Dunia Tetsuya Jungkir Balik
Chapter 2
黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi
DTJB © Tisa's Flower
Warnings: Banyak sekali typo, misstype, yaoi, shoujostyle, penistaan OC, OOC, mpreg (cuma di chapter-chapter akhir, tapi buat peringatan aja kali nanti ada yang protes), dll.
Very special thanks: Scattering Petals, Hanzillian Chan, Hanakocchi, Kurousa Hime, Guest, rea, UraHime Hikaru, ain, Bona Nano, sofi asat, Pixelcy61129, Flow . L, nshawol566, Thalia Tetsuna, svetthyana22, Keys13th, NaeAizawa, araya . faiqo, Guest (2), Arika Shikari, S . Hanabi. Semua yang telah nge-fave dan follow. Para pembaca.
A/N: Maaf untuk update yang lama, gara-garanya file chapter 2 yang udah Tisa buat itu hilang, jadi rada kesel dan males nulis lagi tadinya. Untung ada review-review dari readers yang bikin Tisa semangat buat nulis, kalau enggak udah Tisa lupain ini fic—ngga ding, ngga sampe segitunya XD. Arigatou ookii :')
Selamat menikmati fanfic ga jelas ini :D
一番きれいな色って何だろう
Apakah warna yang paling indah?
一番光ってるものって何だろう
Apakah hal yang paling bersinar terang?
僕は探していた最高のGIFT を
Aku telah mencari hadiah yang terbaik—
君が喜んだ姿をIMEEJI しながら
—sembari membayangkan apa yang akan membuatmu bahagia
Insert Song: GIFT – Mr. Children
Petang itu menjadi petang terpanjang yang pernah Kuroko Tetsuya lewati sejauh wktu hidupnya sampai sekarang, setelah dihadapkan pada situasi aneh yang tidak terlihat menguntungkan.
Dia, Kuroko Tetsuya, lelaki tulen, 14 tahun, murid terlampau biasa dari SMP Teikou, yang bahkan tak pernah diingat oleh teman-teman sekelasnya. Yang bahkan tak pernah diketahui eksistensinya oleh guru-guru pengajar. Yang wajahnya sering tertusuk sikut orang tak dikenal karena saking sering dikira dinding untuk bersandar.
Ya, Kuroko yang itu. Kuroko yang tak ubahnya angin lewat itu mendadak jadi terkenal. Terkenal bukan sembarang terkenal, melainkan terkenal akibat dinikahi oleh putra tunggal salah satu orang terkaya di Jepang secara live di stasiun televisi yang diudarakan secara serempak ke seluruh penjuru Jepang.
Kuroko Tetsuya dinikahi putra mahkota dari keluarga Akashi, yang sama-sama bocah baru baligh, yang sama-sama masih sekolah, dan sama-sama lelaki. Dan saat itu... lensa kamera tepat berada dua inchi di depan lensa matanya, beradu.
Ia takut tak akan berani menghadapi esok. Ia takut menghadapi ratusan fangirls Akashi yang bahkan tadi sudah nyaris meluluhlantakkan gerbang depan sekolah mereka. Siapa sih yang terima jika idola kalian, yang selalu datang di mimpi kalian sebagai sosok pangeran, secara tiba-tiba mematahkan hati fansnya dengan mengatakan bahwa ia telah menikah. Hati fans mana yang tak akan sakit? Apalagi yang idola mereka pilih adalah seorang lelaki!
Gadis-gadis murka itu berdemo sambil membawa kertas berukuran poster yang bergambar wajah close up Kuroko yang disilang dengan tinta merah. Di bawahnya tertulis: Say NO To AkaKuro.
Kuroko hanya bisa termangu, waktu itu belum sadar apa yang dimaksud dengan 'AkaKuro' sampai Akashi menjelaskan bahwa 'AkaKuro' adalah gabungan nama mereka berdua. Entah mengapa kok rasanya mereka malah seperti dipasangkan.
Dua penjaga sekolah yang nyaris gepeng terinjak berpasang kaki gadis puber di sana pada akhirnya mampu menarik nafas lega ketika biang kerok dari permasalahan ini datang dengan sikap coolnya, membuat gadis-gadis di sana berubah ke mode anak anjing yang minta dikasihani.
Sewaktu mendapat kabar akan adanya inspeksi dari fangirls, Akashi dan Kuroko masih berduel di dalam gym. Mereka baru bertanding selama 7 menit dan belum ada satu pun yang mencetak angka ketika jeritan penjaga sekolah terdengar. Akashi menghentikan permainan, dan Kuroko merasa digantungkan karena tidak akan mendapat jawaban apapun dari si rambut merah yang memaksa jadi suaminya itu. Ia tidak akan mendapat jawaban Akashi tentang apa yang membuat pemuda itu menikahinya dengan cara yang tidak wajar.
Akashi dan para penggemarnya masih terhanyut dalam obrolan mereka ketika Kuroko menyusup ke celah-celah terkecil di antara mereka. Dan tak ada seorang pun yang menyadari. Mungkin misdirectionnya terlampau hebat, atau mungkin pesona Akashi terlalu kuat untuk mengalihkan dunia.
Jalan yang Kuroko lalui malam itu sangat sepi, tapi ia tidak khawatir sama sekali. Kuroko tak takut dengan anjing liar, hantu, atau makhluk jejadian lainnya—kalau hal seperti itu memang ada. Bahkan mungkin mereka malah akan salah mengenalinya sebagai salah satu dari mereka.
Sambil berjalan dengan tenang, pemilik rambut biru itu mengeluarkan handphone yang berhasil ia temukan di loker. Jemarinya menekan keypad down, mencari-cari nama seseorang yang harus ia hubungi secepat mungkin, Kuroko Satoru—paman yang ada di desa. Tekadnya bulat, ia akan pergi dari Tokyo.
Kuroko menekan tombol berwarna hijau dan menempelkan speaker ke telinga. Di seberang sana nada sambung terdengar, beriringan dengan gesekan sepatu di atas aspal, serta derik serangga malam. Kuroko menanti dengan sabar.
Gagal, panggilannya masuk ke mail box. Dicobanya sekali lagi.
Masih sama. Tapi Kuroko tidak menyerah.
Gerbang kayu kecil rumahnya yang rapuh sudah terlihat beberapa meter di depan mata ketika terdengar sambutan dari seberang telepon. Bukan suara pria.
"Moshi moshi?" Kuroko menyapa ragu. Ia berhenti berjalan. Tak lama kemudian balasan salam tersampaikan.
"Ini siapa?"
"Kuroko Tetsuya desu."
"Oh, Tetsuya-kun? Ini Reiko."
Butuh waktu beberapa detik bagi Kuroko untuk mengingat siapa wanita bernama Reiko yang ternyata adalah istri dari pamannya. Sebenarnya bukan wanita itu yang Kuroko harap menerima panggilannya, tapi ya sudahlah.
"Bibi turut berduka cita atas musibah yang menimpa kedua orangtuamu. Sekarang kau tinggal sendiri kan?"
"Benar, Oba-san. Kalau boleh—"
"Lalu bagaimana? Apa kau akan menjual rumahmu untuk biaya sekolah? Kudengar SMP Teikou itu sekolah swasta yang bayarannya mahal?"
"Aku belum memikirkan ke arah itu, tapi aku ingin berhenti sekolah dan—"
"Astaga! Putus sekolah? Lalu kau mau jadi apa? Kuli batu? Atau mengasingkan diri dan jadi pengangguran?!"
Inilah yang kurang Kuroko sukai dari bibinya, selalu memotong pembicaraan dan menerka-nerka sesuatu hal seenak persepsinya sendiri.
"Ooh... jangan bilang kau ingin mengasingkan diri ke sini?"
Kuroko menghela nafas panjang. Ia ingin bicara pada pamannya. Pada siapa lagi ia bisa mengadu? Hanya sang paman, adik dari mendiang ayahnya yang bisa menolongnya barang sedikit.
"Kenapa tidak menjawab, Tetsuya-kun? Jangan-jangan tebakanku benar? Tidak, tidak, kau tidak boleh kemari—mungkin boleh, tapi jangan menumpang di rumahku. Kami sudah hidup berkecukupan, tak perlu menambahkan lelaki muda pengangguran yang hanya akan menjadi beban—"
Telinga Kuroko panas sebelum ia sempat menjelaskan apapun. Tanpa sadar ia meremas ujung pakaiannya kuat-kuat.
"—ingat dunia kita sendiri-sendiri, Tetsuya-kun. Dan jangan pernah mengganggu suamiku. Ia sedang berbahagia bersama anak kami yang baru lahir dan butuh banyak perhatian."
"Aku tidak butuh perhatian." Entah mengapa Kuroko merasa suaranya bergoyang tak stabil, begitu pula genggaman pada telepon selularnya yang mulai licin. Ia meneguk ludah dan menunduk. "Aku tak butuh perhatian, aku hanya ingin—"
Mendadak ia tak mendengar suara bibinya lagi. Handphone di genggamannya lenyap, berpindah tangan pada seseorang yang tidak tahu sejak kapan sudah ada di belakangnya.
Baru kali ini Kuroko merasa terkejut—biasanya kan ia yang suka mengagetkan.
"Moshi moshi, Oba-san?" Sembari menyandarkan punggung dengan santai di tembok, Akashi Seijuurou mengapit handphone milik Kuroko di antara telinga kanan dan bahunya. Tangannya terlipat di depan dada dan bibirnya menorehkan senyum kecil yang misterius.
"Ini siapa? Mana Tetsuya-kun?"
Volume sang bibi ternyata cukup tinggi sampai Kuroko bisa mendengarnya meski berjauhan dari speaker. Anak itu menatap pemuda yang baru muncul itu dengan roman hambar.
"Akashi-kun, apa yang kau lakukan?" tanya Kuroko, terlihat lelah. Dalam bola mata beriris biru cerah itu dapat Akashi temukan gurat-gurat tipis bernoda merah.
Akashi hanya membalasnya dengan senyuman yang sama. "Anda sedang berbicara dengan Akashi Seijuurou."
"Akashi... Seijuurou?"
"Apakah Anda pernah mendengar nama tersebut? Kalau pun tidak, hal itu sama sekali bukan masalah besar."
"A-Akashi... Seijuu...rou?! Anak konglomerat itu?!"
"Bisa jadi." Akashi tertawa kecil mendengar respon wanita tersebut.
"Sungguhan Akashi Seijuurou yang ITU?!"
"ITU yang mana yang Anda maksud?"
Kuroko tahu Akashi sengaja melakukan itu, tak diketahui apa maksudnya. Ia berusaha merebut kembali handphonenya namun dengan gesit Akashi mengangkatnnya tinggi. Walau tinggi badan mereka tidak berjarak jauh, namun tetap saja Kuroko itu masih beberapa senti di bawahnya.
"Akashi-kun, tolong jangan kerjai Reiko oba-san," ucap Kuroko sambil melompat untuk meraih handphonenya, tapi dengan cerdik Akashi selalu berhasil menghindarinya.
"Aku ingin bersenang-senang sebentar, Tetsuya," respon Akashi. Ia mendorong tubuh Kuroko ke tembok dan menahan dengan tubuhnya sendiri dalam posisi yang ambigu. Kuroko tak dapat bergerak dan kesulitan mengambil nafas karena dada Akashi menekan dadanya terlalu rapat dan kuat.
Untung saja sedari tadi tak ada seorang pun tetangga yang lewat. Mau ditaruh di mana wajah Kuroko nanti. Gosip di antara para tetangga menyebar lebih cepat dari pada kobaran api di pada peristiwa kebakaran di kompleks sebelah satu bulan silam.
Agaknya Akashi melupakan sedikit niatnya untuk menjahili bibi Kuroko ketika ia menyadari bahwa antara dirinya dan Kuroko tak lagi memiliki jarak yang berarti.
Hormonnya memberontak kala pandangannya terperangkap dalam sorot dingin bola mata biru yang besar namun terlihat lelah.
Akashi memajukan wajah dan memiringkannya, seolah-olah siap mencium bibir Kuroko kapan saja. Pemuda lain yang bersangkutan hanya diam saja dengan ekspresi yang tidak berubah.
"Hm... wajahmu tidak memerah sama sekali? Menarik." Akashi menyeringai. "Biasanya kalau kulakukan hal ini pada seorang gadis, mereka akan berteriak kegirangan, wajahnya memerah seperti kepiting rebus, mimisan, atau bahkan pingsan. Padahal tak ada niatan untuk mencium mereka sedikitpun. Tidak pernah ingin mencium siapapun kecuali Tetsuya."
Helaan nafas panjang yang hangat mengalir keluar dari hidung mungil Kuroko, menggelitik pipi Akashi yang masih betah berada dalam jarak kurang dari lima sentimeter darinya. Akashi memperhatikan wajah imut Kuroko lama. Dia ingin sekali menyentuh wajah itu dengan bibirnya dan meninggalkan jejak manis di sana, tapi entah kenapa seperti ada yang menahan pergerakannya. Mungkin malaikat pelindung Kuroko yang melakukan karena tidak ingin kesucian anak malang itu terenggut secepat ini.
"Karena aku bukan fans Akashi-kun, atau gadis yang menyukai Akashi-kun," jawab Kuroko seadanya. "Aku juga tidak mau dicium Akashi-kun."
"Tapi kau istriku."
Kuroko melipat dahi. "Itu pernyataan sepihak. Aku tidak akan pernah mau jadi istri Akashi-kun."
"Bagaimana dengan 'suami'?"
"Tidak juga."
"Kalau—"
"AKASHI SEIJUUROU!"
Perdebatan sejoli merah-biru itu harus diakhiri ketika terdengar suara teriakan dari speaker. Akashi mendengus dan kembali menempelkannya ke telinga seraya melepaskan Kuroko dari penjara yang dibuatnya.
"Ya, Oba-san?"
"A-aku melihatmu barusan di televisi bersama T-Tetsuya-kun..."
"Benar, mulai sekarang saya adalah keponakan ipar Anda. Yoroshiku, ne."
"A-Akashi-san... Tetsuya-kun mana? Aku ingin berbicara dengan keponakanku—"
Akashi menyeringai lagi, "Kenapa saya mendengar nada suara Oba-san berubah lebih lembut? Oba-san mau memberi Tetsuya selamat? Baiklah, akan saya sampaikan nanti."
"Tungg—"
Pip.
Akashi meraih sebelah tangan sang 'istri' dan menaruh handphone yang habis dipakainya ke dalam rengkuhan jemari nan pucat. Sepasang heterokrom merah dan emas berkilat puas.
Sementara Kuroko masih memandangi tangannya yang berisi telepon flipnya dengan bingung, tiba-tiba pemuda lain di sana menarik pergelangan tangannya, memasuki pekarangan rumah.
"Tadaima," seru Akashi, hendak masuk ke rumah tetapi sang empunya rumah sendiri sudah berdiri di depan pintu, menghalangi.
"Ini bukan rumah Akashi-kun. Pulanglah, sudah malam. Orangtua Akashi-kun pasti sangat khawatir," ucap Kuroko, yang memang diucapkan dari dasar hatinya. Akashi mendengus.
"Rumah Tetsuya adalah rumahku juga. Karena kita adalah sepasang—"
"Tolong hentikan!" Akashi terperanjat dan harus mundur beberapa langkah kala telapak tangan Kuroko yang dingin menepuk keras kedua bahunya. Wajah di hadapannya terlampau serius. Dan marah, barangkali?
"Kenapa Akashi-kun ingin menikah denganku?"
"Karena aku mencintaimu."
Kepala biru menunduk sambil diam-diam tersenyum pahit. Setiap orang mudah mengatakan cinta, namun alasan dibalik seseorang mencintai orang lain itu apa?
Kuroko tak pernah percaya dengan cinta. Di dunia ini, orang yang pernah menyatakan cinta padanya hanya ada dua: ibu dan ayah. Tetapi mereka meninggalkannya. Bagi Kuroko, cinta itu karma. Siapa saja yang mencintainya pasti akan meninggalkannya.
"Kenapa Akashi-kun mencintaiku? Padahal kita baru bertatap muka hari ini, berbincang hari ini, berteman hari ini—tetapi mengapa Akashi-kun seakan-akan sudah lama mencintaiku?"
"..."
Jeda hening yang Akashi berikan membuat Kuroko tak kuasa menahan kepalanya untuk kembali tegak. Di depannya, Akashi sedang tersenyum. Senyum biasa, tidak mengandung unsur misterius, ancaman, kejahatan, maupun unsur hitam lainnya.
"Kau mau tahu? Jawabannya ada di sini, melingkari jari manisku." Akashi mengangkat sebelah telapak tangan, memperlihatkan cincin berwarna perak berukiran nama 'Tetsuya' yang sangat pas di sana. "Kau tidak ingat dengan cincin ini?"
Sontak Kuroko menggeleng. Ia tidak tahu dari mana asal cincin yang kelihatan mahal itu. Ia tak pernah merasa memiliki apalagi membelikannya untuk Akashi. Ditatapnya cincin sejenis yang melingkar di jari manisnya, yang terukirkan nama Akashi. Entah kapan anak laki-laki itu berhasil memasukannya, Kuroko tak pernah sadar. Parahnya, cincin yang bisa menimbulkan kontroversi itu sekarang terjebak di sana dan tidak dapat dikeluarkan.
"Beritahu aku," pinta Kuroko dengan agak memelas, antara putus asa dan kecapekan. Cincin Akashi membuatnya penasaran, terlebih itu menyangkut dirinya.
"Boleh," jawab Akashi santai, memejamkan matanya sejenak kemudian membukanya kembali. Sorot mata itu sedikit berbahaya. "Tapi cium dulu di sini—" ia mengusap bibir merahnya sendiri menggunakan ibu jari, "—pakai ini," dan memeletkan lidahnya keluar seperti anak kecil.
Dalam kehidupan sehari-hari yang penuh kepalsuan, Akashi memang terkenal banyak bertingkah imut—jika ditilik dari kacamata para penggemar fanatik—termasuk juga saat ini. Namun dari kacamata Kuroko, tingkah Akashi yang demikian malah membuatnya terganggu. Dan sedikit bergidik seram.
"Apa ada pilihan lain?"
Akashi mendengus kecewa, gagal mendapatkan french kiss secara baik-baik. Mungkin ia akan gunakan cara paksaan kapan-kapan.
"Jika kau punya tawaran bagus, kenapa tidak?"
Kuroko terlihat berpikir, cukup lama. Anak itu menyandarkan punggung kurusnya di tembok sambil menahan dahinya yang terantuk-antuk menggunakan kepalan tangan. Sepuluh menit kemudian Kuroko beranjak menghadap Akashi setelah sebelumnya menguap lebar, dan Akashi baru menyadari jika mata anak itu separuh terpejam dengan kantung hitam tipis menggantung di kelopak matanya. Apa dia sedang setengah tertidur?
"Aku akan menikah denganmu!"
"Eh?"
Apa efek orang yang ngantuk sama dengan orang yang mabuk? Baru beberapa saat tadi, Kuroko bilang tidak akan pernah mau menikah dengannya. Anak berhawa tipis itu memang menarik. Akashi sangat menyukainya.
"Sudah sewajarnya kan, Tetsuya?"
"Tapi aku punya syarat."
Pernyataan yang membuat sebelah alis sang tuan muda terangkat.
"Yang pertama, tolong ralat pernyataan Akashi-kun tentang pernikahan kita. Bilang ke media kalau itu semua bohong. Kedua, Akashi-kun harus memperlakukanku seperti memperlakukan teman Akashi-kun yang lain. Atau kalau perlu, tidak usah pedulikanku sama sekali—itu akan terlihat lebih normal. Ketiga, aku tidak ingin menikah sebelum kita cukup umur. Usia legal pria Jepang untuk menikah itu 18 tahun, jika Akashi-kun belum tahu. Yang terakhir, jangan pakai cincin kita di depan umum. Sebagai antisipasi jika ada orang yang akan curiga dan membuat berita jelek tentang Akashi-kun."—Oh, manis sekali... Kuroko mengkhawatirkan reputasi calon suaminya ternyata.
Celotehan dari bibir mungil itu terucap dengan nada dan ritme tak beraturan, yang mana membuat Akashi harus percaya benar bahwa Kuroko mengutarakannya dari alam bawah sadar. Kalau sudah begini kasihan juga, anak itu harus ikut merasakan keletihan, dampak dari menanggung hasil perbuatan semena-menanya.
Tanpa berpikir panjang, Akashi menangkupkan kedua telapak tangannya pada pipi hangat Kuroko, khawatir. "Kau nampak sangat lelah, Tetsuya."
"Setujui dulu syarat-syaratnya, Akashi-kun."
"Jadi Tetsuya lebih menyukai status pernikahan yang private? Baiklah. Tapi jika suatu saat kau memberontak, aku akan melakukan pemaksaan dan kau tidak boleh protes." Akashi menepuk kedua pipi Kuroko keras, membuat anak itu terbelalak kaget—dipaksa kembali dari alam bawah sadarnya. Kedua matanya mengerjap-ngerjap, membiasakan dengan suasana sekitar. Kalimat Akashi masih belum selesai. "Kemudian soal cincin ini, terus terang aku tidak ingin melepaskannya. Lagi pula hanya cincin ini yang bisa menandakan jika aku sudah dimiliki dan memiliki seseorang."
Kuroko mengucek kedua matanya. Barusan itu ia pikir sudah terlelap di kasur kecilnya, ternyata belum? Dan barusan Akashi bilang apa?
"Jika kau ingin tahu sejak kapan dan mengapa aku mencintaimu, serta hubungannya dengan cincin ini, temukan aku besok saat jam istirahat pertama."
Akashi melepaskan tangannya dari wajah Kuroko yang kebingungan, menepuk kepala di hadapannya dengan pelan, dan berjalan menjauh.
"Jangan lupa janjimu, aku akan menagihnya nanti. Empat tahun lagi." Nyaris saja putra tunggal Akashi itu lepas terbahak menemukan setitik ekspresi tercengangKuroko dalam wajah ngantuknya, tapi berhasil ia tutupi dengan senyum manis—yang mana hanya Kuroko anggap sebagai halusinasi semata. "Tidur yang nyenyak, Tetsuya. Sampai jumpa besok."
Pesan terakhir Akashi sebelum dia lenyap begitu saja dari pandangan, terus terngiang di benak Kuroko.
Besok...
Besok...
Besok. Untuk pertama kalinya, di samping mendiang orangtuanya, ada orang lain yang menantikan kehadirannya.
Kuroko menutup pintu dan berjalan dalam keremangan menuju kamar. Ia menguap lagi, dan setetes air hangat meluncur jatuh di pipinya tanpa sadar. Rasa hangat yang muncul tak terduga di dadanya sama persis seperti rasa hangat yang ia rasakan saat orangtuanya membisikinya kata-kata lembut pengantar tidur. Dulu, di setiap malam yang hangat.
'Tidur yang nyenyak, Tetsuya. Mimpi indah. Otou-san dan Okaa-san mencintaimu...'
Binar mentari pagi baru mengintip setinggi 15 derajat ketika Kuroko selesai mengemas keperluan sekolahnya. Malam tadi ia tidak ingat bermimpi apa, tetapi saat terbangun ia merasakan lapang luar biasa—seolah semua masalah yang ada dalam pikirannya telah menyusut sedikit demi sedikit.
Sambil menyeduh segelas susu putih sebagai pengisi perut, anak itu menyalakan televisi.
"—Akashi Seijuurou kembali menggemparkan media dengan pernyataan bahwa pernikahan tempo hari hanya keisengan belaka. Ia tidak sedang memiliki hubungan istimewa dengan siapapun dan memilih untuk mengejar nilai untuk karirnya di masa depan. Namun bagaimanakah dengan perjodohan yang diselenggarakan oleh sang ayah? Apakah sama keisengan belaka?"
Pip.
"Yokatta..."
Kuroko menghabiskan susunya dalam sekali teguk, merapikan bajunya, meraih tas, memakai sepatu, dan beranjak dari rumah. Ia suka menyusuri jalan pagi hari yang sepi dengan udara yang masih bersih, membuatnya dapat berpikir dengan jernih... terutama soal hal semalam yang ia bicarakan dengan Akashi.
Hal itu tidak mampu ia ingat secara keseluruhan. Kuroko memiliki satu keadaan aneh di mana ia akan menceracau atau berbicara blak-blakan saat sedang mengantuk dan kelelahan berat, dan butuh waktu lama sampai berhari-hari untuk mengingatnya kembali.
Tadi malam ia melakukannya. Ia ingat membuat perjanjian dengan Akashi, dan syarat-syarat yang diajukannya. Tapi kalimat yang sebelum itu, telah dilupakannya sama sekali. Ia tidak ingat membuat syarat-syarat itu untuk apa meski otaknya dipaksa untuk mereka ulang kejadian-kejadian beberapa jam ke belakang.
"Sudahlah, toh Akashi-kun pasti tahu," gumam Kuroko seraya mempercepat langkah. Ia harus menemui Akashi di jam istirahat pertama nanti. Meski tak mengakui secara verbal, Kuroko merasa tidak sabar. Ingin segera bertemu Akashi.
"Kau lihat berita tadi pagi, kan? Ternyata pernikahan Akashi-ouji kemarin hanya bercanda! Sebenarnya aku sudah menduga hal itu!"
"Oh ya? Siapa yang kemarin menangis semalaman dan tidak mau makan seharian?"
"Tapi kasihan juga ya cowok yang dikerjai Akashi-ouji."
"Sepertinya dia anak Teikou juga. Aku pernah melihat cowok itu di sekolah kita, sekilas sih."
"Kyaaa... biarkan saja lah, tak ada urusannya dengan dia, yang penting kan Akashi-ouji sekarang single!"
Kuroko mengendap-endap melewati gerombolan siswi satu sekolahnya—fans fanatik Akashi, bisa diketahui dari cara memanggil mereka yang menambahkan embel-embel -ouji pada nama Akashi—sambil berpura-pura tidak mendengar apa yang mereka katakan. Ternyata meski bukan selebritis, pesona Akashi nampaknya jauh menyaingi selebritis yang sebenarnya.
Diam-diam Kuroko mengucap syukur. Apa jadinya kalau Akashi tidak menepati janji dan membiarkan ia menjadi bulan-bulanan fangirlnya yang brutal.
Di saat pintu gerbang utama disesaki oleh berderet mobil mewah dan murid-murid modis, Kuroko memilih masuk melewati pintu belakang. Ia tidak suka keramaian. Meski sebenarnya masuk lewat manapun selalu ada resikonya.
"Hei, Kuroko!"
Sebuah tangan dengan kuat mencengkeram kerah belakang kemejanya dan menariknya ke belakang sampai ia jatuh terduduk di atas tanah yang lembab. Seragamnya kotor lagi, padahal baru dua hari yang lalu ia mencucinya.
"Aku tidak bawa uang," ucap Kuroko datar, menatap pemuda bertubuh besar di hadapannya. Kepala gank anak nakal di SMP Teikou. Anak orang kaya yang suka membully dan menguras isi dompet. Ia terkenal dengan panggilan 'Gojira/Godzilla'.
"Jangan bohong kau, tikus kecil. Mana dompetmu?" Gojira menggerayangi isi tas Kuroko yang terlempar dari gendongan dan mengacak-acak isinya, mengeluarkan semua. Tapi tidak ada benda yang dicari.
Kuroko bangkit dan menatap pasrah barang-barang yang tadinya sudah ditata rapi. Bukunya kotor dan sobek, tempat pensil dan isinya berhamburan, kertas-kertas tugas berserakan...
"Karena aku sedang tak berselera denganmu, kubiarkan kau hidup hari ini. Tapi besok... awas!"
Kepergian Gojira masih diiringi dengan tatapan hambar, sebelum Kuroko berjongkok dan memunguti benda-benda miliknya. Tak ada kemarahan di sana. Sudah biasa, hal yang seperti ini sudah terlampau biasa. Kemarahannya sudah luruh bersama keadilan yang tak lagi eksis di Teikou. Tikus dari golongan bawah seperti dirinya memang pantas diinjak-injak. Selama tidak mengancam nyawa, tak apa. Tapi bukan berarti ia diam karena lemah seperti seorang putri yang mengharapkan pertolongan dari pangeran impian. Tidak, tidak. Jutru bersikap cool daripada menangis meminta tolong ketika dibully terlihat lebih keren.
Ya, kan? Masalahnya, yang akan melirik padanya selain para bully itu tidak akan ada—pada titik ini Kuroko melupakan fakta bahwa ada Akashi Seijuurou yang tergila-gila padanya seperti sakit jiwa—jadi bersikap cool pun percuma. Nasib, memang.
Kuroko berjalan gontai ke kelas. Moodnya memburuk, menurun drastis gara-gara penampilannya tak lagi rapi dan tugas-tugasnya rusak. Paling-paling dihukum mengecat tembok belakang sekolah yang mengelupas. Menjelaskan yang telah terjadi pun percuma, murid kalangan underground akan kalah dalam hal apapun dengan murid kalangan elit.
Telinga sang surai turquoise berdengung mendengar jeritan kaum hawa. Mereka menyebut-nyebut 'Kiseki no Sedai' berkali-kali seperti korban kebakaran sambil berlari ke arah halaman depan. Kiseki no Sedai, tentu Kuroko tahu julukan yang tersemat pada siapa saja. Sekelompok cowok yang kata gadis-gadis sangat keren, terdiri dari 5 orang berambut warna-warni anggota basket dan pemegang posisi penting dalam Seitokai (Student Council Organization). Akashi salah satu dari mereka, ketuanya malah.
"Kyaaaaa, Kiseki no Sedai maji kakkoii!"
Persetan dengan cowok-cowok bishie kurang kerjaan itu, Kuroko butuh terapi telinga.
"Hoaaam, akhirnya sampai jumpa."
"Dasar Aominecchi kerbau, bahkan perjalanan 10 menit saja sempat-sempatnya kau tidur ssu!"
"Aku ingin keluar sekarang juga nodayo. Raksasa ungu ini menghimpitku!"
"Habis rambut Mido-chin wangi permen karet jadi aku betah menempel pada Mido-chin."
"I-itu karena shampo wangi permen karet adalah lucky itemku hari ini, nodayo!"
Akashi menatap tajam pada keempat orang yang duduk di kursi belakang dengan ribut. Tanpa perlu mengucapkan sepatah kata, keempatnya menghambur dari pintu belakang, diikuti Akashi yang duduk di depan samping sopir. Teriakan fangirls menggema.
Kise Ryouta, salah satu dari mereka yang berambut pirang dan merupakan salah satu dari sekian banyaknya model remaja ikemen di Jepang, tak melewatkan momen untuk tebar pesona dengan gaya cerianya, beda dengan Aomine Daiki si kulit cokelat eksotis berambut biru tua yang hanya tersenyum tipis namun sempat memaku tatapannya pada setiap oppai besar yang lewat—dia tipe bad boy.
Adalagi Midorima Shintarou, si jenius berpostur tinggi berambut hijau bermegane yang terlihat kalem dan sok cuek namun dalam hati berbunga-bunga bahagia memiliki banyak fans. Di sampingnya, Murasakibara Atsushi, raksasa Teikou yang pertumbuhan badannya di atas manusia normal. Si rambut ungu itu tak pernah peduli pada apapun kecuali makanan atau hal-hal yang berhubungan dengan makanan.
Dan terakhir, Akashi Seijuurou, anak laki-laki dengan rona cerise di rambutnya yang tebal dan iris heterokrom yang elegan, pujaan hati nomor satu tak hanya di Teikou, namun gadis-gadis lain yang ada di penjuru Jepang. Sikap tenang dan mengayomi yang ada di dalam diri Akashi membuat ia mendapat peringkat ouji—pangeran. Karena memang seperti itulah pangeran; berwibawa, melindungi, memimpin, mengayomi, baik hati, ramah, pintar, kaya raya, dan juga tampan.
Sayangnya mereka tidak melihat dari dalam yang terdalam. Image 'pangeran' Akashi Seijuurou itu sebagian besar cuma topeng, cuma dongeng, cuma mitos. Tanyakan saja pada orang-orang terdekatnya.
"Seijuurou-kun, ohayou!"
Belum sempat Akashi mengintimidasi siapa orang yang berani dengan lantang dan lancang menyapanya dengan nama pemberian, sesuatu yang basah dan licin mendarat di pipi kirinya, dan sepasang lengan melingkari lehernya.
Anggota Kiseki no Sedai yang lain membatu. Ratusan gadis yang berkerumun mulai menjerit gila.
Akashi melirik melalui sudut matanya, tetap bersikap tenang. Ia mendorong gadis yang memeluk dan mencium pipinya secara sembrono itu sepelan yang ia bisa tahan walaupun rasanya ingin sekali mendorong gadis itu sekuat tenaga ke sumur Sadako. Akashi mengelap pipinya yang basah oleh lipgloss gemerlap berwarna peach. Harus ia akui, itu sangat menjijikan.
Di hadapannya, seorang gadis berambut panjang dengan seragam Teikou lengkap dan roknya yang sangat, sangat pendek—sampai-sampai jika angin menyibaknya sedikit saja mungkin celana dalamnya sudah kelihatan—sedang tersenyum manis ke arahnya.
Gadis itu membungkukkan badan di depan gadis-gadis fans Akashi yang sepertinya sudah siap memakannya kapan saja. "Yoroshiku, Tanaka Haruhi desu. Aku adalah tunangan dari Seijuurou-kun."
Empat sorot pasang mata anggota Kiseki no Sedai menghujami pimpinan mereka, butuh penjelasan.
Akashi hanya tersenyum setipis kertas. Jadi gadis seperti itu yang ayahnya pilih? Tipe yang agresif, seduktif, dan terlihat manja serta glamour. Bagaimana kalau diadu dengan calon istri pilihannya sendiri, si manis bermuka papan itu?
Pasti lucu—
—Tetsuya-nya, tentu saja.
bersambung/to be continued/つづく
Ni fic emang ga jelas banget, mau dibikin ala-ala shoujo manga malah jatohnya aneh.
Ada yang marah kalo saya ngebash OC? Saya yang bikin aja nggak suka sama dia XD
Ada yang mau adegan ecchi AkaKuro? Chapter depan ya. Tapi ntar dipublishnya, nunggu banyak yang nyumbang review XD *dihajar* ga deng...
Makasih udah baca, maaf untuk segala typo.
Mata ne!