Hei, sadarkah kau bahwa kau adalah wanita satu-satunya yang dapat menarik perhatianku?
.
That's Love © HanRiver
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
SasuSaku Alternate Universe Fiction
.
Bad diction, ooc, typo(s), and etc
.
Don't like, don't read.
.
Enjoy it~
.
Sasuke's Point of View
.
Tak kenal maka tak sayang. Pribahasa itu sudah aku dengar berkali-kali selama enam belas tahun aku hidup. Jika kau tak saling mengenal, maka perasaan kasih sayang tak akan tumbuh. Benarkah? Dulunya aku percaya pribahasa itu. Jika kau sudah mengenal busuknya seseorang dan masih menyayangi orang itu, maka itu benar-benar cinta sejati.
Tapi itu terpatahkan olehmu. Aku langsung menepis pribahasa itu jauh-jauh dari hidupku saat aku melihatmu di tes penerimaan siswa baru. Saat itu aku duduk tenang seraya menunggu soal dibagikan. Aku bosan. Kebosananku membuatku menoleh ke sana-sini, mengamati pergerakan orang-orang di sekitar. Ada yang gugup, mengantuk, santai, dan ada yang membuka buku catatannya. Namun semua kegiatan itu terhenti saat para pengawas mulai membagikan soalnya.
Saat itu, kau duduk di sampingku. Bergerak gelisah, membuatku mau tak mau memandang ke arahmu. Emerald-mu bergulir ke sana-sini, tampak panik. Aku yakin dengan pergerakanmu itu, kau dapat mengganggu ketentramanku saat mengerjakan soal. Maka kujulurkan pensil serta penghapus cadanganku. Kau terperangah, kemudian menggeleng pelan dengan senyuman. Aku berpikir kau bodoh. Sudah keadaan mendesak, dan kau menolak pemberianku?
"Jangan gagal hanya dengan hal konyol seperti itu." Aku berucap padamu. Kau tertegun mendengar ucapanku. Dengan wajah memerah, kau menerima pensil dan penghapusku seraya tersenyum manis dan mengucapkan kata 'terimakasih'.
Senyuman. Senyuman yang tampak di wajahmu membuat wajahku memanas. Ah, ternyata ada makhluk Tuhan semanis dia di bumi ini. Namun aku tetap mempertahankan ekspresi datarku dan mulai melirik soal. Baru beberapa menit aku mengerjakan soal tersebut, dapat kurasakan kau memberiku absen. Aku menerimanya tanpa memandang wajahmu, aku khawatir wajahku akan memanas lagi. Absen digilir dari kanan ke kiri, kau berada di kananku, jadi sudah jelas namamu tepat berada di atasku. Haruno Sakura. nama yang indah, aku rasa kau cocok dengan namamu. Haruno Sakura, akan selalu kuingat.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mulai saat itu aku selalu memerhatikanmu dari jauh. Aku mendesah kecewa saat kita berada di kelas yang berbeda. Aku di kelas A, dan kau di kelas B. Tapi aku senang saat jadwal pelajaran olahraga kita sama, hari kamis. Berarti setiap hari kamis kita akan selalu bertemu.
Kau selalu bersama teman pirangmu itu, membuatku tak bisa mendekatimu, bahkan hanya untuk berbasa-basi. Selain itu, itu bukan sifatku. Sebenarnya aku menunggumu untuk menyapaku duluan, tapi aku rasa itu tidak mungkin saat melihat sifatmu yang kadang-kadang menjadi pemalu. Heran mengapa aku tahu? Ah, aku bahkan juga heran mengapa aku mengumpulkan informasi tentangmu. Golongan darahmu O, zodiakmu Aries, kau lahir pada tanggal 28 Maret, kau anak tunggal, kau adalah pribadi yang rajin dan serius saat mengerjakan sesuatu, kau tekun, pekerja keras, dan sifat-sifatmu itulah yang membuatku tak mengelak lagi, bahwa aku jatuh cinta padamu, pada pandangan pertama.
Ciiit! Ciit! SRAK!
Huh. Membosankan. Aku memang suka basket, tapi aku tak suka jika lawanku tak melawanku dengan serius. Kemenangan telak kudapatkan di pertandingan ini. Aku dapat mendengar teriakan para wanita menyeruakkan namaku, aku tidak peduli. Aku sempat melirikmu sekilas, kau juga tersenyum. Aku tidak tahu mengapa kau tersenyum, padahal kelasmu kalah. Bisakah … aku menganggap senyummu itu untukku karena dunk-ku berhasil?
"Sasuke-kun! Ini handuk untukmu!" Aku masih ingin menatapmu, tapi seorang wanita datang menghampiriku. Kalau tidak salah, dia teman sekelasku. Aku lupa siapa namanya, dan jangan memaksaku untuk mengingatnya.
Segera kutolak handuk pemberian itu dengan halus dan wajah datar. Aku pikir dia akan tersinggung dengan penolakanku. Tapi ternyata tidak, gadis pirang itu malah tersenyum. Inilah yang membuatku heran. Mengapa para wanita masih saja tersenyum di depanku saat aku sudah menolak mereka? Aku tidak peduli dengan semua wanita, kecuali—
Aku tersenyum kecut. Kau sudah tidak ada di tempatmu tadi. Mungkin kau sudah kembali ke ruang ganti baju. Karena tidak melihat sosokmu, maka aku juga memutuskan untuk meninggalkan gedung olahraga.
.
.
.
"S-Sasuke. Aku mencintaimu! Maukah kau menjadi pacarku?"
Aku menatap wanita di depanku ini dengan tatapan datar dan bosan. Oh, ayolah. Aku sudah berkali-kali dihadapkan pada situasi ini, dan aku selalu mengatakan hal yang sama. Tidakkah para wanita sadar, huh? Aku ingin mereka berhenti mengejarku. Itu tak ada gunanya, karena hatiku sudah terperangkap padamu.
"Maaf, aku tidak ingin berpacaran." Aku berucap dengan nada dingin dan penuh penekanan, agar Tayuya segera menyerah. Ia terlihat ingin berbicara, tapi aku dengan cepat melangkahkan kakiku pergi dari sana sebelum dia mencegahku.
Mataku menyipit saat melihat rambutmu yang mencolok di tengah semak-semak. Aku tertawa dalam hati, kau begitu mencolok, apakah itu yang kau sebut bersembunyi?
"Apa yang kau lakukan di situ?" tanyaku. Pandangan kita bertemu, kau tampak salah tingkah dengan kedua pipi yang bersemu merah. Kau manis. Kau sangat manis.
"A-aku …" Gugup, kah? Aku tahu kau pemalu, tapi ternyata kau sangat pemalu jika berbicara dengan orang asing. Padahal waktu tes kau dengan santai menolak pensilku. Apakah sifat malumu berkembang seiring dengan pertumbuhanmu? Karena sepertinya kau tidak bisa melanjutkan ucapanmu, maka aku langsung memotongnya.
""Kau … ah. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Wajahmu kembali memerah. Sungguh manis.
"A-ah. I-iya. Kita bertemu saat tes penerimaan siswa baru." Aku senang saat tahu bahwa kau mengingat awal pertemuan kita. Aku pikir kau melupakan kejadian sesaat waktu itu. Aku berpikir, aku akan mencoba untuk membuat nama baru untukmu, nama di mana hanya akulah satu-satunya yang dapat memanggilmu demikian, sehingga kau tidak bisa melupakanku. Konyol? Memang. Tapi aku ingin berbeda, aku ingin berbeda dari yang lain.
"Ah. Gadis pensil." Aku berucap dengan refleks. Gadis pensil? Hm. Bagus juga. Kau tampak mengernyitkan alismu.
"G-gadis pensil?" Kau tampak protes, tapi aku berpikir cepat untuk mencari alasan.
"Hn. Karena aku tak tahu namamu, jadi aku memanggilmu begitu. Aku ingat bahwa aku meminjamkanmu pensil saat itu." Ah, sungguh kebohongan yang luar biasa. Gengsiku mengatakan bukan ini saat yang tepat untuk berkata sejujurnya.
"A-ano … namaku—"
"—Teme!" Aku segera menoleh saat mendengar teriakan Naruto. Aku langsung berbalik, aku bukan tipe orang yang berkata 'Jaa ne' saat hendak pergi.
"-Haruno Sakura." Entah karena angin yang mengantar suaramu atau apa, namun aku mendengar kau berlirih, walau terdengar samar. Haruno Sakura. Aku tahu. Aku sangat menghapalnya di luar kepala, Sakura.
.
.
.
Pelajaran yang dibawakan Azuma-sensei sungguh membosankan. Guru apa itu? Beliau datang dan hanya memperlihatkan bagaimana cara dia merokok. Sungguh tidak patut dicontoh bagi seorang murid. Padahal, peraturan tak boleh merokok di sekolah semestinya tidak hanya berlaku pada siswa, namun juga pada para guru. Bukankah tidak adil jika peraturan dilanggar oleh orang yang membuat peraturan itu sendiri?
Perpustakaan. Tempat pelarianku jika aku sedang bosan. Membaca adalah hal membosankan bagi sebagian orang, tapi hal membosankan itu bisa membuang waktu beberapa jam.
Di sinilah aku. Berada di depan rak di mana rentetan buku-buku tersusun rapi di sana. Namun aku bingung, buku apa lagi yang ingin kubaca? Semua buku yang berada di rentetan ini sama sekali tidak menarik perhatianku.
Saat sadar bahwa ternyata jam pelajar keempat adalah Orochimaru -sensei, guru biologi yang katanya tidak disenangi oleh para siswa, akhirnya aku memutuskan untuk mencari buku pelajaran sitologi. Ah, rasanya sudah lama sekali sejak aku tidak menyentuh buku itu.
Itu, yah? Tanganku langsung kuulurkan untuk mengambil buku yang sudah menjadi incaranku. Namun seketika tanganku menyentuh tangan lain yang rupanya juga hendak mengambil buku tersebut. Aku segera berbalik, menemukan sosok dirimu yang sedang terkejut. Aku menahan napas, berusaha tak berpenampilan konyol karena sedang gugup.
"Gadis pensil?" panggilku refleks.
"S-Sasuke." Kau berucap dengan gagap. Kau malu? Ah, tidak. Aku yakin kau hanya terkejut.
"Kau mau buku ini?" tanyaku. Kau terlihat heran.
"Kau tidak memakainya?" Aku menggeleng pelan. Walau sangat membutuhkan buku itu, tapi, apa salahnya jika memberikanmu? "Aku hanya sebentar memakainya. Aku hanya mau mencari informasi tentang unsur penyusun sel yang termasuk golongan mikro dan makro."
Kau berucap tidak enak. Dalam hati, aku tertawa kecil. "Hanya itu?" tanyaku. Kau mengangguk. "Karbon, hydrogen, nitrogen, kalsium, fosfor, kalium, sulfur, natrium, klorin dan magnesium. Selebihnya mikro."
Kau memandangku dengan takjub, hei, apakah kau tahu kalau aku sungguh malu ditatap seperti itu? "Kau menghafalnya?" tanyamu dengan wajah kagum.
"Mudah saja membedakan yang mana golongan makro dan mikro. Kau hanya harus melihat kadarnya dalam sel, jika unsur tersebut kadarnya kurang dari 0,001, maka unsur tersebut tergolong mikro," jawabku, kau mengangguk, aku sedikit lega melihat anggukanmu, ternyata kau mengerti maksudku.
"Terimakasih, Sasuke! Kau sangat membantu!" Emerald-mu berbinar, aku memandangimu, memandangi matamu yang bersinar cerah. Ah, itulah. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu. Itulah yang membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu. Itulah hal plus yang terdapat hanya padamu seorang. Aku tidak dapat menahan senyum tipisku, aku merasa sangat bahagia diberikan kesempatan untuk memandang mata indahmu.
"-Hn." Aku tidak bisa berucap lagi. Aku takut jika berucap dengan nada kegirangan, akan membuatku terlihat aneh di matamu. Kau terus memandangiku, membuat wajahku terasa panas. Aku malah langsung membalikkan tubuhku, menyembunyikan rona merah yang terlihat jelas di pipiku. Aku meninggalkanmu, melangkah menuju rak yang lain. Dari jauh, aku memerhatikanmu yang berjalan kembali menuju sahabatmu. Aku tidak berhenti tersenyum melihatmu.
.
.
.
Kantin sangat ramai. Aku tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Namun, aku cukup malas untuk berdesakan di keramaian hanya untuk keluar dari kantin. Aku memandang bosan ke sekeliling, tidak ada hal yang menarik di kantin. Yang kau lihat hanyalah orang-orang yang mengantri, berdesakan untuk memperoleh makan siang. Seharusnya sekolah membuka satu kantin lagi, atau memperluas area kantin. Ah, sudahlah. Protes pun belum tentu didengar oleh yang berkuasa.
Mataku melebar saat melihatmu di antara desakan orang-orang itu. Kau seperti kebingungan. Kau sangat lucu. Aku terus memandangimu sampai matamu terarah padaku. Aku segera memberimu kode, agar kau menemaniku duduk di sini.
"Ternyata kau mengerti juga, Gadis Pensil." Kau tersenyum lagi. Kau duduk di hadapanku. Sebenarnya, hal ini membuatku sangat grogi. Hal ini membuatku sangat kikuk. Kantin yang ramai seakan tidak ter-notice olehku. Keributan orang-orang seketika terdengar samar. Hanya kau, dan aku.
"Berhenti memanggilku 'gadis pensil'. Namaku-"
"-Haruno Sakura." Aku memotong ucapannya. Haruno Sakura. Aku tersenyum. Akhirnya, aku dapat mengucapkan namanya di depannya. Akhirnya aku berani mengucapkan namanya tanpa memedulikan rasa grogiku saat berbicara dengannya.
"D-darimana-"
Kau tampak terkejut. Tentu saja, kau belum memperkenalkan dirimu dan aku sudah mengetahui namamu. Itu wajar saja kalau kau tampak terkejut. Ah, apakah aku terlihat seperti seorang stalker sekarang?
"Saat tes penerimaan siswa baru, absen berurutan adalah kau, lalu aku. Tentu saja mataku mau tak mau melihat nama orang di atas namaku, otakku masih cukup untuk sekedar menghafal namamu," jelasku agar kau tidak menganggapku sebagai seorang penguntit.
"Ah, souka." Aku bernapas lega. "E-eh. Tapi kau pernah bilang kalau kau tidak mengingat namaku, maka dari itulah kau memanggilku 'gadis pensil'."
Ah iya. Aku baru ingat jika aku sudah berdusta padanya. Otakku mulai berpikir keras untuk mencari alasan. "Aku baru mengingat namamu sekarang." Aku berusaha menjawab dengan tenang. "Dan kurasa panggilan itu lebih cocok untukmu."
"Kenapa?" Kau bertanya lagi. Membuatku gemas dan ingin menjahilimu.
"Entahlah? Mungkin karena tubuhmu yang mirip sebatang pensil?" Aku hampir saja meledakkan tawaku kala melihat wajahmu yang memerah.
"K-kau-" Aku terkekeh. Wajahmu sungguh lucu. Aku tidak tahan dengan itu.
"Kau lucu juga," ucapku tiba-tiba. Aku juga sedikit tersentak mengapa aku berucap seperti itu. Ah, bagaimana ini? Akhirnya, aku memutuskan untuk berdiri, memutuskan untuk meninggalkannya lagi.
"S-Sasuke-kun …" Kau memanggilku, membuat gerakanku terhenti. Semburat merah muncul di pipimu. "Emm … ano … dunk-mu waktu itu keren sekali!"
Aku terkejut. Ah, ternyata dia melihat dunk-ku? Dan … dia menyebutnya keren?
"-makasih," ucapku seraya tersenyum tipis. Aku harus pergi dari tempat ini secepatnya, sebelum gerakanku terlihat aneh. Wajahku lagi-lagi memerah. Ah … sampai kapan aku bersikap seperti ini padanya?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
'…dunk-mu waktu itu keren sekali!'
Aku menutupi wajahku dengan bantal. Kembali teringat di benakku perkataanmu yang membuat wajahku memanas. Senyum tipismu waktu itu … untukku kah? Bisakah aku menganggapnya seperti itu, ne, Haruno Sakura?
Aku bangkit dari tidurku. Sudah cukup dengan euforia ini. Sudah cukup dengan segala delusi yang kuciptakan karenamu. Semuanya akan kubuat menjadi nyata. Aku sudah tidak bisa menahan segala perasaan yang tertahan selama beberapa bulan. Aku tidak sanggup lagi memandangimu dari jauh. Aku ingin lebih maju, aku ingin selangkah—tidak, aku tidak ingin selangkah, aku ingin dua, tiga, lima bahkan sepuluh langkah mendekatimu.
"Aku mencintaimu, Haruno Sakura." Aku berucap di depan cermin seraya menatap pantulan diriku. Apakah wajahku akan terlihat aneh di depanmu? Mungkin tidak. "Maukah … kau menjadi—"
Omonganku terputus. Ayolah, kenapa aku harus semalu ini. Haruno Sakura bahkan belum berada di depanku, dan aku sudah tidak sanggup mengatakannya. Tenanglah, Uchiha Sasuke. Bukankah tenang adalah pesonamu selama ini?
Iya, mungkin aku selalu tampak tenang dari luar. Namun di dalam diriku menyeruakkan berbagai ekspresi dan emosi yang tidak bisa ditampilkan oleh wajahku. Terutama saat bersamamu.
Aku hanya bisa berharap, semoga besok apa yang aku harapkan terjadi. Semoga kau mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Yah, semoga.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Temeeee!"
Aku dapat merasakan rangkulan Naruto yang membuat badanku sedikit tidak seimbang. Aku mendengus kesal, entah kenapa aku bisa memilih teman yang berwatak seperti ini.
"Hari ini panaaaassss! Padahal ini kan masih pagi. Ah, Teme, apakah kau sudah menamatkan game yang kupinjamkan kemarin?" Aku mendelik pada Naruto. Menyentuh game-nya pun tidak karena pikiranku sepenuhnya terusik karenamu.
"Naruto," ucapku tiba-tiba. Naruto menatapku dengan alis terangkat, penasaran dengan kalimatku selanjutnya. "Apakah … aku cukup tampan?"
Mata Naruto melotot saking kagetnya. Aku mendengus melihat ekspresinya. Apakah harus sekaget itu?
"Teme, apakah kau Teme?" Aku mengernyitkan alisku, tidak mengerti dengan pertanyaan konyol Naruto itu. Dan, siapa pula itu Teme? Aku sudah memperingatkan Naruto untuk memanggil nama asliku seperti aku yang memanggil nama aslinya.
"Aku Uchiha Sasuke," ujarku cukup kesal.
"Kau, tadi … bertanya—ahahahahaha! Ya ampun! Aku tidak pernah membayangkan kau bertanya seperti itu!" Naruto kini tertawa terbahak-bahak, membuat kekesalanku semakin menjadi-jadi. "Kau tidak peka, polos atau bodoh? Mayoritas wanita di sekolah ini tergila-gila padamu! Jangan mengeluarkan pertanyaan seperti itu."
Naruto tidak menjawab pertanyaanku, sudahlah. Aku menatapnya dengan pandangan datar dan kembali berkata, "aku ingin menyatakan perasaanku pada seorang wanita."
Naruto tersedak, sepertinya ia tersedak ludahnya sendiri. Ia terbatuk sambil menatapku dengan pandangan tak percaya. Sungguh pemandangan yang lucu, tapi sayangnya aku tidak ingin tertawa saat ini.
"K—kau! Siapa kau?! Di mana kau sembunyikan Teme!" Aku memandang malas pada Naruto. Sekali lagi, apakah harus sekaget itu?
"Naruto, cukup. Aku serius." Aku menatapnya dengan pandangan seserius mungkin agar ia bisa menanggapiku dengan serius pula.
"Err—baiklah. Jadi, siapa wanita beruntung itu? Seorang artis kah? Atau dia seorang model cantik? Atau penyanyi? Atau … seorang Tuan Putri?"
"Sebaiknya kau buang ekspektasimu itu. Dia hanyalah murid sekolah ini." Naruto menatapku dengan pandangan penasaran.
"Jadi, siapa?"
Aku membuang pandanganku ke arah lain, mentalku tak cukup kuat untuk menatap mata Naruto sambil mengucapkan namamu. Aku menjawab dengan pelan, "Haruno Sakura, kau kenal?"
Naruto mengingat-ingat, kemudian senyumnya mengembang dan melihatku dengan pandangan menggoda seraya berkata, "heeehhh~ ternyata kau tertarik dengan wanita tekun seperti dia. Hahahaha! Selera yang bagus, Teme! Dia cocok untukmu! Dia sangat manis dan tulus, tapi tetap saja, kemanisannya masih kalah dengan my lovely Hinata-chan yang sangat lucu dan menggemaskan! Eh, Teme, kau tahu? Kemarin Hinata-chan—"
Aku mulai menampilkan wajah malasku lagi saat Naruto bercerita tentang gadis yang dipujanya selama bertahun-tahun itu. Perkataan Naruto terdengar samar karena aku fokus dengan pikiranku. Apakah aku bisa mengatakannya? Apakah semua akan baik-baik saja? Oh, aku mulai gugup.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
'Kata Lee, pikiranmu bisa tenang jika kau ke atap. Di sana sepi, lebih baik kau berlatih di sana.'
Aku berjalan dengan langkah berat seraya mengingat ucapan Naruto. Benarkah aku harus berlatih untuk hal seperti ini? Yang benar saja. Bagaimana jika orang lain mendengarku?
Aku menghela napas berkali-kali sembari menaiki anak tangga satu persatu. Aku memang butuh ketenangan. Ini pertama kalinya bagiku. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta dan ingin mengungkapkannya. Ini pertama kalinya aku berada di situasi seperti ini.
Aku membuka pintu atap, mataku sedikit terbelalak saat melihatmu yang membelakangiku. Meski aku tak melihat wajahmu, tapi aku tahu itu kau. Kau sangat mencolok dengan warna rambut seperti itu, tentu saja aku langsung mengenalmu.
"…sejak awal kita bertemu…"
Suaramu terdengar samar. Aku mengernyitkan alisku, sedikit heran mengapa kau berbicara sendiri.
"Aku mencintaimu!" Kau berteriak, seolah melampiaskan segala emosi yang tertanam di dalam dirimu. Membuatku yang berada di belakangmu terkejut sekaligus heran di saat yang bersamaan.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku, mencoba bernada seperti biasanya. Kau tersentak dan menoleh padaku, tiba-tiba sebuah semburat merah menghiasi wajahmu. Ah, kau pasti malu karena aku mendengar apa yang seharusnya tidak kudengar.
"A-aku sedang … err- be-berlatih untuk- y-ya, kau tahu sendirilah." Kau berucap dengan gagap karena malu. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini. Apakah kau … melakukannya, demi orang lain? Demi orang yang kau cintai?
Aku terkekeh, namun sebenarnya aku cukup meringis perih. "Berlatihlah di depanku, Gadis Pensil." Apa-apaan aku ini? Menyuruhnya untuk berlatih di depanku. Ah, biarlah. Aku ingin mendengar kata-kata itu ditujukan padaku, walau mungkin sebenarnya dia tidak bermaksud seperti itu.
Yang buat aku heran, kau mengangguk dengan mudahnya dan mendekatiku. Ah, biarlah.
"A-aku …" Kau memberi jeda sejenak pada kalimatmu. "…mencintaimu…"
Saat kau mengatakan hal itu, sebuah perasaan sejuk menyapu hatiku. Tapi aku segera menepis segalanya. Sadarlah, Sasuke, kalimat itu bukan untukmu.
"A-aku…"
"…"
"A-aku…"
Aku mulai menaikkan sebelah alisku.
"A-aku…"
Ah, aku tahu, sangat sulit untuk menyatakan cinta.
"Kau bodoh!"
Hah?
Setelah berteriak dengan nada frustasi, kau langsung berlari meninggalkanku, membuatku terkejut. Apakah aku membuatmu tertekan? Kenapa kau berlari seperti itu?
Dari pada pusing memikirkannya, aku segera berlari menyusulmu sampai ke hutan kecil belakang sekolah. Mungkin kau tak sadar bahwa aku terus berlari di belakangmu, sampai kau berhenti di depan sebuah pohon besar. Aku juga ikut berhenti dengan napas ngos-ngosan.
Kau sandarkan tubuhmu pada pohon itu, namun kau masih tak melihatku karena aku yakin sebuah pohon juga menutupi tubuhku.
"Aaaahhh! Kenapa kau terus mengganggu pikiranku?!" Kau berteriak lagi dengan nada frustasi, teriakan itu juga mewakili isi hatiku saat ini, kau yang selalu saja menganggu pikiranku.
"Sampai kapan kau mau membuat pikiranku terfokus padamu?!"
Kata-katamu itu, persis seperti apa yang kurasakan padamu saat ini.
"Sampai kapan aku terus memendam perasaan ini?!"
Ya, sampai kapan?
"Kenapa kau tidak pekaaaaa?!"
Sama denganmu, Haruno Sakura, kau tidak peka dengan perasaanku. Tapi ah, sepertinya aku juga tidak pernah mengirimkan sinyal padamu.
"AKU MENCINTAIMU, UCHIHA SASUKE!"
Teriakanmu yang terakhir itu seketika menghantamku dengan keras. Aku pastikan mataku terbelalak saat ini. Apa … kau bilang? Apakah … aku salah dengar?
"B-benarkah itu?" Aku menghampirimu. Kau memandangku, kau sangat terkejut melihat keberadaanku di sini.
Kau baru saja hendak berlari lagi, tapi aku dengan sigap menahan tanganmu. "Sakura, tunggu!"
Aku butuh penjelasan darimu. Ya, aku butuh semua itu setelah kau membuatku sangat terkejut.
"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanyaku, kali ini nada bicaraku merendah. Kini kau menatapku dengan pandangan seolah tidak tahan lagi, dapat kulihat setets air mata berada di kelopak matamu.
"Benar! Aku mencintaimu! Aku menyukaimu! Aku menyukai dan jatuh cinta padamu saat pandangan pertama! Saat kau memberiku pensil itu, aku terus memerhatikanmu! Kau mengunci atensiku sehaingga aku tak dapat menatap hal lain selain dirimu!" Aku tertegun mendengar semua ucapanmu. Kau terlihat pasrah. Apa yang terjadi—
"-haha." Aku tertawa, membuatmu memasang wajah heran, tentu saja. Aku merasa konyol. Kau juga jatuh cinta padaku. Aku gugup, dan ternyata kau pun sama. Perasaanku menggebu-gebu, dan ternyata kau pun sama. Kau ingin menyatakan cintamu padaku, dan aku pun ingin segera mengatakannya padamu. Semua perasaan kita, rasa gugup kita, euforia kita …
"Baguslah. Berarti kau mempunyai perasaan yang sama denganku." Kau tampak heran, dan beberapa detik kemudian terkejut.
"E-eeehh?!"
Aku tersenyum, sekarang akan kujelaskan semuanya. Rasa gugup tadi sirna seketika. "Aku … juga sudah tertarik padamu saat pertemuan pertama kita. Aku ingin mengatakannya, tapi aku ragu apakah kau akan menerimaku atau tidak."
Air matamu jatuh kembali. Aku sangat senang melihat raut bahagiamu yang tercetak jelas di wajahmu. "Baiklah. Karena kau mengatakannya lebih dulu, maka aku yang akan lebih dulu mengajakmu." Aku menjeda kalimatku, karena kalimat selanjutnya kuucapkan dengan sungguh-sungguh. "Apakah … kau mau jadi kekasihku?"
Kau mengangguk dengan wajah bahagia yang masih terpatri di wajahmu. Tanganku tergerak untuk memelukmu, menyalurkan kehangatan di dalam pelukan ini. "Aku mencintaimu, Sakura …" lirihku pelan seraya mengeratkan pelukanku.
Akhirnya, semuanya berakhir sesuai yang aku inginkan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hahahaha! Sasuke-kun! Kau alay!"
Sasuke mendelik kesal pada tunangannya itu. "Sakura, tulisanmu juga tak kalah alay-nya dengan ini."
Sakura mulai mengecilkan suara tawanya. Ia menyapu setetes air mata pada sudut matanya akibat tertawa. "Aku seorang perempuan, jadi wajar jika tulisanku seperti itu. Tapi—kau?" Sakura pun mulai tertawa lagi.
"Ini idemu, Haruno Sakura. Kau bilang kau mau membagikan cerpen dari sudut pandang kita berdua pada para tamu undangan di pernikahan kita nanti."
"Aku 'kan cuma mau membagikan kisah kita pada semuanya!" Sakura tersenyum senang, namun seketika senyumannya melembut. "Kau tahu, Sasuke-kun? Saat menulis ini, aku terkenang masa lalu. Di mana aku sangat tergila-gila padamu. Perasaan itu sesak sekaligus menyenangkan."
Sasuke tersenyum tipis dan berucap, "jangan lupa. Aku pun merasakan hal yang sama."
"Aku sama sekali tidak menyangka kau mempunyai perasaan yang sama denganku." Sakura duduk di samping Sasuke dan memeluk calon suaminya itu. "Aku sangat bahagia. Aku mencintaimu, Sasuke-kun."
Sasuke tidak membalas perkataan Sakura, ia lebih memilih mengecup sudut bibir gadis itu dan kembali memeluknya.
Walau Sasuke tak mengucapkan sepatah kata pun, Sakura tahu bahwa ia juga sangat bahagia, dan tentu saja juga sangat mecintai gadis itu sebagaimana gadis itu mencintainya.
.
.
.
.
"Love is a decision, it is a judgment, it is a promise. If love were only a feeling, there would be no basis for the promise to love each other forever. A feeling comes and it may go. How can I judge that it will stay forever, when my act doesn't involve judgment and decision."
-Erich Fromm
.
.
.
.
That's Love
.
.
.
.
The End
.
.
.
.
Apa ini? Entahlah, saya juga tidak tahu.
Tanggapan diterima di kotak review.
Sankyu before.
Sign,
HanRiver
