Naruto by Masashi Kishimoto
Saya hanya meminjam karakter di dalamnya dan sama sekali tidak mengambil keuntungan materi dari fanfiksi ini.
Counting Stars
Bagian II
.
.
Sasuke tidak main-main dengan ucapannya. Dia benar-benar mengajakku piknik. Oh, bukan piknik di kebun binatang atau taman buah seperti yang kupikirkan sebelumnya. Dia mengajakku pinik di hutan. Iya, benar, di hutan. Hutan yang benar-benar hutan. Aku bukan pecinta hutan, tapi aku tidak bisa bilang kalau tempat ini sangat tidak indah. Karena kenyataannya, dengan pohon-pohon besar menjulang, posisi kami berada di dekat sungai kecil yang airnya sangat jernih dengan kedalaman yang sepertinya hanya sedalam dua meter. Tidak cukup dalam, tapi cukup untuk membuatku tenggelam.
Aku melirik kuda hitam yang tadi ditunggangi oleh Sasuke. Susano, nama kuda hitam jantan itu. Pipiku memanas, melihat Susano membuatku memikirkan apa yang sudah terjadi sebelum ke sini. Tidak-tidak! Jangan berpikir kalau ada sesuatu yang romantis terjadi saat itu. Ini lebih ke hal memalukan. Romantis dan memalukan, dua kata yang berbeda lafal maupun maknanya.
Awalnya aku mengira Sasuke akan mengajakku naik kereta. Saat Tenten membantuku memilih pakaian, aku bersikeras ingin memakan gaun berwarna biru langit yang terlihat sangat memesona dari dalam lemari. Tenten sempat melarangku, Tenten bilang Sasuke memintanya untuk memilihkan pakaian yang cocok dipakai untuk piknik di daerah terbuka, yang diartikan Tenten adalah sepasang celana model koboi berwarna coklat gelap lengkap dengan kemeja berwarna putih gading yang tampak feminin dengan kerutan dan rumbaian cantik di setiap ujung yang menyentuh pergelangan tangan.
Aku langsung menolak pilihan Tenten. Kuakui kemaja dan celana itu cukup baik dan mungkin bisa lebih membantu untuk membentuk tungkai kakiku yang pendek menjadi lebih jenjang. Tapi aku merasa, setelan itu tidak cukup baik untuk kupakai saat ini. Oh, ayolah! Aku 'kan juga gadis normal. Aku ingin sekali-kali terlihat cantik. Mmm, bukan seperti itu juga, tapi intinya aku ingin pakaian yang bisa membuat Sasuke terpesona padaku. Tidak adil rasanya jika hanya aku yang kadang merasa Sasuke begitu memesona. Aku ingin membuktikan pada Sasuke kalau aku cukup cantik dan memesona untuk dia lirik.
Tenten mengalah. Dia akhirnya setuju dengan gaun pilihanku. Meski dia terus-menerus mengingatkanku mengenai tata cara berjalan yang baik dengan menggunakan gaun. Aku hanya mengibaskan tanganku.
"Tenten, aku tahu."
"Aku hanya mengingatkanmu, Nona."
"Duh, sudah kubilang, panggil aku Sakura saja. Jangan memanggilku nona-nona."
"Tapi Tuan Uchiha-"
"Ssttt, tenanglah. Kalau Sasuke marah, biar aku yang balik memarahi dia."
Tenten tampak terkejut. Aku sendiri terkejut dengan perkataanku. Mana mungkin aku berani memarahi Sasuke. Ya, walau aku sering kesal padanya, tapi bukan berarti aku berani memarahinya. Tapi aku serius dengan perkataanku, aku tidak ingin Tenten memanggilkan dengan panggilan Nona Muda, Nona Sakura, atau Nyonya Uchiha. Huh! Seperti aku orang tua dan penting saja.
"Baiklah, No, emmm, Sakura."
"Bagus! Gadis pintar!" Aku memeluk Tenten sebelum memutar tubuhku, bercermin. Gaun biru ini sangat pas di tubuhku. Aku suka sekali. Aku sedikit sombong saat merasa Sasuke pasti akan terpesona melihatku.
Aku sudah mulai pasrah dengan dunia yang kutempati saat ini. Meski aku belum menyerah. Namun segala upayaku kembali ke duniaku rasanya sia-sia, aku masih belum tahu bagaimana caraku kembali. Untuk saat ini lebih baik aku mulai menerima keadaanku di dunia ini lengkap dengan Sasuke sebagai suamiku. Dipikir-pikir, punya suami seperti Sasuke tidak buruk juga. Aku mengingat betapa romantisnya semalam. Pesta kejutan untuk ulang tahunku, berbaring bersama menatap bintang. Meski baru sehari mengenalnya, aku merasa nyaman dan begitu menenangkan jika bersama dengannya.
"Sakura, apa tidak sebaiknya kau memakai pakaian yang tadi kupilihkan?" Tenten rupanya masih belum menyerah.
"Tenten, sudahlah! Gaun ini sangat cocok. Aku menyukainya. Aku sangat menyukai pakaian yang kaupilihkan, tapi hari ini aku ingin memakai gaun ini. Ayolah!"
Tenten kemudian mengangguk. Dia ikut keluar dari kamar bersamaku, membawaku menuju ke depan kastil di mana Sasuke sudah menungguku. Tapi perkiraanku salah. Tenten tidak membawaku ke depan kastil. Dia malah membawaku ke belakang kastil, tepatnya ke istal.
Di sana, di depan seekor kuda berwarna hitam yang kuperkirakan berkelamin jantan, Sasuke berdiri dengan pongahnya. Ya, tetap tampan sih. Maksudku, aku tahu tidak adil menilainya hanya dari sikapnya yang sedikit sombong, pelit bicara, dan berekspresi datar. Tapi aku tahu Sasuke lelaki yang baik.
Aku berdeham, mencoba memberitahukan kedatanganku padanya. Caraku berhasil. Sasuke sekarang mengalikan pandangannya ke arahku. Aku mencoba tersenyum, tapi Sasuke tidak membalas senyumku. Seketika senyumku surut. Sasuke malah menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan aneh.
"Apa?" hardikku. Aku kesal setengah mati. Bukannya tatapan penuh kekaguman yang kudapat, Sasuke malah menatapku seolah-olah aku badut yang sama sekali tidak berhasil menghiburnya. Failed! Gagal total!
"Ganti bajumu."
"Tidak!"
"Kubilang, ganti bajumu, Sakura."
"Kubilang tidak, ya tidak." Aku tidak mau kalah. Enak sekali dia menyuruhku ganti baju. Padahal aku sudah merasa cantik memakai baju ini, dia malah menyuruhku untuk menggantinya.
"Tenten, bawa Sakura kembali ke kamar, ganti bajunya dengan pakaian yang pantas."
Kurang ajar! Jadi maksudnya pakaian yang kupilih kurang pantas! Aku memandang Tenten. Dia terlihat merasa bersalah.
"Baik, Tuan Uchiha."
"Tidak, aku tidak mau. Aku pantas memakai gaun ini dan aku hanya akan memakai gaun yang aku suka. Jadi jangan repot-repot mengurusi pakaianku."
Sasuke menaikkan satu alisnya. "Hn?"
"Apa?"
"Kau pikir kau bisa mengenakan gaun itu untuk-"
"Aku bisa!" Aku memotong perkataan Sasuke. "Tenten sudah mengajariku cara berjalan yang sopan jika memakai gaun. Tidak boleh berlari-lari ketika menggunakan gaun, harus memakai sarung tangan yang sesuai dengan gaun yang digunakan, angkat sedikit gaun dan tundukkan kepalamu jika menyapa seseorang." Aku mencontohkan setiap perkataan yang kuucapkan. "Nah, lihat! Aku bisa!" Aku tersenyum penuh kemenangan pada Sasuke.
Sasuke tidak tampak kagum, dia malah semakin aneh melihatku. "Kalau kau merasa bisa memakai gaun itu, ayo!"
"Ayo?"
"Naik ke kuda bersamaku." Sasuke langsung menaiki kuda hitam yang sejak tadi kulupakan keberadaannya.
"Naik kuda?"
"Hn."
"Kenapa tidak naik kereta?" Kupikir kami akan piknik menggunakan kereta.
"Siapa yang bilang padamu kalau kita akan naik kereta?"
Tidak ada. Tapi bagaimana caranya aku naik ke atas kuda dengan gaun ini?
Sasuke sepertinya menyadari kegundahanku. Dia memberiku senyum ejekan. "Ayo, tunggu apa lagi!"
Aku masih diam. Aku bingung, bagaimana caraku naik ke atas kuda dengan gaun seperti ini.
"Cepatlah! Susano sudah terlalu lama menunggumu." Sasuke mengelus-elus surai kuda hitam itu dengan lembut.
Oh, jadi nama kuda itu Susano. Aku menatap wajah kuda itu, menyiapkan sebuah senyum manis, tapi kuda itu malah menghentakkan satu kaki depannya dan melengos menolak memandangku. Tch! Dasar! Tidak tuannya, tidak kudanya. Sombong!
Aku yang sudah kepalang tanggung, tidak sudi menjilat ludahku sendiri. "Tentu saja!"
Ya, Tuhan! Kenapa rasanya sulit sekali mengangkat kakiku untuk mencapai pijakan di samping kuda yang sudah dinaiki Sasuke. Sangkar ayam di dalam gaunku benar-benar menyiksaku. Siapa sih yang membuat gaun model begini?
Aku tidak menyerah. Jangan panggil aku Sakura jika tidak bisa membungkam seringaian sombong Sasuke dan Susano yang melihatku kesusahan dengan gaunku. Aku mengangkat kakiku lebar-lebar. Sedikit lagi. Sedikit lagi kakiku akan mencapai pijakan, tapi keseimbanganku goyah. Tanpa memikirkan rasa maluku, gaun ini membuatku jatuh terjengkang di atas tanah yang sedikit becek akibat hujan.
Susano meringkik kesenangan melihatku terjatuh. Tuannya pun sama saja. Melihatku dengan kedutan senyum di ujung bibirnya. Aku menatap ke sekelilingku. Ibiki berada tak jauh di belakang Sasuke, hanya menatapku dengan tatapan datarnya. Tenten yang selanjutnya kutatap, hanya menundukkan kepalanya, yang kuasumsikan sedang menyembunyikan senyumnya diam-diam. Rasanya aku ingin pulang saja ke duniaku. Lupakan segala pemikiranku yang mengatakan mempunyai suami seperti Sasuke tidak buruk. Coret kata tidak-nya!
Kali ini aku menurut pada Tenten. Aku diam saja, tidak memrotes sedikit pun pada gerakan Tenten yang dengan luwes memakaikan baju pilihannya padaku. Aku cukup berterima kasih padanya yang tidak menyinggung kejadian di istal tadi.
"Nah, kau sekarang sudah siap!"
Aku bercermin. Setelan celana koboi coklat dengan kemeja putih gading yang pas membalut tubuhku tampak cocok di tubuhku. Tahu begini, dari tadi saja aku menuruti perkataan Tenten.
.
.
"Kenapa melamun?"
Aku menolehkan kepalaku ke arah Sasuke. Sasuke mengambil tempat di sampingku. Dia duduk di atas rumput. Aku mengikutinya, duduk di atas rumput, memandangi sungai di hadapanku. Air sungai ini sangat jernih, aku bahkan bisa melihat dengan jelas warna bebatuan di dasarnya. Susano juga tampak menikmati kegiatannya menyantap rumput-rumput segar yang tumbuh di pinggir sungai.
"Hei, Sasuke!"
"Hn." Sasuke menjawab tanpa menolehkan kepalanya padaku.
"Kau bisa berenang?"
Pertanyaanku berhasil mencuri atensinya. "Kenapa?"
"Jawab saja, Sasuke," kataku sedikit merajuk. Susah sekali memintanya menjawab pertanyaan tanpa pertanyaan.
"Bisa."
"Syukurlah." Aku lega. Aku tidak bisa berenang, jadi rasanya aman jika Sasuke bisa berenang. Tidak lucu jika kami berdua mati tenggelam karena sama-sama tidak bisa berenang. Ya, bukan berarti aku akan dengan sukarela menceburkan diri ke dalam sungai. Hanya berjaga-jaga.
"Hn?" Kali ini Sasuke menaikkan sedikit alis kanannya. Aku sekarang mulai tahu arti kata hn-nya. Jika diiringi naiknya sebelah alisnya, berarti Sasuke sedang bertanya, 'maksudmu?'
"Tidak, aku hanya berjaga-jaga saja. Aku tidak bisa berenang, asal kau tahu."
Sasuke menatapku sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah sungai. "Aku sudah tahu."
Entah kenapa mendengar nada bicaranya membuatku kesal. "Ya, kau tahu semua tentangku, tapi aku tidak tahu apa-apa tentangmu," gerutuku.
Sepertinya gerutuanku tidak mempan. Sasuke hanya diam, tidak meresponsku sedikit pun. Aku pun membalasnya dengan sama diamnya.
"Apa yang ingin kau tahu tentangku?"
"Semuanya!" Aku membalas terlalu cepat. "Mmm, maksudku, terserah padamu. Aku hanya ingin tahu tentangmu, keluargamua, atau ... bagaimana hubungan kita sebelumnya. Aku, tidak tahu apa-apa."
Aku menunggu jawaban Sasuke. Kira-kira jawaban seperti apa yang akan dikatakannya. Tapi hampir semenit Sasuke tak juga bersuara. Dia malah mengambil batu kerikil dan melemparnya pelan ke dalam sungai. Bunyi kecipak air membuka perkataannya selanjutnya.
"Kau percaya kalau aku mengatakan bahwa aku bukan manusia?"
"Kau vampire!"
Sasuke tampak kesal. "Bukan makhluk idiot itu!"
"Hei, vampire bukan makhluk idiot! Setidaknya Edward bukan makhluk seperti yang kaubilang tadi."
"Edward?" Tatapan mata Sasuke menajam saat menanyakan hal itu.
Oh iya, mana mungkin Sasuke tahu Edward Cullen!
"Lupakan! Edward hanya tokoh fiksi dalam sebuah novel," kataku.
"Jadi kau ini apa?" Aku bertanya setenang mungkin. Padahal aku sedang bersiap-siap. Semoga aku bisa lari dengan cepat. Di pikiranku sudah terbayang kalau Sasuke adalah iblis berwajah tampan yang sering muncul di novel-novel fantasi. Iblis yang suka menculik gadis-gadis manis sepertiku untuk dijadikan sup daging manusia.
Aku merasakan Sasuke menyentil keningku. "Arghhh! Jangan makan aku!" Aku menutup kedua mataku.
Kedua tanganku memukul-mukul Sasuke. Tidak peduli kena atau tidak. Aku masih belum mau membuka mataku. Aku takut kalau Sasuke sudah berubah wujud menjadi monster.
"Hei, diam, Sakura!"
"Tidak mau! Kau pasti akan memakanku." Aku bangkit, berusaha melepaskan pegangan tangan Sasuke. "Lepaskan aku!"
"Tch! Jangan konyol, Sakura!"
Aku tidak memedulikan bentakannya. Aku berbalik memunggunginya, aku melangkahkan kedua kakiku, bersamaan dengan kedua mataku yang terbuka, dan suara Sasuke memenuhi telingaku.
"Awas, Sakura!"
Terlambat. Sungguh bodoh! Aku malah terpeleset, masuk ke dalam sungai. Seluruh oksigen serasa dicabut paksa dari dalam tubuhku. Aku jatuh dengan posisi duduk, tanganku berusaha menggapai-gapai ke atas, berharap akan ada yang menolongku. Leher dan tenggorokanku tercekik, tak ada udara yang bisa masuk. Hanya air dan air yang kurasakan memenuhi hidung, telinga, dan mulutku. Aku menyuarakan tolong tanpa suara.
Lalu sesuatu muncul, menarikku merapat pada tubuhnya, tubuhku seperti diangkat ke permukaan. Saat kepalaku menyembul ke atas permukaan air, aku bisa bernapas lega. Saat itulah aku bisa melihat penolongku.
Sasuke tidak berubah menjadi monster. Dia tetap menjadi pahlawanku. Sasuke membawaku ke tepian. Aku terbatuk-batuk, mengeluarkan air dari mulut dan hidungku. Sekujur tubuhku basah kuyup. Namun aku bersyukur, aku hanya sebentar tenggelam, sebelum diselamatkan oleh Sasuke.
Sasuke!
Aku mencarinya. Sasuke berada tak jauh dariku. Dia bertelangjang dada. Kemejanya dibaringkan di atas rumput, terjemur di bawah sinar matahari. Perlahan dia berjalan mendekati Susano, kemudian berbalik ke arahku.
Sasuke mengangsurkan mantel milikku. "Bukalah bajumu, pakai mantel ini."
"Apa?" Buka baju di sini? Di hutan terbuka seperti ini? Di depan Sasuke! Terima kasih! "Kau gila!"
"Jangan banyak bicara, cepat buka bajumu dan pakai mantel ini."
"Tidak!"
Aku malas mendebat Sasuke. Aku memilih membaringkan tubuhku di atas rumput. Sinar matahari membuat tubuhku yang tadi sempat menggigil menjadi hangat kembali. Aku menutup kedua mataku. Tidak ada suara apa-apa lagi. Kupikir Sasuke sudah menyerah. Aku membuka mataku. Yang kulihat Sasuke sedang berada di atasku. Dia menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya yang mengunci di samping tubuhku.
Tubuhnya sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Tapi rasanya sudah seperti ada yang menekan ulu hatiku dengan erat. Napasku pendek-pendek, antara cemas dan ah, entahlah. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma tubuh Sasuke, segar, maskulin, dan ya, Tuhan! Apa yang baru saja kupikirkan!
"Cepat buka bajumu dan ganti dengan mantel atau..." Sasuke menyuarakan perintahnya dengan nada yang sangat rendah dan pelan, tapi efeknya langsung mengena di dadaku.
Buru-buru aku mendorong tubuhnya, kutarik mantel yang berada di sampingku. Aku berdiri, mengambil tempat sejauh mungkin dari Sasuke. Aku menatapnya dengan tatapan tajam walau sebenarnya hatiku kebat-kebit menunggu apa yang akan dilakukannya jika aku menolak perintahnya. Namun nyaliku tidak cukup kuat. Bagaimanapun Sasuke lelaki normal, 'kan? Aku tidak mau mengambil resiko dia mengambil haknya di tempat terbuka seperti ini.
"Jangan mendekat! Balik badanmu! Jangan sekali-kali berani membalikkan badanmu lagi sebelum kuperintah!"
"Tch!"
Aku masih diam. Mantel di tanganku masih belum terpakai. Kemeja basah yang melekat di tubuhku juga belum kulepas. Aku masih ragu. Tempat ini memang terletak di tengah-tengah hutan. Jangankan manusia, hewan pun tak tampak berkeliaran di sini. Namun tetap saja aku masih tidak yakin untuk melepas bajuku begitu saja di tempat ini.
"Hn?" Kali ini kuterjemahkan menjadi, 'Sudah?'
"Errr, Sasuke. Apa kau yakin tidak akan ada yang melihatku berganti baju di sini?"
"Tch! Cepat! Atau aku yang menyelesaikan!"
Sasuke sialan! Ingin rasanya aku menjambak rambutnya dari belakang. Dengan tergesa-gesa aku melepaskan kemejaku, lalu segera memakai mantel. Kukancingkan mantel sampai ke kerahnya. Setelah itu kulepaskan celana panjangku. Aku lega dengan panjang mantel yang mencapai lututku.
Aku mengikuti Sasuke, menjemur kemeja dan celanaku yang basah di atas rumput. Aku menatap Sasuke dari belakang. Meski sudah melepas kemejanya, Sasuke tidak melepaskan celana panjangnya. Tiba-tiba aku membayangkan bagaimana jadinya jika Sasuke melepas juga celana panjangnya. Aku menggelengkan kepalaku. Astaga! Apa yang kupikirkan!
"Apa yang kaupikirkan?" Suara Sasuke mengejutkanku.
"Kenapa berbalik?! Aku belum menyuruhmu!"
Sasuke tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah melirik ke arah kemeja dan celanaku yang sedang dijemur di atas rumput. Dia lalu menatapku. Aku menjadi kesal ditatap seperti itu.
"Apa?!"
"Mana pakaian dalammu?"
Pakaian dalam. Tentu saja tidak kulepas! Tunggu! Pakaian dalam! Sasuke sialan!
Aku baru saja hendak memukulnya, tapi tawanya yang kencang menghentikan niatku. Tanpa aba-aba Sasuke menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dengan posisi punggungku menabrak dadanya. Dia lalu duduk dan membawaku jatuh duduk di pangkuannya.
Tubuhku kelu, bingung harus merespons seperti apa kelakuan Sasuke yang seperti ini. Kedua tangannya menggenggam tanganku dari belakang. Dagunya diletakkan di atas bahuku. Embusan napasnya saat berbisik di telingaku jelas-jelas membuat bulu kudukku meremang. "Maaf, aku hanya menggodamu."
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Suasana dan kedekatakan kami kali ini terasa begitu ... intim. Rasanya sangat nyaman berada dalam posisi seperti ini. Tak ada lagi rasa dingin yang kurasakan. Hanya ada kehangatan dari matahari yang bersinar sangat terang hari ini. Serta kehangatan dari dekapan seorang lelaki di belakangku. Lelaki itu ... suamiku.
"Sa-"
"Biarkan seperti ini dulu, Sakura." Sasuke memotong perkataanku. Dia semakin mengeratkan dekapannya yang anehnya tidak membuatku sesak dan risih melainkan membuatku merasakan saluran energi positif yang menghangatkan hatiku.
Aku membalasnya dengan balik menggenggam erat tangannya. Sasuke sudah mengangkat kepalanya dari atas bahuku, membuatkan kini menyenderkan kepalaku pada dadanya.
"Aku rindu saat-saat seperti ini, Sakura."
Rindu? Saat-saat seperti ini? Apa kami pernah duduk dengan posisi intim ini sebelumnya? Ino bilang hubunganku bagai jalan di tempat dengan Sasuke, apa sudah sejauh ini hubungan kami? Atau ada maksud lain?
"Sasuke, boleh aku berkata jujur padamu?"
Aku bisa merasakan tubuh yang mendekapku menegang, tapi sesaat kemudian kembali rileks. "Hn."
"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, tapi aku benar-benar tidak pernah mengingat bahwa aku telah menikah denganmu. Maksudku, semua yang ada di sini terlihat sama tapi terasa berbeda. Aku seperti berasal dari dunia lain. Aku mengenal kedua orang tuaku, Ino, dan banyak orang yang datang ke pesta ulang tahunku kemarin. Tapi aku merasa mereka bukan orang yang sama dengan yang selama ini aku kenal." Aku mengakhiri ceritaku dengan sebuah kalimat. "Katakan, apa yang sebenarnya terjadi padaku, Sasuke?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi kau-"
"Aku benar-benar tidak tahu. Aku selalu merasa kau tetaplah Sakura yang selama ini aku kenal. Orang yang sama meski banyak masa yang telah kulewati."
Aku merasa air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Rasa sesak memenuhi rongga dadaku. Meski mulai nyaman dengan keberadaan Sasuke di sampingku, aku tidak bisa menampik bahwa hati kecilku selalu merindukan rumahku. Rumah yang selama ini kuhuni bersama ayah, ibu, dan kakakku. Dunia yang selama ini kutinggali, bukan tempat ini. Tidak bisakah aku kembali ke dunia asalku?
"Kalau begitu, ceritakan tentang kita," kataku sepelan mungkin, mengaburkan suara serakku.
"Apa yang ingin kau tahu?"
"Bagaimana hubungan kita selama ini?" Aku kembali mengingat perkataan Ino mengenai hubunganku dengan Sasuke yang berjalan di tempat.
"Kau menyukaiku sejak kecil." Terjadi jeda sebentar. "Ya, dan akhirnya kita menikah."
Aku mendengus. Dasar sombong! "Kau sama sekali tidak pandai bercerita." Mau tak mau aku tersenyum kecil. Mungkin aku harus menerima dari sekarang kalau inilah hidup yang akan aku jalani untuk seterusnya.
"Lalu siapa itu Shion?"
Sasuke mengeluarkan suara seperti tertawa kecil. Suara tawanya aneh, seperti dipaksakan. "Shion ya?"
"Ya!"
"Memangnya kenapa kau ingin tahu tentang Shion?"
Oh jadi benar kata Ino! Shion itu mantan teman kencan Sasuke!
"Ya sudah kalau tidak mau cerita!" Lain di mulut, lain di hati. Sesungguhnya aku tidak rela kalau Sasuke tidak membantah asumsi yang terlanjur tertanam dalam hatiku mengenai hubungannya dengan Shion.
"Shion sama sepertiku."
"Apa maksudmu?" Aku merasakan amarah menggerogoti hatiku. Apa maksud Sasuke mengatakan kalau Shion sama sepertinya? Sama-sama mencintai begitu, huh?!
"Shion temanku."
Aku tidak percaya begitu saja. "Lalu apanya yang sama sepertimu?"
Sasuke tidak menjawab, dia malah tertawa lepas. Aku tidak tahu apa yang membuatnya tertawa. Yang kurasakan hanya dekapannya yang terasa semakin erat, kemudian Sasuke membalikkan tubuhku yang berada di pangkuannya. Dia mengecup pelan keningku.
"Aku senang kau cemburu padaku." Senyum yang hampir tak pernah ia tampakkan masih muncul bersarang di bibirnya. Dia menarik tanganku, meletakkannya di atas dadanya. "Hanya ada kau."
Benarkah?
.
.
Sudah tiga bulan aku berada di dunia yang terasa asing ini. Meski awalnya terasa sangat canggung dan menakutkan, perlahan-lahan aku bisa menyesuaikan diri. Kebersamaanku dengan Sasuke adalah pemicu utama kenyamananku di sini. Hubunganku dengannya pun berjalan dengan normal. Sasuke memang tidak melakukan hal romantis sepanjang waktu, tapi cukup dengan kehadiran dan dekapannya yang selalu menemani tidurku, membuatku merasa bahwa dia benar-benar mencintaiku.
Sasuke tidak pernah menyatakan perasaannya segamblang kalimat 'aku menyukaimu'. Namun apa yang telah dilakukannya untukku lebih dari cukup membuatku merasa dicintai. Kami tampak seperti pasangan suami istri yang normal. Meski Sasuke tidak pernah meminta haknya sebagai suami, aku sendiri yang akhirnya dengan sukarela memberikan kesucianku padanya. Sepenuhnya aku telah menyerah untuk kembali ke dunia asalku.
Aku mencintai Sasuke. Aku tidak bisa lagi menyangkal kalimat itu. Sepenuhnya aku merasa ingin mengabdi pada suamiku. Tak peduli di dunia mana pun.
Beberapa hari ini sikap Sasuke terasa agak aneh. Sasuke seperti cemas akan sesuatu. Berkali-kali dia memastikan keberadaanku di rumah, padahal baru beberapa jam dia tidak menjumpaiku. Seperti tadi pagi. Setelah sarapan, aku merasa kurang enak badan. Sasuke bilang dia ingin memeriksa istal sebentar. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi belakangan ini Susano sering meringkik ketakutan setiap malam. Ringkikkannya hanya akan berhenti jika Sasuke yang menengoknya. Maka aku hanya menganggukkan kepalaku saat Sasuke bilang ingin memeriksa istal.
Sikap Tenten juga agak aneh. Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian dalam waktu yang lama. Wajahnya tampak panik jika menemukanku lepas dari pengawasannya. Saat kutanya alasannya bersikap seperti itu, dia hanya mengatakan kalau itu memang tugasnya. Tapi aku merasa ada hal lain yang disembunyikannya, karena kejadian itu bukan di saat aku sedang pergi keluar dari kastil, melainkan selama aku berada di dalam kastil pun Tenten tak mengendurkan pengawasannya. Aku sempat mengadukan kegelisahan hatiku mengenai sikap Tenten yang berlebihan pada Sasuke, tapi Sasuke hanya mengatakan itu hal biasa. Sudah tugas pendamping seperti itu. Aku tidak puas dengan jawabannya, tapi aku bisa apa kalau Sasuke sendiri akhir-akhir bersikap sama seperti Tenten.
Tubuhku memang lemas, tapi entah kenapa pagi itu aku ingin duduk di atas rumput, tempat pertama kali aku memandang bintang dengan Sasuke. Tenten sedang sarapan di dapur, biasanya dia akan segera menyusulku ke kamar selesai sarapan. Tapi kali ini aku ingin keluar menghirup udara segar sebentar. Tak lama, janjiku pada diri sendiri. Tidak akan sampai membuat Tenten khawatir mencariku. Lagi pula tempat yang kutuju masih berada di dalam lingkungan kastil ini.
Kakiku melangkah menuju halaman belakang kastil. Aku melewati istal, tampak Sasuke yang sedang berbicara serius dengan ... Naruto? Kapan Naruto datang? Aku tidak melihatnya. Tadinya aku ingin menyapanya, tapi melihat sepertinya pembicaraan mereka sangat serius, ditambah lagi mereka sepertinya tidak menyadari keberadaanku, lebih baik aku melewati mereka tanpa menyapa.
Aku tiba di tepi danau. Hangat sinar matahari memberikan sedikit energi pada tubuhku yang belakangan ini terasa cepat lelah. Aku memandang langit. Matahari bersinar cukup terik meski ada awan-awan yang tampak melindungi sengatan sinarnya agar tidak terlalu terik sampai di Bumi. Aku jadi mengingat saat aku dan Sasuke memandang langit malam dari sini. Ada tiga bintang yang bersinar sangat terang yang Sasuke hubungkan dengan dongeng Rectorio, Dewi Bulan, dan Pangeran Malam. Dongeng klasik yang baru pertama kali kudengar dari Sasuke.
Aku memejamkan kedua mataku. Sepertinya akan turun hujan, karena sinar matahari tak sehangat tadi. Angin semilir meniup helai-helai anak rambut di dahiku. Suasana ini begitu membuatku mengantuk, gesekan dedaunan yang tertiup angin bagai lullaby pengantar tidur.
Sayup-sayup kudengar teriakan yang memanggil namaku. Aku membuka kedua mataku secara perlahan. Oh, tidak! Aku tertidur di sini. Sasuke dan Tenten pasti mencariku.
"Sakura!"
Benar saja. Sasuke berlari menuju ke arahku. "Apa yang kaulakukan di sini?!" Bentakannya membuatku sedikit terkejut. Kuakui aku salah pergi tanpa memberitahukan padanya atau pada Tenten. Tapi demi Tuhan! Aku pergi hanya ke halaman belakang kastil.
"Aku hanya tanpa sengaja tertidur di sini, Sasuke!" Aku balas membentaknya. Tapi demi melihat raut wajahnya yang cemas setengah mati membuatku merasa bersalah. "Maaf."
Sasuke tidak membalas kata maafku. Dia hanya menarikku ke dalam pelukannya. Aku balas memeluknya dengan erat.
"Aku hanya takut kehilanganmu lagi."
Aku ingin bertanya apa maksudnya, tapi Sasuke semakin mengeratkan pelukannya. Kuurungkan niatku, kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Saat ini aku hanya perlu meyakinkannya dengan balas memeluknya erat, menyatakan secara tersirat bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya.
.
.
'Kau tidak akan pernah meninggalkanku. Aku takut jika akulah yang harus meninggalkanmu.'
.
.
"Kau harus mengatakannya kepadaku, Naruto!"
Aku benar-benar frustrasi. Sudah tiga hari Sasuke tidak kunjung pulang. Tak ada satu pun kabar yang kudapat. Naruto bilang kalau Sasuke sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota. Tidak! Aku tidak percaya! Aku tahu itu hanyalah satu dari sekian dusta yang Naruto sampaikan kepadaku.
"Aku tidak tahu, Sakura. Aku hanya tahu Sasuke sedang pergi ke luar kota." Naruto melirik ke arah Hinata, lalu kembali kepadaku. "Ada bisnis penting yang harus dia kerjakan."
"Bohong!" desisku.
"Sakura, Naruto benar. Sasuke sedang-"
"Jangan ikut membohongiku, Hinata!"
Hinata diam. Dia melirik ke arah Naruto. Aku tahu ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Sesuatu menyangkut kepergian Sasuke selama tiga hari ini.
"Tolong aku, Hinata. Coba kaubayangkan jika kau berada di posisiku. Bagaimana jika kau mengalami hal yang sama denganku?" Aku terus-menerus memojokkan Hinata. Mungkin hati Naruto tidak akan tergerak, tapi Hinata adalah wanita. Aku rasa dia bisa mengerti posisiku saat ini. "Bagaimana perasaanmu jika Naruto, suamimu, hilang begitu saja tanpa kabar apa-apa?"
"Sakura, aku. Aku tahu kau khawatir. Tapi kau perlu tahu, Sasuke baik-baik saja. Dia hanya pergi ke luar kota."
Aku tertawa. Naruto dan Hinata memandang ngeri ke arahku. Aku tidak peduli. Mereka pun sama sekali tidak memedulikanku.
"Baik," kataku. "Kalian tidak peduli padaku."
Aku mengentikan perkataanku. Suara derasnya hujan di luar sama sekali tidak menyurutkan emosiku. Sudah tiga hari ini hujan turun dengan derasnya. Bahkan yang kudengar ada badai di utara yang menyebabkan arus lintas perdagangan lumpuh total. Mustahil jika Sasuke memilih waktu seperti ini untuk berpergian.
"Kalau begitu, kuharap kau akan merasakan hal yang sama denganku, Hi-"
"Cukup! Cukup! Hentikan perkataanmu, Sakura." Hinata berteriak ketakutan.
Wajah Naruto mengeras. Hinata hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia menatapku bergantian dengan Naruto.
"Katakanlah, Naruto," pinta Hinata. "Sakura benar, dia berhak tahu."
Naruto masih diam. Dia kelihatan dilema. Namun sorot keteguhan masih terpancar dari tatapan matanya. Hal yang membuat Hinata melemahkan suaranya, "Dia berhak tahu, Naruto. Ketidaktahuan Sakura hanya akan membuatnya semakin sedih."
Perkataan Hinata nyaris membuat tubuhku limbung jika saja tidak ada Tenten yang memegangi tubuhku. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang mereka ketahui sedangkan tidak aku ketahui? Sasuke adalah suamiku, mereka tidak berhak menutupi satu fakta pun tentang Sasuke.
Naruto akhirnya menatapku, sorot matanya tak terbaca ketika dia berkata, "Sasuke sangat mencintaimu, Sakura." Tatapan yang kini kuartikan sebagai tatapan kepasrahan. "Meski harus menentang takdir."
"Kenyataannya, hubungan mereka menentang takdir."
Perkataan itu...
"Rectorio?"
"Kau tahu?" Naruto terkejut.
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak. Tidak mungkin. Jangan katakan kalau dongeng yang diceritakan Sasuke padaku adalah hal yang nyata. Ini semua, tidak mungkin, 'kan?
"Tidak mungkin. Sasuke tidak mungkin..." Aku menatap Hinata. "Katakan, katakan kalau ini tidak mungkin, Hinata."
Hinata menggelengkan kepalanya dengan lemah, sorot matanya memancarkan kesedihan. Aku ganti menatap Naruto. Naruto hanya menatap iba ke arahku.
"Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin!"
"Sasuke memang Rectorio, Sakura," kata Naruto pelan. "Dia sangat mencintaimu."
"Sai menantangnya berduel tiga hari yang lalu. Sai sudah berhasil menemukanmu."
"Sai?"
"Pangeran Malam," kata Naruto. "Sama seperti kau, dia pun memiliki nama."
"Siapa kalian?" Aku serta-merta menjadi waspada. Jika Naruto dan Hinata mengetahui semua ini. Bukan hal mustahil jika mereka sebenarnya adalah musuh.
"Kami adalah Rectorio, sama seperti Sasuke," jawab Hinata.
"Kami makhluk abadi. Kami tidak akan mati. Karena tugas kami adalah merekam dan mencatat segala sesuatu yang pernah terjadi di dunia."
"Abadi?" Seketika pemahaman itu muncul. Memberiku sebuah harapan baru. "Kalau begitu, Sasuke juga abadi, 'kan? Dia tidak akan mati, 'kan?"
Hinata memandang iba ke arahku. Naruto pun melakukan hal yang sama. Aku tahu, aku tahu. Tatapan mata mereka sudah menjawab pertanyaanku. Tapi ...
"Kenapa?"
"Aku, Hinata, dan Tenten adalah Rectorio."
Aku melirik ke arah Tenten yang kini sedang menguatkanku. Tenten juga? Aku adalah satu-satunya makhluk di sini yang tidak tahu apa-apa?!
"Kami memang abadi. Tidak bisa mati. Karena membunuh kami sama dengan mati. Tidak ada yang bisa membunuh kami kecuali takdir. Tapi Sasuke berbeda. Dia dikutuk."
"Karena aku?" Aku seperti ingin tertawa. Kenapa? Kenapa harus seperti ini?
"Dia jatuh cinta padamu. Cinta kalian terlarang. Kau dikutuk menjadi manusia biasa. Sedangkan Sasuke dikutuk untuk jatuh cinta kepadamu sepanjang hidupnya. Dia akan terus mencarimu, ratusan kehidupan sudah dia jalani untuk terus bertemu denganmu dan reinkarnasi-reinkarnasimu selanjutnya juga berduel dengan Sai sampai akhir dunia."
"Sasuke tidak akan mati, 'kan? Sai tidak bisa membunuhnya, 'kan?"
Naruto kembali diam.
"Sasuke pasti kembali, 'kan? Katakan, Naruto! Katakan! Sasuke tidak pernah kalah, 'kan? Selama ini Sasuke selalu kembali, 'kan? Katakan padaku, Naruro!" Aku terus memberondong Naruto dengan pertanyaanku.
Naruto tetap diam. Aku tidak kehilangan akal, aku mengalihkan pandanganku pada Hinata. "Hinata, katakan padaku, Sasuke akan kembali, 'kan?"
Hinata tidak mengatakan jawaban apa pun. Hanya sebutir air mata yang jatuh menuruni wajahnya sebagai respons dari pertanyaanku. Aku menggelengkan kepalaku. Kemudian memandang Tenten di sebelahku dengan tatapan kalut.
"Tenten, kumohon! Katakan padaku! Kau pasti tahu. Sasuke selalu kembali, 'kan? Dia tidak akan meninggalkanku, 'kan?"
Tenten hanya menggenggam erat tanganku sebagai jawaban.
Rasanya kakiku sudah tidak kuat lagi menahan beban tubuhku. Meski tidak mendapatkan jawaban yang jelas, aku tahu. Kebisuan Naruto, tangisan Hinata, dan genggaman erat Tenten membawaku pada satu jawaban.
"Sakura, Sasuke..."
Tidak, tidak, jangan katakan apa pun yang ingin kaukatakan, Naruto. Aku...
"Sasuke tidak pernah me-"
"Cukup! Hentikan! Hentikan, Naruto!"
.
.
"Sasuke tidak pernah kembali, Sakura. Selama ini, Sai selalu berhasil mengalahkannya. Belum pernah sekali pun Sasuke kembali setelah berduel dengan Sai."
Aku berlari, terus berlari. Aku tidak memedulikan panggilan Naruto, tangisan Hinata, maupun kejaran Tenten. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin berlari. Lari dari kenyataan akan perkataan Naruto yang menamparku.
"Sasuke tidak pernah kembali. Sasuke tidak pernah kembali," aku seperti orang bodoh yang terus-menerus mengulang kalimat itu. Rinai hujan yang sudah membuatku basah kuyup tidak bisa lebih mendinginkan hatiku yang terlanjur mati.
"Bohong! Naruto pasti bohong! Sasuke pasti kembali. Si Sombong itu pasti kembali, 'kan?"
"Sasuke, apa permintaanmu jika kau berulang tahun?"
"Bersamamu."
"Hn?" Rasa-rasanya aku sudah mulai tertular virus perkataan iritnya.
"Aku ingin kau mengingatku lebih awal."
Aku sudah mengingatmu, Sasuke. Aku sudah ingat! Kumohon, kembalilah, Sasuke!
Aku terus berlari. Berlari, sampai akhirnya jatuh tersungkur. Aku masih menangis. Hujan tidak serta-merta meringankan volume-nya. Malah semakin menguat, seolah menjadi latar keadaanku saat ini.
Aku tidak tahu berapa lama aku menangis. Berapa lama aku terus menggumamkan permohonan agar Sasuke-ku kembali. Aku tidak tahu. Yang aku tahu sekarang, ada seseorang yang melindungi tubuhku dari basuhan sang hujan.
"Sasuke!"
Aku menggelengkan kepalaku, tertawa, menertawai kemalanganku. Sasuke tidak akan kembali. Sasuke tidak akan kembali. Sasuke, kumohon, kembalilah! Yang kuingat terakhir kali adalah suara Tenten yang menyerukan namaku.
"Sakura!"
.
.
Sudah seminggu berlalu, masih belum ada kabar mengenai keberadaan Sasuke. Naruto bilang, tidak ada seorang pun yang boleh dan mengetahui di mana tempat Sasuke dan Sai berduel. Itu terlarang. Yang bisa kita lakukan hanya terus menunggu dan berdoa.
Maka di sinilah aku, hanya duduk menunggu kabar dari Naruto atau Hinata. Tenten selalu mendampingiku. Tak pernah sekali pun Tenten membiarkanku sendiri berlama-lama. Mungkin kondisiku terlihat sangat menyedihkan. Aku sudah lagi peduli. Aku hanya ingin Sasuke kembali.
"Sakura, makanlah dulu. Sudah sejak pagi kau belum mengisi perutmu."
Aku hanya melirik sejenak ke arah Tenten yang membawa makan malamku. Aku melanjutkan kegiatanku selama Sasuke menghilang, duduk di sisi jendela, memandangi jalan masuk ke arah kastil, sembari terus menjaga nyala api harapan di dalam hatiku.
"Sakura, makanlah! Kau bisa sakit jika terus seperti ini." Tenten terlihat lelah menghadapiku. Tapi bagaimana aku bisa makan enak dan tidur nyenyak jika sampai detik ini aku masih tidak tahu bagaimana kabar Sasuke.
"Sasuke tidak akan suka jika dia pulang dan melihatmu seperti ini."
Aku mengalihkan pandanganku dari jendela. Kutatap Tenten dengan penuh rasa berterima kasih. "Kau percaya. Kau percaya kalau Sasuke akan kembali, 'kan?"
Tenten menangis. Kemudian dia tersenyum, mengangguk lemah, sambil menyorongkan makanan yang dibawanya. "Nah, ayo! Kau harus makan. Biar aku suapi. Uchiha-san akan menghukumku jika dia tahu aku tidak memberimu makan dengan baik."
Aku mengangguk lemah. Sedikit demi sedikit aku mulai menghabiskan makan malamku. Jika Tenten percaya, aku pun harus percaya bahwa Sasuke pasti akan kembali. Aku akan terus menunggu sampai saat itu tiba.
Saat malam tiba, aku selalu pergi ke danau belakang kastil. Harapanku terus berkobar dengan fakta bahwa masih ada tiga bintang yang bersinar sangat terang di langit. Asaku tidak akan padam. Selama bintang-bintang itu masih lengkap, Sasuke pasti kembali.
Sama seperti malam ini. Aku dengan sabar menanti di sini. Udara dingin menjelang malam sama sekali tidak menyurutkan niatku. Tenten selalu berada di sampingku, menemaniku menghitung bintang setiap malam. Malam ini langit sangat cerah. Aku bisa melihat bulan merangkak naik, mulai menggantikan tugas sang matahari. Aku menanti dengan sabar kemunculan bintang-bintang yang kutunggu.
Satu, aku menghitung dalam hati.
Dua, selang beberapa menit, muncul lagi harapanku.
Aku terus menunggu. Satu menit, dua menit, tiga puluh menit mungkin sudah berlalu, tapi kenapa belum ada lagi bintang yang muncul. Ini tidak biasanya. Semestinya bintang terakhir akan muncul tak lebih dari sepuluh menit sejak kemunculan bintang kedua.
Aku mulai gelisah. Aku meremas kedua tanganku. Sudah satu jam terlewati. Tak ada perubahan apa-apa. Jumlah bintang yang bersinar terang itu hanya dua. Tak bertambah.
Jika salah satu dari bintang itu menghilang, maka Rectorio kalah dalam berduel.
Aku melirik Tenten. Tenten menangis tanpa suara. Saat kembali memandang langit dan hanya menjumpai dua bintang, saat itulah aku tahu bahwa aku sudah kalah.
"Sasuke!"
Aku tidak kuat menahan rasa sakit di hatiku. Tubuhku tak mampu lagi menopang rasa yang menggerogoti hatiku. Aku memejamkan kedua mataku.
Tuhan, kumohon, izinkanlah aku mengingat Sasuke lebih cepat di kehidupan selanjutnya.
"Sasuke, apa permintaanmu jika kau berulang tahun?"
"Bersamamu."
"Hn?" Rasa-rasanya aku sudah mulai tertular virus perkataan iritnya.
"Aku ingin kau mengingatku lebih awal."
Aku berjanji akan mengingatmu lebih awal, Sasuke. Aku tidak ingin memedulikan apa-apa lagi. Sasuke sudah pergi. Sudah tak ada artinya aku hidup dalam dunia yang asing ini. Aku hanya ingin beristirahat. Sasuke...
.
.
.
.
Aku membuka kedua mataku. Setitik air mata jatuh menetes di sudut mataku. Aku melihat sekelilingku. Tunggu, di mana ini?
Aku langsung berdiri. Aku mengamati sekelilingnya. Kamar ini. Aku menatap tubuhku. Piama Hello Kitty-ku. Ini ... ini kamarku?!
Aku menyambar kalender meja di atas meja belajar. Tanggal ini? Tidak mungkin! Sasuke...
Aku bergegas keluar dari kamarku. Aku tidak memedulikan tumpukan kado di kaki ranjangku. Aku menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Suara seseorang yang telah lama kukenal terdengar dari ruang tamu.
"Sasori-nii!" Aku memanggil saat masih berada di anak tangga terakhir.
Sasori terlihat sedang mengobrol dengan seseorang, aku belum melihat siapa tamunya. "Oh, hei, Sakura."
Saat itulah aku melihat siapa sosok yang berada di ruang tamu, menemani kakakku. Aku memandangnya dengan tatapan penuh rindu. Mata hitam itu. Seringai sombong itu! Aku tidak lagi memedulikan perkataan kakakku.
"Ini ada Sasuke, dia adik Itachi, teman baikku. Dia baru pindah ke sini. Itachi bilang Sasuke ingin meminjam catatan kuliahmu. Kau tahu, Sasuke itu akan satu jurusan denganmu di Universitas Konoha."
Aku berlari dari anak tangga terakhir, mencapai tempat Sasuke, dan langsung memeluknya dengan erat. Tidak peduli pada teriakan kakakku yang terkejut melihatku seperti ini.
"Aku mengingatmu, Sasuke," bisikku lirih di telinganya.
Kurasakan tangan Sasuke balas memelukku. "Arigatou, Sakura."
.
.
Selesai
An: halo! Pertama-tama terima kasih banyak sudah membaca sampai di sini. Kedua, maafkan saya yang lagi-lagi tidak bisa menulis dan update secepat author-author lain. Maaf... Ketiga, saya harus berterima kasih banget sama kalian semua yang sudah repot-repot membaca, mereview, bahkan memfavoritkan, dan mengalert fic ini. Maaf kalau saya belum bisa membalas satu per satu review dari kalian. Tapi review kalian benar-benar penyemangat buat saya. Keempat, terima kasih banyak juga untuk kalian semua yang menominasikan bahkan memvote sampai fic ini mendapat penghargaan di IFA 2014 untuk MC Fantasy. Makasih banyak! *kekepin satu-satu*
Salam,
Ay