"AAAGH!"
Shogo Haizaki menggeram. Meja di depannya menjadi sasaran pelampiasan. Jika tidak dibuat menggunakan bahan dasar berkualitas, pasti sudah terbelah menjadi dua setelah dihantam kepalan tangan.
"Sial!"
Kesal, kesal. Dirinya diliputi rasa murka. Shogo mencengkeram dan menarik rambut peraknya.
Tidak sakit sama sekali ketika ia masih semarah ini.
Shogo merutuk. Mulutnya menyumpah. Serapah kotor yang takkan ditolerir Shuuzo bila si Ketua sampai mendengarnya. Serapah yang akan membuat berandal sekaliber Imayoshi Shoichi sampai membuka mata.
Shogo berteriak frustasi lagi, lalu menjatuhkan kepala di atas meja. Isi tengkoraknya bergetar, membuatnya nyeri dan pusing, lalu ia diam sesaat.
Nijimura—sepah, alis Shogo mengernyit lagi. Nijimura—
"Maunya apa dia itu? Seenaknya menyuruhku seperti itu—"
"Shogo, aku butuh bantuanmu,"
Shuuzo memandang jauh. Matanya menyipit, bibirnya menipis dalam seringai. Shogo tetap terfokus pada layar laptop. Game online membuatnya kecanduan.
"Aku ingin kau cari anak tadi, Akashi Seijuro. Katakan padanya kalau aku menunggunya di Ruang Ketua Dewan Siswa sepulang sekolah nanti. Lakukan apapun agar dia menurut, tapi kesampingkan kekerasan. Gunakan kuasamu sebagai tangan kananku untuk mensterilkan area sekitar ruangan ini."
Shogo masih ingat dirinya berjengit. "Hah? Mau kau apakan bocah itu, Nijimura? Sampai steril segala?"
Nijimura tidak menoleh. Hanya menggigit ujung ibu jari—gestur khas setiap ia merasa percaya diri. "Aku akan menyelesaikan duduk perkara masalah di antara aku dan anak itu. Dan—tentu saja—akan kubuat dia sadar di mana posisinya sebenarnya."
Bukan rahasia lagi baginya. Shogo sudah tahu belakangan ini Shuuzo tampak tertarik—sangat tertarik—pada bocah kelas satu itu. Selain warna rambutnya yang merah menyala dan angka memuaskan di kertas laporan hasil belajar, Shogo tidak tahu apa yang menarik tentang Akashi Seijuro—bocah itu tidak tampak menarik sama sekali baginya. Tipikal culun dan anak baik-baik kebanggaan keluarga.
Bukan rahasia juga baginya, yang memang selama ini memendam perasaan pada Nijimura—Shogo iri. Iri pada perhatian berlebih yang diterima Akashi. Ia ingin merebutnya. Ia ingin merebut Nijimura dari bocah tak tahu diri itu.
Rencana Nijimura tidak boleh berjalan mulus.
Ponsel layar sentuh itu baru sebulan lalu ia beli, tapi ia tak sungkan menyambar kasar bila sudah dibutakan emosi. Jatuh tergores pun mana ia peduli. Ponsel sensitif macam itu butuh belaian lembut jari tangan, dan bukan tekanan kasar mirip cakaran ketika Shogo mengetik nama orang yang paling bisa membantunya sekarang.
Volume dikecilkan. Shogo menunggu 'sabar', bersumpah jika dalam lima bunyi nada sambung orang ini belum menjawab, maka—
"Tidak kusangka akan datang waktunya kau butuh bantuanku." Dijawab tiba-tiba, dan belum apa-apa, Shogo bisa melihat lawan bicaranya menyeringai.
Etika bicara diabaikan. Ia menggertak, "Hanamiya Makoto." Meludah. "Aku tidak berminat mendengar basa-basimu."
"Selalu begitu setiap kau meneleponku," suara tawa seseorang tak pernah semenyebalkan milik Hanamiya. "Nah, apalagi yang membuat Yang Mulia Haizaki gusar? Atau kau meneleponku untuk sekadar ngobrol ringan dan curhat masalah cinta?"
Makoto Hanamiya bukan siswa sembarangan. Shogo tahu betul intelijensi pemuda itu di atas rata-rata. Dia manusia ambigu yang sulit ditebak. Dan ucapannya yang sekilas bernada gurauan—menariknya—adalah yang paling benar.
"Hanamiya," ucapnya tegas. "Aku punya tugas untuk kau dan anak buahmu—geng Kirisaki."
"Wah," alis tebal terangkat. "Perlukah kuingatkan kau bahwa aku dan anak buahku tidak selevel dengan geng gadis-gadis SMA yang bergerombol melabrak rival cinta sekutunya? Kami bermain di strata yang lebih tinggi—we fight."
"Tepat sekali," seringai tersungging. Seperti biasa, Hanamiya tidak perlu penjelasan. "Itu yang kubutuhkan."
Hanamiya bersiul. "Wow, Shogo. Ingatkan aku kalau aku amnesia, tapi kukira kau bukan orang yang suka bermain kotor."
"Semua ini salahnya. Salah Nijimura," Hanamiya sudah tahu rahasianya, dan membeberkan secuil lagi takkan membuatnya terluka. "Aku terpaksa begini karenanya."
Panggilan diputus sepihak tanpa menunggu jawaban lawan bicara. Shogo meremas sejumput rambut perak.
"Sial, Nijimura," ia menggeram. "Kapan kau peka pada perasaanku?"
.:xxx:.
"Akashi-san."
Seijuro mengenalinya sebagai suara salah seorang guru. Ia berbalik, dan benar saja, pria paruh baya itu langsung menghadiahinya tumpukan kertas.
"Kelasmu berikutnya di laboratorium dua, bukan? Karena searah dengan ruang ketua dewan siswa, tolong letakkan ini di ruangan Nijimura-san. Maaf, aku buru-buru—rapat guru dimulai semenit lagi."
Manik merah melirik teks besar yang tercetak di halaman paling atas—Laporan Bulanan Dewan Siswa.
"Hanya ini saja, kan, Sensei? Tidak ada pesan?"
"Tidak ada." Untunglah. Berarti tidak perlu berlama-lama dekat teritori mutlak si ketua.
"Baiklah, serahkan padaku."
"Terima kasih," pria itu membungkuk. "Maaf merepotkanmu, Akashi-san."
.:xxx:.
Disclaimer to its rightful owner:
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Fanfiction:
Linked by Rheyna Rosevelt
I own nothing but this fanfiction (and OCs)
Thus, I don't make any commercial profit within this story
Warning:
Incest | Uke!Akashi | non-basketball centric!AU | Alternate Reality | possible OOC
Implisit smut | OCs | Three-shot | possible plothole | alur cerita cepat
.:xxx:.
Tok. Tok.
Shuuzo membuka sebelah mata. "Masuk."
"Permisi."
Pintu ruang Ketua Dewan Siswa terbuka, dan tertutup lagi. Ketika Shuzo menegakkan diri dari posisinya yang bersandar pada sofa, ia bisa melihat sosok Seijuro berdiri di depan pintu dan nampak tak nyaman.
Cepat sekali. Shogo tampaknya harus diberi imbalan untuk ini.
Manik kelabu menikmati gerak-gerik Seijuro yang membuatnya menyeringai gemas. Benar saja perkiraannya, sejenius apapun Seijuro, ia hanya anak baru. Seijuro hanya berdiri seraya memindahkan tumpuan kaki, atau menatap sekeliling ruangan ketua Dewan Siswa dengan rasa penasaran yang dibuat-buat.
"Ketua—" Seijuro memilih kata yang tepat. Sampai sekarang ia tidak mengetahui nama depan pimpinan siswa sekolahnya. "Aku membawa dokumen dari sensei untukmu."
Huh? Oh, ternyata bukan hasil kerja Shogo. Cuma kebetulan dia mampir kemari.
Tapi kebetulan atau bukan, Shuuzo tetap bisa bekerja.
Melihat Seijuro segugup itu tentu adalah keajaiban dunia tersendiri. Walau pemuda itu tentu takkan mengakui kegugupannya.
"Letakkan di atas meja."
Seijuro menurut. Meja kayu itu sudah begitu padat penghuni hingga ia sendiri sedikit bingung dokumen ini mau diletakkan di mana—"Aku hanya membawa itu saja. Aku permisi, Ketua."
Oh, tidak. Tidak semudah itu mangsanya bisa kabur. Shuuzo menepuk paha.
"Kemari."
Seijuro dua langkah dari pintu ruangan, menoleh mendengar suara kakak kelasnya, tetapi ia tak paham arti gestur tangan Shuuzo.
"Maaf?"
"Kemari. Duduk."
"Bukan maksudku menolak perintah senior, tapi kelasku berikutnya akan dimulai dalam dua—"
"Absensi perkara mudah. Aku bisa mengurusnya. Sekarang," Shuuzo berusaha sekeras mungkin memasang ekspresi lembut. Raut normalnya justru akan menakuti Seijuro. "aku ingin kau menemaniku."
Seijuro mendengus. Pelan, tentu saja. "Senior tahu ini namanya penyalahgunaan kekuasaan."
"Seorang ketua," NIjimura menyimpan seringai. Bukan Akashi Seijuro jika tidak memasang tantangan yang sangat menarik untuk ditembus. Verbal ataupun bukan. "dibebani dengan tekanan dan tanggung jawab lebih besar daripada siswa lainnya, aku tak perlu menyebut kekuasaan. Manusiawi bila aku menggunakan apapun dalam lingkup kekuasaanku untuk menyeimbangkan derajat kewarasanku menghadapi semua tugas-tugas itu—seperti yang kau bawa tadi, bukan?"
Seijuro tahu Shuuzo terpilih menjadi Ketua Dewan Siswa bukan tanpa alasan. Bagaimana Tuhan bisa menciptakan lidah yang begitu terampil menata alibi—ia tidak tahu.
Yang Seijuro tahu, sekalipun ia masih memiliki cadangan amunisi kalimat untuk ditembakkan kembali, sebenarnya Seijuro juga ingin punya waktu bersama seniornya. Ia hanya membuang napas dan memutar bola mata.
Rubi itu tampak indah bagi Shuuzo.
Mengasumsikan Shuuzo memintanya duduk di dekatnya, Seijuro berbalik badan dan mendekati samping sang ketua, lalu duduk di sampingnya.
Shuuzo mengernyit.
"Bukan di situ, tapi di sini."
Menunjuk pangkuan. Seijuro mengernyit.
"Apa maksudny—senpai!"
Pekik kaget meluncur mulus dari bibir Seijuro ketika Shuuzo menarik tangannya begitu keras hingga membuat tubuhnya terseret. Pipinya memerah menyadari kini ia duduk di atas pangkuan Shuuzo, menghadapnya, dan dalam posisi yang agak … seduktif, pula.
"Satu."
"S-senpai,"
"Sejak kapan kau menyukaiku?"
Gotcha.
Satu, dua, tiga detik, otaknya butuh waktu lebih lama untuk menggerakkan roda gigi.
"Maksudnya?"
"Persis seperti yang kutanyakan. Sejak kapan kau menyukaiku?"
Seijuro berkedip bingung. Sedetik kemudian, terkejut.
"A-aku," ia menelan ludah, namun ekspresinya tak berubah. "tidak pernah. Aku tidak pernah menyukai Senpai."
Shuuzo mengernyitkan alis saat ia mendeteksi kebohongan. "Aku tidak percaya."
Cepat-cepat, Seijuro memalingkan wajah. "Sudah kubilang kejadian kemarin itu tanpa disengaja. Aku tidak pernah menguntit Senpai, kalau itu yang Senpai maksud. Aku kagum—ya. Aku menghormati Senpai karena semua yang sudah Senpai raih. Tapi jika Senpai menyinggung soal 'suka' begini, mungkin Senpai salah pah—"
Belum selesai ia bicara, Shuuzo menariknya dalam pelukan, lalu membanting tubuh mereka ke sofa. Seijuro di atas, dengan wajah dipaksa—terpaksa?—menghadap dada Shuuzo.
Posisi di atas harusnya adalah simbol dominasi. Tapi kasus kali ini—Seijuro tidak menyangkal—dirinya adalah contoh sempurna submisif.
Shuuzo sendiri menyeringai, menahan gerakan tangan Seijuro dengan melingkarkan lengan pada pundak pemuda berambut merah itu, secara efektif makin mempersempit gerakan si adik kelas. Kaki Seijuro dialiri insting bergerak berontak, tetapi Shuuzo mengheningkannya dengan membelitkan kaki mereka.
"Dua."
Wajah Seijuro merah panas. Lutut Senpai menyentuh daerah sensitifnya.
Nijimura Shuuzo dan sabuk hitam karatenya bukan bualan belaka.
Seijuro memejamkan mata erat dan mencoba berteriak, tetapi bibirnya terbungkam oleh dada Shuuzo. Jadi ini yang disebut teman-teman perempuannya bear hug, versi nyata dan mematikan.
"Sudah dua," Shuuzo berbisik di telinga Seijuro, sontak membuat si merah bergidik. Dua? Dua apanya? "Dua kali aku bertanya dan dua kali kau berkilah. Sudah dua." Menarik rambut merah ke belakang hingga mata mereka bertatapan. "Buat aku menghitung sampai tiga, maka kupastikan kau takkan suka dengan jujitsu ketigaku."
Seijuro menarik napas, berusaha mengisi paru-paru dengan udara. "Apa yang Senpai inginkan?"
"Kau menyukaiku?"
Seijuro menggigit bibir. Jantungnya berdetak tidak karuan. Belum siap jika perasaannya dibongkar sedini ini.
Apa yang dia pikirkan? Dia dan Shuuzo selama ini tidak pernah saling bicara, tahu-tahu sekarang jarak antar mereka hanya dipisahkan sehembus napas?
"Akashi."
"Aku tidak—"
"Aku hanya menerima jawaban jujur." Aku tahu kau berbohong, diucapkan dalam hati. Shuuzo punya terlalu banyak bukti dari observasi diam-diamnya terhadap si kelas satu.
"A-aku bicara jujur—akh!" ucapnya susah payah karena Shuuzo semakin mengeratkan kedua lengannya. "Se-sesak..."
"Apa? Aku tidak bisa mendengarnya. Katakan dengan jelas, Seijuro."
Sadis benar kakak kelasnya itu. Sudah tahu ia kesulitan berbicara karena lilitannya, tapi malah semakin membuatnya kesulitan bernafas. Seijuro memutuskan untuk mulai menyerang. "Lepaskan aku, Senpai, atau kugigit tanganmu." Menyeringai untuk memamerkan taring. Shuuzo berilusi Seijuro bisa jadi vampir kecil yang manis. Yang menghisap hasrat dan bukannya darah. "Aku serius."
"Benarkah? Kau yakin ingin aku melepaskanmu, hm?" Sengaja, Shuuzo menggigit lembut cuping telinga pucat dekat dagunya, sementara kedua kakinya ia bawa melingkar pada pinggul Seijuro dan menguncinya dengan erat—menyebabkan gesekan mengganggu (dan menyenangkan) memudarkan pikiran jernih si kepala merah.
Ke mana larinya determinasi untuk meloloskan diri? "Nnnh!"
Shuuzo bersiul. Tiupan udara itu membuat Seijuro memalingkan muka. "Wah, wah. Apa ini? Terangsang?"
Shuuzo tetap remaja laki-laki, betapapun ia sangat dihormati. Lebih lagi dengan kelebihan hormon dalam sirkulasi tubuhnya.
"Mau lebih?"
Seijuro bertindak cepat. "K-kumohon jangan—uhh," Sungguh, bagaimana bisa acara ngobrol sedikit naik skala menjadi aktivitas intim?
"Kalau begitu, aku ingin dengar kejujuran. Aku ingin tahu kenyataan."
"Kenapa Senpai begitu percaya diri? Kenapa Senpai terus bicara seolah benar?"
Lilitan dilonggarkan. Shuuzo menarik dasi Seijuro, kemudian mencium bibirnya.
Rasanya seperti mencium Medusa. Seijuro membatu.
"Aku melihat ke mana matamu terfokus empat tahun ini," Shuuzo melepas ciuman dan berbisik di samping telinga Seijuro. "Empat tahun dan aku terus diam. Empat tahun dan aku sudah mati-matian mengendalikan diri. Empat tahun dan jangan kira aku bisa menahan diri sehari lagi, Seijuro."
Apa… barusan?
Bibirnya basah—tidak ada permainan dominasi, tapi cukup untuk membuat si rambut merah kelu lidahnya.
Seperti bermain roller coaster. Sedetik lalu ia bagai dibawa melayang, sedetik kemudian dibawa terjun kembali ke bumi.
"… kenapa Senpai sampai berbuat seperti ini?"
Jebakan dilepas, Shuuzo kini mendekapnya.
"Karena aku yakin kau tidak punya alasan untuk menolakku. Bahkan aku yakin tidak ada seorangpun yang kau pikirkan lebih sering ketimbang aku."
"Aku tidak akan pergi, Seijuro. Aku tidak akan meninggalkanmu—"
Seijuro menggelengkan kepala. Suara manis itu berkumandang lagi. Heran, terus saja ia dihantui. Padahal sudah lama itu terjadi.
… lagipula, dia sudah lama pergi.
"Kenapa Senpai sangat ingin tahu perasaanku?"
Seijuro masih baru dalam dunia ini. Belum berpengalaman dengan saling kejar. Shuuzo mengelus surai merah. Tensi di antara mereka mulai berkurang, syukurlah.
"Karena aku—"
Brak!
"Oi, Nijimura, pulang nanti kita jadi mampir ke Maji tida—"
"—tertarik padamu."
Shogo Haizaki membeku di ambang pintu.
.:xxxx:.
"Terima kasih."
Shuuzo menoleh mendengarnya. Apa yang barusan itu?
"Kau bilang apa, pendek?"
Seijuro merengut. "Aku tidak suka disebut pendek, dan bukan berarti aku tidak tinggi. Aku hanya terlalu sering berada dekat pemain-pemain basket lain yang mendapat karunia lebih." Tusukan jari pada dada Shuuzo. "Termasuk Senpai."
Shuuzo tersenyum. Jari Seijuro lebih membuat geli daripada sakit. "Kau banyak alasan. Apa tadi? Terima kasih? Untuk apa?"
"Untuk," memalingkan muka. "berbagi perasaan denganku. Terima kasih karena sudah menerimaku apa adanya. Aku akan berusaha untuk tidak… mengecewakanmu."
"Pintu gerbong akan segera ditutup."
"Heh," Seijuro meringis ketika rambutnya diacak-acak. Bukan tidak nyaman, hanya saja dia sebal. "Tidak perlu, justru aku yang harusnya bicara begitu. Dan aku juga minta maaf kalau tindakanku tadi membuatmu takut."
Seijuro menampik tangannya. "Aku tidak takut."
"Hoo," sebelah alis terangkat. "Apa ini? Maksudmu kau suka didominasi seperti tadi itu?"
Blush. "B-bukan itu. Senpai selalu ambil kesimpulan sesuka hati."
Shuuzo ingin bicara lebih lama lagi, tetapi pengumuman yang sama sudah diulang untuk kedua kali. Dan Seijuro tidak mau ambil resiko ketinggalan kereta untuk pulang atau dia terpaksa menginap di apartemen Shuuzo (walau Shuuzo—sangat—tidak keberatan).
Seijuro tersenyum. "Terima kasih sudah menemaniku sampai stasiun, walau sebenarnya tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri."
Balasan dari Shuuzo tercekat ketika pemuda di depannya berjinjit dan mengecup pipi. Hangat.
"Sama-sama," sial, terlalu manis. Shuuzo harus menahan diri atau dia bisa ditahan karena berbuat tak senonoh di depan publik. "Sudah, sana. Pintunya sudah menutup. Atau kau mau malam ini tidur denganku saja?"
Seijuro menjulurkan lidah seraya berlari. "Tidak, aku belum siap dekat denganmu Shuuzo-senpai lagi."
Pintu menutup sempurna, kereta mulai berjalan. Mereka berbagi lambaian tangan, lalu Shuuzo berbalik dan berjalan pulang.
Puji Tuhan apartemennya tidak sejauh itu dari stasiun kereta.
Dan Shuuzo sedang dalam mood yang baik, sangat baik, terima kasih kepada Akashi Seijuro, kekasih barunya. Memang butuh tenaga ekstra untuk membuat bocah itu bicara jujur, dan interupsi Shogo sialan di momen penting, tapi paling tidak, mereka berhasil bicara isi hati hari ini.
Ngomong-ngomong muka Shogo tadi sangat tidak mengenakkan. Shuuzo mengedikkan bahu. Mungkin dia iri karena belum punya pasangan baru (kemarin Shogo baru putus dari mantan pacarnya Ryota). Mungkin moodnya jelek karena tertangkap basah melompati pagar sekolah. Entah.
Ia berbelok ke kiri, ke arah kompleks apartemen, delapan ratus meter dari stasiun. Tidak mewah, tapi cukup nyaman untuk ditinggali. Ya, Nijimura Shuuzo tinggal sendiri (walau tidak akan lama lagi). Pemuda itu ingin hidup mandiri, jauh dari mansion mewah milik keluarganya. Untunglah ayahnya tidak ambil pusing dengan keputusannya dan ibunya—butuh waktu lama untuk meyakinkan wanita itu bahwa dia sudah besar dan bisa jaga diri. Dan, tidak, dia tidak akan mati hanya karena tidak dipeluk ibunya satu hari.
Pelipis Shuuzo berkedut lagi. Kesal rasanya mengingat keluarganya yang rumit. Ayahnya pebisnis sukses yang keras hati, namun tetap menyayangi, dan ibunya wanita rapuh yang terlalu memanjakan putra semata wayangnya.
Tap. Tap.
Ah, ngomong-ngomong orang tua, sudah lama ia tidak berkunjung. Mungkin akhir bulan nanti, ia harus meluangkan waktu untuk reuni keluarga.
Ting.
Pintu lift terbuka dan Shuuzo mengangkat alis. Ada beberapa kardus di depan pintu apartemennya. Cukup besar, ia mengamati dari dekat. Dan diisolasi apa adanya.
"Ini seperti… barang pindahan."
Tangan Shuuzo terjulur untuk membuka penutupnya. Penasaran. Tidak butuh waktu lama untuk merobek perekat bening. Shuuzo mengintip, dan judul buku berukuran sedang warna-warni balas menatapnya. Kalimatnya yang klise, berikut ilustrasi gadis manis dua dimensi membuatnya menganga heran.
"… light novel?"
Pintu dibuka, Shuuzo mendongak tepat waktu. Seorang pemuda keluar dari dalam apartemennya, menatapnya sama terkejut.
Ada momen hening di antara mereka sebelum pemuda—yang sepertinya adalah pemilik sekardus novel ini—bertanya.
"Nijimura Shuuzo?"
"Ya, itu aku." Kardus barang pindahan. Orang lain muncul dari dalam apartemenku. Dapat kunci dari mana. Sudah tahu namaku pula. Kertas tagihan biaya sewa di bawah pintu—klik, klik, klik. Puzzle selesai. "Oh, kau sudah datang. Jadi kau, yang mulai hari ini akan berbagi apartemen denganku?"
"Benar," pemuda tadi—mungkin lebih tua darinya satu atau dua tahun—mengulurkan tangan. "Salam kenal, dan mohon bantuannya. Aku baru sampai tadi pagi dari Amerika."
.:xxx:.
"Aku jadi ingin tertawa," ia bohong. Ia sudah tertawa sejak tadi. "Sepertinya kau salah perkiraan, Shogo? Akashi Seijuro pulang bersama Nijimura Shuuzo tadi, dan gengku tentu tidak mau ambil resiko ketika dia bersama Tuan Besar." Ejekan.
Shogo hanya menggertakkan gigi. "Aku tahu, brengsek. Aku tahu." Menatap gusar pada ruang ketua. "Itulah kenapa Akashi Seijuro akan lebih menderita lagi karena berani mengambilnya dariku."
.
.
.
[Tbc]
A/N: Maaf yang ini pendek dan updatenya super ngaret /kluk.Sampai jumpa lagi di chapter 3! Terima kasih untuk semua yang sudah memberi feedback! :DD