Bisakah?

Disclaimer :: Naruto © Masashi kishimoto. Saya tidak mengambil keuntungan apapun.

Warning :: alur lambat, RAPE!

'Bisakah aku menikah?' Pasti hampir semua orang akan tertawa saat mendengar pertanyaan yang selalu aku tanyakan pada diriku sendiri. Mereka hanya akan menjawab bahwa setiap orang yang hidup di bumi ini bisa menikah, tinggal jatuh cinta, mengikat sebuah komitmen satu sama lain, semua orang pasti bisa.

Tapi membuat komitmen dengan menjaga komitmen itu hal yang berbeda, bukan?

'Adakah orang di bumi ini yang bisa menjaga komitmen dengan segenap hidupnya?' dan 'Jika mereka telah berkomitmen untuk bersatu, terus mengapa mereka saling menyakiti?' Dua pertanyan itu akan selalu mengikuti pertanyaanku yang pertama. Sampai sekarang aku belum benar-benar mengetahui jawabanya.

'Berjanji untuk selalu bersama, menjaga satu sama lain, tidak akan saling menyakiti, dan hanya mencintai pasanganya saja' sudah berapa milyar orang telah berjanji seperti itu di hadapan Tuhan. Berapa pula telah mengingkari dan menghancurkan janji itu.

Dengan usiaku yang masih muda ini, sudah banyak aku melihat hal menjijikan itu terjadi. Mereka saling menyakiti, hati maupun fisik. Mereka saling menghancurkan kehidupan satu sama lain, dengan penghianatan. Laki-laki, perempuan, mereka sama saja. 'Kenapa mereka membuat komitmen itu jika tidak bisa hidup terikat untuk menepatinya?'

Aku teringat masa kecilku, sungguh bukan masa indah yang seharusnya terjadi. Hampir setiap hari dalam dua tahun aku melihat dan mendengar mereka saling memaki. Bahkan aku masih ingat beberapa kata-kata kasar mereka.

Saat suatu sore ayahku pulang lebih cepat dari kantornya. Aku menyambutnya di depan pintu, dia tersenyum lebut dan mencium keningku.

"Ayah pulang lebih awal hari ini. Kamu sudah makan, sayang?" Ayah bertanya padaku sambil membuka sepatu. Aku memungut tas kerjanya. Sedikit berat bagi tubuh kecilku, tapi pasti ayah lelah telah bekerja seharian.

"Iya, Ayah, aku sudah makan" Dia berjalan memasuki rumah, dan mengetahui bahwa aku dari tadi bermain sendirian di ruang tamu. Ibuku sedang keluar sejak aku pulang sekolah dan saat itu aku tidak tau dia kemana.

"Sakura, dimana ibu? Apa kamu dari tadi sendirian?" Ayah berlutut dan dia meletakan kedua tanganya di pundakku. Aku hanya bisa menggeleng, jujur aku tidak tau ibuku pergi kemana selama ayah bekerja. Yang aku tau ibu selalu sampai di rumah satu atau dua jam sebelum ayah pulang kantor.

Setiap hari sepulang sekolah rumah ini sudah kosong. Ibu sudah pergi entah kemana, namun dia selalu telah menyiapkan makanan untukku di atas meja makan. Pernah sekali aku bertanya, tapi ibu hanya menyuruhku untuk berjanji tidak akan memberi tau ayah.

Seolah tak percaya, ayah mengulang lagi pertanyannya. " Sakura, ibumu pergi kemana?"

"Aku tidak tau, Ayah" Aku bisa melihat dengan jelas amarah yang terpancar dari kedua matanya. Tanpa bicara apapun padaku, ayah kembali keluar rumah. Sekali lagi di hari itu hanya aku sendirian di rumah.

Beberapa jam kemudian saat aku mencoba untuk tidur dalam kegelapan yang aku takuti, aku mendengar suara pintu depan dibuka dengan kasar. Aku sangat takut, bagaimana jika itu adalah maling yang mencoba untuk masuk. Tapi rasa takutku meningkat saat aku mendengar suara teriakan ibuku.

"Kenichi lepaskan aku!"

"Bagaimana aku bisa melepaskanmu, seharusnya kau tidak meninggalkan anak 5 tahun sendirian di rumah, Tsunade"

"Apa hakmu melarangku? Salah siapa huh? Aku masih muda, aku masih ingin menikmati masa remajaku yang hilang! Aku masih 21 tahun, Kenichi. Aku punya hak untuk berkumpul dengan teman-temanku!"

"Oh jadi begitu, memang salahku! Salahku berhubungan dan menikah dengan remaja jalang sepertimu!"

"Tutup mulutmu, berengsek!"

Suara mereka kian meninggi saat saling membentak. Suara pukulan dan gelas pecah juga ikut terdengar. Aku bangun dan menanggis sekeras mungkin. Suara itu sangat menakutkan hingga aku menutup kedua telingaku.

Tak lama ayah dan ibu datang ke kamarku. Ayah memelukku erat dan meminta maaf atas semua yang aku dengar. Peluknya tak melepaskanku sebelum aku akhirnya benar-benar tertidur. Sedangkan ibu, aku bisa melihatnya ikut menangis. Wajahnya yang cantik telah basa oleh air mata.

Malam itu aku berharap, semoga ini adalah terakhir kalinya suara-suara jahat itu terdengar. Namun aku salah, sangat salah, itu hanyalah awal dari semua. Sejak itu petengkaran makin sering terjadi.

Orang tuaku adalah pasangan muda. Mereka menikah saat ibuku masih 16 tahun, dan ayahku berusia 22 tahun. Kehadiranku adalah satu-satunya alasan mengapa mereka menikah. Bukan berarti mereka tidak saling mencintai.

Mereka dulu saling mencintai satu sama lain dengan sangat dalam. Hingga mereka mengorbankan masa muda mereka yang berharga hanya demi cinta.

Tapi mungkin perasaan cinta itu telah hilang atau ego yang masih terlalu labil membuat mereka tidak sanggup untuk tetap berada dalam lingkaran pernukahan. Saat itu ayah sangat kecewa dan marah pada ibu. Semakin lama dia bekerja lembur setiap hari. Aku dan ibu bahkan sulit untuk bisa bertemu dengannya.

Ibuku, dia selalu ingin berkumpul dengan temanya. Mungkin karena rasa bosannya. Siapa yang tidak akan bosan jika di usia mudanya hanya duduk di rumah dan mengurus anak balita.

Saat bertemu, mereka akan bertengkar dengan sangat hebat. Tak jarang polisi datang ke rumah karena mendapat laporan dari tetangga kami yang terganggu.

Sampai akhirnya saat itu datang juga. Seperti biasanya, mereka bertengkar. Meskipun pintu kamarku telah tertutup, namun sayup-sayup aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Kenichi aku sudah tidak mampu lagi, kita cerai!"

"Tapi kenapa? Apa kamu sama sekali tidak ingin mengalah sedikit saja!"

"Kau selalu menekan dan memaksaku untuk melakukan hal yang aku tidak sukai, Kenichi. Kumohon ceraikan aku!"

"Tapi.. bagaimana dengan Sakura, Tsunade"

"Kumohon ceraikan aku"

"Maaf aku tidak bisa, Tsunade"

"Kenichi, kumohon"

Sejak awal ayah menolak keinginan ibu untuk bercerai. Tapi dengan sikap ibu yang keras kepala, ayah harus mengalah dan setuju bercerai.

Setelah itu aku tinggal dengan ibu. Semua uang kebutuhan hidup dan sekolahku sepenuhnya ditanggung oleh ayah. Ibuku harus menanggung biaya hidupnya sendiri. Dia bekerja, berkerja menjadi apa? Aku tidak tau. Setiap malam dia berdandan dan pergi setelah aku bersiap untuk tidur.

Aku merasa senang seperti itu. Suasana rumah menjadi lebih nyaman dari sebelumnya. Aku juga memiliki waktu bersama ayah dan ibu lebih banyak.

Aku tumbuh remaja dengan suasana yang kurang baik. Ayahku menikah kembali. Ibu baruku orang yang baik, tapi kami tidak bisa akrab. Sedangkan ibu, dia belum menikah kembali. Dia pernah menjalin hububgan dengan beberapa pria, tapi selalu gagal.

Aku tumbuh menjadi remaja yang pandai di sekolah, tapi aku sedikit tertutup. Hanya beberapa orang teman saja yang kumiliki.

Kisah cinta remajaku sedikit berbeda dengan remaja lainnya. Saat aku berusia 17 tahun, kakak temanku mengenalkan temanya kepada aku. Dia lebih tua 5 tahun dariku.

Setelah beberapa bulan kami mengenal, kami resmi berpacaran. Karena dia orang yang baik dan serius dengan hubungan kami, aku mengenalkannya pada ibu. Senang sekali saat kedua orang yang dekat denganku bisa akrab dan kompak. Sampai saat ini hubungan kami sudah dua setengah tahun. Dan hampir tidak ada masalah berarti.

Awalnya aku berfikir begitu. Tapi malam ini saat ibu berbicara empat mata denganku, semua berubah. Pacarku tidak sebaik yang aku tau, dan ibuku...

"Sakura, bagaimana menurutmu jika ibu memulai hidup yang baru?" Ibu bertanya padaku saat kami sedang menonton film bersama di rumah.

"Aku akan setuju Bu. Aku juga merasa ibu sudah terlalu lama hidup sendiri" aku mematikan layar tv dan mengalihkan perhatianku seluruhnya pada ibu.

"Aku rasa juga begitu" dia hanya tersenyum. Aku tau ibu sedang menyukai seseorang. Suara tawa ibu yang terdengar tiba-tiba, mencairkan suasana obrolan kami

"Ada apa? Apa yang lucu?"

"Oh tidak, aku hanya" ibu menempelkankan salah satu telapak tanganku di perutnya. Gerakan mungil yang hampir tidak terasa, tanda ada kehidupan lain di dalam sana.

Sebuah tanda kehidupan muncul di bawah tanganku, kami berdua tertawa.

"Oh Tuhan! Aku punya adik, ibu kau harus cepat menikah, aku tidak mau adikku tetap bermarga senju"

"Apakah nama senju itu jelek, Haruno-chan?" Ibu sedikit membalas ledekanku. Tentu dia tau apa yang sebenarnya aku maksud.

"Aku hawatir mungkin dia hanya akan menjadi seorang anak ibu"

"Siapa orang itu?" Aku melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Gugup, apa yang sebenarnya ibu sembunyikan dariku?

"Apakah Mengetahui identitas ayah bayi ini penting bagimu?" Tanya ibu padaku.

"Tentu aku harus tau, karena dia adalah adikku."

"Dia... maaf Sakura, dia adalah Taka"

"TAKA?" Aku langsung berdiri dari tempat dudukku. Amarahku meluap tanpa bisa aku tahan lagi. Aku berlari masuk ke kamarku. Dompet, kartu identitas, ponsel dan beberapa benda lainnya aku masukan ke dalam tas. Dan aku bergegas keluar rumah.

"Sakura! Mau kemana kau?" Ibu menghentikanku.

"Taka harus membayar apa yang dia lakukan!" Aku menjawab dengan tetap membelakangi ibuku.

"Taka, dia memperkosa ibu kan?"

"Apa maksutmu? Ini tidak seperti itu Sakura. Aku.. aku mencintai Taka" aku merinding dengan pernyatan ibu. Tubuhku sedikit gemetar karena menahan emosi yang bergemuruh. Tanpa kata, aku meninggalkan rumah.

Tbc

Maaf Tsunade di fic ini berperan sebagai ibu Sakura, karena aku butuh sosok super-hot-mom. No Flame, please! Ada pertanyaan? Kalian bisa tanya lewat bbm 764DF6CD

See ya!