Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T

Genre : Family, Hurt/comfort, Romance

Pairing : Naruto & Hinata

Warning : Lebay, Hancur, Typo(s), Gak jelas, Banyak kesalahan, Jangan dibaca kalau buat emosi ya :*

Liekichi-Chan

Proudly Presents

-I'm Happy With You-

Wanita itu masih menyiapkan makananan di dapur dengan sangat cekatan. Tangan lincahnya bergerak cepat mencincang bahan-bahan makanan yang akan ia campurkan. Tersenyum sesaat, ia lantas tersenyum kemudian mengelus pelan perutnya sudah yang mulai membesar. Hatinya menghangat kala mengingat hanya tinggal beberapa bulan lagi saja buah cintanya itu dapat melihat dunia.

Hyuuga Hinata, ah tidak. Dia sudah memakai nama keluarga suaminya sekarang. Namikaze Hinata.

Lagi, ia tersenyum kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. Wanita itu benar benar merasa sangat bahagia. Jarinya kemudian mencoba menyelipkan anak rambut yang menyeruak kebelakan telinganya.

Seperti seorang chef handal, ia membuka panci berisi kaldu dengan campuran rempah yang harumnya sudah semerbak – lantas mengibaskan tangannya pada kepulan asap yang tampak mengudara agar tersalurkan pada indra penciumannya.

"Harum~" desisnya lembut. Semburat merah muda menghiasi pipi putihnya. Wanita itu benar benar bertambah cantik dengan sapuan merah muda yang terjadi secara alami itu.

"Aku akan masak makanan yang paling enak untuk Naruto-Kun. Dia sudah bekerja sangat keras untuk kami."

-I'm Happy With You-

"Ohayou Hinata-chan." itu adalah suara lelaki yang paling ia cintai. Wanita itu menoleh lalu memberikan senyuman terbaik yang ia punya. Meskipun mereka sudah menikah selama setahun lebih, tapi tetap saja wanita itu masih tetap pemalu seperti biasanya. Membuat sang suami semakin gemas bukan main.

"Ah, Hinata-chan jangan canggung begitu. Aku ini suamimu, jadi kau tidak boleh bersikap malu-malu begitu. Hahaha..." tangan besarnya menangkup kepala wanita cantik yang seutuhnya telah menjadi miliknya. Naruto mengusap kepala Hinata penuh sayang lantas memberikan satu kecupan hangat di dahi sang istri. Namun kemudian, tatapannya tiba-tiba berubah menjadi sangat serius.

Hinata sesekali melirik Naruto yang masih menatap penuh kearahnya, lalu setelahnya ia akan menunduk dalam. Jujur, wanita itu sungguh tidak sanggup kalau sudah dikunci oleh tatapan biru laut di hadapannya.

"Naruto-kun, jangan memandangku seperti itu. Aku malu~" akunya sambil memberikan cubitan manja di pinggang suaminya. Itu justru membuat Naruto semakin gemas.

"Ahahaha Hinata-chan, kau ini benar-benar sangat manis. Jadi ingin kujilat, seperti makan permen."

Hinata membelalak kaget lalu melepaskan tangan Naruto yang sejak tadi masih berada diatas kepalanya.

BUUUK

Satu tinjuan ringan milik wanita itu sukses menyentuh dada bidang Naruto.

"Dasar mesum!"

"Ahahaha~ oh tidak Hinata-chan, apa yang kau lakukan? Ini sangat sakit. Kau membuatku sesak nafas. Oh tidaaak, sakit sekali. Kau harus bertanggung jawab. Aku bisa mati karena pukulan itu."

Naruto masih mencoba untuk menggoda istri cantiknya. Biru lautnya masih intens memandang tubuh yang kini mulai menjauh untuk menyiapkan beberapa piring dan makanan keatas meja makan. Ia sangat suka melihat pergerakan Hinata, tapi disisi lain dirinya juga takut jika istrinya akan kelelahan nanti.

"Hinata-chan, jangan terlalu lelah. Aku takut terjadi sesuatu padamu." ia mulai mendekat lalu membantu sang istri menyiapkan segala keperluan untuk mereka.

Awalnya Hinata menolak, tapi karena Naruto memaksa dia jadi tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Naruto-kun, sudahlah. Aku yang akan siapkan. Naruto-kun duduk manis saja disana."

"Tidak mau, Hinata-chan. Aku ingin membantumu. Aku tidak ingin kau kelelahan." ucapnya serius.

"Tidak perlu khawatir. Kalau Naruto-kun berasumsi bahwa wanita hamil itu tidak boleh banyak bergerak, itu sepenuhnya tidak benar. Malah ibuku dulu pernah bilang kalau wanita hamil itu harus lebih sering beraktivitas agar janinnya sehat dan mempermudah dalam proses kelahiran."

"Benarkah?" tanyanya tak percaya. Lelaki itu hanya takut kalau Hinatanya berbohong untuk membesarkan hatinya.

"Tentu. Aku sedang tidak berbohong kok." ucapnya mantap dan kemudian bergerak kesamping Naruto yang masih berfikir keras. Suaminya masih sedikit ragu.

"Kalau Naruto-kun tidak percaya, coba saja survei beberapa ibu-ibu yang sudah punya anak. Pasti mereka akan bilang begitu." Hinata mengambil gelas dari tangan Naruto kemudian meletakkannya di atas meja makan. Lelaki itu sedikit tersentak dengan yang dilakukan Hinata barusan. Ia sampai tidak sadar bahwa dirinya terpaku untuk beberapa saat tadi.

"A-Ah, Kenapa tidak coba tanya ke dokter saja? Kenapa harus ke Ibu-ibu yang lain?" Naruto tampak kikuk tapi masih mencoba untuk tersenyum.

Makanan sudah terhidang diatas meja dengan rapi dan siap santap. Tapi ia masih penasaran dengan kalimat Hinata. Apa iya? Pikirnya.

"Ayolah duduk, dan kita mulai makan." seperti ingin menyudahi pembicaraan dengan sang suami, Hinata lantas mendorong tubuh tegap Naruto untuk segera duduk di atas kursi.

Naruto hanya menurut saat Hinata mendorongnya seperti tadi. Jujur ia sangat suka momen-momen kebersamaan mereka yang seperti ini. Tapi dahi lelaki itu masih berkerut.

Hinata menyendokkan nasi dan mengisi penuh piring suaminya seperti sudah hapal betul dengan kesukaan dan porsi makan Naruto. Semua yang wanita itu berikan benar-benar pas. Kemudian ia menyiapkan porsi makan miliknya sendiri.

"Karena kalau Naruto-kun tanya kepada dokter, mereka hanya akan menyuruh untuk banyak istirahat."

"Nah, itu kan-"

"Tapi itu tidak baik, Naruto-kun. Wanita hamil kalau terlalu banyak berdiam bisa mengganggu kesehatan." Hinata memotong ucapan Naruto karena jujur dia tak ingin suaminya mengkhawatirkan ia lebih dari mengkhawatirkan dirinya sendiri.

Senyuman Naruto mengembang. Melihat ekspresi Hinata yang sedang sedikit jengkel begitu ternyata sangat menyenangkan.

"Baiklah, tapi jangan terlalu memaksakan diri." sarannya lembut. Bukannya menyentuh makanan yang sudah terhidang di hadapannya, Naruto malah bangkit dari kursi dan kemudian berjalan kearah Hinata. Wanita itu pikir suaminya marah atau tersinggung karena ucapannya barusan. Ia sampai tertunduk dalam karena Naruto sudah berada tepat di hadapannya sekarang.

Ada getaran yang terjadi pada tubuh mungilnya. Rasa takut kalau-kalau Naruto membencinya mulai muncul dari dalam hatinya.

Hinata diam tak bergerak, namun detik berikutnya wanita itu merasa ada kehangatan menjalari hatinya ketika melihat hal yang selanjutnya di lakukan oleh sang suami.

Tangan lelaki itu melingkar penuh di balik punggung miliknya, dan lantas mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Hinata. Cukup lama keduanya terdiam lalu satu kecupan mendarat di atas perut sang istri. Naruto memejamkan matanya sambil menghirup dalam aroma kebahagiaan yang ada disana. Sebentar lagi hidupnya benar-benar akan lengkap.

"Kalau begitu jadilah anak yang kuat. Ibumu sudah sekuat itu, kau pun harus bisa melebihinya." ucap Naruto setelah menyudahi ciumannya pada perut sang istri. Lelaki itu masih memeluk perut Hinata, bahkan kini menyandarkan pipinya disana.

Hinata merasa matanya memanas. Hatinya terasa sangat hangat dengan perlakuan suaminya. Dia bersumpah bahwa ia sangat bahagia dengan kehidupannya. Ia tidak yakin akan merasakan hal yang sama jika bukan dengan Naruto.

Tangan Hinata mulai bergerak untuk menyentuh surai blonde Naruto kemudian mengelusnya pelan. Naruto malah memejamkan matanya seraya mempererat pelukannya setelah mendapat respon yang diberikan oleh Hinata.

"Na-Naruto-kun, terima kasih banyak."

Suaminya hanya mengangguk mendengar kalimat itu.

"Sudah ya, sekarang ayo kembali ke meja makan. Nanti makanannya jadi dingin." Hinata hanya takut airmatanya akan menetes jika dirinya tak segera menyudahi semua ini.

"Tunggu Hinata-chan. Beri aku waktu tiga menit saja. Aku masih ingin seperti ini. " jawabnya tulus.

Hinata kembali membelai surai blonde itu penuh sayang.

"Berapa bulan lagi?"

"Hanya tinggal tiga bulan lagi saja. Setelah itu dia akan datang mengisi keluarga kecil kita."

"Begitu ya? Aku sudah tidak sabar, Hinata-Chan."

-I'm Happy With You-

"Sayur sudah, buah sudah, susu bubuk sudah ah, apalagi ya?" wanita itu mengecek satu persatu daftar belanja bulanan yang ada ditangannya. Semua keperluan yang ia tulis dikertas sudah tercentang penuh. Tapi tetap Hinata masih merasa ada yang kurang.

Pandangannya mengikuti arah tubuhnya yang kini menatap kearah belakang. Nyonya Namikaze itu tersenyum saat melihat sang suami yang kini mendorong roda belanjaan mereka. Ia sampai terkekeh geli melihat tingkah suaminya yang begitu antusias.

Merasa tengah di perhatikan, Naruto menatap kearah depan dan ya, dirinya mendapati sosok sang istri yang kini tersenyum sangat lembut sambil menatap kearahnya.

"Naruto-kun lelah ya? Haha..." wanita itu berjalan mendekati Naruto.

"Ah, tidak kok Hinata-chan. Kalau cuma begini sih keciiil." angkuhnya seraya menepuk dadanya.

"Pasti sangat membosankan ya? Habisnya Naruto-kun sih, khawatirnya berlebihan. Aku masih bisa belanja bulanan sendiri." rengutnya manja.

"Aku sangat senang bisa menemani Hinata-chan belanja. Kapan lagi kita bisa punya waktu berduaan begini. Lagi pula aku kan sedang libur kerja. Jadi tidak ada salahnya." kerlingan Naruto sukses membuat sang istri salah tingkah.

"Dasar!"

Kembali, wanita itu mengedarkan seluruh permata rembulan miliknya. Ia berjalan berdampingan dengan Naruto dan sesekali sang suami membuat lelucon yang terkadang membuatnya terkekeh geli. Memang, hidupnya tak serba berkecukupan seperti dulu. Tapi ia bahagia dengan keluarganya yang sekarang.

"Dan Hinata-chan tahu, Chouji itu adalah teman kerjaku yang paling payah dan gila makan. Berani-beraninya dia mencuri bento yang Hinata-chan buatkan untukku, padahalkan itu sangat spesial. "

"Hahaha Oh ya? Mungkin Naruto-kun pelit sih, tidak mau bagi -bagi."

"Bukan begitu Hinata-Chan. Dia itu benar-benar monster berkepala manusia. Makannya itu tidak tanggung-tanggung. Hahaha~"

Wanita itu tersenyum lemah. Pekerjaan Naruto benar-benar sangat berat dan ia takut suaminya kekurangan nutrisi atau apapun itu.

"Pasti Naruto-kun sangat lelah ya. Tiap hari berangkat pagi lalu pulang saat matahari sudah tidak kelihatan. Ketika siang, akan tersengat matahari secara langsung. Belum lagi mengangkat batu-batu besar, beton, mengukur ini dan itu, diatur ini dan itu, pasti sangat lelah ya." wanita itu sejujurnya sangat tidak sanggup jika harus mengingat kerja keras yang dilakukan oleh suaminya. Naruto hanyalah seorang buruh bangunan yang sedang mengerjakan beberapa proyek besar milik pemerintah. Tiap kali ia membayangkan pekerjaan yang sangat beresiko itu, sejujurnya ia ingin menangis. Tapi di satu sisi dirinya bahagia karena Naruto melakukan itu semua dengan segala jerih payahnya. Masih lebih baik daripada mereka merepotkan orang lain.

"Aku ini kuat Hinata-chan. Ayolah jangan berikan tatapan seperti itu. Kalau tidak percaya, nih lihat otot-otot tanganku." lelaki itu bergaya ala binaragawan lalu mulai memamerkan ototnya yang memang sangat bagus. Selalu saja Naruto bisa membuatnya kembali tersenyum. Padahal detik sebelumnya ia merasa sangat sedih.

"Hahaha hentikan Naruto-kun, jangan membuat pose yang menggelikan begitu~" jemarinya menyentuh sudut matanya yang mengeluarkan cairan.

Beberapa mata mulai melirik kearah pasangan suami istri yang sejak tadi terlihat sangat mesra itu. Mereka sampai merona melihat kedekatan keduanya.

"Naruto-kun, sudah-sudah. Kita sudah jadi bahan tontonan." kembali, satu cubitan menyapa kulit lengan Naruto dan lelaki itu sedikit mendelik kearah Hinata. Memang cubitan perempuan itu tidak ada duanya, pikirnya.

"Hinata-chan, sakit tau." yang mencubit malah menjulurkan lidahnya sambil terkekeh melihat reaksi Naruto.

"Awas ya Hinata-chan, pasti kubalas."

Hinata berjalan lebih dulu kali ini dan meninggalkan Naruto yang masih sibuk mengelus lengannya yang terkena cetitan sayang dari Hinata. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Itu dia, jejeran coklat yang menjadi kesukaannya saat masih menjadi keluarga Hyuuga dulu. Tapi dia tahu, kali ini ah lebih tepatnya sekarang, dia tidak boleh berfoya-foya lagi demi keinginannya semata.

Ia harus mampu mengendalikan diri, mengatur keuangan dan mempersiapkan segala hal untuk menyembut buah cinta mereka nantinya. Uang yang diterima Naruto sungguh sangat pas-pasan. Jadi dia pun harus bisa menolak gelenyar keinginan yang kerap kali timbul dari dalam hatinya.

Naruto membatu saat melihat Hinata yang hanya terpaku begitu. Ada perasaan bersalah yang mencuat kepermukaan karena dirinya tak mampu memenuhi seluruh keinginan sang istri. Tangannya terkepal erat, dan dirinya hanya bisa menatap Hinata dai kejauhan.

Cukup lama Naruto menatap Hinata Hinata dalam diam dan istrinya itupun masih belum bergerak dari posisi awalnya.

Biru laut miliknya membelalak lebar saat melihat Hinata yang kini menunduk dalam. Bukan karena ia tak dapat memenuhi keinginannya, tapi karena sosok yang tanpa sengaja kini berapasan dan berhadapan dengan istrinya. Naruto membatu, ia ingin menyusul Hinatanya hanya saja kakinya sangat sulit untuk digerakkan.

"A-Ayah~"

-I'm Happy With You-

Hinata menunduk dalam tanpa sedikitpun berani menatap kearah sosok di hadapannya. Suasana supermarket yang sebenarnya berisik, menjadi sangat hening untuk mereka bertiga. Naruto memandang Hinata dengan khawatir. Sungguh, ia bahkan tak sanggup menggerakkan tubuhnya untuk segera menyusul Hinata.

Tatapan yang penuh rasa tidak suka kini terpampang jelas di hadapan Hinata. Wanita itu merasa bahwa ayahnya sudah sangat jijik melihat dirinya.

Hanabi yang sejak tadi sibuk memilih beberapa coklat sampai heran karena sejak tadi tidak di respon. Dirinya pikir ayahnya tepat berada dibelakangnya, tapi ternyata sang ayah sudah berdiri tepat di hadapan sosok yang sangat ia rindukan.

"Kak Hinata." desisnya dengan keringat dingin yang mulai mengalir.

"A-Ayah, Apa kabar?"

Hening.

Tak ada jawaban sama sekali dari sang ayah. Wanita itu benar-benar tengah ditikam oleh tatapan yang diberikan oleh ayahnya sendiri.

Hanabi berlari kecil kearah keduanya. Takut-takut jika hal yang tidak diinginkannya terjadi.

Satu lengannya ia gunakan untuk menyelipkan helaian mahkota indigo tersebut kebelakang telinganya. Dengan keberanian yang ia punya ia mulai menatap sang ayah yang ternyata tengah memandangi perutnya yang mulai membesar. Wanita itu ingin menangis, tapi dia yakin dengan pilihannya.

"Kak Hinata, apa kabar? Wah, kakak kelihatan semakin cantik saja." Hanabi datang dengan nafas terengah. Ia ingin mencoba untuk mengalihkan tatapan ayahnya yang seperti siap membunuh.

"Terima kasih Hanabi-chan." jawab Hinata dengan mantap.

Hinata tidak ingin berlari karena ini adalah pilihannya, jalan hidupnya untuk bersama dengan Naruto.

Hiashi masih tetap diam sambil menatap Hinata.

"A-Ah, Kak Hinata pasti ingin membeli coklat kesukaanmu kan? Aku akan ambilkan ya." Hanabi berani bersumpah bahwa ia sangat kikuk sekarang. Ayahnya terlihat sangat mengerikan dan sepertinya masih belum bisa untuk menerima pilihan Hinata.

"Tidak Hanabi-chan, aku tidak ingin membeli cokelat." suaranya melemah.

"Wah, kenapa kak? Padahal kan ini coklat kesukaan kakak. Lagipula, sepertinya calon keponakan ku juga ingin tuh." niat Hanabi memang sangat baik, tapi sayang dia salah mengambil topik lantaran gugup luar biasa.

"Haha tidak Hanabi-chan. Aku sudah tidak terlalu suka de-"

"Dia tidak akan sanggup untuk membelinya."

Hiashi berkata dengan sangat kejam. Hinata hanya tersenyum getir mendengar ucapan ayahnya. Dia sadar, dia bukan siapa-siapa sekarang.

"A-ayah, jangan berkata begitu. Kakak ti-"

"Itu benar Hanabi-chan. Aku tidak sanggup untuk membelinya sekarang. Mungkin nanti, aku harus menabung dulu." ucapannya jujur. Ada getir di nada bicara Hinata, tapi Hanabi yakin kalau kakaknya bahagia dengan hidupnya yang sekarang.

Ketiganya masih tetap diam. Hinata terluka dengan ucapan sang ayah untuk kesekian kalinya. Tapi ia ingin buktikan bahwa ia mampu dan tidak salah menempatkan cintanya. Dia yakin bahwa Naruto adalah pilihan yang tepat untuk kebahagiaannya. Sekalipun dirinya di tentang, tak apa asal ia bisa buktikan bahwa ucapannya adalah benar. Naruto tidak seperti yang mereka pikirkan.

"Ah, kakak datang kesini dengan siapa?" kembali, ucapan Hanabi seperti angin lalu yang tak mampu di respon oleh Hinata. Lebih tepatnya, lidahnya terasa sangat kelu dan ada rasa sesak di dadanya.

"Aku membiarkan kalian menikah dan hidup bersama tapi bukan berarti aku menyetujui itu semua. Mungkin kau bisa mendapat restuku walau itu semua kulakukan dengan setengah hati. Tapi ingatlah, Namikaze Hinata! Kau bukanlah bagian dari kami lagi. Aku bahkan tidak mau mengakui keberadaanmu lagi. Bagiku kau sudah mati. Jangan pernah menginjakkan kakimu di kediaman Hyuuga." sosok itu pergi berlalu dan meninggalkan begitu banyak rasa sakit untuk Hinata.

Mereka salah jika mereka pikir bahwa Naruto itu adalah pria kurang ajar, brengsek, atau apapun itu seperti yang mereka tuduhkan selama ini.

Naruto memang pernah memiliki masa kelam, tapi sekarang lelaki itu sudah meninggalkan segalanya demi memulai kehidupan baru dengan Hinata. Ini memang salahnya karena tidak pernah menjelaskan dengan tuntas tentang Naruto kepada sang ayah. Atau lebih tepatnya, hati Hiashi Hyuuga berubah menjadi batu ketika mengetahui putri kesayangannya menjalin hubungan dengan orang yang menurutnya sangat berbahaya.

Air mata Hinata menetes. Hanabi pun tidak tahu harus berbuat apa.

"Kak, tolong jangan terlalu mengambil hati ucapan ayah yang barusan ya."

Tatapan Hinata tampak kosong.

"Apapun itu, aku percaya dengan pilihan kakak dan aku juga merasa bahwa Naruto bukan tipikal yang seperti di elu elu kan oleh Ayah. Aku percaya Naruto orang baik."

Gelegar di hati Hinata serasa ingin tumpah. Ada yang percaya dengan pilihan dan ucapannya. Itu cukup membuatnya kembali ingin menangis haru saat ini.

"Kalau kakak butuh sesuatu, kakak boleh menghubungiku. Kapanpun, aku siap membantu."

Hanabi berlalu mengikuti ayahnya. Hinata masih memandangi keluarganya dalam diam. Ternyata dia benar-benar menyayangi adiknya itu.

"Terima kasih banyak, Hanabi-chan. Tapi sepertinya aku tidak bisa menerima niat baikmu."

-I'm Happy With You-

Naruto merasa menjadi lelaki paling pengecut sekarang. Ia sungguh tak menyangka bahwa tubuhnya menjadi sangat sulit digerakkan dan dengan bodohnya ia membiarkan Hinatanya mendapat ucapan-ucapan kejam. Apapun itu, dia yakin bahwa percakapan yang terjadi di antara keluarga Hyuuga tadi, pasti terselip cemoohan untuk istrinya dan itu karena sang istri lebih memilih untuk mencintainya.

Walau dirinya tak bisa mendengar percakapan tadi, ia tahu bahwa Hinata kembali terluka sekarang.

Naruto mendekati Hinata dengan langkah yang terasa sangat berat. Hinata sedang tidak stabil, kondisinya lemah, ia semakin ketakutan apa yang baru saja terjadi bisa membuat wanitanya semakin terpuruk.

Lengan kokohnya merangkul pundak kecil Hinata lalu mulai menyembunyikan wanita itu di dadanya. Hinata melemah dan Naruto sadar dengan itu.

"Maaf Hinata-chan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku."

Satu anggukan diberikan oleh Hinata. Kepalanya terangkat dan lantas menatap intens biru laut suaminya.

"Naruto-kun, aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Kumohon, apapun yang terjadi jangan pernah kembali kemasa kelam itu. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Terlebih, tolong jangan hancurkan kepercayaanku."

.

.

TBC

Ahahahahaha Hollah minna semuanyaaa :D saya datang niiiih . mumpung lagi liburan, gak ada salahnya ketik-ketik dikit. Hihihi dan hey, ini fanfic pertama yang saya buat lewat handphone. Ano, maksudnya saya ketik lewat hp terus diedit deh lewat nb. Ternyata lebih asyik pakai cara ini :D

Fanfic ini tercipta untuk membunuh kebosanan saya. Huhuhu biasanya kalau dikampus kena kerja paksa, sekalinya dikasih waktu senggang gini malah gak tau mau ngapaiiin. Saya bosssaaan, jadinya nyoba ketik-ketik lagi deh :p

Fic ini mungkin Cuma 2 atau 3 chap saja tapi... :"D gak tau kenapa, sekalipun saya bilang saya lelah, tapi saya masih belum sanggup berpaling dari pairing ini :"3 terlalu cinta sama NaruHina.

Kemarin-kemarin saya pikir FNI sepi loh, eh gak taunya waktu iseng-iseng buka traffic cerita sendiri... ebussssett dah, ternyata berbanding terbalik dari apa yang saya pikirkan sebelumnya. Hahaha ternyata NHL tetap banyak walau keep in silent :D

Bulan september nanti saya akan kembali beraktivitas ke dunia nyata sebagaimana mestinya. Dan setelahnya saya bakal hiatus panjang lagi. Saya ini profesinya sudah jadi author dua kali setahun mungkin :") bahkan saya tidak jadi silent reader #DOR tiap udah update story, saya pasti pergi. Kalau pingin buat kelanjutan saya buat, nah entar di update lagi, terus pergi lagi. Udah, gitu doang. Jadi gomeeen minnaaaa kalau saya tidak adiiil dan tidak baca cerita kalian padahal kalian sudah bersedia membaca ini #kepedean woy! :"""

Terlebih, buat yang menantikan fic MLS, saya mohon dengan sangat jangan berharap terlalu banyak sama fic itu. Saya takut kalian kecewa :") maaafff, maaafff, maafff.

Fic ini mudah-mudahan akan saya selesaikan saya akan berusaha.

Semoga fic ini menghibur yaaaa~

Jaa~

Yang merindukan kalian

-Lichan-

19.10/05082014