[Chaptered FanFic] –L.i.m.i.t

.

黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi

L.i.m.i.t © Alenta93

.

Length : 4300 words + 195 words [for omake]

Pairing : AkashiXKuroko

Genre[s] : hurt/comfort, friendship, family

BGM : One Ok Rock – Smiling Down

Warning[s] : AU!, shonen-ai, 4k+ for this chapter, beberapa keterangan [omake] yang diselipkan diantara paragraf

Summary :

Akashi Seijuurou tak pernah menyangka jika bertemu Kuroko Tetsuya akan membuatnya mengubah filosofinya tentang hidup. Begitupun sebaliknya. Kuroko Tetsuya tak pernah mengira jika bertemu dengan Akashi Seijuurou akan membuatnya menemukan sebuah mimpi.

.

Comments :

Yep, halooo minna *u*/ adakah yang melihat sedikit perubahan dari FanFic ini? Yep, keterangan FanFic di atas yang semula 'threeshot' sekarang ganti jadi 'chaptered FanFic' .. to iu to, saya berniat menjadikannya MultiChapter.. hhehe *PLAKK* err mungkin bukan chapter panjang juga, jadi mungkin lebih ke mini series rasanya ya?

Alasannya adalah karena ternyata FanFic ini nggak cukup kalo' harus kupadatkan jadi threeshot.. salahkan ide" pendukung yang banyak bermunculan *PLAKK* akhirnya aku memutuskan untuk menjadikannya mini series agar seimbang antara cerita kehidupan Seijuurou n Tetsuya disini..

I hope you don't mind n could you please bear with it, minna? Yoroshiku ne~ *bows*

Hai, chapter two is up, please read n enjoy :D

.

.

.

.

Apa pendapatmu tentang hidup? Apa kau akan hidup dengan membiarkannya berlalu seiring waktu yang berjalan? Ataukah kau menginginkan sesuatu dan kau berusaha untuk meraihnya? Berusaha untuk menjadikannya nyata?

Setiap manusia yang hidup memiliki cara mereka sendiri-sendiri bagaimana mereka menjalani kehidupan.

Dan― kau.. apa kau akhirnya menemukan apa arti hidupmu? Karena hidup tidaklah hanya sekedar untuk menyambut kematian.

.

.

Akashi Seijuurou tak pernah menyangka jika bertemu Kuroko Tetsuya akan membuatnya mengubah filosofinya tentang hidup. Begitupun sebaliknya. Kuroko Tetsuya tak pernah mengira jika bertemu dengan Akashi Seijuurou akan membuatnya menemukan sebuah mimpi.

.

.

L.i.m.i.t

.

chapter two

PHILOSOPHY: You Live a Life is not Only to Waiting for Your Death. It's about: Makes a Lot of Memories that You Won't Ever Forget

.

.

.

Hujan.

Sore itu, hujan yang menjadi ciri khas di awal datangnya musim panas turun. Tetsuya tengah mengenakan mantel―bisa disebut jas hujan―di genkan* rumahnya. "Nigou, aku akan pergi ke perpustakaan sebentar. Mengembalikan buku. Kau jaga rumah, ya? Hujannya cukup lebat." Ujar Tetsuya seraya beberapa kali melirik Nigou sementara tangannya masih sibuk dengan mantelnya. "Hai, itte kimasu.**" Selesai dengan kegiatannya, Tetsuya pamit seraya meraih payung lalu menghilang di balik pintu.

(*genkan (entranceway): space kecil setelah pintu masuk rumah, biasa digunakan sebagai tempat melepas sepatu―yang kemudian diganti dengan surippa (slippers, semacam sandal rumah), melepas mantel serta tempat menyimpan payung.)

(**itte kimasu: dapat diartikan semacam "Aku berangkat" atau "Aku pergi dulu". Biasa diucapkan oleh orang yang meninggalkan rumah. Namun dari kalimatnya sendiri, artinya adalah "(Aku) pergi untuk kembali".)

Menerobos hujan, Tetsuya melangkah lebar menuju perpustakaan, berniat mengembalikan buku yang dipinjamnya beberapa hari yang lalu. Suara kecipakan sepatu boots yang beradu dengan aspal jalanan yang basah dengan beberapa genangan air membaur dengan suara rintik hujan yang turun.

Sesampainya di perpustakaan, usai menanggalkan mantel dan menyimpan payung di sudut lobi, Tetsuya beralih masuk. Manik aqua marine yang semula cerah itu berubah sendu seperti langit kelabu sore itu kala Tetsuya menangkap sebuah novel misteri di dalam tas selempangnya. Novel yang dipinjamnya dari Seijuurou―hari Sabtu lalu.

Selesai dengan urusannya, tanpa pikir panjang usai mengenakan kembali mantel dan meraih payungnya, Tetsuya segera beralih ke taman di sudut kota. Beberapa hal kembali mengingatkannya pada sosok Akashi Seijuurou―

Hari Senin lalu, Tetsuya sudah sengaja mengajak Nigou pergi ke taman tanpa mengganti seragam sekolah yang masih dikenakannya. Entah mengapa, ia ingin segera bertemu dengan Seijuurou. Ia ingin segera melihat bahwa pemuda itu baik-baik saja. Ya, pertemuan terakhir mereka di hari Sabtu diakhiri dengan Daiki yang membopong sosok mungil Seijuurou yang nyaris pingsan itu.

Tetsuya ingin bertemu Seijuurou. Tetsuya ingin menanyakan ratusan bahkan ribuan hal yang tersimpan dengan tidak nyaman dalam otaknya. Ia ingin segera menumpahkan luapan pertanyaan-pertanyaan itu.

Namun, tak ada hal lain yang dapat Tetsuya lakukan selain datang ke taman dan menunggu. Mereka tak bertukar apapun, bahkan sekedar alamat e-mail. Tetsuya juga tak tahu dimana Seijuurou tinggal, pun tak tahu dimana pemuda itu bersekolah. Tetsuya baru sadar bahwa―

Ia tidak tahu apa-apa.

Mereka dekat, namun tidak dekat. Mereka saling mengenal, namun juga tidak mengenal baik.

Dan hari Senin itu, hingga senja kembali datang dan membiaskan sinar hangatnya menyapa seluruh penjuru taman, Tetsuya harus puas hanya dengan perasaan kecewa yang terselip diantara rasa cemasnya yang kian bertambah lantaran Seijuurou tidak datang hari itu.

Seperti Déjà vu, pemuda baby blue itu kembali teringat saat awal pertemuan mereka. Ia juga pernah menunggu dengan perasaan cemas berlebih pada pemuda yang bahkan belum―atau tidak―dikenalnya. Beberapa bulan yang lalu juga sama. Waktu itu, Seijuurou tak datang saat Tetsuya sengaja datang, menunggunya, berharap melihat pemuda scarlet itu baik-baik saja.

―hingga langkahnya kini terhenti di dekat bangku putih―tempat ia dan Seijuurou biasa menghabiskan waktu bersama.

Bangku itu basah di tengah guyuran hujan.

Tetsuya merasa bahunya lemas, payung yang menaunginya dari hujan nyaris lepas dari genggaman tangannya. Ia merutuki dirinya yang berharap Seijuurou duduk menunggunya di bangku itu. Bodoh. Memutuskan untuk berbalik, Tetsuya melangkah menuju pintu keluar.

Menghela nafas, Tetsuya kemudian beralih menuju basutei (bus stop/halte) kosong yang berjarak beberapa meter dari pintu keluar taman. Ia menutup payung dan menyandarkannya di sudut kursi yang bersebelahan dengan dinding sebelum beralih melepas mantelnya.

Tetsuya, apa yang kau pikirkan? Kau berharap Akashi-kun duduk disana, sibuk dengan bacaannya dan menunggumu? Oh mungkin itu akan terjadi kalau saja hari ini tidak turun hujan. Ya, mungkin.

Sore itu, masih dengan suara rintik hujan yang turun, Kuroko Tetsuya terduduk di basutei seorang diri, sibuk dengan pikirannya hingga berulang kali ia tak menghiraukan bus yang datang dan berhenti dengan pintu otomatisnya yang terbuka selama beberapa menit―untuk menaikkan dan menurunkan penumpang―sebelum kembali pergi. Bahkan, Tetsuya tak menyadari saat sebuah mobil hitam melintas perlahan di depannya dan membunyikan klakson dua kali secara berkala.

.

.

Daiki tak mengira manik dark bluenya menemukan sosok mungil Tetsuya di basutei dekat taman. Sedang apa bocah itu berdiam diri di tengah hujan seperti ini? Batinnya. Usai membunyikan klakson dua kali yang tak diindahkan, Daiki meminggirkan mobilnya sebelum membuka payung dan turun dari mobil.

"Hora yo. Naze koitsu ga koko ni irunda? (Hey lihatlah. Kenapa bocah ini ada disini?)" Sapanya yang membuat sepasang manik aqua marine itu meliriknya. "Yo, Tetsu." Senyumnya seraya mengangkat sebelah tangan.

"Aomine―san?"

"Pfft~" Daiki menahan tawa ketika pandangannya menangkap sosok di depannya ini mendongakkan kepala dengan manik cerahnya yang melebar menatapnya. "Oya, nanda yo sonna kao? (Oh my, apa-apaan dengan wajahmu itu?)" Dengusnya diantara tawanya. "Sedang apa kau disini? Ah ngomong-ngomong, Tetsu. Jangan memanggilku 'Aomine-san', aku belum setua itu. Kau panggil aku 'Daiki' saja, seperti Sei biasa memanggilku."

Seolah tak mendengar dua kalimat terakhir pemuda bersurai navy itu, Tetsuya malah menanyakan hal lain yang cukup membuat Daiki menghentikan tawanya. "Berapa usia Aomine-san?"

"U-untuk apa bertanya usia?!" Sambar Daiki kesal. Ya, ia tak pernah suka ditanya masalah usia! Apalagi oleh― bocah. Namun akhirnya ia menjawab juga. "Dua puluh tujuh― Memangnya kenapa?!" Tukasnya sembari membuang muka.

"Hmm? Sebenarnya panggilan itu cocok untukmu yang nyaris berusia tiga puluh," Lirih Tetsuya yang sukses memunculkan tiga siku-siku di kepala Daiki. "Tapi baiklah, bagaimana dengan 'Aomine-kun'?" Tanya Tetsuya polos

Daiki tercengang dibuatnya. Rasa kesal yang semula hinggap itu lenyap seketika. Bagaimana bisa bocah ini terlihat menyebalkan dan polos dalam waktu bersamaan?! Kuso gakki* yang mirip dengan Sei, eh? Ceh! Daiki kembali mendengus, merasa wajar karena yang berada di depannya ini memang masihlah bocah berusia lima belas tahun―yang sangat jauh lebih muda darinya.

(*kuso gakki: bocah sialan. Semacam umpatan yang biasa ditujukan pada bocah/anak kecil yang―sedikit banyak―menyebalkan. XD)

Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, Daiki mengarahkan manik dark bluenya beradu dengan manik aqua marine Tetsuya. "Na, Tetsu. Sudah saatnya pulang. Apa kau keberatan kalau aku mengantarmu pulang?"

"Eh?"

.

.

Tanpa sadar, Tetsuya sudah duduk manis di jok depan mobil, di samping bangku kemudi. Manik aqua marinenya mengekor Daiki yang tengah membuka bagasi seiring dengan kepalanya menoleh ke belakang. Saat mengalihkan pandangan kembali ke depan, sudut mata Tetsuya menangkap sebuah mantel―coat―berwarna merah maroon yang terlipat rapi di jok belakang.

"Aka―shi-kun." Lirihnya saat mendapati kosong di jok panjang itu selain mantel yang ditemukannya.

"Yep, maaf, permisi sebentar."

Lagi-lagi Tetsuya tak sadar sejak kapan Daiki telah mengisi bangku kosong di sebelahnya. Pemuda navy itu kini tengah mengulurkan tangan kiri ke arahnya seraya mencondongkan sedikit tubuh tingginya guna mengambil sesuatu dari laci di dashboard mobil. Manik aqua marine Tetsuya hanya memperhatikan pergerakan pemuda itu sebelum ia menerima sesuatu.

"Pakai itu untuk mengeringkan rambutmu, lalu―"

Ya, handuk. Tetsuya menatap handuk berukuran sedang berwarna kuning gading yang teronggok di pangkuannya sebelum melirik Daiki yang sedikit memundurkan bangkunya sebelum meraih sesuatu di jok belakang.

"―pakai ini. Kau kedinginan, tubuhmu gemetar." Daiki menjelaskan seraya mengangsurkan sesuatu itu pada Tetsuya. Ya, mantel hangat berwarna merah maroon yang Tetsuya lihat mengisi jok belakang sebelumnya kini di angsurkan di hadapannya. "Ini milik Sei, kurasa cukup untukmu karena sepertinya ukuran badan kalian sama."

"Terima kasih." Ujar Tetsuya singkat, menerima uluran mantel itu.

Setengah perjalanan diisi dengan keheningan usai Daiki bertanya―"Tetsu, dimana alamat rumahmu?" dan Tetsuya yang memberikan arahan.

"Anoo, Aomine-kun, Akashi-kun―"

"Oh? Dia sedang tidak bersamaku." Senyum Daiki usai memotong kalimat Tetsuya.

Dari sudut mata, Daiki menangkap Tetsuya menganggukkan kepalanya. "Apa― apa Akashi-kun baik-baik saja?"

"Hmm? Dia baik. Hanya saja karena hari ini turun hujan, jadi kami tidak pergi ke taman." Jawab Daiki,―

Sebuah jawaban yang sangat logis. Oh, haruskah Daiki bersyukur hari itu hujan tengah turun dan mengguyur seluruh kota?

―"Ah, terima kasih sudah mengkhawatirkan Sei, Tetsu." Imbuhnya tanpa mengurangi fokusnya pada jalanan basah di depan.

Tetsuya kembali menganggukkan kepala menjawab ucapan Daiki. Mengisi keheningan, Tetsuya kembali angkat bicara. Seolah tak lagi sanggup menekan rasa penasarannya, ia pun bertanya―

"Sebenarnya― Akashi-kun kenapa?"

―bersamaan dengan traffic light yang berubah merah. Usai menghentikan laju mobilnya, Daiki menoleh cepat dan ia mendapatkan tatapan manik aqua marine yang penuh dengan sirat kekhawatiran. Ia mengerutkan dahi samar.

Apa ia harus menjelaskannya? Daiki tengah menimbang-nimbang sesuatu sebelum terkekeh kecil, ia sadar ia tak punya hak untuk itu. Ia kemudian mengulurkan sebelah tangannya, mengacak surai baby blue yang masih setengah basah itu sejenak. Manik gelapnya beradu dengan sepasang manik sewarna langit cerah itu sesaat sebelum ia kembali menarik tangannya, memindahnya meraih porsneleng dan kakinya yang perlahan menginjak gas, kembali melajukan mobilnya menyusuri jalanan yang terlihat sedikit lengang sore itu.

"Tidakkah lebih baik kau tanyakan sendiri itu pada Sei, Tetsu?"

Terdiam sejenak sebelum sebuah anggukan Tetsuya berikan. Ya, sebaiknya ia menanyakan sendiri saat bertemu dengan Seijuurou lagi nanti. Namun, masih banyak hal yang ingin Tetsuya gali. "Err~ Aomine-kun... Aku― ingin tanya satu hal."

"Ya?" Manik dark blue itu melirik bocah di sampingnya.

Masih tak sanggup menekan rasa penasaranya, Tetsuya kembali menyuarakan pertanyaannya―yang menurutnya mungkin dan bisa dijawab oleh sosok pemuda di sebelahnya, Aomine Daiki.

"Boleh aku tahu hubunganmu dengan Akashi-kun?"

.

x55x

.

Aomine Daiki. Adalah sosok pemuda tinggi berkulit tan dengan surai navy yang Tetsuya tahu selalu bersama dengan Seijuurou.

Setelah beberapa kali bertemu di taman sudut kota dan menikmati senja bersama, juga setelah Daiki menemukan dan mengantarnya pulang di hari hujan, Tetsuya tahu bahwa Aomine-kun―begitu akhirnya Tetsuya memutuskan untuk memanggilnya―tinggal berdua bersama Seijuurou dengan menghuni rumah minimalis dua lantai di sebuah kompleks perumahan mewah.

Tetsuya akhirnya juga tahu apa hubungan keduanya. Bisa dibilang, Daiki―yang terpaut sekitar dua belas tahun lebih tua dari Seijuurou dan Tetsuya itu―merupakan sosok kakak, pengasuh, juga pelayan bagi Seijuurou. Mengerti segala hal tentang Seijuurou, apa yang dibutuhkannya dan memahami bagaimana pola pikir serta kebiasaan remaja bersurai scarlet itu.

Ya, menurut cerita yang Tetsuya dengar, Seijuurou dan Daiki sudah saling mengenal sejak Seijuurou kecil, dan tinggal bersama sejak Daiki berusia dua puluh satu tahun. Kurang lebih, sudah enam tahun ini Daiki yang mengasuh Seijuurou―seorang diri.

Semua bermula dari kecelakaan yang menimpa keluarga Akashi. Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua Seijuurou―juga Ayah Daiki yang merupakan kepala butler keluarga Akashi―nyaris sepuluh tahun yang lalu, saat Seijuurou masih berusia lima tahun. Setelah kecelakaan itu, selama empat tahun berikutnya, mereka tinggal di kediaman relasi keluarga Aomine yang mengajukan diri untuk merawat Daiki dan Seijuurou kecil. Mengenai perusahaan besar milik keluarga Akashi telah diurus oleh asisten terpercaya Ayah Seijuurou kala itu.

Kemudian, ketika Daiki telah menginjak usia dua puluh tahun, ia diminta untuk mengambil alih sementara kepemimpinan perusahaan besar milik keluarga Akashi hingga Seijuurou cukup umur untuk meneruskan perjuangan Ayahnya nanti. Menerima pekerjaan itu―setelah mempelajari segala serba-serbinya, Daiki kemudian memutuskan untuk hidup sendiri―tak ingin banyak merepotkan orang lain, mengingat usianya yang sudah beranjak dewasa. Ia pun membawa Seijuurou yang saat itu masih berusia sembilan tahun untuk―keluar dari rumah relasi keluarga Aomine dan―tinggal bersamanya.

.

x55x

.

Menghiraukan Nigou yang berlari-lari kecil kesana-kemari, hari Sabtu itu Tetsuya hanya duduk termangu di bangku tempat ia dan Seijuurou biasa duduk menghabiskan sore. Angin hangat musim panas menyapa setiap jengkal kulit putihnya yang tak terbalut vest putih yang dikenakannya sore itu.

Sebuah tepukan mendarat pelan di bahu Tetsuya saat jarum jam telah melewati pukul empat bersamaan dengan sebuah sapaan―

"Halo, Tetsuya."

―dari sosok yang Tetsuya tunggu nyaris satu minggu belakangan ini. Sedikit terlonjak usai mendengar suara itu, Tetsuya menoleh cepat dan mengekor sosok Seijuurou yang melangkah melewati depannya sebelum mengambil duduk tepat di sebelah―kanan―nya. "Akashi-kun?! Kau baik-baik saja?"

Seijuurou yang tengah berbalas sapa dengan Nigou pun beralih mengarahkan manik crimsonnya menatap pemuda baby blue di sebelahnya. Mengulas senyum tipis, Seijuurou mengangkat bahu seraya menelengkan kepalanya. "Seperti yang kau lihat, aku sehat. Ne, Nigou?" Ujarnya yang dibalas dengan lolongan kecil sebagai persetujuan.

Masih cemas memandang Seijuurou, tanpa sadar Tetsuya menahan nafas selama beberapa saat sementara tangannya mencengkeram celana pendeknya di atas pangkuan. Beralih membuka tas selempangnya, Tetsuya kemudian mengangsurkan sebuah notes yang terbuka di halaman kosong dengan sebuah pen ke hadapan Seijuurou.

Seijuurou mengernyit. "Tetsu―"

"Tolong tulis nomor ponsel atau alamat e-mail Akashi-kun." Titah Tetsuya tanpa memandang pemuda scarlet di sampingnya yang menatapnya bingung.

Eh? Menyadari tangan Tetsuya yang mengulurkan notes itu sedikit bergetar, Seijuurou tahu ia sudah membuat pemuda manis ini begitu mencemaskannya. Menarik nafas dan menghelanya pelan, Seijuurou menjawab lirih. "Aku tidak memiliki ponsel, Tetsuya." Senyumnya samar.

"Setidaknya beri tahu aku dimana rumah sakit atau tempat yang bisa segera menanganimu―" Masih menunduk, Tetsuya terlihat menggelengkan kepala. "A-aku― aku takut terjadi sesuatu lagi seperti kemarin. Aku― ingin bisa melakukan sesuatu untuk membantu Akashi-kun."

Menangkup tangan Tetsuya yang gemetar sejenak, Seijuurou kemudian mengambil alih notes beserta pen itu. Selama beberapa saat, ia sibuk menggoreskan pennya, menuliskan alamat sebuah rumah sakit sebelum kembali mengangsurkannya pada Tetsuya. "Aku juga menulis nama dokter yang biasa menanganiku. Dan nomor ponsel Daiki." Imbuhnya.

Pemuda baby blue itu menyambut kembali notesnya dalam diam sebelum kembali menyelami keheningan.

"Cukup hubungi Daiki kalau terjadi lagi seperti kemarin, Tetsuya. Itu akan sangat membantu. Selebihnya, Daiki akan segera mengatasi semuanya." Seijuurou mengulas senyum, mencoba menenangkan Tetsuya.

Tetsuya hanya mengangguk kaku tanpa melontarkan sepatah kata. Hening. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri hingga Tetsuya mengarahkan manik cerahnya menatap Seijuurou yang terdiam seraya mengusap bulu halus Nigou yang bergelung di pangkuannya―seperti biasa.

"Akashi-kun?" Panggilan Tetsuya membuat manik crimson itu akhirnya beradu dengan sepasang aqua marinenya. "Kalau aku boleh tahu, sebenarnya kau sa―" Pemuda mungil itu kembali mengatupkan bibirnya sebelum melanjutkan, "Sebenarnya Akashi-kun, kau― kenapa?" Aqua marine milik Tetsuya menatap lurus Seijuurou. Rasa cemas, ingin tahu, tidak tega dan sebagainya terpancar jelas dari kepingan sewarna langit musim panas itu.

Pandangan Seijuurou meneduh. Menangkap tatapan Tetsuya yang menyiratkan semua ekspresinya nyaris membuat Seijuurou tertawa lantaran Tetsuya adalah pemuda dengan ekspresi minim. Namun ia menahannya dan menyisakan sebuah senyuman manis. "Kelainan jantung― sejak aku kecil." Tuturnya.

Manik aqua marine Tetsuya melebar begitu mendengar jawaban Seijuurou seiring dengan mulutnya yang terbuka. Alih-alih melontarkan sepatah kata untuk menanggapi, Tetsuya malah tanpa sadar sudah menahan nafasnya entah sejak kapan. Separah itu "―kah?"

"Eh?" Seijuurou tak menangkap apa yang dikatakan Tetsuya, namun rasanya ia tahu. "Bukan masalah, Tetsuya. Setidaknya aku masih bisa hidup selama lima belas tahun ini."

"A―" Tetsuya membuka mulutnya namun mengatupkannya kembali. Ia tidak tahu mana yang harus ia katakan lebih dulu. Semua hal yang ada dalam pikirannya tersebar secara acak. Ia hanya berhasil mengerjapkan matanya, gusar.

Belum sempat Tetsuya menanggapi, Seijuurou kembali angkat bicara. "Tetsuya," Panggilnya lirih, manik crimsonnya memandang jauh ke arah Nigou di pangkuannya. "Apa kau tidak akan datang lagi kemari?"

"Eh?" Tetsuya sontak menatap Seijuurou yang duduk di sebelahnya. Sungguh, Tetsuya bingung dengan maksud pertanyaan pemuda scarlet itu.

Seijuurou tersenyum getir. "Semua orang begitu. Setelah mengetahuinya, mereka akan pergi." Jeda. "Huh? Tentunya kau juga tak ingin berteman dengan orang yang penyakitan sepertiku."

"Apa―?! Kenapa Aka―"

"Aku tak tahu kenapa Daiki masih bersamaku. Apa tidak merepotkan terus-terusan mengurusiku? Itu yang selalu kupertanyakan selama ini. Aku hanya berpikir mereka tetap tinggal denganku karena mereka simpati pada―"

"Kau tidak berhak menuduh Aomine-kun seperti itu, Akashi-kun!"

Seijuurou terkejut saat Tetsuya menaikkan volume suaranya. Manik aqua marine itu memandangnya lurus dengan tatapan tajam saat Seijuurou menolehkan kepalanya. Samar, ia mengerutkan dahinya.

Tetsuya teringat bagaimana Daiki memperlakukannya ketika pemuda berkulit tan itu menemukannya di tengah hujan―memberikannya handuk, meminjaminya mantel milik Seijuurou dan mengantarnya pulang. Tetsuya yakin, Daiki sangatlah menyayangi Seijuurou. Dan perkataan Seijuurou cukup membuatnya sedikit tersinggung.

"Aomine-kun pasti memiliki alasan sendiri kenapa Aomine-kun terus bersama Akashi-kun. Seharusnya Akashi-kun berterima kasih, bukan menuduhnya seperti itu." Tetsuya mengatakannya dengan nada tegas dan memberi sedikit jeda di setiap kalimatnya.

Seijuurou menarik pandangannya, melemparnya jauh menatap rumput di sekitar kakinya berpijak.

"Woof!" Nigou menyalak seraya menarik tubuh mungilnya dari pangkuan Seijuurou. Manik biru cerahnya bergantian menatap Tetsuya dan Seijuurou sebelum kembali melolong.

"Dan apa yang Akashi-kun katakan tadi? Simpati, huh?" Tetsuya mendengus. "Sebagai manusia memang kita tidak bisa tak menghiraukan perasaan itu, tapi Akashi-kun perlu tahu," Pandangan manik aqua marine itu meneduh. "Tidak peduli yang orang lain pernah lakukan padamu, aku akan tetap datang kemari―di setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu―seperti biasanya. Apa Akashi-kun mengartikan itu sebagai bentuk simpati dariku?" Tetsuya menarik-hembuskan nafas perlahan sebelum melanjutkan lirih. "Aku hanya ingin berteman dengan Akashi-kun."

Setelah melirik Tetsuya dari sudut mata selama beberapa saat, Seijuurou kemudian membuang muka. Ia menggigit bibirnya.

"Oi oi, ada apa disini? Aku mendengar namaku disebut-sebut." Daiki. Suara berat pemuda tinggi itu mengiringi langkahnya menghampiri.

"Woof! Woof!" Nigou kembali menyalak sebelum melompat ke dalam dekapan Daiki.

"Ada apa, Nigou? Kenapa Tetsu sampai berteriak seperti itu?" Manik dark blue milik Daiki bergantian menatap dua bocah yang duduk berdampingan di depannya.

Alih-alih menjawab, Tetsuya menundukkan sedikit kepalanya―"Gomennasai.* (I beg your pardon.)"―sebelum mengalihkan manik cerahnya menatap arah yang berlawanan.

Daiki kemudian beralih menatap Seijuurou yang masih membuang muka dengan tangannya yang terkepal kuat. "Sei?" Ia kemudian mendapati bocah scarlet itu menutup matanya selama beberapa saat sebelum kepalan tangan itu perlahan mengendur―

"Aku terbawa emosi, warukatta** (my bad)." Ucap Seijuurou sebelum manik crimson itu melirik pemuda baby blue di sampingnya. "Sumanai,*** Tetsuya. (Sorry, Tetsuya.)"

(*Gomennasai, **Warukatta, ***Sumanai: kalau di artikan benernya sama-sama "Maafkan aku" atau "Aku minta maaf", tapi disini sengaja kuartikan dalam Eigo biar kelihatan bedanya, karena dalam nihongo emang banyak ucapan 'maaf' dari yang formal sampai non-formal XD)

Tak dapat menahan kedua sudut bibirnya untuk mengukir sebuah senyuman, Daiki beralih berjongkok di depan mereka. "Oi, kurasa aku perlu mengingatkan pada kalian. Setiap manusia punya tujuan hidup masing-masing. Mungkin rasa simpati yang awalnya mendominasiku untuk tetap bersama Sei. Tapi lama-kelamaan, rasa itu digantikan dengan rasa yang lain."

Manik dark blue Daiki menatap Tetsuya dan Seijuurou bergantian. "Seperti sekarang, aku merasa bertanggung jawab pada Sei karena aku jauh lebih tua darinya, juga karena sudah bertahun-tahun lamanya kami hidup bersama. Dan itu merupakan tujuan hidupku saat ini. Merawat dan membesarkanmu, menggantikan mendiang Tuan Besar dan Nyonya Besar."

Sepasang manik crimson itu melebar, menatap pemuda yang berjongkok di depannya seiring dengan Seijuurou yang memutar kepalanya. Tersenyum, Daiki mengulurkan sebelah tangan mengacak surai scarlet milik Seijuurou.

"Hontou ni gomen~ (I'm really sorry~)"

.

.

Sore itu―yang merupakan pertemuan mereka setelah satu minggu lamanya―berlalu begitu saja dengan berbagai perasaan yang bergejolak dalam hati masing-masing. Rasa ingin tahu namun tidak tega. Rasa kesal juga khawatir. Rasa kecewa dan takut dikecewakan. Perasaan ingin mempercayai namun takut untuk percaya.

Dan pertemuan itu harus berakhir setelah mereka menikmati senja bersama ketika Seijuurou mengangsurkan satu novel yang dijanjikannya di pertemuan mereka sebelumnya―satu minggu yang lalu. "Untuk novel yang sebelumnya, maaf tidak bisa membahasnya hari ini, Tetsuya."

Tetsuya menggeleng usai menerima uluran novel dari Seijuurou. "Tidak masalah, Akashi-kun. Kita masih bisa membahasnya lusa." Senyumnya.

"Baik, aku pulang dulu, Tetsuya. Selamat membaca." Seijuurou pun berbalik usai menepuk sisi bahu pemuda baby blue itu, ia kemudian melambaikan sebelah tangannya.

"Nah Tetsu, saatnya kami pulang. Kau juga sebaiknya segera pulang, oke? Sampai jumpa!"

"Sampai bertemu lagi, Akashi-kun, Aomine-kun." Ucap Tetsuya yang dijawab dengan anggukan Daiki. Pemuda tinggi itu pun segera menyamai langkah Seijuurou sesaat setelah mengacak surai baby blue milik Tetsuya.

Sorot manik aqua marine Tetsuya meredup, senyum tipisnya perlahan lenyap. Memandang dua punggung itu bergerak menjauh memiliki perasaan yang berbeda bagi Tetsuya. Dadanya berdesir tidak nyaman. Terasa sakit. Rasanya seperti kau tengah menonton drama paling menyedihkan yang mampu membuatmu menangis sampai tak mampu bersuara.

Ya, Tetsuya cukup sadar pada kenyataan bahwa Seijuurou tak pernah mengatakan 'sampai jumpa' saat pertemuan mereka berakhir, tak seperti Daiki yang selalu mengatakannya sebagai salam perpisahan. Seijuurou juga lebih memilih mengatakan 'Lusa akan kupinjamkan bukuku' untuk menggantikan 'Lusa aku akan membawakan bukunya'. Kalau Tetsuya memikirkan beberapa kemungkinan negatif lalu menarik kesimpulan dari kalimat Seijuurou, maka maksudnya adalah 'Seijuurou akan meminjamkan bukunya pada Tetsuya, entah Seijuurou sendiri yang memberikannya pada Tetsuya atau Daiki yang ia suruh untuk mengantarnya pada Tetsuya'.

Hal yang kecil dan mungkin tidak akan kentara kalau kau tak memperhatikannya baik-baik. Dan hal ini selalu membuat Tetsuya gusar, membuatnya merasa tak nyaman, membuatnya ingin selalu bersama Seijuurou tanpa harus menyudahi pertemuan mereka. Terlebih setelah akhirnya Tetsuya tahu apa arti dari kecemasan berlebihnya selama ini―

"Kelainan jantung― sejak aku kecil."

―Karena Tetsuya takut kalau ini merupakan pertemuan terakhirnya. Tetsuya takut Seijuurou pergi dan tidak kembali lagi.

.

x55x

.

Siang itu Daiki melangkah menghampiri sebuah kamar di ujung lantai dua rumah minimalisnya seiring dengan sayup-sayup lantunan lagu yang semakin terdengar jelas. Menaikkan sebelah alis mencoba mencari tahu lagu apa yang didengarnya, Daiki sedikit tersentak begitu menangkap lantunan Canon in D yang tengah dimainkan.

Menarik kedua ujung bibir memamerkan senyum usai sedikit mendengus, Daiki yang telah berada di depan daun pintu kayu berplitur itu mengangkat tangannya sebatas dada, mengetuk pintu itu dua kali sebelum mendorongnya pelan.

"Sei, makan sia―" Senyum lebar itu lenyap kala pemuda berkulit tan itu mendapati tatapan manik crimson bocah mungil itu terarah padanya. Dan jangan harap lantunan lagu indah itu masih terdengar, satu-satunya orang yang berada di dalam kamar itu menghentikan permainannya begitu mendengar interupsi. "Aaahh~ warui ga~ Aku hanya―" Daiki menggaruk belakang kepalanya, "Ehmm ya, makan siang sudah siap. Maaf menginterupsimu."

"Oh? Baik, terima kasih, Daiki."

Manik dark blue milik Daiki mengekor Seijuurou yang bergerak menghampirinya, berniat keluar ruangan, menyambut makan siangnya. Sebelah tangan Daiki terulur menangkap sisian lengan Seijuurou tepat sebelum bocah bersurai scarlet itu berjalan santai melewatinya yang berdiri di ambang pintu.

"Apa?"

"Kau keberatan kalau aku menemanimu bermain?" Daiki kembali menyeret Seijuurou masuk ke dalam kamar saat Seijuurou melontarkan sedikit keengganannya dengan mengatakan―

"Hah? Lalu makan siangnya?!"

―Daiki menepuk kepala bocah itu pelan. "Sebentar saja. Satu lagu, oke?"

Pada akhirnya, usai menghela nafas berat, Seijuurou kembali memainkan lagu yang sebelumnya hanya Daiki dengar dengan sayup-sayup itu sebelum mereka beralih ke lantai satu dan menyantap makan siang.

"Oh ya, Sei. Kau ingin ponsel yang seperti apa?" Daiki angkat bicara menanggapi perintah Seijuurou yang semalam menyuruhnya membelikan ponsel untuknya. Manik dark blue itu menatap Seijuurou yang mengerutkan dahi sejenak sebelum melanjutkan, "Aku berniat pergi ke depato (department store) setelah makan siang ini."

"Hmm? Terserah kau saja, Daiki. Pilihkan yang cocok untukku."

"Hmm?" Daiki sedikit menggeram dengan wajah seolah tengah berpikir keras. "Kau mau aku membelikanmu ponsel pinku kirakira? Pfft~"

"Haaahh? Kau kira aku akan memakainya, huh?!" Tanggap Seijuurou jengah. Bayangkan saja! Dia? Akashi Seijuurou dan ponsel sparkling pink? Hhahahaha yang benar saja, berhenti bercanda!

Gelak tawa pun akhirnya tak terhindarkan saat Daiki melihat tanggapan Seijuurou. "Hhahaha."

"Kau ingin makan, atau tertawa, Daiki? Lakukan satu-satu atau kau bisa tersedak!" Sungut Seijuurou yang dapat diartikan sebagai titah pada Aomine Daiki untuk berhenti tertawa.

"Na, Sei. Kenapa kau tidak ikut pergi bersamaku saja?" Tawar pemuda bersurai navy itu.

"Huh? Hodaka-sensei no juugyou sabotte dekiru ka yo?! Socchi nani ga kangaeterunda? (Apa yang kau pikirkan, Daiki? Kau kira aku bisa bolos pelajaran Hodaka-sensei, huh?)"

"Dekiru tte sa.* (Bisa lah.)" Jawab Daiki yang mengundang Seijuurou yang duduk di hadapannya untuk memicingkan mata. "Konkai no juugyou ga naindakara, kamawanee yo. (Karena kelas kali ini tidak ada, kau tak perlu khawatir untuk bolos.)"

(*~sa. Imbuhan sa dapat diartikan ~lah dalam bahasa Indonesia. ~sa dipakai untuk menambahkan kesan kalau si pembicara yakin akan hal yang diucapkannya. Misal: shitteru sa (tahu lah), mochiron sa (memang begitu/demikian) dan lainnya)

"Eh?"

Daiki menganggukkan kepalanya sebelum memasukkan potongan omelet ke dalam mulut. "Soijirou tadi menelponku, dia harus pergi menemani ibunya check-up kesehatan di rumah sakit siang ini, jadi dia minta maaf padamu tidak bisa mengisi kelas kali ini."

Seijuurou mengangguk singkat, "Ah, begitu kah?" Tanggapnya sebelum kembali sibuk dengan makan siangnya.

Daiki tahu. Dengan sekali lihat reaksi Seijuurou ia tahu, pasti Seijuurou berpikir: Hodaka Soijirou, guru musik Seijuurou itu repot harus mengantar ibunya yang sakit untuk check-up sampai-sampai meninggalkan pekerjaannya.

Namun pikiran Seijuurou tidak sebatas itu. Melihat Seijuurou yang menunduk seperti menyembunyikan wajahnya itu, Daiki tahu Seijuurou menempatkan posisi mereka pada satu kalimat itu. Ya, dan pikiran Seijuurou yang sebenarnya adalah: Daiki yang harus repot dengan mengurusinya beberapa kali check-up ke rumah sakit dan sebagainya sampai-sampai meninggalkan pekerjaannya.

'Well, bocah lima belas tahun itu memang merepotkan.' Dengus Daiki.

Ya, diantara kepolosan yang mereka miliki, mereka juga punya perasaan yang sensitif. Meski kekanakan, namun secara sadar atau tidak, mereka langsung memperlihatkan reaksi mereka yang tidak akan bisa membohongi siapapun yang melihatnya. Begitulah anak-anak. Dan begitu pula lah Seijuurou. Tak bisa Daiki pungkiri kenyataan bahwa yang tengah berhadapan dengannya ini masihlah bocah lima belas tahun.

"Maa, ponsel pinku kirakira atau kau ikut ke depato denganku, Sei? Hmm?" Daiki menelengkan kepala, menggoda Seijuurou. Tentu Daiki melakukannya untuk mencairkan suasana.

Sejenak sepasang manik crimson Seijuurou beradu dengan dark blue milik Daiki. Ia tidak mau ponsel sparkling pink, tapi ia juga enggan ke depato. "Apa― tidak apa-apa?" Tanyanya lirih.

"Hah? Kita akan ke depato lho, Sei. Mencoba pergi kesana satu kali kurasa tidak akan masalah untuk kesehatanmu." Senyumnya. "Kau tahu kau bisa bergantung padaku kan, Sei?"

Seijuurou mengangguk menanggapi. Ya, tentu saja ia bisa percayakan segala hal pada Daiki, namun ia ragu untuk pergi. Selama ini, saat keluar rumah, Seijuurou hanya pergi ke rumah sakit, taman kota, atau mungkin ke rumah beberapa gurunya yang merupakan teman dekat Daiki. Dan jangan lupakan Daiki yang selalu bersamanya.

"Kau ingat filosofimu dulu, Sei?" Daiki menoleh Seijuurou yang duduk di jok sebelahnya―bukan jok belakang mobilnya tempat Seijuurou biasa duduk. Ya, Daiki sengaja meminta Seijuurou duduk disana dan bocah itu diam kala Daiki menyebutkan alasannya―

"Sudah kau duduk saja disitu. Kemarin lalu aku tak sengaja bertemu Tetsu dan mengantarnya pulang karena hujan."

"Lalu apa hubungannya denganku yang harus duduk disini?!"

"Karena waktu itu Tetsu duduk di tempatmu duduk sekarang."

"Haah? La―"

"Dan Sei, maaf aku meminjamkan coat merah maroonmu padanya. Dia kedinginan."

Setelahnya, Seijuurou hanya bisa duduk diam―tanpa berkomentar―dengan serpihan merah yang perlahan mengisi pipinya, membuat wajahnya menghangat.

―"Filosofimu tentang hidup." Ulang Daiki usai berdeham. "'Setiap manusia hidup karena ia akan mati. Dan mereka tak memiliki pilihan untuk tak menajalani kehidupan.' Benarkah seperti itu?" Imbuhnya seraya kembali melajukan mobil yang sebelumnya sempat terhenti karena traffic light.

Seijuurou yang semula memandang keluar jendela di samping kirinya itu melirik Daiki di balik bangku kemudi. "Apa maksudmu, Daiki?"

"Tidakkah mencoba hal-hal baru termasuk bagian dalam hidup?" Daiki mengerling saat pandangan manik dark bluenya bertemu dengan tatapan crimson Seijuurou. "Mereka hidup bukan karena tak memiiki pilihan, Sei, tapi mereka hidup justru karena mereka memilih untuk menjalaninya."

Dari sudut mata, Daiki dapat melihat Seijuurou yang sedikit menelengkan kepala dengan dahi yang berkerut, seperti tengah mengolah kalimat yang ia lontarkan. Daiki tersenyum.

"Mereka bisa saja memilih untuk tak menjalani kehidupan. Dengan cara mengakhiri hidup mereka sendiri misalnya." Ucap Daiki. "Lalu bagaimana denganmu, Sei?" Daiki kembali menoleh dan bertemu pandang dengan Seijuurou. "Kalau disimpulkan―"

Dan manik crimson Seijuurou melebar, usai Daiki mengakhiri kalimatnya.

"―Bukankah kau juga telah memilih untuk menjalani kehidupan?"

.

.

xNext: DREAMSx

.

.

.

A/N:

Halo, minna *u*/ maaf apdetnya lama, ini dikarenakan saya ada melancong kemana" buat minggu" kemaren orz

Dan chapter ini bukan chapter dreams karena scene buat chapter itu masuk di chapter depan.. maaf juga chapter ini jalannya jadi lambat *headdesk* terus ini mau kujadikan mini series juga .. mohon maaf buat yang mungkin nggak berkenan m(_ _)m

Hai, untuk tebakan di chapter lalu soal mimpi Kuroko bakal dijawab di chapter depan yaa.. warui~ */\* Tapi jawaban buat relation antara Akashi ama Aomine sudah ada di atas yaa :D n yang nebak buat sakit Akashi juga udah kejawab disini X3 saya sadis nggak sih? #heh XDD

Sekarang ada tebakan baru nih, kira" alat musik apa yang suka dimaenin ama Akashi hayoo? X3 hhihi Dan adakah yang sadar ama kalimat Akashi yang nggak pernah bilang "Sampai jumpa" sebelum Kuroko sadar? XD

Maa, mata tsugi no chapter ne, minna *u*/ nggak lupa makasiiiih banyak buat yang udah baca, ngikutin, review, fave n follow nya juga :* Mohon kritik dan sarannya, minna *bows*

with love,

_Natha