Warnings: OOC, sedikit fluff—mungkin, GJ, typo, EyD yang tidak sesuai, alur maju, OLD FIC /DIHAJAR/

Disclaimer: Eyeshield 21 sepenuhnya milik Yuusuke Murata dan Riichirou Inagaki, saya sendiri tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari fanfiksi ini.

Timeline; setelah long march, sudah memasuki kompetisi di musim gugur.

Dedicated For; FESI Awards Reborn: Notice Me—yang sudah lama sekali berlalu.

.

.

.

.


"A Little Piece of Wednesday that Went Away Sometimes"

keping kecil di hari rabu yang acap kali berlalu.


.

.

.

.

II.

Ada yang berbeda dengan ruangan klub hari ini.

Mamori Anezaki menyipitkan matanya ketika menyadari ada sesuatu yang hilang dari ruangan yang sejak beberapa waktu lalu menjadi bagian dari hari-harinya di SMA.

Ketika pintu dibuka beberapa detik yang lalu, dalam benaknya, ia berpikir akan menemukan ruangan klubnya yang biasa—dengan bau maskulin yang hilir mudik pada indra penciuman, pemandangan setumpuk dokumen di sudut ruangan; alat-alat kebersihan di sudut yang lain, meja yang dipenuhi oleh barang yang dalam sekali lihat bisa ia ketahui siapa empunya (bungkus permen mint—milik Hiruma; tiga majalah dewasa—milik Ha Ha Ha bersaudara (akan ia buang, sesegera mungkin); note dipenuhi tulisan kecil—milik Sena; buku aljabar—milik Yukimitsu, kantung kertas berisi makanan—milik Kurita, sarung tangan baseball—milik Monta, play cards dan kartu poker yang tercecer dimana-mana—milik Hiruma, beberapa peluru karet—milik Hiruma, cangkir dengan ampas kopi pada cekungnya—milik Hiruma juga dan barang-barang lain yang milik Sang Kapten jua), suara berisik khas lelaki yang berjalin dengan aktivitas di dalam ruangan, loker yang berjejalan di dalamnya barang-barang pribadi tiap pemain, sebuah kalender dengan angka-angka penting yang dilingkari dan lainnya dan semuanya.

Semua hal yang tercetak dalam benaknya kini bertabrakan dengan kenyataan yang ia lihat melalui iris biru langitnya.

Dari semua hal mendetil yang ia ingat tentang ruangan klub yang sudah menjadi seperti pemandangan yang ia lihat selama selamanya, kehadiran para punggawa tim kelelawar merah itu nihil dalam ruang pandangnya.

Kosong.

Ruangan itu laiknya sebuah cangkang yang baru saja ditinggal penghuninya.

"Eh?" gumamnya bingung.

Mamori Anezaki terdiam sejenak.

Ia bukan tipikal seseorang yang melupakan agendanya begitu saja, apalagi sesuatu yang sudah menjadi rutinitasnya. Ia ingat, ketika matahari sudah turun sedikit dari takhtanya dan bel sekolah sudah berdentang lugas dan murid-murid mulai berhamburan layaknya pasir yang di tiup ke udara, ia harus segera berjalan menuju ruangan klub mungil di ujung sekolahnya ini. Ia tak juga lupa bahwa ini adalah hari rabu dan seperti hari rabu yang biasanya, dia harus menjalani aktivitasnya sebagai manajer tim amefuto-nya.

Melihat keganjilan pada hari rabu ini, beragam spekulasi muncul dalam benaknya; mulai dari mereka yang melupakan jadwal latihan (ia mendengus), mereka yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing dan tidak peduli dengan jadwal latihan sebelum pertandingan (kedua tangannya kini berada di pinggangnya, "Akan kuberi pelajaran pada mereka!"), hingga—

"Oi, Kuso Mane! Sedang apa kau di situ?"

Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan. Agak jauh hingga ketika gadis itu mengerjap, ia merasakan suara itu bergema; seperti jenis suara yang muncul dalam mimpi-mimpimu. Kontan gadis itu menengok untuk melihat sosok yang sudah ia hapal sedang berdiri di kejauhan.

Dari kejauhan, sosok itu sama menyebalkannya seperti yang sudah-sudah. Seringai pada wajahnya, mata hijau berkilat yang selalu menyimpan berbagai rencana gila, kejam—dan kadang brilian, ia mengakui, seragam yang tak dikenakan dengan benar, senjata pada lengannya, serta pose angkuh yang dari kejauhan saja sudah membuatnya enggan dekat-dekat.

Tapi, kakinya mengkhianatinya.

Setelah menutup kembali pintu ruangan klub, gadis itu berjalan menghampiri lelaki yang namanya menjadi pengisi konsisten dalam buku detensinya. Sembari menghapus jarak di antara mereka dengan langkahnya, gadis itu mencoba untuk meredam deru detak jantungnya yang seakan seperti tabuhan kendang—cepat, keras sekaligus menggairahkan—dengan memandang langit yang memayungi mereka kala itu.

Langit musim gugur kali itu tak ubahnya seperti selimut kusam raksasa. Gradasi warna abu-abu menghiasi setiap sisi langit yang bisa ia tangkap dalam bidang pandangnya. Awan-awan raksasa bergerombol dan bergerak dengan cepat seperti saling berkejaran, saling melahap dan menyatu satu sama lain hingga membentuk tubuh yang lebih besar untuk menyembunyikan sang surya.

Mamori kemudian melirik jam tangannya untuk melihat bahwa waktu masih sore, tapi tak terlihat karena cuaca.

Satu dua tiga lagi langkahnya dan ia kemudian sudah berdiri di hadapan lelaki dengan papan nama 'Youichi Hiruma'. Melihat mata lelaki itu mungkin sebuah kesalahan karena tanpa sadar, pipinya menghangat dan ia alihkan pandangannya ke daerah telinga lelaki itu.

"Kemana yang lain? L-latihannya?" tanya Mamori sambil menunjuk bangunan klubnya dengan gugup. Sial! Kenapa suaranya terdengar aneh?

Lelaki itu memandangnya sejenak. "Keh, memang sudah kuberitahu idiot-idiot itu untuk tidak datang."

"EH? Kenapa? Bukankah pertandingan sudah semakin de—"

"Cuaca buruk, Kuso Mane." Lelaki itu menunjuk langit dengan matanya. Ia melanjutkan, " Tidakkah kaulihat sebentar lagi akan hujan deras? Alih-alih menang, mungkin kita tidak akan bisa bertanding karena mereka semua jatuh sakit duluan."

Gadis itu mengangguk sekenanya saja sampai kemudian ia sadar akan satu fakta. Malaikat Deimon itu menatap kesal lelaki di hadapannya. "Lalu kenapa kau tidak memberitahuku?" tudingnya dengan pipi menggembung.

"S-e-k-a-r-a-n-g aku sudah memberitahumu, kan? Ke ke ke ke ke!" kata Hiruma dengan santai. Seringai lebar pada wajahnya seakan menandakan rasa puas karena sudah menjahili gadis itu.

"Mou, Hiruma-kun!" Mamori memukul lengan lelaki itu main-main. Pipinya semakin menghangat untuk alasan yang berbeda, tadi berdebar, kini kesal. Walaupun sudah seringkali digoda oleh Hiruma, rasa-rasanya Mamori tidak akan pernah merasa terbiasa. Lelaki itu membuatnya selalu terombang-ambing tidak jelas dan ia tidak suka. Tapi tetap saja suka. Eh—

Setelah kekehan lelaki itu reda dan Mamori bisa menghentikan debat internal dalam hatinya, gadis berambut cokelat kemerahan itu bertanya, "Kalau begitu kau mau kemana, Hiruma-kun?"

"Aku bersama Cerberus," katanya datar, tidak menjawab pertanyaan sang manajer. Namun, Mamori tidak memerhatikan karena baru tersadar akan keberadaan anjing yang tadi disebut namanya itu. Di sisi kaki Hiruma, anjing berambut cokelat tebal itu nampak tertidur pulas dengan kedua kaki dijadikan tumpuan kepalanya.

"Oh … kau mau pulang bersama Cerberus, kalau begitu?" tanya Mamori sambil menatap wajah kaptennya tanpa ragu, pembicaraan akrab seperti ini membuatnya lupa sejenak akan perasaannya pada sang kapten.

Mendengar kata pulang membuat garis wajah lelaki itu sedikit gusar, namun cepat-cepat ia tutupi dengan seringaian. "Tidak. Aku ada—"

Kalimat Sang Komandan dari Neraka itu terpotong ketika setetes air membasahi hidungnya.

"Eh?"

Tanpa aba-aba, tetesan demi tetesan lainnya menyusul. Sangat deras sehingga Mamori berpikir bahwa air itu tumpah begitu saja dari langit.

Detik-detik krusial untuk menyelamatkan diri pun berlalu begitu saja bagi seorang Mamori Anezaki karena terlalu terpana dengan kedatangan hujan deras yang begitu tiba-tiba. Ia baru saja terlepas dari lamunannya ketika menyadari dirinya sudah basah kuyup.

Ketika dirinya melihat ke arah Hiruma, lelaki itu sedang berupaya untuk melepas blazer-nya dan mau tak mau Mamori membayangkan dirinya dan Hiruma berjalan melintasi hujan dalam payungan blazer.

Mamori harus berjuang menahan senyumnya ketika memikirkannya. Dia tidak mau terlihat seperti seorang idiot dan menjadi seorang idiot di hadapan lelaki dengan akuma techou itu adalah mimpi buruk—ia tidak berani membayangkan ancaman macam apa yang akan dikeluarkan otak jenius tapi bulus Hiruma.

Namun rupanya menahan senyum itu pekerjaan yang menyulitkan sekalipun akuma techou menjadi ancaman. Bayangan romantis yang begitu indah itu membuat senyuman lebar terurai begitu saja.

"Oi, Manajer Sialan—"

Dan ketika Hiruma memanggilnya—walaupun tetap tidak sopan seperti biasa, gadis itu tidak bisa menghentikan harapannya yang sudah melambung tinggi.

"Ya?"

Gadis itu menoleh untuk kemudian melihat Hiruma mengangkat Cerberus dengan satu tangan dan tangan lainnya ia gunakan untuk menutupi badan anjing bermuka sangar itu dengan blazer-nya. Lelaki itu mulai berlari meninggalkannya dan harapannya yang kini terhempas ke bumi.

"Cepat berteduh, Bodoh!"

Oh.

.

.

.

.

Dari semua hal yang pernah seorang Mamori Anezaki bayangkan akan terjadi padanya dengan Youichi Hiruma, hujan-hujanan dengan Cerberus bukanlah salah satunya.

Oke, revisi.

Dari semua hal yang pernah seorang Mamori Anezaki bayangkan akan terjadi padanya dengan Youichi Hiruma, dirinya dibiarkan kehujanan sementara quarterback itu melindungi Cerberus bukanlah salah satunya.

Mengingat kejadian naas yang terjadi beberapa menit lalu pada dirinya, membuat Mamori Anezaki mendengus.

Ia tahu kalau perasaannya pada si pemain nomor satu tidak akan tersambut, tapi … apa perlu dirinya patah hati sedini ini—sebelum ia sempat mengungkapkan perasaannya?

Dan yang perlu digarisbawahi … apa perlu ia patah hati oleh seekor anjing?

Gadis itu kembali mendengus sambil memerhatikan bulir-bulir air yang menghantam bumi dari jendela ruangan klubnya. Mengikuti gerakan Hiruma, ia tadi ikut berlari menuju bangunan klubnya karena tempat itulah yang memang paling dekat untuk dijadikan tempat berteduh.

Lelaki yang tadi ia ikuti kini tengah duduk di atas meja, dengan Cerberus di pangkuannya. Dari punggungnya yang membelakangi Mamori, gadis itu tetap dapat melihat bagaimana tetesan air hujan membuat helai-helai pirang favoritnya itu menjadi basah. Bulir air hujan kemudian turun dari ujung rambut pirang itu dan mengalir menuju tengkuk dan menghilang di balik kemeja basah lelaki itu.

Sama seperti dirinya, Hiruma juga basah kuyup. Tapi, lelaki itu tidak menampakkan rasa terganggu, malah dia terlihat asyik melakukan aktivitasnya—mengeringkan rambut Cerberus dengan handuk kering sambil mengunyah permen karet. Blazer tadi ia sampirkan ke tempat duduk dan tetesannya pun membasahi lantai ruangan. Seakan baru tersadar akan keberadaan Mamori, lelaki itu menengok ke belakang dan dengan wajah datar berkata, "Oi, Manajer Sialan. Buatkan aku kopi."

Gadis itu membuka mulutnya namun tidak bisa mengatakan apapun. Speechless. Setiap tindakan Hiruma seakan menghisap seluruh kemampuannya dalam berargumen. Dan sialnya, ia kini malah mendapati dirinya mendekati meja untuk meraih termos. Setiap ucapan lelaki itu juga seakan memiliki magis tertentu yang membuatnya menurut, sekalipun perintahnya itu membuatnya bersikap layaknya seorang budak.

Dan aku menyukai lelaki seperti dia? Ah—astaga, yang benar saja!

Sambil menggerutu, ia ambil cangkir yang masih bersih dari loker dan mengambil bungkus kopi hitam favorit Hiruma. Ia sobek bungkus itu kuat-kuat hingga sebagian serbuk kopi hitam itu terbang dan membuat pernapasannya terganggu. Gadis itu terbatuk sambil merutuki kebodohannya yang lain. Sebelum Hiruma menggoda kekonyolannya, Mamori kemudian membelakangi lelaki itu.

Selain tidak mau lelaki itu sadar akan kebodohannya, ia juga tidak mau melihat wajah lelaki itu barang sejenak. Ia butuh ketenangan setelah kejadian tadi. Mau tidak mau ia mengakui kalau hatinya sakit karena ketidakpekaan lelaki itu padanya. Yah, walaupun sering disebut Malaikat Deimon, Mamori tahu ia tetap perempuan biasa.

Bagaimana ia tidak sakit hati?

Lelaki itu—lelaki yang mengagungkan kemenangan di atas segalanya—membatalkan latihan karena sadar akan cuaca buruk yang bisa menjatuhkan kondisi teman-teman setimnya. Tapi … ketika hujan tadi turun, lelaki itu malah lebih memilih melindungi anjingnya dibandingkan dirinya. Oke, dia memang bukan bagian dari tim yang akan bertanding beberapa hari lagi, dia juga bukan peliharaan lelaki itu, dan dia juga tahu kalau ia tidak bisa memaksakan perasaan pada seseorang yang tidak menyukainya.

Tapi … demi beberapa bulan yang sudah mereka lalui bersama, long march melelahkan yang mereka tempuh, latihan-latihan keras yang mereka jalani … Mamori merasa dirinya juga bagian dari tim ini dan sedikit banyak ia juga menginginkan perlakuan dan perhatian yang sama.

Matanya hangat dan pandangannya menjadi kabur.

Gadis itu tersenyum miris. Tubuhnya sedikit menggigil kala dingin kembali menyergapnya. Tapi, gadis itu tetap menuangkan air panas dari termos ke cangkir dan mengaduk kopi itu.

Aroma yang sudah sangat ia kenal kini memenuhi penciumannya. Hangat yang menguar dari cangkir itu kini seakan menyentuh pipi lembutnya dan berkata, 'tidak apa-apa, Mamori'.

Tapi, bulir air mata itu tetap terjatuh.

Gadis itu buru-buru menghapusnya dan kemudian membalikkan tubuhnya. Ia meletakkan cangkir tadi di ruang kosong yang ada pada meja tempat Hiruma duduk. Sambil menunduk, dia berkata dengan suara yang agak bergetar, "Ini kopinya, Hiruma-kun."

Secepat yang ia bisa, ia berjalan melewati Hiruma untuk mengambil tasnya, jadwal pertandingan, dokumen tim lawan, atau sapu atau apapun yang ia bisa gunakan untuk mengalihkan perhatiannya dari Hiruma (dan rasa sakit yang disebabkannya) sambil menunggu hujan reda. Tapi gerakannya kurang cepat karena Hiruma sudah meraih tangannya terlebih dahulu.

Merasakan sentuhan lembut pada lengannya membuat Mamori mendongak. Dia memberanikan diri untuk menatap Hiruma. "Ada apa?"

Lelaki beranting itu tidak menjawab. Tidak melepaskan genggaman pada tangan gadis itu, mata hijaunya yang misterius namun memikat itu menekuri wajah Mamori sambil membiarkan keheningan mengambil alih. Gadis itu juga tidak berkata apa-apa, hanya berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan lelaki itu lewat matanya. Sesaat, yang bisa Mamori dengar hanya suara degup jantungnya dan hujan yang menciptakan harmoni.

Lelaki itu memberikan sebuah seringai kecil dan sebelum gadis penyuka cream puff di hadapannya bereaksi apa-apa, lelaki itu membuat gerakan yang tidak terduga.

Hiruma meletakkan handuk kering di atas kepala gadis itu dan menggerakkannya dengan satu tangan. Lelaki itu mengusap ujung kepala Mamori dengan pelan, membuat handuk itu bergerak menyisir rambut cokelat kemerahan milik gadis itu, berupaya menyerap air yang membasahi tiap helaiannya.

Mamori tertegun, hanya bisa diam ketika merasakan hatinya menghangat seiring dengan apa yang dilakukan Hiruma padanya. Gadis itu tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Hiruma—yang terlihat serius, tidak jahil atau menakutkan seperti biasa. Garis wajahnya terlihat tenang, seperti kolam tanpa riak yang mengganggu. Lelaki itu terlihat menikmati aktivitasnya. Mata hijaunya menekuri setiap helai rambut Mamori, mencari bagian mana yang masih basah dan kemudian jemarinya yang panjang mengarahkan handuk kecil itu untuk mengeringkannya.

"Jangan bertindak bodoh—melamun di tengah hujan seperti tadi, Manajer Sialan," kata lelaki itu tiba-tiba. Suaranya hampir tertelan oleh derasnya hujan di luar sana, tapi Mamori bisa menangkap apa yang ia ucapkan. "Kurasa dengan jadwal pertandingan yang semakin dekat, cuaca buruk, dan Cerberus yang sakit tidak lantas membuatku memerlukan masalah baru, bukan?" lanjutnya.

Putri tunggal keluarga Anezaki terdiam sebentar, "Eh? Cerberus sakit?" tanyanya sambil melirik anjing yang sedari tadi memerhatikan aktivitas tuannya dengan lesu.

Hiruma tidak menjawab, memilih berkonsentrasi pada rambut Mamori. Melihat bagaimana anjing yang biasanya agresif itu kini hanya diam saja dan sikap Hiruma yang protektif padanya seperti tadi sudah menjawab pertanyaan Mamori. Gadis itu menghela napas, merasa tidak enak atas prasangka buruk pada lelaki yang berposisi sebagai quarterback itu.

Gadis itu mengangguk tanpa sadar dan kemudian menatap wajah lelaki itu dalam-dalam. "Maaf," gumamnya pelan.

Alis lelaki itu terangkat, tapi kemudian dia terkekeh sendiri. "Ke ke ke ke! Untuk apa kau meminta maaf, Manajer Sialan?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil menutup matanya, merasakan kehangatan usapan lelaki itu pada ujung kepalanya seraya berharap dalam hati supaya hujan di hari rabu kelabu ini tidak cepat berhenti.

.

.

.

.


Fin.


.

.

.

.

Deite notes:

Oke, saya gatau nulis apa.

Plot awalnya saya rancang 'oh-so-fluff' sampai saya senyum-senyum sendiri ketika ngebayanginnya, tapi pas ditulis kenapa jadinya ancur seperti ini ;;;;;; maafin ya sesuatu seperti ini saya publish di fandom kita tercinta, maaf juga kalau gj, diksinya kaku (udah lama nggak nulis dan kebanyakan baca buku non-fiksi—ALESAN BANGET), dan aneh, ini sekali ngetik dalam waktu 3 jam dan saya ngerasa ini juga aneh kok ;;;;;;

Btw sebenarnya ini bukan versi aslinya karena versi aslinya itu pada dasarnya /abal/ asli buat fangirling-an saya aja. Di versi yang asli, Hiruma ngajak Mamori nemenin dia ke klinik hewan buat cek up Cerberus. Tapi karena pas diketik malah jadinya aneh banget, jadi saya rombak dan ta-da! Ternyata sama abalnya dan malah agak belok sedikit hurt/comfort ya? ;;;;;

Kemudian pengin ketawa miris—dulu publish chapter pertama fic ini sehari sebelum lebaran, penutupnya di-publish sekarang ketika lagi menjalani puasa. Aduh, setahun itu cepat berlalu ya :')

Btw, hai, penghuni fandom. Apa kabar? Masihkah kalian ingat dengan pair unyu ini? —masihkah ingat dengan deite yang unyu ini? /plak/

Yuk pada pulang yuuuuuk, babang hiruma kangen kita katanyaaa :')

.

Say hell-o and leave a review, perhaps? "))