lagi-lagi muncul kebingungan di hatiku. Apa jangan-jangan Uchiha ini adalah tunanganku?

"Apa ada yang kau ingat?" Sasuke mulai mengubah posisinya. Ia kini bersandar di balkon dan mengarah ke sampingnya. Tepat di depanku.

"Tidak." Kugelengkan kepalaku. Sasuke terlihat kecewa dengan jawabanku barusan. Ia lalu membuka ponselnya dan menunjukkanku isi di layar itu. "Fotomu saat kelas 1 dulu. Apa kau ingat?"

"Eh? I-itu aku?" Aku menatapnya tak percaya. Gadis dimataku tampak beda dengan diriku sekarang. Wajahnya kecil dan rambutnya juga masih pendek. Lalu, yang terlihat berbeda aku sedang tersenyum lepas di foto itu. Kenapa?

"Dulu- kau sangat pemalu." Sasuke tersenyum lagi dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

"Kenapa.. Foto itu ada di ponselmu?" Aku penasaran dengan hal itu. Kenapa bisa fotoku saat kelas 1 ada bersamanya? Apa karena dia memiliki suatu hubungan denganku? Tapi, tampaknya Sasuke enggan menjawab pertanyaan ini. Aku lalu mengangguk dan menatapnya lagi. "Maaf, tampaknya aku tidak boleh bertanya.."

"Bukan begitu, hanya saja─" mata Sasuke kembali sayu. Ia menautkan kedua alisnya dan tersenyum pahit. "Mungkin, akan lebih baik jika kau tidak ingat tentang foto ini─"

"Kenapa?" Aku semakin bingung. Tampaknya foto itu memiliki rahasia tertentu didalamnya.

"Karena foto ini, aku─"

"Hinata?!"

Tiba-tiba sebuah suara memotong ucapan Sasuke. Aku sedikit sebal karena ucapan terpenting itu jadi tidak keluar karenanya. Buru-buru aku menoleh ke samping dan menemukan Kiba, lelaki beambut coklat yang juga berada di Rumah Sakit waktu itu. Aku sedikit tidak menduga bisa melihatnya sekarang.

"Kiba-kun?" Ujarku sedikit canggung. Kiba hanya tersenyum lebar dan menatap Sasuke lekat. "Boleh tinggalkan aku dan Hinata sebentar?"

"Hng, santai saja─" tanpa basa-basi Sasuke pergi meninggalkan kami berdua. Aku sedikit tidak rela melihat Sasuke pergi di saat penting tadi. Tapi wajahnya juga terlihat tidak ingin melanjutkan perkataannya. Membuatku mau tak mau mundur dari pernyataan itu.

"Hinata, kau mulai ingat sesuatu?" Kiba menatapku cemas. Ia tampaknya terlihat sangat khawatir saat itu.

"Tidak.. Maaf."

"Tidak apa, ngomong-ngomong.. Apa kau sudah tahu siapa tunanganmu?" Kiba memandangku sembari mengulas senyum jahil.

"Eh? Ma-maksudmu?"

"Ah, ngomong-ngomong, aku bukan tunanganmu. Sakura memintaku untuk diam, tapi aku tidak bisa membiarkanmu ikut pusing berpikir apa aku tunanganmu atau bukan." Kiba mengacak-acak rambutku pelan, membuatku menutup kedua mataku, agar poniku tidak menusuk mata. "Kau sudah seperti adik bagiku, makanya aku tidak mau membuatmu repot."

Aku tertegun mendengarnya. Dia benar-benar baik. Jika dia menganggapku seperti adiknya, pasti dia sangat dianggap berharga pula bagi 'Hinata' yang dulu. Jika benar, aku akan percaya , berkat dia aku bisa memperbesar peluang untuk mengetahui siapa tunanganku.

"Ano, apa Kiba-kun tahu siapa tunanganku?"

"...Menurutmu?" Kiba tertawa pelan dan kembali menatapku. "Kamu selalu berkata 'cinta itu tidak dilihat dari siapa yang bertemu duluan, tapi dari perasaan pada saat bertemu'. Jadi, kapanpun kau pasti bisa bertemu tunanganmu itu."

"Kiba-kun..." Aku tertawa kecil dan kembali menatap Kiba serius. "Hinata itu.. Seperti apa?"

"Hm? Aah.. Dia itu─Seperti.. Kembang api?"

"Hee?" Aku tertawa pelan mendengar jawabannya. Maksudku.. 'Kembang api'?

"Kau itu awalnya terlihat kecil.. Tapi jika sudah meledak akan menimbulkan sesuatu yang luar biasa.. Tapi jika dilihat baik-baik, ada warna yang beragam dalan dirimu.. Seperti itulah.." Kiba tersenyum lebar dan menatapku lagi. Ia tampak sedih. Kenapa? Apa karena yang dihadapannya bukan Hinata yang dulu? Mungkin.

"Hoi, Hinata─bisa aku yang mengantarmu pulang?" Sasuke yang baru datang menyenderkan tubuhnya di pilar sembari menatapku. "Aku sudah mengatakannya pada Neji. Jadi tenang saja."

Ia tampak bisa membaca pikiranku. Mendengar perkataannya, buru-buru aku pamit dengan semuanya dan mengikuti langkah Sasuke menuju kedalam mobil mewah berwarna putih. Sungguh, aku ingin bertanya kelanjutan kalimatnya tadi, tapi melihat wajahnya aku tampak takut menanyakannya lagi.

"Apa kau sudah makan?" Sasuke menatapku sembari menyalakan mobilnya.

"Su-sudah.. Tadi pagi─"

"Eh?! Kau ini.. selalu saja lupa untuk makan─"

".. 'Selalu'?" Aku sedikit merasa ada yang ganjal dengan kalimat itu. Apa dia mengenalku sangat lama hingga mengatakan hal itu?

"Ya.. Setiap istirahat di sekolah, kau selalu lupa makan dan terus mengerjakan tugas." Bahas Sasuke. Oh, jadi karena itu dia berkata 'selalu'? Tampaknya tidak terlalu berarti.

Aku lalu menoleh ke arahnya yang sibuk menyetir mobilnya di jalan raya yang tampak sepi. Jari Sasuke terlihat bergerak mengikuti alunan musik di radio yang menyala sedari tadi. Sepertinya Ia tidak sekaku penampilannya.

"Sa...Sasuke-san.. Apa yang kau tentang 'Hinata'?" Aku menatapnya dan kembali mengarahkan bola mataku ke arah jalanan. Masih agak canggung melihat langsung mata Sasuke yang tajam.

"Hm... Dia itu pemalu, selalu memikirkan orang lain, dan rajin." Sasuke tampak berpikir sebelum mengatakan hal tersebut. Dengan perlahan Ia mulai bercerita tentang diriku yang menjadi salah satu anggota komite, dan bagaimana perilaku diriku saat di kelas. Dari pernyataannya, tampak terlihat kalau Hinata itu adalah anak baik-baik. Ya, tampaknya begitu.

"Apa.. Aku berbeda dengan dulu?" Tanyaku lagi.

"Tidak, tidak terlalu. Masih tetap sama, bagiku." Sasuke menjawabnya seperti berbisik meski aku masih bisa mendengarnya. Sasuke sendiri, apa dia berbeda dengan yang dulu? Dia tidak seburuk penampilannya. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku saat aku mencoba mengingat siapa 'Sasuke'

.

.

.


.

.

.

"Hinata, mau kemana kau?!"

"Ke-kemanapun bukan urusanmu, bukan? Kau sendiri pergi dengan siapapun sesuka hati.." Hinata mengambil kopernya dan segera bergegas menuju pintu depan. Lelaki yang sedari tadi duduk di atas sofanya segera berdiri dan menarik lengan Hinata kencang.

"Jangan menilaiku! Kau juga harus menilai dirimu!"

"Lalu─?! Bi-biarkan aku pergi!" Hinata mencoba melepaskan genggaman erat dari lelaki di depannya.

"Jangan harap kau bisa meninggalkan tempat ini sejengkal jari saja!" Lelaki itu kini menggenggam kedua tangan Hinata, membuat kopernya segera terjatuh.

"Kau menyakitiku.. Le-lepaskan.."

"Apa kau mau pergi menemui laki-laki itu lagi!?"

"Kamu tidak mengerti! Lepaskan aku─"

Sang lelaki yang masih emosi segera melepaskan tangan Hinata kasar.

"Lakukan sesukamu."

Mendengar kalimatnya, Hinata langsung mengambil kopernya dan bergegas membuka pintu.

"..sebaiknya kamu dinginkan kepalamu." Hinata lalu segera bergegas pergi dan berlalu keluar rumah. Lelaki yang masih menatap kepergian Hinata langsung berbalik, Ia mematung untuk tidak melihat sosok Hinata dari belakang.

BRAAKK!

Tepat beberapa detik setelah Hinata keluar, suara kericuhan mulai terdengar.

"Ada yang tertabrak!"

"Hei, panggil panggil ambulans! Jangan gerakan tubuhnya."

"Pengemudinya mabuk! Keluarkan dia dari sana!" Satu demi satu kalimat terlontar dari warga yang panik. Dada lelaki itu kian menyusut saat mendengarnya. Takut apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan. Buru-buru Ia bergegas keluar dan menemukan Hinata sudah terkapar di atas aspal dengan lumuran darah segar.

Bukannya langsung menghampiri Hinata, kaki lelaki itu langsung lemas dan kepalanya mulai kacau. Suara teriakannya menggema kencang hingga warga disana ikut berlari menenangkan dirinya. Dirinya yang sudah runtuh dalam sesaat.

.

.

.

"Maafkan aku─maafkan aku─" seorang lelaki berulang kali mengucap kata maaf. Entah sudah beribu kali atau berjuta kali kata itu terlontar di bibirnya.

"Hei, bangunlah─" tangan Hinata dingenggamnya erat. Air matanya sudah menitik diatas tangan Hinata yang tak kunjung bergerak sedikitpun. Hinata yang masih tertidur di atas ranjang RS itu masih tetap mempertahankan untuk tidak membuka matanya. Lelaki itu juga tak peduli sudah pukul 2 malam, tapi Ia masih menemani Hinata disebelahnya.

"Kenapa..bangunlah.. Aku masih ingin berbicara denganmu─Hinata, ini sudah musim dingin, harusnya tahun ini kita sudah mempersiapkan pernikahan kita, bukan? Bangunlah..bangunlah─"


.

.

.

Aku membuka mataku perlahan. Rasanya aku bermimpi aneh. Sangat aneh. Entah apa itu, tapi aku bermimpi samar-samar, tidak jelas. Apa itu ingatanku?

Kuangkat kepalaku dari atas bantal dan menoleh ke arah jam di atas meja kecil. Sudah pukul 5 pagi. Mengingat bahwa aku memiliki janji dengan Sakura-chan, ku bawa tubuhku keluar dari atas kasur, berjalan dengan cepat ke dalam kamar mandi. Entah apalagi rencana Sakura-chan kali ini. Dia memintaku memakai pakaian serba hitam. Tampaknya dia ingin melakukan hal yang biasa dilakukan sahabat-sahabat pada umumnya? Memakai baju kembaran, dan pergi berjalan-jalan. Mungkin.

Setelah selesai berpakaian, aku menatap wajahku yang sedikit kusam terpantul di dalam cermin. Baru kusadari bahwa kulitku sangat pucat. Bukan putih, melainkan pucat. Sepertinya aku butuh vitamin setelah ini. Dengan celana hitam, dan sebuah cardigan berwarna serupa, aku menjajakkan kakiku ke Ibukota, Konoha. Baru pertama kali aku keluar sendiri setelah bangun dari RS. Semuanya tampak asing dimataku, pertokoan, gedung-gedung, orang-orang, semuanya tampak asing.

"Hinata-chaaan!" Seruan Sakura yang sudah berdiri di depan taman kota terdengar sampai ke telingaku dengan jelas. Aku tertawa kecil melihat betapa semangatnya wanita berambut pink yang satu ini. "Yokatta─ kukira kau akan tersesat."

"Tidak, aku mengikuti jalan saja."

"Baiklah, kau tahu kenapa aku memintamu untuk mengenakan pakaian hitam-hitam?" Sakura menunjukkan pakaiannya yang juga berwarna hitam ke arahku.

"Ti..tidak."

"Karena kita akan berdoa. Hari ini hari peringatan kematian Guru kita di Sekolah dulu, Asuma-sensei."

"A-asuma-sensei?" Ucapku mengulang perkataan Sakura. Jadi karena alasan itulah mengapa aku harus memakai baju hitam. Jika aku tahu, aku pasti akan memakai pakaian yang lebih formal kali ini.

"Ya, dia memang bukan wali kelas kita, tapi dia mengajar juga. Dan, dia juga guru yang paling baik." Sakura lalu tersenyum simpul seakan mengenang guru bernama Asuma yang satu itu. "Apa kau ingat?"

"Eh.. Ti-tidak, maaf."

"Tidak apa. Ayo kita jalan sekarang."

Sakura memanduku ke arah stasiun. Kami berdua menaiki shinkansen selama 15 menit. Aku melihat ke sekitar jalan saat keluar dari stasiun. Berbeda dengan Sakura, aku sedikit canggung berdiri di keramaian seperti ini. Belum sempat ku turunkan kepalaku, tiba-tiba terdengar suara kencang memanggil nama Sakura dari belakang. Buru-buru aku dan Sakura menoleh, menemukan segerombolan orang berpakaian hitam sedang berdiri disana. Aku sedikit mengenal beberapa wajah disana, mengingat aku menghapalkan wajah-wajah mereka saat reuni kemarin.

"Ah, Kiba! Kenapa kalian menunggu disitu? Bukankah janjiannya di taman?" Sakura berjalan dengan cepat ke arah gerombolan tersebut sembari menarik tanganku untuk mengikutinya. Sakura lalu tersenyum ke arahku dan melepaskan tangannya. "Ne, apa kau masih ingat mereka ikut reuni kemarin?"

"I-iya, beberapa.." Jawabku pelan. Kulihat Kiba bergegas menuju ke arahku dan memancarkan senyumnya lebar.

"Yo, Hinata! Maaf, aku disuruh berangkat lebih dulu oleh Sakura. Jadi, aku tidak bisa berangkat denganmu padahal aku sudah janji.." Kiba memasang wajah bersalahnya. Sesungguhnya, aku juga tidak begitu peduli.

"Ti-tidak.. Aku juga janji dengan Sakura-chan."

"Oh, baiklah..Hei, semua! Sakura sudah siap!" Kiba lalu melambaikan tangannya dan kembali ke gerombolan tersebut.

"Baiklah, ayo kita jalan sekarang!" Sakura berteriak kencang agar semua bisa mendengarnya. Aku sedikit terkekeh geli. Kemarin memang Sasuke mengatakan bahwa Sakura adalah pemimpin kelas. Tampaknya kebiasaannya itu masih berjalan hingga kini.

Setapak demi setapak kami semua berjalan. Karena Sakura memimpin di depan, aku mundur ke arah belakang. Aku sedikit malu untuk bergabung di depan barisan dengannya.

"Lagi-lagi kau berada di barisan paling belakang.."

Suara berat dari arah samping mulai menyapa telingaku. Kutolehkan kepalaku ke samping dan menemukan Sasuke sedang ikut berjalan seraya tetap menatap ke depan.

"Ah, Sasuke-san.. Ohayou─"

"...hn."

"Anu, apa.. Aku selalu di barisan paling belakang?" Tanyaku mengingat perkataan Sasuke sambil tetap ikut berjalan.

"Ya. Meski awalnya di depan, lambat laun kau pasti tiba-tiba mundur ke belakang. Sepertinya sifat itu tetap ada, ya─"

"Eh.. Begitu. Apa Sasuke-san selalu di sampingku saat berbaris?" Ucapku menimbulkan kekagetan di wajah Uchiha yang satu ini. Ia menggeleng pelan dan tersenyum tipis.

"Bukan.. Bukan aku,"

"La-lalu.."

"Yang disebelahmu selalu Ino dan Tenten." Jawab Sasuke santai. Ia menatapku dan kembali menatap kedepan. "Kenapa? Kau kecewa?"

"Ti-tidak! Ke-kenapa aku harus kecewa..?"

"He─"

Aku lalu kembali mengunci mulutku. Entah apa yang kurasakan, aku merasa sedikit terkucilkan saat bicara dengan Sasuke. Apa jangan-jangan dia ini musuhku saat dulu? Tidak mungkin. Tapi, ada satu perasaan yang membuat hatiku sakit saat bersama dengan Sasuke. Kira-kira apa, ya?

.

.

.


"Terimakasih sudah datang. Aku sangat senang." Seorang wanita membungkukkan tubuhnya dalam-dalam selesai kami berdoa. Dari yang kudengar, Ia adalah istri Asuma-sensei. Dia memiliki paras cantik, rambut bergelombang gelap, dan mata merahnya membuatku sedikit penasaran.

"Hinata, kau belum ingat apapun?" Wanita itu mengelus kepalaku. Membuatku hampir melonjak kaget.

"A-anu.."

"Tenang saja. Aku Kurenai. Aku juga guru di sekolah itu dan kau adalah murid yang paling dekat denganku." Kurenai-sensei menyentuh pipiku dan kembali terseyum. "Aku sangat sedih, kau bahkan tak mengingatku juga, ya?"

"Ah.. Maaf. Aku akan berusaha mengingatnya lagi." Dengan canggung aku tersenyum membuat Kurenai-sensei ikut membalasnya.

"Lalu.. Apa kau masih bertunangan dengannya?"

"Eh?"

"Kau masih bertunangan deng-"

"GYAAAAA-!" Tiba-tiba Sakura mengacaukan suara Kurenai. Ia segera membisikkan sesuatu tepat di telinga Kurenai yang langsung paham.

"Ah, jadi begitu." Kurenai tertawa kecil dan kembali menatap mataku."Tidak apa, Hinata pasti tahu. Hatinya tidak akan bisa berbohong."

Aku yang mendengarnya hanya bisa tertawa palsu. Lagi-lagi ucapan yang sama. Semua mengatakan bahwa aku pasti bisa tahu siapa tunanganku. Ini menyiksaku sedikit demi sedikit. Maksudku, sungguh, aku lupa ingatan dan tidak tahu apapun. Mereka semua mengatakan aku bisa tahu siapa tunanganku? Hei, bukankah itu sama dengan mencari jarum di tumpuk padi?! Setidaknya, beri aku satu hal yang bisa membuatku mengira-ngira siapa tunanganku!

Selagi aku masih sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba suara mobil yang datang dengan ricuh decit rem-nya dan terparkir mulus di depan gerbang, atau lebih tepatnya, mulus dengan sembarangan, dimana kita masih berkumpul.

"Ah, itu pasti Gaara. Dia selalu membawa mobilnya dengan sembrono." Kiba segera berlari menuju mobil Gaara yang mengeluarkan tuannya dari pintu. Kiba terlihat mengomelinya dengan cara menyetir Gaara yang ugal-ugalan. Aku jadi penasaran seperti apa si Dokter itu membawa mobil berwarna hitam mengkilap yang satu ini.

"Maaf, aku telat. Kurenai-sensei.. Saya mohon maaf sebesar-besarnya." Gaara membungkukkan tubuhnya dalam, lalu memberikan sebuah kantung karton yang tidak terlihat murah itu dan kembali membungkuk. "Maaf, saya hanya membawa ini."

"Wah, Gaara-san? Kau repot-repot kemari. Terimakasih banyak." Kurenai mengambil kantung tersebut dan tersenyum manis. "Baiklah, apa kalian semua tidak mau makan dulu? Aku akan menyiapkannya."

"Tidak, kami harus pulang sekarang. Terimakasih, Sensei." Sakura membalasnya mewakili seluruh orang disana. Sepertinya karena cuaca tak bersahabat ini, semuanya merasa bahwa mereka harus segera pulang atau hujan akan mendahului mereka sebelum sampai rumah.

Merasa tidak bisa memaksa, Kurenai hanya bisa memakluminya. Selesai berpamitan dengan Kurenai, seluruh rombongan segera keluar gerbang rumah Kurenai dan mulai berpencar pulang. Aku dan Sakura masih sibuk berdiri di sekitar depan gerbang, tidak peduli lambat laun gerombolan tersebut mulai berkurang.

"Nah, Hinata. Maaf, aku tidak bisa pulang bersamamu. Aku ada janji dengan temanku yang tinggal di daerah sini." Sakura mengatup kedua tangan di depan wajahnya. Ia tampak tidak enak hati sembari menatapku. Aku sendiri tak bisa berkata 'jangan menemuinya, temani aku pulang' kepada Sakura. Tidak, itu mustahil.

"Tidak apa. Aku sudah hapal jalan disini, lagipula.. Hanya naik shinkansen sekali saja." Aku tersenyum simpul. Berusaha membuat Sakura percaya kebohonganku. Sejujurnya, aku tidak hapal. Karena sebelumnya, saat datang kesini aku berjalan seraya mengobrol dengan Sasuke tanpa memperhatikan jalanan.

"Baiklah.. Kita berpisah disini. Hati-hati, ya! Kabari aku jika kau tersesat!" Sakura memelukku dan segera berlari kecil menuju ke sebuah jalan dan menghilang saat belok di ujung jalan. Aku menghela nafasku panjang. Dasar bodoh. Andai saja aku bilang aku tidak hapal, tapi pasti Sakura akan kerepotan lagi.

Dengan berat aku melangkahkan kaki ke arah jalan setapak. Mengikuti jalur tersebut, berkeyakinan bahwa jalur ini akan membawaku ke stasiun entah bagaimana caranya. Setidaknya aku berjanji pada diriku, jika aku masih di tempat ini selama 3 jam, aku akan memanggil Sakura, pasti. Baru beberapa langkah aku pergi setelah keluar dari daerah rumah Kurenai-sensei, tiba-tiba sebuah klakson mobil berbunyi kencang sebanyak dua kali dari belakangku. Dengan ragu kutolehkan kepalaku dan menemukan mobil Gaara di belakangku sedang berjalan lambat. Melihat aku menengok ke arahnya, Ia membuka kaca mobilnya dan mengeluarkan setengah kepalanya.

"Naiklah."

"...a-anu..."

"Naik. Kau tidak hapal jalan pulang, 'kan?" Tebakannya tepat. Aku menatap jam di pergelangan tanganku. Sudah jam 3 sore, dan cuaca sudah mendung. Apa aku harus mengikutinya? Tapi, aku merasa tidak enak menumpang di mobilnya tersebut.

"A-aku naik shinkansen." Jawabku pelan. Ia lalu keluar dari mobilnya dan berdiri di hadapanku. Aku sedikit kaget melihatnya tiba-tiba berjalan kemari. Ia lalu memperlihatkan selembar kertas tebal berukuran kecil tepat di depan wajahku.

"Apa kau memiliki kartu ini?" Tanya Gaara memperlihatkan kartu miliknya.

"T-tidak."

"Kau harus memiliki ini sebelum naik Shinkansen. Apa tadi Sakura membuatkannya untukmu?"

"Tidak.. Dia hanya membeli kartu untuk satu kali perjalanan kemari." Jawabku ragu-ragu.

"Kau tahu caranya?" Tanya Gaara lagi seperti mengintimidasi diriku.

"Ti..tidak."

"Kalau begitu naiklah. Aku akan mengantarmu pulang." Gaara lalu berjalan kembali memasuki mobil. Ia tidak melihat kebelakang, yakin bahwa aku mengikutinya. Dan, tepat. Aku secara spontan mengikuti dirinya dan duduk di bangku depan, sebelah pengemudi.

"A-anu..terimakasih. Maaf, merepotkan." Ujarku seraya duduk dengan tenang. Gaara lalu kembali menjalankan mobilnya dan mengarah ke jalan raya yang renggang. Meski ini kali kedua aku menaiki mobil bersamanya, aku merasa sedikit tercekat dengan hawa dingin yang menyelimuti kami berdua. Beda dengan Sasuke dan Kiba yang ada usaha untuk mencari topik bicara, Gaara berbeda. Ia tidak terlihat akan membuka mulutnya se-sentipun. Ia lebih sibuk melihat ke arah jalanan, membuatku menyadari bahwa perkataan Kiba salah. Gaara tidak membawa mobilnya dengan ugal-ugalan atau secara kasar. Ia malah seperti berhati-hati membawa mobilnya kali ini, sama seperti pertama kali aku menaiki mobilnya. "A-anu.. Apa Gaara-san selalu membawa mobil sepelan ini?" Tanyaku melihat Gaara membawa mobil dengan sangat santai.

"Tidak. Aku selalu membawanya kencang." Jelas Gaara membuatku bingung. "Mana mungkin aku membawa mobil seperti itu saat ada orang di sampingku."

Mendengar jawabannya, aku sedikit tersentuh. Sepertinya dia tidak seburuk penampilannya. Bahkan Ia sempat mengingatkanku menggunakan seat belt tadi. Ya, Gaara cukup jeli akan keselamatan penumpangnya. Hatiku terasa berdenyut, perih. Kenapa? Bukan keinginanku, tapi hati ini terasa hangat.

"Terimakasih banyak, maaf sudah jauh-jauh mengantarku." Ujarku saat turun dari mobil Gaara yang terparkir manis di depan rumah. Ia yang masih duduk di bangku pengemudi menatapku datar. "A-anu, Gaara-san.. Aku akan menunggumu."

"Tidak, masuklah duluan. Aku akan pergi setelahnya."

"Ah, kalau begitu.. Selamat malam. Terimakasih banyak!" Aku membungkukkan tubuhku 90 derajat. Dengan segera aku bergegas membuka pintu rumah dan memasukinya tanpa menoleh ke belakang lagi. Terdengar suara mobil yang dijalankan menjauh dari rumah setelah sampai di ruang tamu. Kuintip dari jendela, mobil Gaara sudah tak ada disana. Entah kenapa, ada perasaan yang aneh saat bersamanya. Aku yakin dengan hal ini.

.

.

.

"...mimpi lagi." Gumamku saat membuka mata perlahan dan menatap langit-langit kamar. Entah mengapa ada yang aneh dengan kepalaku. Rasanya aku mengalami kejadian tadi, tapi tak bisa ingat wajah siapa yang berbicara denganku. "Sebenarnya... Ingatanku kenapa?"

Aku lalu berjalan ke arah kaca. Ini kali pertama aku memandang lekat-lekat wajahku. Kulit yang putih, tapi sedikit pucat. Rambut panjang serta mata indigo. Tak ada yang berubah dari semua itu. Tapi, ada hal yang membuatku menyadari satu hal penting. Wajah ini bukan wajah yang kuingat.

Ini bukan wajah yang biasa kulihat dulu. Apa karena aku hilang ingatan? Tidak. Ada yang aneh.

.

.

.

"...aku ingat wajah ini."


Dengan takut aku melangkahkan kakiku ke lorong Rumah Sakit tempatku dirawat. Kutemui resepsionis, dan bertanya-tanya pada salah satu perawat disana. Setelah berbicara dengannya, dia segera mengarahkan ke lorong di sebelah barat. Kami menuju lantai 4 dan perawat tersebut meninggalkanku saat sampai tujuan. Kubuka perlahan pintu di depanku, dan kutemukan seorang lelaki sedang berbaring di atas kasur, lengkap dengan infus dan alat bantu pernafasannya.

Jantungku berdebar kencang, seperti diburu oleh sesuatu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Perasaan yang menyakitkan hatiku terus menyelimuti diriku. Merasa siap, aku langkahkan kakiku perlahan.

Dengan segera kudekatkan tubuhku ke pinggir kasur, dan menatap wajah yang tampak seperti tertidur pulas itu. Aku ingat wajah ini, lelaki berambut kuning di hadapanku yang terlelap dalam koma.

"...Hinata, kau di dalam sini, 'kan?" Ujarku pelan seraya berbisik.

Kini aku tahu mengapa ingatanku kacau, hatiku tak terkontrol, dan tubuhku bukan seperti milikku.

Itu semua karena tubuh ini milik Hinata, bukan aku, 'Uzumaki Naruto' yang sedang terlelap di hadapanku.

.

.

.


TBC

Thanks for reading minna! Lagi-lagi Fic ku ini Hinata. Heheu

Semoga cerita kali ini disukai ya! ^w^ Maaf ya lagi-lagi mystery wahahaha

Agak membingungkan memang, tapi aku ga akan membuatnya berat-berat karena aku juga gabisa hehe

Jangan lupa review kalian sangat membantuku, silahkan diberi saran dan masukkan ya :D

Terimakasih!