ucapan terima kasih:
Go Minami Hikari Bi, CelestyaRegalyana, Cake DoS, Kurotori Rei, Sheii. kun, Adelia-chan, aquathyst, akanemori
—dan semua orang yang telah membaca cerita ini.
again, thank you so much for your great feedback everyone. I love reading what you think about this story! ;)
a/n tadinya ini mau jadi chapter terakhir, tapi ternyata saya kepikiran sub-plot yang kayaknya menarik untuk dimasukkin. jadi, akhirnya saya rombak chapter 3 untuk kasih beberapa foreshadow. chapter-nya nambah, deh hahahaha… saya harap sedikit perubahan ini bisa membuat cerita ke depannya jadi nggak datar u_u
vocaloid © Crypton Future Media, PowerFX, Yamaha, Internet, et cetera. No commercial profit taken.
warning violence, blood, foul language, possibly typo(s), cliché, et cetera. Kesaman ide harap dimaklumi.
eschaper
—mean to get away or keep away from something—
phase three: theory
"Kau dan Oliver bertemu lagi di ruangan yang sama."
Kini, gantian Len yang menatap Piko dengan aneh.
"Aku dan Oliver?" sahut Len, nyaris ternganga. "Itu keterlaluan. Aku bahkan baru melihatnya sepuluh menit lalu."
"Ya, kau pernah satu ruangan dengan Oliver sebelumnya. Dia yang bilang begitu." Piko bersikeras. "Lagipula, mana mungkin Oliver mau repot-repot membangunkanmu dan bukannya langsung pergi mengikuti usulku."
Anak berambut putih itu mendekati komputer. Matanya mencari-cari sesuatu. Dia berkata lagi, "Waktu sangat berharga dan tidak ada untungnya membawa seorang anak asing sepertimu—memangnya kau ini istimewa apa? Kita bahkan sudah sangat menyia-nyiakan lima menit untuk mengobrol di sini. Siapa yang tahu kapan orang-orang itu akan kembali?"
Len memandang Oliver. Wajahnya membentuk ekspresi sedemikian rupa yang menyiratkan bahwa ia butuh bantuan atau mungkin, beberapa buah penjelasan. Tapi yang bersangkutan hanya mengangkat bahu.
"Tentu, Len. Kita memang pernah dimasukkan ke ruangan yang sama," Oliver mengatakan. Tak ada tekanan dalam nada suaranya. "Kau menolongku dari seorang anak yang menyerangku. Tidak ingat?"
Len tidak merespon. Hanya menatap Oliver dengan pandangan kosong, tanda tak memiliki petunjuk.
Len tak pernah mencoba mengingat hal-hal yang telah ia lewati di tempat ini. Alasannya mudah, karena semua yang ia lakukan di sini sama sekali tak menyenangkan. Membunuh dan melukai. Semua itu membuat rasa bersalah di benak Len menumpuk dan mengendap tanpa ada satu hal pun yang membuat mereka menghilang. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Jadi, sebagai pengampunannya sendiri, Len memutuskan untuk melupakan apa yang telah ia lakukan selama ini. Yang sudah lewat, ya biarkan saja.
Dia tak pernah mencoba mengingat kembali. Atau lebih tepatnya, ia tak mengijinkan dirinya melakukan itu.
Oliver terlihat sedikit kecewa akan reaksi Len, tapi anak itu segera menghilangkannya dalam sekali gedikan bahu ringan.
"Tak apa. Lagipula itu sudah lama sekali, mungkin." Dia menggaruk pipinya. Bibirnya membentuk cengiran. "Sebenarnya, aku sendiri juga tak yakin sudah berapa lama terlewat sejak saat itu. Tapi, yah ... hutang tetap hutang, 'kan?"
"Dan ... kau memutuskan mengajakku kabur sebagai bayaran hutang budi?"
"Sepadan, 'kan?"
Len ragu-ragu. Untuk sesaat, dia terlihat tak begitu nyaman dengan percakapan ini. "Eng, mungkin."
Mereka terdiam selama sepersekian sekon sebelum Piko kembali memecah keheningan.
"Kita harus pergi." Suaranya terdengar menuntut. "Sekarang."
Len memandang sekilas pada kedua mata Piko. "Tapi kita tidak punya rencana."
"Itu rencananya. Pergi dari sini secepat mungkin tanpa ketahuan dan kembali ke rumah masing-masing."
Eh. Len memutar mata dramatis. Dalam hati, ingin sekali memaki Piko karena membuat semua hal ini jadi terdengar begitu mudah. "Kau sendiri yang mengatakan bahwa penjaga di sini begitu profesional. Harusnya kau juga sudah memperhitungkan jika keluar dari tempat ini sama sekali tidak mudah."
"Memang," jawab Piko. "Tapi orang-orang di sini sedang lengah. Kita punya sebuah peluang sempurna di sini."
"Dari mana kau yakin mereka lengah?"
Piko mengangkat satu-persatu jarinya. "Pertama, mereka meninggalkan tempat ini tanpa panjagaan. Kedua, mereka belum menunjukkan tanda-tanda akan kembali—bahkan mungkin saja mereka tidak akan kembali lagi. Mereka pasti tidak memperhitungkan kita akan bangun sebegini cepat setelah menghirup gas penidur itu. Singkatnya, mereka lengah."
"Tunggu, gas penidur katamu?"
"Kabut itu, demi Tuhan!" Wajah Piko terlihat gemas, seakan ia ingin berteriak sekeras mungkin di depan wajah Len saat itu juga. "Tidak pernahkah kau menggunakan otakmu sedikit saja?"
Len teringat akan kabut putih yang kerap muncul tiba-tiba ketika dirinya telah berada cukup lama di dalam ruangan bersekat kaca. Ia tidak tahu darimana asalnya atau bagaimana caranya mereka bisa masuk. Yang Len tahu, setelah kabut itu hadir, dadanya menjadi sedikit sesak dan kelopak matanya terasa berat seolah ada gajah yang bergelantungan di sana. Setelah itu Len terbangun di dalam kamarnya; yang sempit dan bercat putih.
Awalnya Len hanya mengira itu hanya kabut biasa, sampai Piko berkata bahwa kabut tersebut adalah gas penidur. Baiklah. Itu menjelaskan mengapa Len selalu jatuh tak sadarkan diri setelah kabut itu muncul.
Jika itu benar gas penidur, maka sudah pasti orang-orang itu pula yang memunculkan mereka. Sekarang pertanyaannya adalah, kenapa mereka melakukannya?
Kalau saja Len adalah anak bodoh yang tidak pernah menggunakan otak—seperti yang Piko katakan— mungkin ia akan langsung bertanya pada Piko. Tapi, tidak. Dia mungkin tidak dianugerahi otak secerdas Piko yang dapat menyimpulkan segala sesuatu dalam sekali lirik, tapi dia juga bisa berpikir. Dia bisa belajar.
Jika Len mengingat sedikit lebih dalam, ia tahu kabut itu hanya muncul setelah Len membunuh cukup banyak anak. Setelah Len tak sadarkan diri, ia dikembalikan lagi ke kamar. Dan Oliver tadi bilang, jika penelitan yang dikerjakan oleh orang-orang di tempat ini kemungkinan besar untuk mencari anak yang paling lama bertahan, paling kuat. Dari sini, Len dapat menarik benang merah kemudian menyusun dugaan; bahwa gas itu menjadi semacam tanda bahwa orang-orang itu telah mendapatkan anak-anak yang mereka rasa cukup kuat.
Gas tersebut adalah tanda bahwa mereka akan mengakhiri penelitian di hari itu.
Lantas, kenapa harus menggunakan gas? Padahal, mereka bisa saja masuk dan menyuruh anak yang tersisa untuk mengikuti penjaga, kembali ke ruangan masing-masing.
Len pikir, cara ini justru lebih praktis. Mereka juga seharusnya tidak memikirkan akan resiko diserang sebab; Ada penjaga yang siap sedia melecutkan isi senapan, dan; Anak-anak sudah kehabisan tenaga serta terluka. Ini seharusnya menjadi opsi yang aman.
Tapi, sekali lagi, kenapa mereka lebih memilih membuat anak-anak tak sadarkan diri hanya untuk mengembalikan mereka ke ruangan masing-masing?
Sebuah tanda tanya besar bagi Len. Tapi kemudian anak itu teringat akan analisa Piko; bahwa yang ada di tempat ini bukan cuma mereka. Masih banyak anak-anak lain.
Puluhan, bahkan mungkin seratus anak.
Jika memang jumlahnya sebanyak itu, berarti orang-orang itu harus memperhitungkan setiap gerakan dengan ekstra hati-hati.
Banyak anak, artinya ada banyak kepribadian. Banyak kepribadian, bearti banyak bakat.
Mungkin para peneliti itu telah menghilangkan semua ingatan masa lalu, tapi itu hanya memori. Bakat alami dan kecerdasan otak tak serta-merta menghilang. Bakat alami mereka masih ada. Terkubur jauh di sudut terdalam diri anak-anak tersebut. Piko adalah salah satu contohnya.
Jika di sini ada satu anak yang pintar menganalisa, maka bukan tidak mungkin ada anak-anak lain dengan tingkat intelenjensa sama di sudut lain gedung ini. Beberapa mungkin lebih cerdas atau bahkan memiliki kemampuan khusus. Punya daya ingat yang baik, misalnya?
Kemungkinan seperti itu pastilah ada. Tapi kenapa keadaan selama ini tenang-tenang saja?
Harusnya, ada sedikit keributan.
Anak yang daya pikirnya berada di atas rata-rata pasti memiliki jiwa pemberontak karena mereka cepat belajar, cepat membaca situasi, dan tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Itu adalah naluri alami.
Contohnya, sekali lagi, adalah Piko. Dia pernah mencoba melarikan diri dari tempat ini sekali (dan akan menjadi kali kedua, kini) karena ia tahu tak seharusnya berada di sini.
Kenapa hanya Piko yang berontak? Apakah tempat ini sebegitu besar, hingga sebuah pelarian diri tak berarti apa pun? Ataukah semua orang di sini begitu pandai menyimpan rahasia? Atau mungkin ... sejak awal memang mereka semua tidak pernah mengijinkan ada anak yang memberontak.
Gas itu dipakai pasti dengan maksud. Jika anak-anak itu tidak sadarkan diri saat dibawa kembali, itu artinya mereka tak dapat menghapal rute ruangan. Beberapa anak dengan daya ingat bagus mungkin bisa menghapal sebuah rute dalam sekali jalan. Tapi jika mereka tidak membuat anak-anak itu melewati satu rute yang sama dua kali, sama juga bohong.
Mencoba menghapal pada kesempatan berikutnya pun akan sia-sia. Sebab Ruang Pengujiannya—Len memutuskan menyebut ruang bersekat kaca ini sebagai Ruang Pengujian— banyak. Dengan kata lain, mereka selalu berpindah-pindah. Atau bisa juga pada dasarnya ruang percobaan hanya ada beberapa, tapi rute yang dapat dilalui ada banyak.
Dalam keadaan ini, Len mulai curiga kamarnya, sejak awal, juga telah dipindahkan. Ruangannya terlihat sama—kecil dan didominasi putih— tapi sebetulnya berbeda. Bukankah itu mungkin saja? Apalagi Len selalu dalam keadaan tidak sadar ketika para penjaga mengembalikannya ke dalam kamar.
Len tidak tahu, apakah ia benar-benar dikembalikan ke kamar awalnya ataukah justru ke kamar yang baru.
Dia tidak pernah tahu.
Rahang Len mengeras memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan itu. Ini mustahil, sebagian kecil dari dirinya seolah ingin berkata. Tidak masuk akal. Tapi, di saat yang bersamaan, sebagian dirinya yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada yang mustahil di tempat gila semacam ini. Setelah semua yang didengarnya dari Piko, semua hal ini tidak terasa mustahil.
Segalanya menjadi mungkin.
Len menelengkan kepala pada Piko. Rahangnya mengeras, jantung mulai berdegup setengah kali lebih cepat, sementara matanya mengilatkan sebuah emosi yang tak teridentifikasi.
Semua pemikiran ini membuat Len gila. Ia penasaran, apakah Piko juga merasakan hal yang sama ketika memikirkan semua posibilitas yang ada di tempat ini—tertekan, putus asa, marah, tapi juga tertantang di saat bersamaan? Pastilah Piko juga sudah tahu tentang semua ini. Pasti. Karena Piko hanya melengkungkan sebuah senyum miring pada Len.
"Bagaimana rasanya menggunakan otakmu?" Adalah yang dikatakan anak itu.
Len mendengus. Cerdas atau tidak, seseorang harus menyumpal sesuatu ke mulut Piko.
"Bagaimana dengan orang-orang itu?" Len kali ini tak dapat menahan dirinya untuk bertanya, "Semua yang mereka lakukan, bahkan gerakan kecil sekalipun, telah lebih dulu mereka perhitungkan. Lantas, kenapa mereka ceroboh meninggalkan kita di sini?"
Piko menajamkan mata. "Tidak tahu. Tidak peduli," katanya. "Yang penting, kita bisa pergi."
"Kautahu kita tidak bisa mengabaikan sesuatu begitu saja."
"Ya, aku bisa." Mata Piko berkilat berbahaya. "Aku bisa mengabaikan apa pun asal bisa keluar dari tempat sampah ini!"
"Kau—"
"Eng, maaf mengganggu perdebatan kalian," Oliver menyela. Membuat semua orang menoleh. "Aku hanya ingin bilang, dalam hal ini … aku setuju dengan Len."
"Maksudmu?"
"Sepertinya mereka tidak bermaksud meninggalkan kita."
Piko menatap Oliver, meremehkan. "Dan alasan kau berpikir seperti itu adalah...?"
"Suara mereka."
"Suara?" Len tidak yakin dengan frasa yang meluncur dari mulut Oliver.
Anak pirang berperban itu mengangguk. "Entah kalian juga mendengarnya atau tidak tapi, saat aku jatuh ke lantai karena gas itu, aku mendengar suara mereka. Tidak jelas, tapi aku yakin sekali mereka sedang panik. Ketakutan akan sesuatu."
"Cerita yang bagus," tanggap Piko. "Tapi kaca yang membatasi ruangan membuat suara tidak bisa masuk ke dalam. Itu hanya khayalanmu."
"Pintunya sudah dibuka!" Oliver berkeras. Suaranya meninggi secara tidak terduga. "Gas yang biasa mereka gunakan hari ini tidak bekerja terlalu ampuh. Kautahu maksudku, seperti dibius dengan dosis yang tidak tepat. Mataku berat tapi kesadaranku masih ada. Dan aku bisa dengan jelas mendengar bunyi klik-klak. Mereka pasti sedang membuka pintu. Pintunya terbuka! Dari sana suaranya masuk!"
Piko tak memberi respon apa pun. Tatapan yang Piko beri sama bekunya seperti yang ia beri pada Len dan hal itu membuat Oliver mengerang. Anak itu pun mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Aku bersumpah mendengarnya! Jelas sekali! Aku yakin kau juga mendengarnya!"
"Aku mendengarnya." Kali ini Len ikut bicara. "Tidak yakin apakah itu suara panik atau yang lain. Tapi aku mendengarnya. Suara ribut."
Semua yang Len katakan bukan bentuk pembelaan terhadap Oliver. Dia memang benar-benar mendengarnya. Suara ribut orang-orang di dalam ruangan, derap berpasang-pasang kaki berbalut boots, dan pintu baja yang terbuka. Semua terdengar begitu panik, begitu terburu-buru, kemudian segara kericuhan tersebut menghilang begitu saja. Seolah-olah ada yang tidak beres di gedung itu sehingga mereka harus secepat mungkin pergi dan memeriksanya.
Sama seperti Oliver, mata Len mungkin tertutup tapi setengah fungsi panca inderanya, termasuk telinga, bekerja dengan baik. Tak mungkin keliru. Itu nyata, bukannya khayalan.
Suara-suara itu hanya terdengar dalam waktu yang sangat singkat. Setidaknya, Len berpikir demikian. Dan ia baru terbangun oleh guncangan Oliver beberapa lama setelah ruangan hening kembali.
"Lihat? Len juga mendengarnya..." Oliver berkata sambil maju selangkah, akan tetapi Piko memotongnya.
"Lalu? Itu tak berarti apa pun. Bagiku, itu lebih terdengar seperti tanda agar kita tidak membuang-buang waktu."
Len menggelengkan kepala. Tidak. Tidak. Tidak. Semuanya tidak benar. Piko tidak menangkap maksudnya.
"Jika orang-orang itu takut akan sesuatu, bukankah itu artinya ada yang tidak beres di tempat ini—di luar?"
"Aku tidak peduli."
"Piko—"
"Aku akan tetap keluar dari sini! Aku tidak peduli apakah di luar ada hal yang tidak beres atau bahkan gorila liar sekalipun. Aku. Akan. Ke. Luar."
Segala tekanan dan ketegangan yang sejak tadi dirasakan Len kini membaur menjadi satu, digantikan rasa mual. Dia tahu tidak akan bisa satu pikiran dengan Piko begitu mudahnya. Tapi semua perselisihan ini mulai membuatnya lelah.
Piko mulai berjalan menuju pintu, meninggalkan Oliver dan Len di belakang.
"Tapi kita bahkan tidak tahu di mana rumah atau siapa keluarga kita," celetuk Oliver tiba-tiba.
Len tersentak, kaget. Piko sepertinya juga, karena angkah anak itu langsung terhenti.
Untuk beberapa poin, Len setuju dengan Oliver. Mereka tak punya ingatan saat ini. Berhasil keluar pun, rasanya tak akan membuat perubahan besar. Mereka masih tak tahu siapa diri mereka sebenarnya. Sekarang, apa pembelaan Piko terhadap hal ini?
"Kita bisa cari polisi nanti," jawab Piko. Suaranya datar, seolah ia sudah memikirkan tentang itu jauh-jauh hari. "Di luar pasti ada polisi—atau siapa pun. Kita bisa datang pada mereka dan mengatakan semua yang terjadi. Mereka akan menolong kita dan orang-orang ini akan dipenjara seumur hidup. Drama ini selesai. Tapi itu nanti. Yang penting, sekarang kita harus keluar dari sini."
Piko kembali melangkah, membuat Len dan Oliver refleks menyusul anak itu. Oliver mengikuti karena sejak awal, dia sepertinya sudah memtuskan untuk sepakat tentang rencana pelarian ini—kendati semakin ke sini, dia sadar bahwa mungkin saja usaha mereka tidak akan berarti apa pun.
Sementara Len … dia tidak tahu apa yang membuat kaki-kakinya bergerak. Dia bisa saja tetap di sini. Toh, sejak awal dia belum bilang setuju. Tapi dia hanya merasa tak dapat meninggalkan Piko dan Oliver begitu saja. Itu, dan sebuah alasan aneh yang tiba-tiba saja muncul di benaknya: Len ingin mengetahui tentang bangunan ini.
Ide tentang keluar dan merasakan matahari mungkin terdengar menyenangkan saat ini. Tapi Len tahu, mereka bisa saja menyelidiki sesuatu sepanjang perjalanan. Apa sebenarnya bangunan ini? Untuk apa mereka mendirikannya? Kenapa mereka menyembunyikan anak-anak dan menghilangkan memori mereka? Apa yang ada di balik itu semua? Apa rencana mereka?
Semua pertanyaan itu berkumpul di benak Len, mengusiknya. Len tak ingin jadi anak penakut yang terus diam seperti selama ini. Lebih dari itu, dia tidak ingin terus terkurung kemudian menjadi gila.
Tak masalah dengan apa yang akan terjadi. Semua bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting adalah, seberapa banyak keberanian yang Len miliki?
Len tahu dia punya cukup banyak. Untuk saat ini. Jadi, ia mengambil langkah keluar.
Pintu baja yang ada di ruangan itu tingginya sekitar dua setengah meter dan membuka secara otomatis ketika seseorang akan keluar dari sana.
Saat Len dan yang lainnya melewati pintu baja tersebut dan memijakkan kaki di luar ruangan, untuk pertama kalinya tanpa seorang penjaga di belakang, mereka seolah-olah melangkahi sebuah pintu gerbang. Rasanya seperti mereka baru saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Ada sedikit janggal di dada dan itu sangat mengganggu. Terutama untuk Len. Tapi anak itu berusaha menyingkirkannya, meyakinkan dirinya sendiri jika apa yang ia lakukan adalah hal yang semestinya.
Piko berjalan ke arah kiri. Sebuah langkah yang Len kira merupakan spontanitas. Piko tak pernah mengetahui akan ke mana jalan-jalan di tempat ini membentang, Len bisa menduga. Ini terlihat dari bagaimana otot-otot wajah Piko membentuk sebuah ekspresi yang Len asumsikan sebagai ketegangan. Dia hanya mengandalkan naluri untuk memilih jalan. Sekali naluri Piko menuntun ke jalur yang salah, maka tamatlah mereka.
Len tahu pergerakkan mereka teramat riskan. Oliver mungkin juga sama. Tapi mereka tak mengatakan apa pun. Tak ada yang dapat lebih diandalkan selain ketajaman naluri Piko untuk saat ini.
Mereka melewati koridor panjang berpenerangan remang dengan berlari. Piko memimpin di depan. Tak ada sepatah kata pun dikeluarkan anak itu. Tatapannya masih fokus. Seolah-olah ia sedang berusaha mempelajari setiap belokan di bangunan tersebut.
Len, di belakang sini, hanya bisa berpikir tentang betapa miripnya mereka dengan sekelompok tikus percobaan yang ditaruh dalam labirin kecil. Mereka seperti sengaja dilepas dan disuruh mencari jalan keluar sendiri. Len hanya berharap tidak bertemu penjaga dan terlibat konfrontasi.
Oliver mendesak Piko agar bergerak lebih cepat. Ekspresi Oliver terlihat ganjil. Seperti campuran antara cemas dan bersemangat. Cemas karena penjaga-penjaga lain bisa datang kapan saja dan menangkap mereka. Bersemangat karena ini adalah kali pertamanya bisa berlari sebebas ini di koridor.
Mereka kembali melewati beberapa belokan. Ke kanan. Ke kiri. Kiri lagi, dan tiba-tiba langkah Piko berhenti.
Len baru saja ingin protes. Mereka berhenti terlalu mendadak. Tapi ia menelan semua komplainnya saat melihat seorang pria berpakaian hitam berada tepat di jalur mereka. Penjaga.
Sial.
Penjaga itu terkejut mendapati tiga anak itu berkeliaran bebas di koridor. Kemudian, dengan cekatan, mencoba meraih senjata—berbentuk seperti pistol, ukurannya kecil, berwarna silver— di sela pinggulnya.
Piko dan Oliver bereaksi tepat sebelum Len bergerak. Mereka menerjang tubuh penjaga itu, menghempaskannya ke lantai metal.
Senjata milik penjaga terlepas dari pegangan, jatuh ke lantai. Len segera berlari, mengambilnya, dan menodongkannya ke kepala penjaga itu. Wajah Len terlihat tenang, tapi jantungnya berdegup sangat kencang.
"Kerja bagus, Len!" Oliver berteriak, masih sekuat tenaga menahan tubuh bagian kanan penjaga itu agar tetap menempel di lantai. Piko sendiri menahan tubuh sebelah kiri.
Respon yang Oliver dan Piko miliki, Len sadari, begitu cepat dibanding anak normal lain. Mungkin dia juga sama. Terkurung dan menjalani hari-hari memuakkan di tempat ini membuat mereka terlatih.
"Anak-anak sinting!" Len mendengar pria itu mengumpat. "Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!"
"Ya, kami tahu." Oliver membalas. "Kami baru saja melakukan tindakan cerdas dengan melarikan diri dari tempat ini. Ha!"
"Ada berapa banyak penjaga yang bertugas?" Piko menanyai pria itu. "Berapa banyak yang menuju ke sini?"
Tak ada jawaban.
Tanpa perintah, Len mendekat dan menempelkan ujung pistol yang tadi ia pungut tepat ke pipi penjaga itu. Len bisa melihat terror di mata si penjaga.
"Kalau aku mau," kata Piko, "aku bisa saja menyuruh temanku untuk menarik pelatuk dan amunisi pistol itu akan langsung menancap di rahangmu."
"…"
"Kautahu sedang tidak dalam posisi yang tepat untuk bermain-main dengan kami." Piko mulai kelihatan tidak sabar. Pelipisnya berkedut karena gusar. "Jawab atau kau akan merasakan saat terburuk dalam hidupmu!"
"Berani-beraninya—"
"Len!"
Dan Len segera menarik pelatuknya—
phase three: end
Preview next chapter:
Lari, menghindar, dan sampailah mereka di titik yang tak terduga.
"Kalian mendengarnya?"
"Selamat datang di realita."
Dunia yang sesungguhnya jauh lebih muram dan kejam.
Saran dan kritik yang membangun amat sangat dinanti!
Sign,
devsky