Haloo!

Kabar gembira untuk kita semua... wol-lee kini ada ekstraknya! Cewek sinting itu buat fanfic lagi! Goddammit! Unbelievable!

Bikin kalian mau ngebunuh saya, huh? Sayang jarak tidak mempersatukan kita, dude.

Kalian: GTFO wol-lee! You're a fucking betrayer!

MAAFKAN SAYA. Just sayin' that. Sudah nyaris setengah tahun nggak nongol, sekarang malah bikin fanfic baru, minta dimakan!?

Bunuhlah saya di rawa-rawa. Saya juga nggak ngerti bagaimana sejarahnya sampai sebegitu lamanya nggak buka fanfic. Dunia nyata menampar keras saya, jadi, kemarin saya harus kembali menghadapi hidup yang berat, dan... sekarang lebih berat mengingat saya akan ujian dan mungkin say goodbye pada kalian semua...no? maybe you must not stop dreaming.

Dan pada akhirnya, inilah fanfic yang saya buat. Fanfic terkhir? Sepertinya tidak bisa disebut semudah itu. Nah, ini dia... fanfic bleach! Lagi.

Kali ini saya mengambil setting masa depan, halah. Fanfic ini mungkin saya dedikasikan buat Om Kubo. Sigh, saya buat first chapter ini menurut pandangan saya pada bleach sampai detik ini. Terlebih ketika baca 589. Saya yakin kalian tak jauh beda dari saya, seperti-ketika berharap ada adegan romantis, ternyata Om Kubo menghentikannya hanya pada sampai saat itu. Sebutlah, ketika Rukia dan Ichigo kita tersayang berpisah. Jangan hipokrit, kalian juga mengira bakal ada sweet scene secuil apapun bukan? Nyatanya Om Kubo lah yang memaksa kalian menciptakan fanfic. Karena ketahuilah Om...! Kami memiliki daya imajinasi romantisme yang sedikit lebih tingi darimu.

Fix fic ini adalah sebuah realita yang terjadi di bleach. Dimana sebenarnya kisah cinta tak pernah ada. Nah jangan heran chapter pertama biasa, mungkin kedepannya akan lebih banyak imajinasi saya. Soal pair, saya ikut kalian. Sumpah.

Jadi, karena saya punya firasat ini adalah last fanfic, saya nggak janji, tapi kalau ada respon pasti bakal saya lanjutkan. Soalnya saya juga lagi buat lanjutannya langsung. Mungkin nggak akan ada banyak chapter. Sori jika deskripsinya nggak ngalir, atau kata-kata yang standar.

Enjoy~

Disclaimer: not even mine.


Ichigo merasakan sesuatu yang basah mengalir sepanjang garis wajahnya. Nafasnya memburu dan ia bisa merasakan jantungnya berdegup begitu cepat hingga mampu membuat tubuhnya bergetar. Dan ketika semua ketidaknyamanan itu bersatu, pada puncaknya jantungnya hampir meledak, matanya terbuka mendadak. Nafasnya masih tidak bisa diatur, jantungnya masih berdegup luar biasa kencang sampai tangannya sendiri meraba dadanya, memastikan apakah jantungnya masih ada pada tempatnya. Dadanya basah, begitu juga wajah serta lehernya. Ichigo menggelengkan kepalanya, menampis mimpu buruk yang baru saja membuatnya begini. Ichigo mencoba duduk di atas ranjang, mencoba mengatur jalan keluar-masuknya udara melewati paru-parunya. Whoa, mimpi ketika sebuah tangan menembus dadamu bukanlah sebuah sesuatu yang menenangkan hatimu. Kekacauan ketika para quincy brengsek itu telah berlalu beberapa hari yang lalu. Tapi luka dan amarah yang tak terkendali masih bisa Ichigo rasakan sisanya sekarang. Luka? Jelas tercetak di dada Ichigo, bekas sebuah tangan dari pemimpin mereka. Amarah? Sangat, tapi tak berguna. Juha Bach sudah mati. Tentu saja jika bukan Ichigo sendiri yang mengambil nyawanya, ia akan lebih marah. Masalahnya bukan ada pada dirinya, tapi pada orang-orang yang ia pedulikan. Mati di sana-sini. Yamamoto mati. Soifon mati. Kira mati. Sisanya? Terlalu banyak untuk diingat. Ichigo mengatupkan rahangnya kuat-kuat mengingat semua kekacauan itu.

Ia menghela napas panjang, memegang pelipisnya agar tak kembali pening. Ichigo menoleh, sebuah jendela besar yang terbuka ada di samping kasurnya. Matahari sudah tinggi, sinarnya masuk ke ruangan ini begitu lembutnya sampai membuat perasaan tenang mengaliri darahnya kembali. Dan ketika Ichigo benar-benar bisa bernapas sesuatu yang keras menghantap jidatnya.

"Fuck!"

Ichigo menyentuh dahinya yang berdenyut-denyut merah, ia meringis jengkel. Dari luar segumpal rambut merah dan hitam meneriakinya.

"Bangun, idiot!" seru Renji Abarai dengan melakukan berbagai gaya idiot juga.

"Ichigo kau payah, mau jadi putri tidur ya?" seru gadis pendek di sampingnya. Mereka berdua melempar satu-dua batu lagi ke kamarnya.

Astaga, bukankah ini terlalu pagi untuk memulai kesenangan? Haha. Ichigo menyibakkan selimutnya kemudian tanpa harus merepotkan diri berpakaian, ia melompati jendela dan baru ingat kalau kamarnya ada di lantai 7. Rukia dan Renji sudah ada di bawah dengan wajah menahan tawa, sampai Ichigo jatuh tepat di depan mereka. Mereka terbahak, Ichigo menggeram jengkel dan hal selanjutnya yang akan terjadi pastilah sudah menjadi hal basi. Kejar-kejaran sepanjang Seireitei yang hancur. Perbaikan dimana-mana. Tentu akan memakan waktu yang tidak cepat, tapi semua tetap akan berjalan. Reruntuhan menghalangi jalan mereka, menabrak beberapa orang yang bekerja membangun kembali divisi-divisi yang hancur. Semuanya memang hancur, tapi toh akan kembali normal.

"Awas selangkangan!"

Dukkk!

Ichigo terpental ketika Renji dan selangkangannya itu menubruk leher Ichigo. Renji bergelantungan dengan tali-tali yang putus. Sungguh tak ada bedanya dengan monyet, mungkin dia memilki darah yang sama.

Shit, Ichigo kena pukul dua kali dalam satu pagi. Ichigo segera bertengkar seperti anjing dan kucing dengan Renji. Dan kemudian Rukia memisahkan. Sungguh hal klasik. Tapi itulah yang Ichigo inginkan sepanjang hidupnya setelah kekalahan Aizen dulu. Dan entah kenapa Ichigo tertawa.

"Renji, kurasa selangkanganmu memiliki pengaruh negatif padanya. Dia jadi agak gila," kata Rukia dengan wajah simpati.

Ichigo mengangkat kedua tangannya, "Hahaha, aku tidak butuh empatimu, Rukia. Hanya saja…" Ichigo tak melanjutkan. Dia hanya tersenyum, memandang berkeliling. Bahwa sekarang ini Seireitei tak lebih dari reruntuhan dan kehampaan. Tapi dengan adanya shinigami dan orang-orang yang membantu membangun kembali Seireitei, serta dua orang yang ada di depannya kini mengingatkannya bahwa hidup maish berlanjut. Bahwa hal-hal sepele, seperti bagaimana awan putih tipis yang bergerak lambat di langit, angin yang berhembus kencang, kenyataan bahwa dirinya masih bisa bernafas sungguh membuatnya merasa masih hidup. Dan merasakan luka serta kesenangan, semacam hal-hal normal baginya untuk terus hidup. Dan dia sudah menang.

"Hanya saja…?" tanya Renji dengan wajah heran.

Ichigo tersenyum lagi.

"Semacam keinginan untuk terus hidup?" Rukia menimpali. Ichigo menoleh padanya, dia meringis kemudian mengacak pelan rambut Rukia. Bagaimana dia bisa selalu tahu?

"Yaa, begitulah. Nah, sekarang apa? Aku suka mencium aroma sup di pagi hari yang cerah ini."

Renji merangkulnya, "Kami memang mau mengajakmu makan. Kau taulah, kau pahlawan di sini. Tidak, tidak," kata Renji cepat ketika Ichigo membuat ekspresi aku-tahu-kau-memujaku. "Mereka yang menganggupmu seperti itu. Aku jelas tidak. Aku bahkan lebih hebat darimu, tapi aku takut popularitasku membuatmu tampak culun. Maka kami memutuskan untuk memberimu gelar pahlawan Seireitei lagi. Maksudku, ya, ada pesta untukmu Ichigo. Dan ada banyak makanan di sana," kata Renji panjang. Dia tersenyum. Ichigo mendengus, tapi tetap tersenyum.

"Okee," katanya menghela napas. "Karena kalian memaksa, aku akan datang, huh?"

Renji dan Rukia melakukan high five. Renji merangkulnya lebih erat, bukan, lebih tepat mencekiknya. Kali ini Rukia tidak melakukan apa-apa hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Ichigo memandangnya, "Kau baik-baik saja?" tanya Ichigo.

Rukia menghela napas, "Seharusnya itu pertanyaanku, Ichigo."

Ichigo mengikuti arah mata Rukia, ia menunduk untuk melihat bekas luka di dadanya. Ia mendengus, "Seriously?"

Rukia menjitak kepalanya, "Kau yang harus serius sedikit! Kau tidak apa-apa?" tanya Rukia pada akhirnya. Akhirnya dia mengatakan kalimat itu. Kaliamat yang seungguhnya membuat Ichigo agak jenuh. Kau tidak apa-apa? Apa kau baik-baik saja? Kau tidak terluka bukan? Blah. Tipikal Rukia. Dan semua orang akan tahu jawaban apa yang akan dilontarkan Ichigo; Jangan khawatir. Basi. Sesungguhnya sudah ribuan kali percakapan itu berada dalam lingkup Ichigo-Rukia. Tapi semuanya terasa lebih nyata sekarang. Dengan Rukia nyaris mati, Ichigo juga sebenarnya sudah bisa dikatakan mati (terimakasih pada Inoue atas kekuatan spiritualnya) semuanya terasa lebih nyata. Apa kau baik-baik saja? Memiliki arti yang cenderung, Apa kau benar-benar masih hidup?

"Ya," jawab Ichigo. Rukia masih tampak cemas, Ichigo mendengus. "Hentikan menatapku seakan aku mayat hidup, Rukia."

Rukia tersenyum pahit, dia mendekat. Menyentuh bekas luka Ichigo dengan tangannya yang kecil itu. "Well, yang kumaksud bukan hanya ini. Maksudku dalamnya," ucapnya pelan.

"Hei! Hei!" Renji segera mengangkat tangan Rukia agar lepas dari dada Ichigo. "Bukan berarti kau harus pegang-pegang bukan? Dasar mesum!" seru Renji.

"Kau ini ngomong apa?" Rukia balas berteriak. Dia memukul Renji. Ichigo hanya tersenyum melihat itu.

"Baik-baik saja."

Mereke berhenti. "Apanya?" tanya Renji.

Ichigo menggaruk belakang kepalanya bingung, "Yah… hatiku. Jika kalian ingin tahu," jawab Ichigo dengan wajah merah.

Renji menggigit bibirnya, tak perlu menutupi kalau dengan jelas ia menahan tawa. Kemudian dia tergelak, terbahak-bahak sambil memukuli punggung Ichigo. Rukia tertawa kecil. Ichigo merengut padanya, bukankah dia yang tanya apakah Ichigo baik-baik saja? Bukankah dia ingin tahu bagaimana keadaan Ichigo setelah nyaris membunuh Ishida?

"Ahaha! Hahaha! Kau ini melankolis sekali. Kami tahu sebenarnya kau baik-baik saja. Lihat dirimu! Bukankah kau Ichigo Kurosaki? Laki-laki yang nekat hidup?"

Rukia tertawa. Ichigo mendengus senang mendengarnya. Bagus juga.

Mereka berjalan bersama sepanjang jalan Seireitei yang retak dan pecah. Entah mengapa bunga-bunga sakura mulai bermekaran saat ini. Ketika kekacauan sudah berakhir, bunga itu mulai bermekaran memenuhi Seireitei. Mungkin hanya untuk cuci mata, setidaknya masih bisa dilihat bahwa Seireitei masih hidup. Beberapa shinigami menyapa mereka ketika melewati divisi 6. Divisinya Renji hancur paling parah kedua setelah divisi 1. Bahkan kator Byakuya rata dengan tanah. Rukia berhenti berjalan ketika melihat Byakuya keluar dari puing-puing tembok dengan membawa sesuatu.

"Astaga, kau berhasil menyelamatkannya!" seru Rukia dengan wajah berseri.

Dari kejauhan Byakuya mendongak dan mendapati mereka bertiga sudah mulai masuk ke halaman yang penuh reruntuhan. Rumput-rumput disini tertutup debu yang tebal dan bau amis darah masih bisa tercium. Halaman depan sudah agak dibersihkan dari reruntuhan. Matahari bersinar terang, memperjelas keadaan bahwa di sini tak lebih dari seoonggok bangunan yang tak berguna. Beberapa batang pohon tumbang menutupi jalan. Tak ada yang tersisa di divisi 6. Kecuali benda yang sedang ada dalam gendongan Byakuya Kuchiki.

Sebuah pot yang terbuat dari tanah liat yang sangat bagus dan mengkilap, di dalamnya tumbuh sebuah apapun-itu-Ichigo-bersumpah-benda-itu-bercahaya. Oke, agak berlebihan. Tapi benda yang kelihatannya seperti bunga itu memang terlihat sangat terang. Bentuknya seperti bunga pada umumnya kecuali batang dan daunnya berwarna hijau yang sama bersinarnya juga. Bunga itu sedang dalam taham kuncup.

Rukia nyaris berlari ke arah Byakuya, dia sangat bersemangat merebut pot itu dari tangan kakaknya.

"Bagaimana kau bisa menyelamatkannya?" tanya Rukia dengan masih berseri-seri. Byakuya hanya tersenyum tipis. "Aku tidak menyelamatkannya."

Ichigo dan Renji mendekat. Byakuya menatap Ichigo kemudian mengangguk singkat. Ichigo tersenyum padanya. Byakuya masih hidup entah bagaimana membuat Ichigo merasa lega.

"Lalu kenapa masih utuh?" tanya Rukia lagi.

"Dia melindungi dirinya sendiri, Rukia."

Ichigo tertawa kecil. Bukankah itu tidak masuk akal?

Renji malah menyuarakan pikirannya yang sama dengan Ichigo. "Seperti bunglon yang berkamuflase? Mungkin tanaman itu berkamuflase menjadi celana dalam kapten…" Renji langsung terdiam ketika Byakuya menatapnya meskipun tidak tajam.

"Orang bodoh sepertimu mana mengerti hal macam ini, Renji? Ini bunga roh. Bukan sembarang roh, tapi roh suci."

Rukia dan Byakuya saling tersenyum.

"Apa aku satu-satunya orang yang tak mengerti omonganmu, Rukia?" tanya Ichigo. Renji ber-high five dengannya.

Rukia memasang wajah jijik, dia memandang rendah Ichigo dan Renji. "Ck, percuma jika kujelaskan pada otak udang macam kalian berdua. Ngomong-ngomong, terimakasih ya, kak. Kupikir bunga ini sudah tamat riwayatnya," ucap Rukia seraya tersenyum lebar.

Byakuya memberikan tatapan itu-sudah-tugasku kemudian mencium pipi adiknya. Lalu berlalu pergi. Dia berhenti tepat di samping Ichigo, "Sebaiknya kau pakai bajumu, Kurosaki."

Ichigo tak terlalu memperdulikan omongannya. Dia masih terheran-heran.

"Whew, sejak kapan Byakuya berhati hangat padamu?" tanya Ichigo pada Rukia yang masih mengelus-elus bunga itu seakan hal itu adalah bulu anjing. Mata violetnya melirik Ichigo sekilas, dia mengangkat bahu. "Mm, aku tidak yakin. Kurasa sejak kami menghadapi musuh yang sinting dan memakai masker serta mengklaim tahu semua ketakuan lawannya. Aku dan Byakuya hampir kalah. Tapi kau tahu, dia tak sebanding denganku," jawabnya bangga.

Ichigo mendengus, "Ya ya. Aku bertaruh dia sama kuatnya dengan kon, kalau begitu?"

Rukia menendang jengkel Ichigo, "Dia kuat! Yah, kau tidak akan mau bertarung dengannya." Rukia mengetuk-ketukkan jari telunjuknya pada pelipisnya sendiri, "Dia mencari ketakutan terbesarmu, dan membuatmu nyaris terbunuh."

Renji dan Ichigo terdiam. Rukia tampak agak muram mengingat pertarungannya. "Bagaimana dia mati?"

Rukia kembali menatapnya, kali ini dengan wajah menjengkelkan. "Yaah, tentu saja dengan bankai."

Ichigo dongkol, "Serius, Rukia."

Renji memukul belakang kepalanya, " Dia sudah jadi lebih hebat, kau tahu."

Ichigo mengerutkan alisnya, "Kau..? Bankai?"

Rukia maju tepat di depannya, dia berwajah galak. "Kau pikir hanya kau yang bertambah kuat?" Rukia terdengar marah.

Ichigo mengangkat kedua tangannya menyerah, ia tersenyum pada Rukia. Sekali lagi, mengacak pelan rambut gadis itu. "Boleh kubilang kau selalu satu langkah di depanku, kau yang memberiku semua kekuatan ini pada awalnya, hm?"

Rukia menggembungkan pipinya, masih tampak jengkel. Tak lama kemudian dia memasang ekspresi mengerti. Dia tersenyum jahil pada Ichigo, mengetukkan jarinya pada bekas luka di dadanya. "Yah, kau benar. Jika kau lebih kuat dariku, maka seharusnya tak pernah ada tanda ini 'kan?"

Ichigo mendengus keras, tapi dia tetap tertawa. "Okee, mana pestanya?" Ichigo merasa semua kerja kerasnya harus memberinya keuntungan-setidaknya beberapa makanan.

Renji merangkulnya, "Kenapa juga harus pesta pagi-pagi seperti ini. pesta yang sebenarnya masih besok malam!"

"Brengsek, lalu untuk apa kalian membangunkanku pagi-pagi, huh!?" seru Ichigo. Renji terbahak-bahak.

"Kurosaki-kuuuun!"

Ichigo menoleh, di luar pagar tembok divisi yang tinggal separuh, Inoue melambaikan tangannya ke udara dengan begitu semangat. Chad mengekor di belakangnya dan ada Kotetsu Isane yang tampaknya pembicaraan mereka terputus saat Inoue melihat Ichigo. Ichigo mengangkat tangannya ke udara balas melambai, dengan tergopoh-gopoh mereka masuk ke halaman dengan buku yang tinggi-tinggi di tangan mereka, melewati reruntuhan yang memenuhi jalan.

"Selamat pagi, Kurosaki-kun! Kuchiki-san! Abarai-san!" sapa Inoue antusias. Dan ketika Inoue menyadari dihadapannya terpamapang dada telanjang Ichigo, dia seperti dihantam sesuatu yang keras. Wajahnya merah padam dan seperti akan pingsan.

"Aaaa, Kurosaki-kun ke-kenapa kau berpenampilan begitu?" Inoue menutupi kedua matanya dengan mengangkat buku-buku di tangannya.

Ichigo mendengus, "Heh, bukankah kau juga seperti ini saat kau datang ke Seireitei beberapa waktu yang lalu?"

Chad tertawa. "Apa-apan ini? ternyata kau juga suka Inoue seperti itu ya?"

Ichigo menahan semburat merah di wajahnya mengingat pakaian Inoue saat datang ke Seireitei bersama Chad dan Urahara. Sedikit terbuka di dada, huh? Ichigo bisa ingat wajahnya ternyata bisa merah juga melihatnya. Just… dia tetap seorang laki-laki normal. Lagipula itu pertama kalinya Inoue berani memakai pakaian seperti itu. Bukankah pasti ada orang yang mengharapkan Ichigo bersikap seperti itu, hm? Sekarang dia hanya memakai hakama hitam selayaknya seorang shinigami.

Ichigo menepuk buku-buku yang dibawa Inoue.

"Kenapa kau bawa buku sebanyak itu?"

Semburat merat mengaliri pipinya yang putih itu, seperti biasa, dia terbata-bata ketika menjawab pertanyaan yang sebenarnya dianggap biasa saja oleh Ichigo. "Anu, itu, Isane-san memintaku membantunya...err," Inoue bertambah merah hingga Ichigo takut wajahnya bisa meledak kapan saja.

Isane memotong, "Kapten Unohana memintaku untuk membawa serta Inoue untuk mempelajari medis, beliau melihat potensi yang sangat besar pada Inoue. Kurasa dia terlalu senang dengan hal itu," ucap Isane sambal tersenyum ramah seperti biasa. Ichigo membayangkan ketika Unohana kembali yang katanya dia sudah mati. Entahlah, nasib bergerak secara misterius bukan?

"Ahh, aku tidak sesenang itu, Isane-san~" Inoue memukul-mukul bahu Isane tersipu dan dengan mutlaknya buku-buku itu berjatuhan mengikuti arah gravitasi. "Ya ampun, maafkan aku!" Ichigo tidak mengerti dia meminta maaf pada siapa. Inoue selalu saja begitu, Ichigo tersenyum melihatnya.

Rukia membantunya memunguti buku-buku itu. "Kau ini, pantas saja dari tadi kau tampak semangat sekali. Kau hebat, Inoue," Rukia memujinya. Inoue bersemu merah lagi. Tapi dia tersenyum, "Aku senang bisa membantu kalian semua, Kuchiki-san," balas Inoue.

Mata Rukia melebar ketika tangannya menemukan sebuah buku usang yang sebenarnya berwarna cerah. Ketika mereka berdua selesai memunguti semua buku itu, Rukia tampak sangat tertarik dengan sebuah buku yang sangat tipis.

Renji mengintip dari balik bahu Rukia, "Cerita Putri Tidur?" tanya Renji. Renji berwajah jijik, "Bukankah setiap orang memang tidur? Ada-ada saja."

Ichigo berdecak merendahkan, "Ck, ini cerita di dunia manusia. Makhluk tak eksis sepertimu mana tahu?" Ichigo meringis. Renji memukulnya.

"Kau tahu ini dari mana?" Ichigo menoleh pada Rukia. Dia memegang belakang lehernya malu, "Hehe, dulu sebenarnya aku pernah menyelinap kamar Yuzu adikmu dan mengambil benda yang dinamakan desk, bukan? Ah maksudku sebuah disk. Ceritanya tentang putri tidur yang diselamatkan oleh makhluk semacam hollow berwarna hijau dan ada keledai bersamanya. Lalu putri itu malah ikutan jadi hijau! Lucu sekali! Bagaimana mereka bisa mendapat ide seperti itu?" Rukia tampak bersemangat mengingat film yang pernah dia tonton.

Ichigo dan Inoue tertawa. Ichigo melirik Inoue, "Hulk?" Inoue tertawa kecil seraya menggeleng, "Shrek."

Rukia tampak envy karena dia tidak tahu judul film itu. Rukia mengangkat alisnya heran, "Kenapa kau membawa buku seperti ini juga?" tanyanya.

Inoue meneliti buku itu dalam berbagai gaya, dia mengerucutkan bibirnya, berpikir. "Aku mengambil langsung satu lusin di rak medis. Mungkin itu terbawa di sana sejak lama? Tapi kenapa bisa ada di sana?"

Ichigo tertawa kecil, "Dan kenapa kelihatannya kau tertarik?" tanya Ichigo menyenggol bahu Rukia.

Rukia mengangkat bahu, tapi dia tak menjawab pertanyaan itu. "Boleh kuambil?"

Inoue mengangguk, "Tentu saja!"

Dia sekarang memeluk kedua benda favoritnya pagi ini; bunga dan buku. Rukia tampak senang dengan penemuannya hari ini, dia menoleh pada Ichigo. "Kalau begitu sampai jumpa besok malam!" setelah mengucapkan itu dia pergi begitu saja. Dia pergi. Ya ampun, bukankah ada buanyak hal yang seharusnya mereka bicarakan? Maksudnya, Ichigo pingsan selama tiga hari. Memang ketika pertama kali sadar Rukia ada di sampingnya, seperti biasa mengkhawatirkan dirinya, kemudian dia tahu semua akan baik-baik saja. Karena dia percaya pada Ichigo. Tapi bukankah seharusnya dia tahu kalau tak lama lagi adalah sebuah akhir. Entah bagaimana di cerita ini, akhir selalu bisa disamakan dengan open ending. Yah, Ichigo entah dengan cara ajaib apa lagi nanti pasti akan kembali ke Seireitei, kembali ke Soul society. Tapi Ichigo pikir saat ini tak sesederhana itu. Dengan kenyataan bahwa ibunya quincy dan segala tetek bengek yang membuat hidupnya semakin rumit, batas antara dunia nyata dan dunia roh ini terasa semakin jelas. Betapapun dominasi kedunian-roh yang ada dalam dirinya, dia tetaplah seorang manusia. Terlalu banyak hal yang ada di kepalanya membuat Ichigo semakin dewasa. Dia berpikir realistis. Sejak awal hanya ada satu masalah besar yang tidak ditonjolkan di sini; dunia. Dunia mereka berbeda. Ah, Ichigo selalu seperti ini ketika urusan di Soul society selesai. Karena itu berarti dia harus kembali ke dunia manusia. Kemudian tak berapa lama Ichigo akan ke Soul society lagi. Lalu kembali lagi. Sesungguhnya cerita heroik versi Ichigo ini mulai terasa melelahkan bukan?


Rukia berjalan melewati jalan satu-satunya yang tidak retak di Seireitei. Jalan menuju divisi 4. Dari kejauhan ia memandangi tempat-tempat yang sedang dalam perbaikan. Semua shinigami sudah bekerja keras untuk membangun apa yang telah dihancurkan. Pohon-pohon disini bahkan tidak banyak yang tumbang. Bunga-bunga sakura yang berguguran terbawa angin kencang dan satu-dua kali menampar wajah Rukia. Bahkan masuk ke dalam mulutnya ketika menguap tadi. Rukia mendengus, hal-hal indah bisa menyebalkan juga, huh? Tapi tetap saja Rukia senang bisa melihat ini. Angin berhembus tanpa henti hari ini, kelopak-kelopak sakura yang berguguran akhirnya jatuh diantara reruntuhan-reruntuhan. Rukia berhenti sejenak, mendongak dan mencoba mngambil udara banyak-banyak ke dalam paru-parunya. Ia hampir lupa rasanya bernafas dengan tenang semenjak quincy-quincy itu datang. Kali ini semua telah berakhir. Berakhir? Hah, tak ada kata akhir dalam kamus hidupnya. Karena dunianya adalah dunia yang sebuah akhir yang terus berjalan.

Rukia meneruskan berjalan, balas menyapa beberapa shinigami yang berhadapan dengannya.

"Kuchiki-san!"

Rukia menoleh kebelakang. Matsumoto Rangiku berlari ke arahnya dengan membawa satu kantong penuh makanan.

"Selamat pagi!" sapanya ceria seperti biasa. Untung dia tidak memeluk Rukia dengan dadanya hari ini. Terimakasih pada kantong makanan yang dibawanya.

"Pagi!" sapa Rukia.

Rangiku tampak penasaran, "Hm? Hari ini kau bersemangat sekali?"

Rukia tersenyum tipis, "Aku menemukan benda bagus untuknya," jawab Rukia sambil mengangkat kedua benda ditangannya tepat di depan hidung Rangiku.

"Oooh, apa itu? Bunga ini bagus sekali!" Rangiku begerak-gerak cepat meneliti bunga yang dipengangnya.

"Kau tahu bunga roh suci?"

Rangiku menempatkan telunjuknya pada bibir dengan gaya manisnya, berpikir. "Bukankah itu sudah tidak ada lagi?"

Rukia menyipitkan mata bangga pada Rangiku, "Kalau begitu aku hebat bukan?"

Rangiku tertawa kecil, dia merangkul Rukia dan menyeretnya masuk ke divisi 4. Seperti biasa, divisi ini merupakan divisi yang paling aktif bahkan sampai sekarang. Karena korban dari perang kemarin tidak bisa sembuh dengan sendirinya. Banyak shinigami berlalu-lalang dengan wajah cemas atau kepuncratan darat di wajah mereka, berteriak minta dibawakan obat dan hal-hal yang Rukia tak dapat pahami.

Rukia nyaris terjatuh karena ditubruk bahunya oleh shinigami yang kelihatan kalang kabut. Beberapa saat kemudian serombongan shinigami medis berlarian ke lorong yang sama akan dituju oleh Rukia.

"Ada apa?" tanya Rangiku setelah menarik ujung baju salah seorang shinigami yang Rukia bahkan tidak kenal.

"Quincy itu bangun!" jawabnya tergesa-gesa. Wajahnya tampak masih takjub dan segera berlari bersama gerombolannya.

"Kurasa aku harus kesana, Rangiku," Rukia mulai berlari tanpa menghiraukan larangan Rangiku. Rukia menoleh sebentar ketika akn berbelok ke lorong lain. "Aku akan menemuimu disana!"

Rangiku tampak menyerah, menghela napas yang panjang. "Geez, terlalu banyak orang yang dipedulikannya. Dasar."

Rukia membuka pintu kamar ketika para medis sedang mengarahkan senter tepat di depan mata Ishida Uryuu. Unohana berdiri di samping ranjang. Sebuah meja dorong kecil di sampingnya berisi banyak alat-alat bedah yang membuat Rukia bergidik. Tapi Rukia rasa itu semua sudah tak perlu bukan?

"Aku tidak mengira orang pertama yang datang adalah kau, Kuchiki," ucap Unohana tersenyum lembut. Dia masih belum sehat sejak katanya pertempurannya dengan Kenpachi. Well, mereka berdua sama-sama bungkam tentang hal itu. Bahkan gosip yang beredar antara para wakil kapten mereka memiliki rahasia masa lalu. Tidak akan ada yang protes jika sebagian besar berpikir kalau mereka pacaran, huh? Itu merupakan topik paling heboh sepanjang sejarah Seireitei. Tapi Unohana dan Kenpachi sama-sama memutuskan menjadi bisu sementara jika ditanya. Atau kalau sampai Kenpachi marah dia akan menggorok leher sang penanya. Kasihan Shuuhei. Dia kembali ke ruang para wakil kapten dengan wajah pucat dan nyaris berbusa.

"Kebetulan aku melihat kepanikan yang terjadi, ternyata ini ulahmu, Ishida." Rukia tersenyum dan berjalan mendekat ke ranjang di mana Ishida duduk. Satu-persatu para medis keluar ruangan dnegan membawa berita besar pagi ini; satu-satunya quincy yang tersisa setelah perang akhirnya bangun. Rukia meletakan buku dan bungnya pada meja. Unohana masih di sini bersama seorang asistennya memeriksa infusnya.

"Hei, kau mengenaliku? Ishida? Halooo?" Rukia mendekatkan wajahnya sambal melambambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ishida.

Ishido mengerling Rukia sekilas, kemudian ketika mata mereka bertemu selama hampir 3 detik, Ishida terpanjat dan nyaris terjungkal.

"Astaga, kau mengagetkanku, Kuchiki!"

Rukia tak bisa menahan senyum yang mengembang pada bibirnya dan dia tak tahan menahan gejolak dalam dadanya hingga memaksa tubuhnya bergerak untuk memeluk Ishida kencang-kencang.

"Kau hidup!" seru Rukia dengan mata nyaris berair.

Ishida bersuara mirip orang sekarat, dia berusaha melepaskan tangan Rukia di yang melingkari lehernya.

"T-tolong, siapapun hentikan dia!"

Unohana perlahan melepaskan tangan Rukia. Rukai masih berseri-seri, dia menatap Ishida yang sedang minum air dengan wajah yang mungkin nyaris bersinar. Ishida menatapnya, kemudian menghela nafas mengalah. Dia tersenyum.

"Aku baik-baik saja, yah, lumayanlah."

Rukia mengangguk dengan wajah masih tetap sama. Berseri-seri.

"Terimakasih tidak membunuhku, hm?" Ishida berkata pelan. Wajahnya sedikit menunduk ketika mengatakan itu.

Kedua ujung bibir Rukia terangkat sedikit, dia menggenggam tangan Ishida. Matanya berusaha menembus pandangan sedih temannya itu. Lama-kelamaan Ishida akhirnya mau menatapnya. Rukia memberikan usaha terbaiknya untuk mengatakan segalanya-akan-baik-baik-saja lewat sebuah kontak mata. Tapi usahanya masih terasa kurang.

"Aku tidak tahu harus berkata apa, Ishida. Tapi bukan sebuah kesalahan kalau kau masih hidup. Karena kau teman kami, se-quincy apapun kau itu," Rukia tersenyum yang kiranya bisa menenangkan orang.

Ishida seperti tersedak sedetik, kemudian dia tersenyum. "Maafkan aku, ya?"

Rukia nyaris menjawabnya ketika suara lain memotong pembicaraan intim mereka.

"Kau harusnya meminta maaf padaku, brengsek."

Ichigo, Inoue dan Chad berdiri di ambang pintu. Ichigo berwajah keras, tapi jelas dia tak marah. Dia berjalan gontai ke ranjang Ishida. Mereka saling berpandangan lama sekan dunia milik mereka berdua. Beberapa saat kemudian Ichigo menonjok muka Ishida dengan kekuatan yang tak sedikit.

Ishida memegangi hidungnya yang mimisan. "What the hell?"

Inoue tertawa kecil, tapi tak menutupi air matanya yang merembes mengaliri pipinya. "Ishida-kuuuun!" dan seperti yang dilakukan Rukia, Inoue memeluknya. Kecuali bagian yang tidak sama adalah tekanan dada mereka berbeda.

Dan Chad berubah bersahabat, dia mirip beruang coklat besar yang memeluk kedua anaknya; Inoue dan Ishida. Tersengar Unohana tertawa pelan melihat drama singkat yang sangat manis ini. Ichigo menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mendengus senang.

"Kau tak ingin ikut memeluknya?" tanya Rukia menggoda.

Ichigo menunduk untuk melihatnya, dia mengangkat bahu. "Aku takut akan membunuhnya untuk kedua kalinya."

Rukia tersenyum, dia mengelus bahu Ichigo. "Atau yang kau maksud ketika kau membuatnya sadar dan tetap hidup?"

"Cih," Ichigo merespon. Dia tersenyum menatap Rukia. "Ngomong-ngomong kenapa kau bisa kesini duluan?" tanya Ichigo.

Kepalanya serasa dipukul agar ingat tujuan awalnya ke divisi 4. Rukia segera mengambil kembali bunga dan buku yang ia letakkan di atas meja.

"Kau masih bawa-bawa benda itu?"

Rukia menghiraukan ocehan Ichigo, "Kurasa aku harus pergi."

Ichigo menahan bahunya, memutarnya agar kembali saling berhadapan. "Mau kemana?"

Rukia mengalihkan matanya ke samping, Ishida masih bergulat dengan Inoue dan Chad yang tampaknya sangat bahagia. Kemudian kembali fokus pada Ichigo. Orang ini merupakan orang paling beruntung di dunia. Rasanya baru kemarin Rukia memberikan kekuatan shinigaminya pada Ichigo. Setelah banya kekacauan yang berlangsung, luka, kenangan, apapun itu yang membuat Rukia merasa hidupnya bergerak dengan sangat cepat. Ichigo sudah menjadi orang yang luar biasa. Memiliki banyak teman yang peduli padanya. Rukia pernah menjadi salah satunya. Pernah? Karena ia tak mungkin mejadi konstan. Bahkan ia bukan makhluk yang memiliki ke-eksistensian secara nyata. Senyata apapun petualangan yang pernah mereka lewati bersama-sama, semuanya terasa absurd ketika dihadapkan dengan kenyataan. Jadi Ichigo, bukankah sudah jelas dunia mereka berbeda?

Rukia hanya sangat mencintai orang-orang yang ada di ruangan ini. Tapi sekali lagi; jalan mereka berbeda.

Ini adalah tempat Ichigo. Bersama teman-teman konyolnya yang lucu itu. Maka Rukia yang bukan pada tempatnya harus pergi bukan? Mungkin kesempurnaan dicapai setelah ada bagian yang hilang.

"Bukan urusanmu," jawab Rukia. Dia menjulurkan lidahnya pada Ichigo yang jengkel. Kemudian melangkah pergi ke ambang pintu. Lalu kembali ke dunianya.

Rukia berjalan melewati koridor yang sangat sepi. Kontras dengan lorong tempat Ishida dirawat tadi. Koridor ini sebenarnya sangat terisolasi. Bahkan membuka pintu pertama koridor harus dengan reiatsu. Rukia bisa mendengar langkah gema langkah kakinya sendiri yang memantul ketika berjalan. Sedikit jendela memberikan sedikit pencahayaan pula. Sinar matahari hanya masuk melewati celah-celah tinggi yang sempit, menyidari debu-debu yang berterbangan tak kasat mata.

Rukia sampai pada pintu yang harus dibuka dengan reiatsu lagi. Suara geseran pintu memenuhi kamar yang dimasukinya. Sepi. Ternyata tak ada orang. Rukia berpikir Rangiku akan ketiduran lagi di sofa. Bahkan Hinamori juga tak ada. Mungkin Rukia datang terlalu pagi.

Rukia berjalan melintasi ruangan sampai ke seberang, di dekat jendela yang super besar. Sebuah meja kecil sudah terisi atasnya, sekantong penuh makanan yang dibawa Rangiku tadi. Rukia membuka jendela lebar-lebar, seketika angin besar berhembus memasuki ruangan kamar. Rukia menghirup udara beraroma musim semi. Semilir wangi bunga sakura menyerebak memabukkannya. Rukia tersenyum.

"Kukira musim semi kali ini datang tepat waktu, Kapten?" Rukia bicara. Ia mendekat ke ranjang yang dikanan-kirinya dipenuhi alat-alat medis yang tak pernah Rukia lihat. Berjalan nyaris diseret, Rukia meletakkan bunga dan buku di meja kecil di samping ranjang.

"Aku membawakanmu benda-benda bagus hari ini, Kapten! Ah, dan kabar baik lainnya adalah Ishida sudah sadar, kau percaya itu?" tanya Rukia antusias.

Tak ada respon dari seorang pemuda yang terbaring di kasur dengan alat-alat medis menempel di tubuhnya.

Angin berhembus tak sekencang yang tadi, dan Rukia terkejut ketika angin membawa beberapa kelompak sakura masuk ke kamar. Beberapa kelopak jatuh di tubuh orang itu. Rukia tersenyum tipis, ia bergerak mendekat. Tangannya terulur mencapai dahi sang kapten, menyingkirkan sebuah kelopak sakura yang ada di dahinya.

"Kau juga akan sadar seperti Ishida, 'kan?" suara Rukia nyaris bergetar. Ia berusaha menenangkan diri dengan mencoba bernafas dengan baik dan benar. Rasa bersalah itu menghantamnya lagi, apalagi ketika tahu Ishida sudah sadar. Ichigo nyaris membunuhnya, dan Ishida sudah sadar. Tapi kenapa Hitsugaya Toushiro tidak? Kenapa orang itu hanya terus terbaring seperti orang mati?

Karena Rukia yang telah membunuhnya.

TBC

RnR?