Disclaimer: HP punya J.K Rowling bukan punya Draco :P ataupun punya saya.

A/N: biar cerita lebih jelas, author bikin satu chapter lagi ya... :D nggak ada yang keberatan kan?

Astoria's POV

hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu ulang tahunku yang ke 20! Dengan begini aku bisa pergi jauh-jauh ke London, meninggalkan kedua orangtua yang tidak mempedulikan ku ini.

aku menaiki kereta dari Manchester ke London, membawa uang secukupnya, dan merencanakan untuk membuka cafe atau bakery, atau keduanya?.

Sebenarnya aku ingin menulis, itulah tujuanku ke London, tapi sulit sekali mendapat uang secara express lewat menulis. Entah, perasaan atau memang jiwa alami melamarku aku akan sangat suka membuka cafe di pinggiran jalan kecil di kota London.

Aku duduk sendiri di kompertamen yang kosong, memikirkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan cafe atau bakery. Tepatnya pikiranku sedang kosong.

Tepat ketika kereta berhenti untuk perbaikan di tengah perjalanannya, aku menatap lewat jendela dan membayangkan seorang bocah lelaki dengan kacamata bulat, mata hijau, rambut hitam tak karuan dan luka berbentuk sambaran kilat.

Semuanya jelas, aku harus segera mengambil pena dan kertas, mencatatt semua itu. Tapi sayangnya aku tidak membawa kedua benda itu di tasku kecilku, aku terpaksa untuk membayangi hal-hal itu dikepalaku selama kereta ini belum berjalan.

Ketika sampai di depan rumah kakakku, aku menyapanya dan cepat-cepat pergi ke kamarku yang biasa kupakai ketika aku berkunjung ke London. Ya, aku mungkin harus tinggal beberapa lama di rumah kakakku dan suaminya sampai aku menemukan perkerjaan yang cocok untukku.

"apa yang kau cari?" kakaku memandangku dengan geli lewat pintu kamarku yang terbuka.

"ah... tidak, kau melihat pena atau kertas? Karena itu akan sangat membantu sekali" kataku gusar, sekarang aku malah mencari pena di kasurku, berpikir mungkin aku meninggalkan satu di sana.

"akan kuambilkan, kau tenang saja" Daphne segera menjauh dari pintu kamarku, mengambil pena dan kertas untukku.

"Cepaatt!" ujarku gusar, aku berjalan mondar-mandir di depan kasurku, berlagak mengipas-ngipaskan wajahku dengan tangan.

Ketika kakaku kembali dengan secarik kertas dan pena, aku langsung menyambarnya dengan kasar, dan duduk di tempat tidur, mulai menulis.

"apa yang terjdi? Kau biasanya begini kalau kau mendapat sesautu yang bagus" jawab Daphne dengan cengiran khasnya.

"ah.. ya ide, sudah sore, kau siapkanlah makan malam, pancake lumayan" kataku, masih sibuk menulis.

"ingat, ini telalu gelap untuk menjadi pagi, bukan saat nya untuk sarapan, kubuatkan yang lain" Daphne berjalan keluar pintu.

"ya.. apa saja" jawabku seperti remaja yang malas-malasan.

-000000-

Hari pertama aku mencari kerja, aku gagal. Kucoba beritkutnya, aku juga gagal diterima, ketiganya ku mencoba aku punya perasaan semua orang membenciku sehingga aku tidak akan pernah punya perkerjaan tetap.

Hal yang berbeda di percobaanku yang keempat di hari ke 7 aku menetap di London, ketika aku baru di wawancara, aku pingsan ditengahnya. Mereka mengatakan aku tidak bisa ikut kalau hidungku selalu mengeluarkan darah, dan tiba-tiba pingsan seperti itu.

Masalahnya selama ini aku merasa sehat-sehat saja... kecuali waktu itu... aku pernah mimisan beberapa kali, tapi aku mengangap hal itu hal biasa.

"ms Greyson, apaka anda selalu merasa pusing atau gejala lain" tanya dokter ketika aku baru bangun dari pingsanku yang sudah entah kapan.

"aku tidak tahu" jawabku "aku tidak pernah mempedulikakannya"

"well... seperti anda mengalami hal anemia?" kata Dokter, mecoba meyakinkanku.

"ada beberapa bagian yang kadang sakit, tapi sepertinya biasa saja" ujarku.

"ah.. bolehkah aku memangila kakak anda?"

"yap" kataku dengan dingin, tentu saja Daphne, siapa yang membayar semua ini? aku tidak yakin ayahku mau, dan aku tidak yakin suami Daphne, Theodore mau membayarnya juga.

"Tori, kau telah terdiagnosis kanker leukimia kronis. Darah merah," sebelum sang dokter menyelesaikan kalimatnya kakakku berteriak keras.

"APA?! Tori, kau tidak pernah memberitahuku apa-apa?!" kakakku entah marah atau menangis, yang jelas dia menatap geram kearahku.

Tapi aku tidak merasa takut, mungkin otakku sudah tidak normal lagi atau apa, tapi aku tidak merasa takut akan mati, atau rasa sakit yang akan kurasakan di masa depanku. Aku hanya menangis sedih, karena tidak bisa melanjutkan bukuku,yang kemungkinan memang tidak akan penah ada.

-00000-

Sudah tiga tahun mencoba kemo therapy yang aku tahu sangat merepokan itu. Aku bahkan tidak tahu ayahku atau kakakku bisa sekaya itu membiayayi semua ini, atau bahkan Theo sendiri.

Aku membuka sebuah cafe yang usianya baru dua minggu, dokter memutuskan agar aku keluar rumah lebih sering, ku ubah bangunan bekas di pinggiran London menjadi sebuah cafe cantik yang buka selama dua-puluh empat jam. Entahlah, mungkin si dokter masih punya kewarasan membiarkan mayat hidup sepertiku untuk mati dengan bebas dan senang.

Tapi aku punya perasaan aku akan suka berkerja di cafe ini, walau aku hanya ditemani oleh beberapa temanku yang jauh-jauh datang dari Manchester untuk berkerja bersamaku kalau cafe sedang sibuk dan penuh. Mereka memang tidak ada kerjaan atau apa, yang jelas ketika aku memanggil mereka datang bersama-sama, tadinya kupkir Daphne yang ada di balik semua ini, Daphne membayar uang sewa rumah mereka agar dekat denganku.

"Tori!" sapa Finn, cowok berambut merah yang sudah lama sekali menjadi temanku.

"hi Finn... oh ya, hari ini kalian tidak usah repot-repot membantuku sampai malam, pulanglah jam 6, aku ingin melayani setiap tamu malam sendiri" kataku, mengutak-atik kasir dan mengambil uang kembalian untuk seorang ibu yang baru saja membeli kue untuk anaknya.

"oh okay... kalau kau yakin..." kata Finn, mulai pergi ke dapur, membuat kue pesanan yang masih menumpuk itu.

Hal yang sama kuberitahu juga kepada Brittany dan Jodyln, teman kuliahku. Walau mereka dengan senang hati menolak, aku tetap memaksa mereka.

"pokokny hari ini tidak ada yang 'lembur'" kataku dengan senyum cerah kepada mereka di dapur.

-000000-

Tepat jam sembilan malam waktu itu, bunyi bel pada pintu membuatku tersadar dengan dunia nyata. Seorang pria, berambut pirang dengan perlahan berjalan menuju meja yang berada di pojok tepatnya pada samping jendela. Segera aku menuju ke meja itu untuk mengambil pesanan pria itu.

"mau pesan apa, sir?" tanyaku, sambil membuka catatan, yang memang jarang dipakai karena kebanyakan orang selalu memesan satu menu.

"satu cappucino latte" kata pria itu tanpa memandangku dengan lesu. Setelah aku pergi, aku yang segera membuat cappucino, meliriknya diam-diam. Dia sedang mengeluarkan tumpukan-tumpukan kertas berantakan dan sebuah pena. 'penulis' pikirku dengan girang.

Entah angin dari mana aku merasa waktu yang tepat membarikan cupcake gratis. Segera kubawa cupcake dan cappucino yang kusimpan diam-diam secara ajaib(lagi-lagi trik dari Finn yang mengajariku sulap kecil, dan aku cukup menguasainya), dan membawanya ke meja itu dengan segera.

Kuperhatikan pandangan orang ini tidak akan mungkin menjauh tanpa ada yang meghalanginya. Jadi aku menaruh cupcake dengan cream kuning itu diatas kertas yang sedang ditulisnya, sehingga dapat terlihat.

"aku hanya merasa kau baru saja mengalami hari yang buruk" dia mendongak dan menatapku dengan geram. Dan tanpa snegaja aku melirik nametagnya: Draco Stevenson. Okay nama keren untuk orang tampan pikirku. tapi segera kuhapus pikiran itu, karena aku sudah lama sekali tidak pernah bilang seseorang tampan dari sejak SMP.

"aku merasa kau bukan pelayanku yang tadi, dan mana cappucino ku?" katanya dengan dingin.

"oh, aku hanya menirukan suara orang-orang yang aku temui hari ini" aku menitukan accent seorang turis amerika yang datang tadi pagi.

"sebenarnya pekerjaanmu itu pelayan atau actress?" Mr Stevenson, Draco? Pokoknya dia mengembalikan penadangnya ke kertas yang baru setengah halaman ditulisnya.

"aku bisa menjadi keduanya, karena aku berkerja sebagai actress pemula di theater Aidran" yang tentu saja hanya kukarang, makanya ku tambahkan dengan nada gurauan. Ku taruh cangkir cappucino yang kusembunyikan tadi.

"dari mana kau mendapatkan cappucino yang jelas-jelas tidak ad di nampan-mu tadi?" oh... oaku punya caraku sendiri Mr Stevenson.

"aku juga berkerja sebagai pesulap jalanan disekitar jalanan panti asuhan Xavier" yang kebetulan hanya Finn yang berkerja disana. Aku berjalan menuju kasir, dan membersihkan gelas-gelas wine, yang digunakan hanya sebagai hiasan.

"ngomong-ngomong apa yang dari tadi kau sibuk tulis?" kataku pura-pura tidak tahu.

"hanya ideku untuk buku yang akan kuselesaikan tahun ini" okay... aku harus memberitahunya tentang Harry.

-0000000-

Aku tidak percaya ini! Draco Stevens baru saja mengajakku kencan!. Saking senangnya aku menggangu kakakku yang sedang memasak makan siang dibawah. Sampai dia harus mengecek ke kamarku.

"ada apa?" katanya menyeringai sinting, dia masuk dan menutup pintu kamarku. Akhirnya duduk di tempat tidurku.

"Draco mengajakku makan malam!" kataku kegirangan, aku yang melompat di kasurku membuat rambutku yang pendek ini rontok berjatuhhan.

"Tori..." tapi kakakku tidak terlihat sesenang diriku, wajahnya prihatin menuju ke sedih. "kau tidak bisa terus membohinginya"

Kakakku berjalan lambat ke meja makeupku, mengelus rambut palsuku yang selama ini kupakai berkerja untuk menutupi rambut pendekku yang sudah agak kelewat pendek seperti rambut laik-laki yang sangat-sangat pendek(ya bilang saja menuju ke botak tapi aku tidak mau mengakui itu). Rambut itu satu-satunya rambut yang menyerupai rambut asliku yang dulu, bersama kepala palsunya, rambut itu masih ditatap oleh Daphne dengan lembut.

Dan aku tahu, Draco harus mengetahui semua ini, sejak pertama kali kami bertemu di cafe saat itu, bahkan saat itu aku sudah membohonginya.

"aku tahu Daph, tapi aku takut dia tidak akan pernah memaafkanku, aku terlalu mencintainya..." satu, tidak dua, atau tiga tetesan lebih air mata sudah membasahi daguku, seolah berharap Draco datang dan mengusap semuanya. Daphne berlari dan memelukku.

"bagaimanapun juga dia tetap harus mengetahuinya" kata Daphne, memelukku erat-erat. Aku tidak menyangka mungkin aku menangis lagi sejak 2 tahun lalu aku menangis dirumah sakit, setelah aku mengetahui aku sakit.

-000000-

Makan malam tidak berjalan begitu baik, bukan begitu juga, aku yang memulainya. Tanpa sengaja aku mencium Draco Stevens.

Aku bahkan tidak tahu kalau segelas wine bisa membuatku mabuk. Atau pernyataan Draco tentang shampoku(yang nyatanya lebih menuju parfumeku).

Sesudah dirumah, Daphne sekali lagi menyambutku dengen pelukan yang hampir membuatku sesak napas.

"bagaimana? Kau sudah memberitahunya?" tanyanya

"ah... itu aku belum melakukannya sama sekali" kataku denga polos.

"au tidak peduli kapan, tapi aku tidak akan mau berbohong dihari pernikahan kalian atau semacamnya!" Daphne segera pergi menuju kamarnya.

"belum tentu aku menikahinya!" aku berseru balik, walau didalam hati aku sangat berharap hal itu terjadi.

-000000000-

Saat ayahku datang, walau aku tidak terlalu menyukainya, aku malah lebih menyukai mum, tapi aku mulai berusaha untuk memaafkan perilaku mereka pada ku dulu, seperti ketika aku memaafkan Tori.

Tanpa disengaja Daphne keceplosan soal hubungan tidak jelasku dengan Draco, itu sangat memalukan sampai aku harus minta ijin ke toilet dan mengisi minum berkali-kali karena ceritany yang tidak selesai-selesai.

Sayangnya dad tidak terlalu senang dengan Draco, dia memberi comment setiap kali ada kesalahan dari Draco. Seperti membuatku jatuh saat bersepeda bersama anjing Daphne, Paddy.(dari situ aku mendapat nama Padfoot, karena Paddy sering mengambil boot Draco dan akhirnya hilang entah kemana, dan Draco sering memangilnya "Paddy my Boot" terdengar seperti 'Pad foot', kenapaku menceritakan padamu semua ini?).

Tiba-tiba aku merasa pusing, entah terlalu banyak berpikir atau memang tidak enak badan seperti biasa. Tapi aku sudah tidak menyadarkan diri.

-000000000-

Yang kudengar di saat aku terbangun dari tidurku adalah suara yang menyebut nama Draco. Kakakku Daphne, berusaha membuatku bangun dengan nama Draco, bagus kak, kau berhasil, pikirku setegah bercanda.

"Tori! Draco disini... kau harus mengatakan yang sejujurnya padanya, karena aku akan mengatakan kalau kau sakit" kata Daphne "dia ingin bertemu denganmu"

Daphne keluar, jantungku yang berdengup kencang sekarang, berharap Draco tidak bisa menunggu terlalu lama atau ada urusan, atau aku ingin menutup kebototakanku sekarang!.

Pintu terbuka, Draco datang dengan mata merah dan air lengket yang dikenal sebagai air mata.

"Drake... kau harus meliris buku itu! Aku harus membacanya dan itu hal terakhir yang akan kulakukan dihari terakhir aku hidup!" kataku penuh ambisius, karena itu memang hal yang terakhir yang harus kulakukan, dan aku tahu hidupku tidak akan bisa lama lagi.

"Tori.. aku belum menyelesaikannya, aku tidak bisa tanpamu" dia mengeluarkan suara tangisan, yang membuatku sadar kembali kalau dia menangis.

"hey.. ku kira kau tidak pernah menangis" kataku setengah bercanda.

"aku akan berusaha semampuku untuk menyelesaikanya" kata Draco, mendongak menatapku.

Aku malu, entah kenapa, mungkin kulit pucat dan badanku yang super kurus terekspos dengan jelas dikarenakan baju rumah sakit yang super tipis. Atau rambutku yang sudah tidak ada lagi.

"aku harus menjelaskan sesuatu untukmu" kataku dengan lesuh, inilah saatnya dia harus mengetahui segala sesuatu dariku.

"tapi aku tahu kalau kau berbohong padaku Tori, dan aku memaafkanmu" Draco menyeringai, melupakan air mata sisa yang masih menetes.

"tidak, aku sudah terkena leukimia 3 tahun lalu. aku tidak berkerja sebagai penghibur, aku memiliki kakak yang sangat kusayangi dibanding orangtuaku. Aku malu dengan rambutku sekarang.

Hidupku kemungkinan tingal satu dua tahun lagi. aku sangat ingin menjadi penulis, dan aku payah karena aku tidak bisa membuat mimpiku nyata sebelum aku mati,

dan aku mencintaimu! Aku sangat mencintaimu karena untuk pertama kalianya seumur hidupku aku masih ingin hidup di dunia munafik ini. apakah cinta sebodoh ini sampai aku sendiri menjadi takut akan kematian" aku tidak tahan lagi air mataku menetes dengan deras dan ini pertamakalinya aku menangis sehebat ini.

Draco tidak mengatakan apa-apa untuk sementara, dia diam, dan berdiri memelukku.

"aku juga mencintaimu, walau kau banyak menyimpan rahasia, aku memaafkanmu" kata Draco, mengelus, kepalaku, kepalaku yang aku malu akui sudah tidak mempunyai sehelai rambut.

"dan kau masih sangat cantik dengan atau tidak dengan rambut" Draco melepas pelukan kami, menempelkan dahinya ke dahiku, menciumku dengan panas, aku yakin kalau Daphne tidak datang menggangu kami sudah tidak memakai baju lagi.

-0000000-

Aku bahagia, setidaknya aku bisa melihat keponakanku Nicholas Theodore Nott lahir.

Walaupun aku sudah sekarat, Daphne memberiku gelar sebagai ibu baptis anaknya dan Draco sebagai ayah baptis, dan aku sangaat menyayanginya.

Dan wajah Draco dan Nicholas adalah wajah terakhir yang kulihat dalam perjalanan terakhir hidupku.

Dan aku berharap Nicholas tumbuh menjadi anak pemberani seperti Harry. Dan dia tahu siapa Harry.

Seperti apa kata McGonagall "setiap anak di dunia kita akan mengenalnya"

Aku bahagia

Apakah aku bilang aku sangat bahagia disurga?

-000-

Draco's POV

Banyak sekali kerabat Astoria yang datang di pemakamannya, banyak yang memberikan sesuatu untukku. Seperti anak-anak panti asuhan dimana tempat teman Tori, Finn, berkerja.

Surat, boneka, bunga, ucapan terimakasih karena telah menciptakan Harry Potter. Anak-anak ini pernah bertemu Tori itu jelasnya. Tori mengunjungi mereka untuk membaca Harry Potter dan Batu Bertuah di panti asuhan mereka. Dan aku sangat tersentuh betapa sayangnya dia kepada anak-anak.

"hari yang panjang?" kata Finn, saat aku melewatinya untuk menjauh dari pemakaman, agar menenagkan diri.

"kukira kau seharusnya menangis" kata Finn yang memandang pemakaman Tori tidak jauh.

"aku menangis, di dalam" ujarku.

"aku ingin memberimu ini" kata Finn, yaang ternyata Dari tadi memegang sebuah tali yang tersambung ke leher seekor bayi anjing Cheapshake bay retriver. "Tori ingin aku memberikannya padamu"

Aku menerimanya dengan binggung. "Tori?"

"ya, itu anak dari anjingku. Karena Tori menginginkan satu aku menyisakan seekor paling kecil" kata Finn, menyeringai kecil. "dulu Tori itu kecil, aku mengingatnya tidak sampai sepundakku. Sudah dulu ya"

Finn berjalan kearah mobil paling dekat yang berada di parkiran. Aku membiarkannya pergi, dan aku yakin melihat wajahnya memerah. Aku tidak bisa menangis lagi, bilang saja seperti itu, air mataku tidak kuat lagi untuk menetes saking sakitnya. Tapi aku sakit di dalam.

"Cinta itu bodoh kadang, tapi entah kenapa bisa sekuat ini" Draco memandang anjing barunya yang balas memandangnya. "ya kan Tori?" anjing itu membalas dengan guk kencang dan pelan.

~fin~

"Because I really Love her, in some odd ways I don't know how or why"

- D.A Stevens

A/N: jadi chapter ini lebih menunjukan perjalanan Cinta Drastoria dibanding menuju pembuatan novelnya.

tapi emang beginilah. Mungkin Finn punya perasaan ke Tori.

Trus quote yg terakhir itu cumen dibuat author doang. :D semoga menikmati, nanya kalau ngk ngerti, tolong review.

Maafin author kalau ada typo.

Dan anjingnya Draco tadi cumen buat tribute Timber, anjingny Tom Felton yang meninggal beberapa bulan lalu. author terharu :'(.

Makasih yang udah review membantu author banget.

P.S: author enjoy banget nulis story ini. akhirnya author ketemu OTP author. soalnya tiap kali ada adegan Drastoria pasti author entah kenapa bisa nangis gt. (readers: lebay thor lebay...) semoga enjoy bacanya jg ya!