The Hoard Of Mikazuki Island

Pairing : SasuNaru

Genre: Romance/Drama

Rating : T

WARNING: Sho-ai, Gaje, OOC, Alur Cepat, Typo(s)

Masashi Kishimoto©

.

.

Deru ombak menerpa batu karang..

Pasir putih berserak halus di pantai..

Puisi indah ku, tentang diri mu..

Syair cinta ku lantunkan untuk mu..

Wahai, diri mu malaikat cinta ku..

( The Hoard Of Mikazuki Island ~3)

...

"kak Sai, kalau sudah sampai jangan lupa kirimkan aku email, ya" Naruto memiringkan kepalanya menatap wajah pucat Sai dengan tatapan penuh harap. Mengulas senyum lembut pada sosok pirang disampingnya itu. "tentu saja, aku akan mengirimkan pesan khusus untuk mu" Sai berkata. Naruto menganggukan kepalanya, entah kenapa ia merasakan bahwa ia tidak boleh berpisah dengan pemuda bersurai raven itu. Ini adalah perasaan aneh yang tidak pantas ia rasakan, bagaimana pun juga Naruto harus merelakan kepergian Sai untuk menggapai cita-citanya.

Naruto bersama seorang pekerja bungalow milik keluarga Shimura mengantar Sai pergi menuju dermaga, dimana Sai akan diangkut menggunakan kapal ke Kiri kemudian melanjutkan perjalanannya ke Iwa menggunakan pesawat. Maklum, pulau Mikazuki adalah salah satu pulau kecil yang tidak memiliki landasan pesawat terbang, jadi memang sulit jika harus bepergian jauh dari pulau dengan pemandangan yang indah itu. "kakak jangan terlalu sering memakai sun block ya" Naruto mencoba menasihati Sai.

"aku tidak pernah menggunakan itu, Naru-chan. aku hanya bercanda" Tutur Sai, ia tidak mengerti kenapa candaannya itu dianggap serius oleh bocah manis tersebut. "pokoknya jangan!" Naruto melipat kedua tangannya di depan dada. Ia berusaha menghilangkan rasa cemasnya pada pemuda terkaya di pesisir pantai Mikazuki itu. "paman, tolong jaga ayah ku" pinta Sai, seraya mengambil koper miliknya dari salah satu pelayan kepercayaannya itu.

Pria bermarga Okabe itu menganggukan kepalanya, "baik-baiklah disana, tuan muda" sebenarnya pria bernama lengkap Irie Okabe itu juga sangat meng-khawatirkan tuan mudanya yang telah ia asuh sejak masih menjadi bayi merah. Irie-san bahkan juga masih ingat, saat itu hujan lebat , ia bersama tuan Danzou sedang bermain shogi di gubuk tak jauh dari salah satu bungalow yang ditempati oleh pria tua itu. Terdengar suara tangisan bayi Sai yang mereka temukan tak jauh dari tempat mereka bermain. Kala itu mereka menemukan Sai berada di bawah payung besar, dengan memakai baju hangat, beserta selimut menutupi tubuh mungilnya. Bayi itu kedinginan, dan saat itu pulalah Irie-san melihat tuannya tersenyum bahagia di depan sosok mungil yang sedang kedinginan. Tatapan lembut Danzou, seolah menyiratkan bahwa pria itu begitu menyayangi bayi polos itu.

"Daa..da.. hati-hati, kak Sai!" Naruto melambaikan tangannya.

Suara cempreng Naruto menyadarkan Irie dari lamunan flashbacknya 21 tahun yang lalu. "paman kok menangis?" Tanya Naruto, berhati-hati sekali. Irie-san tersenyum dan mengacak pelan surai blonde Naruto. "aku sudah melepaskan pemuda yang telah ku rawat selama 21 tahun itu, tangisan ku adalah tanda bahwa aku merelakannya, Naru-chan" kata Irie-san, pria berusia 40 tahun itu tertawa pelan.

"ayo, kita pulang.. bibi mu pasti sudah menunggu mu" ajak Irie-san. Naruto menganggukan kepalanya, membenarkan apa yang dikatakan oleh pria itu.

.

.

.

.

.

"aku bahkan bertanya-tanya, apa yang membuat seorang Uchiha pergi mendatangi pulau terpencil itu"

Sasuke menatap datar layar laptop kesayangannya, dimana terdapat seorang wanita paruh baya bersurai blonde yang sedang berkontak video calling dengannya. Dia adalah nyonya besar Namikaze, rekan bisnis Uchiha Corps. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tampaknya penasaran dengan tingkah Uchiha muda di hadapannya ini (yang tumben-tumbennya, berlibur di sebuah pulau kecil yang berada lumayan jauh dari Kota Suna.

"kiranya, kapan kau pulang, bocah?" Tanya wanita itu.

"sebulan atau dua bulan lagi" jawab Sasuke, acuh tak acuh. Sebenarnya, Sasuke bosan jika harus berhubungan dengan rekan bisnis keluarganya itu. Namikaze-Senju Tsunade, seorang wanita karir yang cukup menjanjikan jika memulai bisnis dengan wanita itu.

memangnya apa yang kau kerjakan? Kau tidak sedang mencari harta karun seperti yang dikatakan oleh Hyuga itu kan?"

Sasuke menarik nafas sejenak, "apa kau pikir aku sebodoh Hyuga?" Sasuke malah balik bertanya, seolah meminta pendapat lebih akan dirinya. Terdengar helaan nafas seorang wanita, pertanda Tsunade bingung hendak menjawab apa.

"Neji bilang kau pergi ke Mikazuki untuk mencari harta karun" ujar Tsunade.

"dia berkata seperti itu?" Tanya Sasuke.

Tsunade meneliti sosok di layar Tv pintarnya dengan penuh tanda Tanya. Bagaimana bisa, Sasuke bisa bertahan hidup sendirian tanpa seorang butler atau maid yang mengurusi kebutuhan sehari-harinya? Mengingat pemuda 20 tahun ini diciptakan untuk menjadi seorang atasan bukan bawahan, terkesan berlebihan memang.

"tunggu, kau jadi sedikit merona selama di sana, tuan muda" Tsunade berniat menggoda rekan kerjanya ini. usia Sasuke yang masih terbilang ABG, memang kadang membuat Tsunade sering menggodanya mengenai seorang kekasih. Selama ini, Sasuke selalu berdalih jika ia sudah mulai membahas mengenai kekasih pemuda bermarga Uchiha itu.

"ku rasa kau membutuhkan kacamata, nyonya Namikaze" ketus Sasuke. Tsunade terkekeh geli mendengarnya.

"apa dia cantik?" Tanya Tsunade, semakin tidak jelas.

"apa maksud mu?" Sasuke balik bertanya, siang hari di Mikazuki terasa panas bagi Sasuke hari ini. ingin rasanya ia membanting laptop kesayangannya, kala mendengar wanita Namikaze itu menggoda dirinya.

"baiklah..baiklah..beritahukan aku jika kau sudah kembali ke Suna. Ada banyak pekerjaan, sampai bertemu lagi" Tsunade mengakhiri sesi berbicaranya. Seketika layar laptop Sasuke kembali seperti semula. Layar desktop perusahaan OS basis terkenal menyapa pandangannya. Hari sudah semakin siang, namun sosok yang ia tunggu belum juga tiba di rumahnya.

Sasuke sedang menunggu kedatangan Naruto yang berjanji akan menemaninya sampai malam. Sudah 2 minggu lamanya, paman Obito pergi ke kota Kiri. Sasuke tidak tahu kapan pamannya akan pulang. Sekali Obito menelpon, dan mengatakan, ia masih terlalu sibuk dengan pekerjaannya di Kiri. "sepertinya, aku memang harus menyusulnya" gumam Sasuke—menutup laptopnya dan merapikan kembali buku-buku yang sudah ia baca di atas meja.

.

.

.

.

.

Naruto's POV

Kali ini apa lagi? Bibi meminta ku untuk berbelanja di pasar. Aku harus menunda kedatangan ku ke rumah kak teme. Lagi dan lagi, sedikit menggurutu namun tetap juga ku laksanakan.

Jujur, sebenarnya aku sangat benci kalau harus pergi ke pasar. Kenapa? Huft, banyak sekali orang-orang (terutama laki-laki) yang bersikap kurang ajar pada ku. Bagaimana bisa mereka mencolek wajah tampan ku ini dengan tangan mereka?

Aku berjalan malas, dalam jarak pandang 100 meter, seorang bertubuh layaknya model berjalan ke arah ku. Sepertinya aku kenal, tunggu! Rambut raven pantat bebeknya, kulit pucat dibalut kemeja hitam tipis (entahlah), celana bahan berwarna hitam. Tunggu, sekali lagi, tunggu, sebenarnya orang ini mau jalan-jalan ke pantai atau mau melayat sih?

"Kak Teme" gumam Ku, semakin dekat, sosok itu semakin jelas kelihatannya. Wajah jutek miliknya itu berwarna kemerahan akibat diterpa sinar matahari. Dia semakin terlihat seperti Larry si lobster saja.

"mau kemana, dobe?" Tanya kak Sasuke. Aku memegang keranjang belanjaan dengan kedua tangan ku, sedikit malas ku tunjukan padanya. "ke pasar" jawab ku, malas-malasan. Sepintas, aku melihat Kak Sasuke mengernyitkan dahinya. Apa dia akan ikut dengan ku pergi ke pasar? Pfftt, lucu sekali jika melihat orang se-elit dirinya pergi ke pasar tempat ikan-ikan laut di jual. Bau amis ikan juga tercium menusuk hidung. Ahahahaha, bisa-bisa Sasuke pingsan di jalan.

"aku ikut" katanya.

Aku membulatkan mata ku, "benarkah?" Tanya ku, tidak percaya.

"benar, kau berjalan tanpa semangat, bagaimana bisa kau mendapatkan ikan segar" Kak Sasuke mengambil keranjang belanjaan dari pelukan ku. "tapi, kalau ada ibu-ibu yang menggoda mu, aku tidak tanggung jawab" ujar ku. Dia menganggukan kepalanya, sepertinya ia sudah berani mengambil resikonya, hehehe.

.

.

.

.

.

Normal POV

Sasuke benar-benar tidak menyangka jika niatnya untuk menemani Naruto adalah suatu kesialan tersendiri baginya. Bagaimana tidak sial, hm? Banyak para ibu-ibu dan para gadis yang berteriak kala melihat dirinya berjalan bersisihan dengan Naruto. bahkan tak jarang mereka nekad melakukan hal tak pantas pada pemuda lajang itu. Sasuke harus merelakan wajah tampannya dicolek oleh banyak wanita yang gemas melihat ketampanannya.

Naruto terkikik geli, ketika melihat wajah Sasuke terlihat bad mood.

Ia sudah memperingati pemuda itu, tapi Sasuke malah nekad untuk menemani dirinya untuk pergu ke pasar. Pasar bukan tempat yang cocok untuk orang seperti Sasuke. "kakak, semua belanja sudah terbeli" kata Naruto, seraya melihat catatan belanja di tangannya.

Sasuke menganggukan kepalanya, sesekali melempar deathglare ke arah para pekerja angkut barang yang hendak menggoda bocah manis yang kini sedang berjalan disamping kanannya. Apa Naruto selalu mengalami hal seperti ini? jika iya, terkutuklah orang-orang mesum itu.

"apa kakak lapar?" Tanya Naruto—sambil mensejajarkan langkahnya dengan Sasuke.

"ku rasa, iya" jawab Sasuke, mengingat kalau ia belum makan dari pagi.

Naruto menganggukan kepalanya, belanja memang dipegang penuh oleh Sasuke. Dia pun berjalan diikuti Sasuke menuju kedai makan tak jauh dari posisi mereka saat ini.

Kedai ini tidak besar, bahkan bisa dibilang kecil. Bukan sebuah tempat makan yang cocok untuk dirinya. Namun, Sasuke tidak mau membuat hati Naruto sedih jika ia menolak ajakan bocah itu untuk makan di tempat tersebut. "Paman, aku pesan sup spesialnya dua, jus tomat satu dan jus jeruk satu" teriak Naruto. Sasuke lantas saja bengong melihat tingkah Naruto yang terbilang rada udik itu.

Oh, man..

Bukan hanya Naruto, bahkan para pengunjung kedai ini memesan makanan dengan cara berteriak seperti Tarzan. Seorang bertubuh tambun mengarahkan jempolnya pada Naruto sambil tersenyum ramah. "segera datang" sahut paman tambun itu. Tampaknya mereka sudah saling kenal.

Benar saja, tak sampai 10 menit, pesanan mereka sudah tiba di atas meja. Naruto menggerakan tangannya ketika mencium aroma sedap yang keluar dari mangkuk berisi kuah kental berwarna jingga kemerahan itu, bak seorang koki handal yang sedang membuat racikan-racikan bumbu pada makanan mereka. "hummmmm, harum" gumam Naruto, seperti sedang menghirup aroma terapi.

Sasuke terus memperhatikan gerak-gerik Naruto, sesekali melihat pesanannya di atas meja.

Demi apa ia harus makan, makanan seperti ini?

Pemuda raven itu meneguk ludah ragu, Sasuke bahkan tidak tahu apa nama makanan di hadapannya ini. "itu namanya Sup special" kata Naruto, hendak menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutnya.

'apanya yang special?' pikir Sasuke.

"makanan ini terbuat dari tentacle bayi gurita dicampur daging salmon dengan rempah-rempah khas pulau Mikazuki" kata Naruto, kemudian ia mulai menikmati sup pesanannya itu. Naruto mulai mengerti, mungkin Sasuke tak nyaman jika harus makan di tempat seperti ini. Naruto memang kurang tahu makanan apa yang disukai Sasuke, namun sudah pasti Sasuke selalu makan makanan yang mewah dan elit, tidak seperti saat ini.

"kak Sasu, ayo buka mulut mu!" pinta Naruto.

Satu sendok sup terlihat jelas di hadapan kedua mata onyx-nya. tangan tan itu memegang sendok dengan mata birunya memandang penuh harap pada dirinya. Sasuke akhirnya memutuskan untuk membuka mulutnya, dan membiarkan Naruto menyuapi sup itu ke dalam mulutnya.

Alangkah terkejutnya, kala merasakan rasa sup special itu yang terasa nikmat di lidahnya.

Sasuke tidak mengerti, apakah supnya memang enak, atau karena Naruto yang menyuapi-nya. yang ia tahu adalah sup itu memang terasa nikmat. Naruto tersenyum melihat Sasuke menghabiskan dua mangkuk sup special pesanannya itu.

.

.

.

.

.

Kota Iwagakure..

"pria licik itu tidak akan berhenti sebelum melihat kematian seluruh keturunan Uchiha Fugaku" ujar seorang pria bertindik di wajahnya, seraya menatap lurus pada layar laptop miliknya. Satu orang bersurai raven cepak mengelus pelan dagu lancipnya.

"dia memang akan terus mencari cara untuk menghabisi keluarga kakak ku" kata si raven.

Sebuah ruangan kedap suara dan terdudup bagi umum itu adalah laboratorium tersembunyi milik sebuah organisasi yang bergerak melalui jalur bawah tanah. Tampak seperti agen pemerintah, dan kali ini bekerja untuk menghabisi satu organisasi yang paling berbahaya saat ini.
"berhasil" seru seorang wanita bersurai soft purple berjepit mawar kertas, ketika ia berhasil memecahkan beberapa kode rahasia itu. "kau menghabiskan waktu 1 bulan untuk memecahkannya, hebat, Konan!" puji laki-laki ber-piercing itu.

"akhirnya kau mengakui kehebatan ku, Pein" sahut Konan. Wanita berkemeja ungu itu tersenyum simpul dengan hati yang berbunga-bunga. "jadi, selama menikah dia belum pernah memuji mu, hm?" Tanya si Raven. Konan menoleh ke arah pria berusia 35 tahun itu, ia tertawa pelan menanggapi pertanyaan sang senior organisasi yang dijalani oleh mereka saat ini.

"kau tahu, kak Obito? Dia bahkan tidak pernah memuji rasa masakan ku" sepertinya Konan sedang curhat saat ini.

Pein sebagai seorang Leader di organisasi itu mendengus pelan, mendengar istrinya mulai menceritakan soal hubungan mereka. "benarkah? Lalu, bagaimana bisa kalian mendapatkan Nagato-chan?" Obito sedikit menggoda kedua pasangan suami-istri yang baru menikah 3 tahun yang lalu.

Rona merah muncul di wajah keduanya, Obito tertawa terbahak-bahak.

Pintu lift di ruangan itu terbuka, muncul seorang berjas hitam, bersurai merah maroon, bersama seorang pria bersurai raven cepak yang berpenampilan serupa dengan pria tadi.

"bisnis penjualan obat terlarang, seorang pelanggan setia mereka memberikan ku alamat persembunyian mereka" ujar pria bersurai merah maroon itu—memberikan sebuah map coklat pada sang Leader. Pein membuka map tersebut dan membacanya, "kita siapkan rencana penyergapan mereka" ujar Pein.

"Orochimaru bukan orang bodoh, dia selalu bergerak cepat dan mampu menghapus jejak mereka. Aku yakin, bila dia tahu seseorang membeberkan persembunyian mereka, mereka akan menghabisi orang itu dan mencari tempat yang baru untuk markas mereka" sahut Konan.

"yang dia inginkan adalah Uchiha Corps saat ini. memiliki seluruh saham Uchiha tanpa harus membelinya, itulah yang ia inginkan. Jika, itu yang ia inginkan, kita pancing dia dengan tujuan utamanya itu" Ujar seorang bersurai raven yang terlihat lebih muda dari Obito. Mereka semua (termasuk Obito) terkejut mendengarnya.

"apa maksud mu? Kau tidak berpikir untuk menjadikan Uchiha Sasuke sebagai umpan kan?" Tanya Konan, tidak mengerti dengan pria dua tahun di bawahnya itu.

"aku memang berpikiran demikian" sahut pria itu. Obito beranjak dari duduknya, dan berjalan sedikit mendekat pada pria berusia 25 tahunan tersebut.

"kau ingin kita mengumpankan Sasuke untuk mendapatkan Orochimaru? Apa kau pikir itu mudah? Sasuke seorang pemuda bukan sebuah umpan. bagaimana jika itu tidak berhasil?" Kilatan emosi tampak jelas di mata obsidian Obito.

"Izuna-san, tolong pikirkan lagi" Pein mencairkan suasana.

Obito berdecih pelan, ia pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan tersebut. sebuah kalimat berhasil menghentikan langkah paman dari Uchiha Sasuke itu.

"akan ku pastikan dia tidak terluka, dan kau tidak akan kehilangan orang yang kau sayangi lagi" ujar pria bernama Izuna itu.

Hening..

"bertindaklah seperti yang kau inginkan, Izuna-san" sahut Obito—melanjutkan langkahnya menuju lift.

.

.

.

.

.

Sementara itu

"bagaimana?" Tanya Naruto pada Sasuke yang kini sedang membuat sebuah cendramata berbahan dasar cangkang kerang yang sudah tidak terpakai lagi. Sasuke melirik Naruto dan membetulkan posisi kacamatanya yang sedikit miring.

"diberi satu lubang kecil lagi" jawab Sasuke—mengarahkan bor khusus ke arah cangkah kerang berwarna putih kecoklatan itu.

"bagaimana dengan varnish nya?" Naruto bertanya lagi.

Sasuke tersenyum simpul melihat hasil karya-nya yang sudah selesai.

"semprotkan varnish itu!" titah Sasuke pada Naruto. pemuda raven itu memperhatikan saja

Sosok blonde yang kini sedang menyemprotkan sebuah cairan bening pada kalung buatan Sasuke tadi.

"cukup!" seru Sasuke. Naruto menghentikan gerakan menyemprotnya.

"kita keringkan habis ini" Sasuke mengambil kalung itu dengan sangat hati-hati.

Naruto meletakan semprotan varnish ke atas meja, dan mengikuti langkah Sasuke yang sedang berjalan menuju balkon. Kedua maniks sapphire-nya memperhatikan dengan serius orang di sampingnya yang tengah asyik dengan kegiatannya itu.

Naruto bahkan tidak percaya kalau Sasuke sangat mahir membuat sebuah cendramata yang begitu indah dari bahan dasar cangkang kerang yang sering ditemukan di pinggir pantai. Seperti bukan Sasuke saja, karena tentu saja itu bukan hal yang mudah untuk seorang tuan muda macam Sasuke.

"kenapa kakak sangat handal sekali membuat perhiasan seperti ini?" Naruto kembali membuka suaranya. Sasuke kini sudah tidak lagi berkutat dengan karya-nya, menoleh ke arah Naruto. pemuda raven itu menghela nafas pelan, sebelum menjawab pertanyaan bocah berambut pirang di sampingnya itu. "entahlah, hanya saja aku suka jika melihat mu memakai itu" jawab Sasuke, tanpa sadar telah mengatakan apa yang ingin diutarakan oleh hati kecilnya.

"apa?" Naruto bertanya lagi, pura-pura tidak paham rupanya.

Sasuke melotot, merutuki tingkah bodohnya.

Bagaimana bisa ia mengatakan hal berbau cinta kepada seorang bocah polos seperti Naruto?

Tapi, cinta?

Ah, bahkan Sasuke merasa tak yakin dengan detak cepat jantungnya saat ini.

Mengapa itu berdetak cepat? Bahkan Sasuke tidak mengerti, hanya bersama Naruto saja ini terjadi.

Mungkin lain kali, Sasuke harus menjauhi Naruto jika ingin mengawet umur supaya tidak terkena serangan jantung dan mati di usia muda.

"lupakan" dengan wajah merah, Sasuke masuk ke dalam dan menghiraukan Naruto yang terus mengejarnya dan bertanya maksud kata-katanya barusan.

"Kak Sasu, jawab dulu!" pinta Naruto.

Naruto masih terlalu polos untuk mengetahui apa itu cinta.

Sasuke yakin, Naruto bahkan belum pernah merasakan bagaimana rasanya berpacaran.

"Kakak, teman itu tidak boleh saling merahasiakan sesuatu" Naruto terus mengekori Sasuke. Pemuda berbaju putih polos itu menghela nafas sejenak, dengan seenaknya saja Sasuke berbalik badan hingga membuat wajah Naruto bertabrakan dengan dadanya.

"berisik dobe" kata Sasuke.

Naruto mengelus lembut wajah imutnya yang terasa sedikit sakit akibat bertabrakan dengan dada Sasuke. "habis, siapa yang membuat ku penasaran?" Tanya Naruto, mengerucutkan bibirnya, lucu.

"nanti kau akan mengerti" Sasuke tersenyum lembut, seraya menepuk pelan bahu Naruto.

"kapan?" Naruto bertanya lagi.

"ketika kau tahu apa artinya cinta" dengan wajah bodoh, Sasuke menjawab.

"kak Sasu menyukai ku?" Naruto bertanya, dengan wajah polosnya. Sasuke menyadari kesalahannya untuk kedua kalinya. Bagaimana bisa? Apa yang harus ia katakan? Ketika dia sendiri juga tidak tahu pasti apa yang tengah ia rasakan saat ini.

Ayolah, Sasuke..

Jangan jadi orang munafik lagi..

"menyukai mu?" Sasuke malah balik bertanya. Naruto menganggukan kepalanya, dia sendiri juga sudah menyukai Sasuke, setiap kali berada bersama Sasuke, Naruto pasti akan merasakan jantungnya berdetak cepat. Setiap kali Sasuke bersikap lembut padanya, Naruto pasti akan merasakan panas di wajahnya. Menurut drama series yang sering di tonton olehnya, itu tandanya ia sedang menyukai seseorang. Naruto bahkan sering merasa gugup ketika ia dan Sasuke terjebak dalam scene romantic yang tanpa sadar sering mereka ciptakan sendiri.

"setiap kali bersama kak Sasu, jantung ku selalu berdebar cepat dan perasaan hangat akan menjalar ke wajah ku. Aku tidak tahu pasti, tapi aku suka jika bersama Kakak" kata Naruto—tersenyum 3 jari. Sasuke merasa, bahwa yang dimaksud Naruto bukanlah suka yang ada di pikiran pemuda raven itu. Melainkan suka sebagai sahabat, Sasuke menyentuh dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak ketika mendengar kejujuran Naruto padanya.

"Kak Sasu?" Naruto memiringkan kepalanya.

Rasa sakit ini sama seperti ketika ia merasakan seluruh keluarganya binasa oleh musuh bebuyutan ayahnya.

Tanpa ampun, Sasuke menghempaskan tubuh Naruto ke dinding dan membuat bocah blonde itu meringis kesakitan. "awww, kak Sasu"

Sasuke menghimpit tubuh mungil Naruto, dengan mata yang berkaca-kaca ia melihat Sasuke yang menatap kosong padanya.

"katakan!"

"katakan, jika kau menyukai ku sebagai seorang kekasih. Bukan seorang kakak, teman, atau pun sahabat mu, Naruto!" Seru Sasuke.

Naruto menutup mulutnya dengan kedua tangannya ketika mendengar ucapan Sasuke.

"aku..aku tidak mengerti maksud kakak" ujar Naruto, wajahnya sembab dengan raut wajah yang sulit untuk di jelaskan.

"kakak membuat ku bingung" ucapnya, Jujur.

Sasuke memandang kedua tangannya, jangankan Naruto, dia sendiri juga tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. jujur saja, dia juga sering merasakan hampa tanpa kedatangan Naruto ke rumahnya, apa itu cukup untuk memutuskan bahwa ia jatuh cinta pada bocah yang sedang beranjak remaja di hadapannya ini?

Dalam kungkungan Sasuke, Naruto menyentuh lembut wajah putih mulus milik pemuda raven itu.

"a..aku suka kakak" Naruto mengaku. Sasuke masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"aku tidak bohong..aku suka kakak" ulangnya.

Grebb..

"aku juga menyukai mu" Ujar Sasuke—memeluk tubuh Naruto dengan sikap posesif-nya.

Naruto tersenyum dalam pelukan Sasuke, dia balas memeluk Sasuke dengan perasaan lega.

Lega karena sudah mengatakan apa yang selama ini ia rasakan pada pemuda raven itu.

"aku menyu—tidak, AKU MENCINTAI MU!" Naruto berteriak (masih dalam keadaan berpelukan).

"hn, aku juga" ucap Sasuke—menutup kedua matanya, menikmati moment bahagia mereka.

.

.

.

.

.

Sore hari Di Iwagakure (seminggu kemudian)

Seorang wanita cantik bersurai blonde panjang terlihat sedang duduk di tepi pantai, sambil memperhatikan seoran bocah berambut raven yang tengah asyik bermain bola sendirian.

Bocah berusia 4 tahunan itu tampak bahagia meskipun tanpa seorang teman.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, ia melambaikan tangannya ke arah wanita muda itu.

"mama" teriaknya.

Ternyata dia adalah anak wanita berambut pirang itu. Si wanita pirang melambaikan tangannya, membalas sapaan putra tunggalnya itu.

Kemudian, wanita tersebut berdiri dan menghampiri anaknya.

"ayo kita main ail" ajak sang buah hati.

"kau yakin bisa menang dari mama, un?" Tanya si ibu muda tadi—mencolek lembut hidung bangir malaikat kecilnya itu.

"tentu caja" jawabnya mantab.

"baiklah, kita mulai, un!" tiba-tiba saja sang ibu menyipratkan buah hatinya dengan air laut sambil tertawa senang.

"uuhh, mama culang. Kai akan balasc nanti" Bocah bernama Kai itu membalas serangan air ke arah ibunya dengan tawa khas anak-anaknya.

Keduanya tampak bahagia bermain air di pantai, dan tidak menyadari kedatangan seorang pria bersurai raven pendek berjalan menghampiri mereka. "Papa" Kai menghentikan aksinya, ketika melihat sosok sang ayah sedang berdiri tegap di belakang mereka.

Sang ibu juga ikut menghentikan aksinya, dan berbalik badan untuk melihat sosok yang telah memberikan seorang jagoan kecil untuknya.

Bunyi cipratan air terdengar kala wanita tadi menyipratkan air ke arah suaminya hingga membuat jas hitam milik suaminya sedikit basah. "kau menantang ku ya" pria berambut raven itu melepaskan jasnya dan menggulung ke atas kemeja putih dan celana hitam bahannya.

"holleeee, kita main!" seru Kai, ia begitu antusias sekali menyipratkan air ke arah kedua orang tuanya.

Basah kuyup baju-baju yang mereka pakai. Keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan jagoan kecil mereka itu merebahkan tubuh mereka di atas pasir putih seraya mengadahkan kepala mereka ke atas langit senja. Matahari akan terbenam sebentar lagi. Namun, tak ada satu di antara mereka yang berniat untuk kembali ke rumah.

"bagaimana dengan rapatnya, un?" Tanya sang blonde, menoleh ke arah sang suami.

"berjalan lancar" jawab sang suami. Wanita bernama Deidara itu kembali mengadahkan kepalanya ke atas langit. "kapan kau bisa berhenti dari pekerjaan ini, un" gumam sang istri, putra mereka sudah tertidur beralaskan pasir putih sebagai kasur mereka.

Terdengar helaan nafas dari bibir pria tampan itu. Dalam hati, ia sendiri pun juga tidak mau terus-menerus seperti ini, namun apa daya, ada tugas yang harus ia rampungkan saat ini juga.

Keadaan terlalu mendesak, dan itu membuat waktunya begitu sedikit untuk keluarga kecilnya itu.

"bersabarlah, setelah ini kita akan hidup tenang bersama"

"apa itu sebuah janji, un?" Tanya sang istri.

Pria itu mengelus lembut wajah cantik istrinya, "Ya, bunuh aku jika aku tidak menepatinya, Deidara"

"ha'i, tuan weasel! Kau harus menepati janji mu itu. Kalau tidak aku akan melakukan suatu hal yang lebih buruk dari membunuh, un" ancam Deidara (nama wanita itu). Izuna Weasel, selaku suami dari Deidara Weasel tertawa pelan mendengar ucapan ambigu istri tercintanya itu.

"kau akan melakukan apa?"

"meninggalkan mu bersama putra kita, un" jawab Deidara.

Suami-istri itu tertawa bersamaan. Bagi tuan Izuna Weasel ditinggalkan istrinya adalah suatu hal yang menyakitkan dibandingkan harus mati ditangan sang istri. Keduanya pun (dengan putra mereka yang berada di gendongan sang suami) berjalan menuju rumah mereka yang tak jauh dari lokasi pantai. Malam hari pun tiba, terlihat nelayan-nelayan yang baru saja hendak mencari ikan menutup kemungkinan untuk mengakhiri cerita dibagian ini.

.

.

.

.

Mikazuki ( Pukul 19.05)

Sasuke's POV

Seorang guru sejatinya adalah member, tanpa mengharapkan untuk kembali. Bagaikan seorang pahlawan yang berjuang tanpa tanda jasa. Rela menyerahkan hidupnya bukan untuk kebahagiannya sendiri melainkan untuk kebahagian orang lain.

Namun, adakah sosok yang seperti itu? Ada..

Bagi ku, guru kehidupan ku adalah sosok berambut blonde yang kini sudah resmi menjadi kekasih pertama ku. Hubungan kami sudah berlangsung selama 7 hari lamanya. Masih cukup terbilang seumur jagung, bukan?

Lalu memori ku terdampar saat dimana ia mengatakan bahwa ia mencintai ku sebagai seorang kekasih.

Aku bahkan tidak menyangka kalau pada akhirnya aku bisa jatuh ke dalam pesonanya.

Dia yang polos, membua ku merasa seperti seorang yang bodoh jika masih mempertahankan kemunafikan ku.

Kawan, aku adalah seorang yatim-piatu yang ditinggali kekayaan yang melimpah oleh keluarga ku. Kedua orang tua ku sudah lama meninggal, orang yang ku cintai, kakak kandung ku pun juga sudah tiada, sampai saat ini pun aku tidak tahu dimana jasadnya atau mungkin dimana makamnya.

Jujur saja, aku adalah orang yang tidak kenal lelah jika sudah masuk ke dalam lingkup pekerjaan.

Kala itu, Neji Hyuga (sahabat ku) datang dan memperkenalkan seorang pemuda berambut merah bata pada ku. Pemuda itu adalah tunangannya, pemuda bernama Gaara itu menceritakan soal keindahan pantai Mikazuki pada kami.

Bukannya tidak tahu, sebenarnya aku tahu mengenai seluk beluk pulau kecil yang menyimpan berjuta keindahan itu.

Paman ku tinggal di sana, kakak ku pun juga menghilang tanpa jejak di pulau itu.

Awalnya, aku menolak untuk berlibur ke sana.

Namun, entah kenapa hati kecil ku memaksa ku untuk pergi ke pulau itu. Akhirnya, 2 bulan yang lalu aku pun memutuskan untuk berlibur ke sana. Tidak ku nikmati hari pertama ku di Mikazuki, hingga suatu hari datang seorang guru kehidupan ke dalam hidupku.

Usianya 5 tahun di bawah ku, aku pun merasa seperti seorang pedophile jika mengingat perbedaan usia kami.

Namun, usia itu Cuma angka kan?

Ah, tentu saja..

Naruto pun juga tidak keberatan dengan hal itu. 2 minggu lagi, Naruto akan berangkat ke Kiri untuk melanjutkan sekolah bahari dan perikanannya di sana. Aku tidak bisa menghalanginya, karena aku sendiri pun juga harus kembali ke Suna untuk kembali bekerja.

Tak masalah jika hubungan kami dipisahkan dengan jarak, namun aku janji, setelah dia berhasil menyelesaikan sekolahnya, (kalau bibi Karin mengizinkan) aku akan melamarnya dan membawanya ke Suna.

Sorot matanya yang teduh, membuat ku ingin terus berkubang di dalamnya. Naruto ini sangat pandai membuat orang terdekatnya jatuh hati padanya. Entah untuk yang keberapa kalinya aku terjatuh pada pesonanya.

Rasanya, aku harus menelan ludah ku mengingat bahwa aku pernah bersumpah untuk tidak jatuh cinta padanya. Mungkin saja, Sai Shimura akan tertawa mengejek pada ku jika tahu akhirnya aku dan Naruto menjadi sepasang kekasih. Dia pasti akan mengejek ku habis-habisan, dan meminta ku untuk menjilat kembali ludah yang telah ku buang.

Namun aku tidak peduli, toh, aku sudah mengakui kalau aku mencintai Naruto, kan? buktinya kami sudah resmi jadian.

"besok kau pulang kan, Sasuke?" itu suara paman yang ku dengar dari arah dapur. Aku saat ini tengah membaca novel kehidupan milik ku yang belum sempat ku baca.

Ku lihat paman membawa sebuah nampan berisi sepiring kaserol dan segelas air putih, aku yakin, itu pasti untuk ku.

Paman Obito pulang tadi siang, dia masih terlihat kelelahan, namun masih sempat membuatkan ku makan malam.

Paman Obito meletakan nampan itu di atas meja. Dia duduk berhadapan dengan ku, ku lirik sekilas, paman sedang bersiap-siap untuk membaca sebuah buku misteri langganannya. Dia pasti membeli majalah mistis itu di toko Bibi Karin. "Sebenarnya aku masih ingin kau disini, Sasu" kata paman. Apa paman Obito mencoba untuk bersikap manja pada ku?

Oh, No!

Itu tidak mungkin..

"hehehehe, aku hanya bercanda. Maaf tidak bisa menemani mu menghabiskan masa liburan mu" Paman tertawa, sambil menyipitkan matanya.

Ok, baiklah..

Dia mungkin jujur, karena tidak mendapati respon dari ku jadi dia mengatakan bahwa ia Cuma bercanda mengatakan hal itu.

"apa paman akan mengantar ku besok?" Tanya ku. Paman menaikan satu alisnya, dan ku dapati anggukan darinya. "habiskanlah makan malam mu, aku dengar dari Naru-chan kau selalu memakan mie instan. Itu tidak baik" oceh paman. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan makan malam ku dan membiarkan paman focus dengan bacaan absurd nya itu.

End Of Sasuke's POV

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

(A/N : hii readers.. maaf telat.. di chapter ini kayaknya makin tambah absurd deh ceritanya. Saran nya dong readers, please *kedip-kedip*. Eh, masih ada yang gak ngerti sama cerita ini? coba baca pelan-pelan, jangan buru-buru. Dan, soal Naik Rating. Hmm, boleh juga.. menurut Readers gimana? Ditunggu advice nya juga buat review yang kemarin, pertanyaan akan terjawab seiring berjalannya chapter..sekian dan terimakasih..)

.

.

.

Review?