previously

Sementara itu di lain tempat ada Beatrise yang lagi duduk di meja kerjanya. Salah satu tangannya sibuk mengipasi wajahnya sendiri sedangkan tangannya yang satu lagi tengah memegang surat buatan Nethere yang asli. Dengusan jijik dikeluarkan oleh wanita bersurai ikal pendek itu. "Apa-apaan Nethere? Kenapa dia malah surat-suratan dengan gadis pribumi itu?"

Ia remas kertas yang awalnya ditulis sampai penuh itu, dan kemudian melemparkannya begitu saja ke luar jendela. Semilir angin yang berhembus membiarkan kertas tersebut terbang ke jalanan, dan surat yang diakhiri oleh kalimat 'tunggu aku, Nesia—aku akan kembali' hingga terlindas oleh kendaraan mesin yang lewat.

.

.

South Batavia, 1854.

17 Agustus. Tepat di hari ini Nesia berulang tahun yang ke dua puluh empat. Namun ketika malam itu ia baru saja menyelesaikan acara doa bersama dan makan nasi kuning seadanya di meja makan, Nesia dikejutkan oleh satu hal. Ketukan terdengar pelan dari luar rumah dan hadirlah seorang pengantar surat di hadapannya. Ia yang kebetulan membukakan pintu untuknya nyaris terbelalak saat kurir antar tersebut memberikannya secarik surat putih. Jantung Nesia berdebar kencang, ada sebesit harapan yang membengkak saat itu. Namun raut penuh harap yang sempat terasa mendadak layu saat ia tidak mendapati namanya di badan amplop.

Itu bukan surat untuknya.

Nesia menghela nafas. Sepertinya Nethere Van Gaal di kota seberang masih tidak berkeinginan untuk membalas pesannya. Berarti sudah terhitung dua tahun lamanya mereka tak lagi berkomunikasi.

Sebenarnya jika mengulas ulang apa yang terjadi di antara mereka, dulu Nethere memang pernah menuliskan kalimat yang menyakitkan untuknya. Dia menyuruh Nesia agar tak lagi mengirimkan surat, dan itulah surat pertama dan terakhir yang dikirimkan oleh Neth. Dia hilang begitu saja tanpa alasan yang jelas. Tapi bukan Nesia namanya kalau langsung melepaskan rasa cintanya pada pria Belanda itu. Walau Bang Rahardi terus menyindirnya tiap hari, atau pun ibunya yang kadang menyuruhnya untuk move on, Nesia tidak mau menyerah begitu saja.

Tiap ada rasa rindu yang meliputi, Nesia terus mncoba mengirimkan surat lagi ke Nethere. Menceritakan kesehariannya yang menyenangkan, juga satu-dua pertanyaan mengenai alasan Neth yang melanggar janji mereka untuk bertukar surat. Apa pria itu marah? Apa dia merasa terganggu dengan kehadiran suratnya? Tapi percuma, tak ada balasan yang dapat menjelaskan itu semua.

"Tadi ada siapa, Nak?" Laras yang merasa Nesia terlalu lama di luar mencoba memanggil.

"Biasa; tukang pos. Ini ada surat untuk Ibu dari Kakek."

Nesia menggigit bibir. Yang bersisa dari Nethere adalah kenangan beserta barang yang diberikan untuknya. Tak ada yang lain. Nesia pun masuk ke dalam rumah dengan hati yang berat. Percuma ada Ade, Sarah, dan beberapa teman lainnya yang kini menunjukkan sebuah surprise boneka berpita di ruang makan. Nesia cuma bisa tersenyum sedangkan pikirannya melayang entah ke mana.

'Andai Nethere ada di sini.' Batinnya.

.

.

.

BATAVIA

Hetalia by Hidekazu Himaruya

AU—Alternate Universe

Pieree Present...

(Netherlands—FemIndonesia)

.

.

seven of nine

-surat-

.

.

East Batavia.

Bertahun-tahun menunggu tanpa kepastian, Nethere berdecak tak sabar di ruang kerjanya. Kini pria yang umurnya nyaris menyentuh umur tiga puluhan itu menatap kesal asistennya yang dari tadi membicarakan profit perusahaan mereka yang selalu meningkat tiap akhir bulan. Antonio yang merasa tidak disimak dengan baik menyingkirkan laporannya dari depan muka dan menggeleng pasrah. Ia pun melipat kedua tangan di dada.

"Oke, ada apalagi, Meneer? Kau tampak menyeramkan..."

"Aku hanya kesal."

"Kesal kenapa?"

"Nesia." Ucapnya dengan nada penekanan, ditambah iris hijau itu kini menabrak iris cerah milik Antonio. Tanpa perlu berbicara pun pria Spanyol itu sudah tau apa yang ingin Nethere ceritakan lewat pandangannya. Dia pasti sedang mengkritik isi surat yang barusan ia antar ke ruangannya atas nama Inesia Rahayu.

"Memangnya Meneer mendapatkan balasan surat yang seperti apa sih? Bukannya kalian sedang menjalin hubungan? Tapi kenapa tiap mendapat surat darinya mood Anda langsung jelek begitu?"

Nethere membanting secarik kertas di atas meja. "Di sana cuma tertulis 'lebih baik kita akhiri hubungan ini'—lagi. Ini sudah surat kelimanya yang memuat tulisan seperti itu."

Sudah balasnya lama, tiap kali suratnya sampai pun Nesia selalu ingin hubungannya berakhir tanpa mau memberikan sebab yang jelas. Nethere yang kini berdiri menggeleng tak sabar. Dia tenggak bir impor langsung dari botol. Hari ini ia benar-benar dibuat frustasi karena seorang perempuan. Baru kali ini.

Antonio sendiri cuma bisa menghela nafas. Sifat tenang bosnya yang selalu ia jadikan panutan lama-kelamaan hilang. Dia sudah out of character hanya karena masalah perempuan. Lagi pula kenapa bisa Nethere sebegitu mencintai seorang gadis pribumi yang bahkan sudah tinggal jauh berkilo-kilometer darinya? "Kenapa Meneer tidak cari perempuan lain saja di sini? Kalau suka yang pribumi kan di sini juga ada banyak."

Nethere berdesis saat melirik Antonio. Di saat itu sang bawahan cuma bisa menunduk sambil mengusap rambut belakangnya. "Bu-Bukannya apa, Meneer, tapi mungkin saja dia sudah mencintai orang lain di desa sana. Jadi Meneer yang ada di sini dilupakan olehnya."

Pria berambut spike itu terdiam. Berpikir sebentar.

"Siapa yang dia cintai? Orang Belanda juga?"

"Sepertinya sih orang pribumi. Sudah jadi pantangan bagi seorang pribumi untuk berhubungan dengan orang Eropa, kan?"

Nethere menghela nafas. Ia alihkan pandangannya ke arah lain dan berdecak. Sudahlah, ia tak perlu mendengar omongan orang. Lagi pula kenapa dia nyaris percaya dengan apa yang dikatakan Antonio? Nesia tidak akan seperti itu. Jadilah ia letakan botol birnya di atas meja dan merapikan pakaian formal yang masih melekat di badannya. Ia harus mencoba tenang. "Lagi pula mana mungkin dia selingkuh. Aku sudah melamarnya."

Antonio baru tau soal itu; dia terperangah. "Meener benar-benar serius dengannya, ya?"

"Ya."

"Pantas saja ibumu tidak suka kalau Meneer surat-suratan dengan Nona Nesia. Kupikir kalian hanya teman."

"Ibuku...?" Nada berat itu keluar bersamaan dengan lirikan Nethere ke mata Antonio. "Surat-suratan...? Darimana dia tau aku berhubungan dengan Nesia?" Nethere menyelidiki cowok bertubuh sedang yang berada di sebelahnya itu, dan Antonio gelisah di tempat. Sebelum ia berusaha mengganti topik, ada Nethere yang sudah berdiri dan berjalan dengan langkah menyeramkan ke tempatnya berdiri. "Aku minta penjelasan."

"Eh... aku..." Tatapan sinis Nethere mencekiknya. "Sudah dari lama Moeder Beatrise tau kalau Meneer bersurat-suratan dengan Nesia. Dan karena itu aku hanya disuruh memberikan suratmu kepadanya. Katanya dia yang akan mengirimkan suratmu ke kantor pos, sekalian dengan surat-surat kerjanya yang lain. Tapi belakangan ini aku memang baru tau kalau Moeder sering membuka isi suratmu."

"Sering?" Nethere terbelalak sesaat dan pria itu langsung duduk di bangkunya dengan lemas. Pelipisnya yang berdenyut nyeri ia pijat. Kini ia sudah mengerti apa yang terjadi saat ini. Pantas ibunya beberapa kali berniat menjodohkannya dengan anak temannya yang sederajat. Dan juga, ada satu kesimpulan yang Nethere Van Gaal dapatkan hari ini.

Ibunya tau semua hal yang ia tulis—keseharian, rasa sayangnya ke Nesia, juga perasaannya selama ini saat mendapatkan masalah di pekerjaan yang sedang ia geluti. Pria bertubuh tinggi tegap itu berdecak kesal. Agak malu rasanya jika membayangkan surat-surat itu benar-benar dibaca ulang oleh orang lain, apalagi ibunya. Ia remas surai pirangnya, mengusapnya ke belakang dan menggeram. Tak ia bayangkan rasanya bisa semalu ini. Ibarat tulisan diary-mu dibaca oleh orang lain.

Tapi tiba-tiba saja kedua mata Nethere membulat.

"Tunggu."

"Hm?"

"Antonio."

"Ya, Meneer?"

"Jadi Ibu bilang dia yang akan mengirim suratku ke pos?"

"Iya."

Nethere menghela nafas. Pantas dari tadi ada yang mengganjal. Ternyata benar, ada hal lain yang dilakukan oleh ibunya selain membaca surat yang ia tulis. Mengingat ibunya tidak menyukai hubungannya dengan Nesia, ada kemungkinan besar bahwa wanita itu juga menahan segala suratnya, kan? Atau mungkin malah sang ibu yang sedari dulu membaca dan membalas suratnya?

Apa jangan-jangan karena itu juga... ia tidak pernah mendapatkan balasan yang wajar dari Nesia?

.

.

ba-ta-vi-a—pi-e-ree

.

.

South Batavia.

Boneka beruang berbulu cokelat kemerahan, beberapa jepit dan ikat rambut, serta buku notes baru—itu adalah benda-benda yang baru saja Nesia dapatkan di acara ulang tahunnya yang kemarin.

Nesia menatap segala kado yang diberikan oleh ibu dan teman-temannya hari ini. Semuanya persis dengan apa yang dia suka, terutama notes cantik dari ibu. Kelihatannya beliau tau kalau buku tulis lamanya, tempat ia menumpahkan segala curhatannya lewat puisi, sudah hanya menyisakan beberapa lembar terakhirnya. Tak jarang Nesia tersenyum sambil membelai hadiah-hadiah itu dengan ujung jarinya. Menelusuri satu per satu dari barang paling kiri ke kanan. Hingga suatu detik ada sebuah pemikiran yang terlintas.

Kalau saja Nethere ada di sini, kira-kira apa yang akan pria itu berikan padanya, ya?

Nesia ingat, beberapa tahun yang lalu saat Nethere bertanya apa yang sedang ia inginkan, ia hanya bilang sesuatu yang tak perlu dibeli dengan uang. Jadilah Nethere membawanya ke rumah saat orangtuanya tidak ada—oke, saat itu Nesia memang gugup setengah mati—tapi ternyata Nethere membawanya ke dapur dan mengajarinya cara membuat poffertjes, resep kue tepung bundar yang baru pertama kali Nesia buat dan cicipi. Saat itu Nesia begitu bahagia. Apalagi saat mata Nethere yang biasanya datar itu sedikit terbelalak saat ia memasukan makanan bertabur gula halus itu ke mulutnya. Neth bilang—dengan suara kecil dan agak malas jujur—jauh lebih lembut dan enak dibanding masakan orang rumahnya.

Nesia yang kini sudah kembali ke kenyataan menarik nafas panjang-panjang. Ia berniat berdiri agar bisa pergi tidur namun tak sengaja ujung tangannya menyentuh sebuah kotak merah di ujung meja, lalu membuat benda kecil itu jatuh terbanting ke lantai.

"Ah, cincinnya."

Ia ambil kotak beludru itu dan memeriksa isinya sebentar. Karena cincin yang ada di dalam sana tampak tak terluka, seulas senyum Nesia lepaskan saat ia belai cincin itu dengan sayang.

"Untung tidak apa-apa..." Nesia meletakkannya ke atas meja. Namun karena kenangan antara ia dan Nethere di masa lalu kembali terbayang melalui benda itu, agak terburu gadis ponytail itu menaruh wadah cincin tersebut ke sebuah kotak yang lebih besar di bawah meja. Baru saja ia akan menaruhnya, ada sesuatu di dalam sana yang mencuri perhatiannya. Ada secarik kertas yang masih terlipat rapi. Ia ambil dan membukanya perlahan, sehingga ia dapati tulisan Nethere yang waktu itu menuliskan alamatnya di Batavia Timur untuk mereka bertukar surat.

Nesia menghela nafas, tapi tak terasa tau-tau ada sebulir air mata yang kemudian jatuh menelusuri pipinya. Agak terkejut dengan matanya yang berair Nesia mengusap wajahnya sendiri. Dia panik. Ternyata air mata ini sudah menetes banyak sejak beberapa detik yang lalu. Ia terlalu merindukan pria itu. Ia juga ingin meminta penjelasan dari segala kerancuan ini. Dan dia... sangat... sangat ingin memeluk tubuh besarnya yang hangat dan penuh perlindungan.

"Nethere..."

Baru sedetik mata Nesia digenangi oleh air mata, wanita itu mengadah dan menghela nafas. Dia hapus setitik air matanya dengan ujung jari dan mencoba tersenyum lesu. "Ah, sudahlah. Kenapa aku masih memikirkannya? Neth pasti sudah sangat bahagia di sana, sampai melupakanku begini..."

Sesekali bolehlah ia memenuhi kepalanya dengan pikiran negatif. Sebab memang hanya dengan cara itulah perasaan sayang dan rindunya bisa dia tekan. Tapi tiba-tiba saja ada sebuah rasa penasaran yang muncul kala ia memandang ulang kertas alamat yang ia pegang. Ia jadi baru tau kalau Nethere memiliki goresan yang cukup berbeda dari orang-orang kebanyakan. Lengkungan huruf 'j'-nya unik, ekor huruf 'a' yang panjang, begitu pula 'd' dan 'b'-nya yang memiliki tungkai yang panjang namun miring. Kelihatannya Nethere juga suka menulis dengan huruf sambung.

Ah.

Tapi tunggu...

Mendadak Nesia kepikiran sesuatu. Tulisan Nethere dan surat yang dikirim kepadanya dua tahun lalu... terasa berbeda. Seperti bukan tulisannya.

Lantas kotak di bawah meja tadi kembali menjadi sorotan matanya. Ia keluarkan beberapa isi barangnya dengan hati-hati. Di tempat yang dia namai kotak kenangan ini terdapat pula surat lama dari Nethere. Balasan pertama dan terakhir yang ikut serta mengiris hatinya. Perlahan dia buka surat yang masih rapi itu dan membandingkannya dengan seksama. Nyaris satu menit terdiam Nesia terhenyak. Dia jadi menyadari sesuatu.

Di surat ini Nethere tidak menggunakan huruf sambung. Beberapa huruf yang tadi ia perhatikan juga berbeda kalau di dalam surat.

Nesia menelan ludah. Lagi-lagi ia melirik kotaknya dan kebetulan ada secarik kertas yang merupakan kuitansi gaji pertamanya. Ia ambil kertas itu dan memeriksanya. Di sana ternyata ada tanda tangan ibu dari Nethere di bagian pojok bawahnya, lengkap dengan nama Beatrise Van Gaal beserta cap ruko. Nesia pun kembali mencermati tiap kemiripan yang terdapat di surat Nethere dan tulisan Beatrise di kuitansi. Dan nyaris semua huruf yang ia cocokan... hasilnya sama persis.

Ia gigit bibir bawahnya keras-keras.

"Apa itu artinya... surat ini bukan tulisan Nethere?"

.

.

ba-ta-vi-a—pi-e-ree

.

.

East Batavia.

Nethere dengan kasar menaruh mobilnya di parkiran rumah, dan kemudian memaksa pelayannya membukakan pintu untuknya. Ia pun masuk dan segera mencari sang ibu dengan raut marah yang tertahan. Tak ada suara, tak ada panggilan. Nethere hanya membuka paksa satu per satu pintu di rumah yang sekiranya ada ibunya di sana.

Hingga akhirnya setelah pencarian di dapur dan di halaman nihil tanpa hasil, Nethere beralih ke kamar ibunya yang juga kosong. Tapi pria itu tak langsung pergi. Dia membuka laci demi laci yang ada di sana dan sesuai dugaan, ada setumpuk surat yang sudah terbuka di salah satu lemari baju ibunya.

Nethere berdesis saat ia melihat namanya lah yang tercantum di surat itu—surat asli dari Nesia yang bahkan sudah dikirim dari satu setengah tahun yang lalu. Di sana juga ada surat-surat pemberiannya yang ia pikir sudah dikirim oleh Antonio ke wanita itu. Hati pria itu mencelus. Tak terbayang rasa bersalah yang kini menghantamnya saat tau surat-surat Nesia tertahan di sini, di kamar ibunya, sedangkan di luar sana gadis itu pasti sangat menunggu balasan darinya dengan penuh harap.

Pria itu pun menaruh kumpulan surat tadi ke map yang dia ambil asal dari meja ibunya dan pergi keluar kamar. Tapi bertepatan setelah ia menutup pintu dan berbalik, sudah ada Beatrise yang menatapnya dengan tatapan bingung. Kipas hitam yang ia pegang masih terkibas di depan wajahnya.

"Ah, Nethere? Kenapa kau sudah pulang? Bukannya nanti sore kamu ada rapat?"

Nethere menghela nafas sesaat dan mencoba menahan diri agar tidak meledak begitu saja saat ini. "Apa ibu bisa menjelaskan tentang ini?"

Sang ibu terbelalak luar biasa saat Nethere membuka map cokelatnya yang berisi surat-surat yang familier di mata Beatrise. Bibirnya yang terpoles gincu merah tua itu menganga. "Ne-Nethere, kenapa kamu masuk ke ruangan ibu? Bukannya ibu sudah bilang jangan masuk sembarangan?"

Beatrise semakin panik saat Nethere tak lagi bersuara. Pria itu hanya memberikan tatapan sinisnya yang bercampur kecewa. Segala hal sudah dia berikan untuk membahagiakan ibunya. Kerja di sini sesuai permintaannya, mematuhi segala nasihatnya, juga merawat dan menyayanginya dengan baik. Lalu sekarang apa? Kekasihnya hanya mengirimkannya surat dan dia menyembunyikannya, begitu?

"Apapun alasan Ibu, ini semua demi kamu, Neth... Ibu yakin kamu tak akan bahagia bila bersamanya..."

Nethere malas mendengarnya. Ia lewati Beatrise dan kemudian berucap pelan. "Aku akan ke desa untuk menikahinya."

"Nethere! Aku tidak merestuimu!"

"Ya, aku tau."

"Jika kau bersama orang kampung itu, tak akan kuizinkan lagi kamu menginjakkan kaki di rumah ini maupun di sana! Nethere!"

Nethere memejamkan matanya sesaat. Lalu ia melirik pelan. "Karena itu kuharap Ibu tidak akan kaget jika ada bocah yang memanggilmu nenek saat kita bertemu lagi."

"Apa!?"

Pria pirang berkemeja putih itu pun keluar rumah dan menaiki mobil tua pemberian ayahnya. Ada sebuah peta di atas dasbor beserta beberapa minuman energi yang sekiranya bisa membantunya tetap fit selama perjalanan. Nethere pun tersenyum singkat. Mungkin ini adalah pertama kalinya ia akan mencoba mobil ini dalam jarak yang relatif jauh.

.

.

ba-ta-vi-a—pi-e-ree

.

.

South Batavia.

Sedangkan di tempatnya berdiri, sekarang Nesia lagi berhadapan dengan pamannya dan sang ibu. Mata Nesia sembab sampai bengkak oleh air matanya sendiri. Ia bahkan sampai tak lagi mendengarkan ceramahan Bang Rahardi yang terus menerus menasihati dirinya tanpa henti.

Ternyata tepat sehari setelah ulang tahun Nesia dirayakan, ada sebuah pengumuman yang cukup mengejutkan bagi Nesia. Di umurnya yang ke dua puluh empat ini keluarganya sudah merasa Nesia sudah berada di usia yang matang untuk menikah. Jadilah sang kakek—yang memang masih menggunakan tradisi lama—telah menjodohkannya dengan seorang juragan kaya di kota seberang. Ternyata itu adalah isi surat yang kemarin dikirimkan kakek kepada ibu.

Oleh karena itu nantinya Nesia akan diantar ke sebuah kota asing, bergabung dengan jejeran gadis perawan yang akan menjadi kandidat istri seorang seorang pengusaha kaya. Jauh dari teman-temannya di desa, dan jauh juga dari kota tempat Neth bekerja.

"Mau bagaimana lagi, Kakek sudah mengatakan setuju untuk mencalonkanmu..." Dengan berat hati Laras berkata. "Maafkan Ibu, Sayang. Kalau saja Kakek memberitahu hal ini sedikit lebih cepat, mungkin Ibu bisa menolaknya."

"Ya, lagi pula perjodohannya besok lusa. Kalau si juragan memilihmu untuk menjadi istrinya, tentu kau bisa melupakan pria Belanda yang menyakitimu itu, kan?"

"Tak apa..." Nesia menghapus air matanya. Sekalipun ia sudah tau bahwa bukan Nethere lah yang mengirim surat itu, tetap saja Nesia tidak bisa berhubungan lagi dengannya. Ia juga masih belum paham kenapa Nethere tak membalas surat-suratnya. Apa karena alamat yang pria itu tulis salah atau bagaimana—semua masih belum jelas. Oleh karena itu ia memandang ibunya yang turut sedih dengan kenyataan ini. "Asal Ibu dan Paman bahagia, aku akan mencoba untuk melakukannya."

Sudahlah. Nethere hanya masa lalu. Pria itu terlalu tinggi untuk ia raih. Lagi pula memang sudah menjadi tugas seorang anak perempuan untuk menjadi istri yang baik di masa depan.

.

.

see you

.

.

my note

Berhubung aku kurang suka konflik ala Mama Beatrise, jangan heran ya konfliknya langsung selesai dalam waktu setengah chap, haha. Fict ini juga udah mau tamat bentar lagi. Daan, selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke-70! Happy birthday, Nesia! :D

.

.

warm regards,

Pieree...