Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: AU, OC, OOC, typos.
SaiNaruko di chapter pertama. SasuNaruko di chap-chap yang akan datang.
Enjoy! :)
Chapter 1
.
.
.
.
.
Naruko Uzumaki sudah sering melihatnya. Entah sudah berapa kali bocah tujuh tahun itu melihat rambut hitam raven itu menyembul dari balik jendela. Mata onyx tajam dan bundar melirik kesana kemari dari balik kegelapan. Mata itu berhenti mencari-cari ketika bertemu dengan matanya. Tanpa bicara apa-apa, Sasuke Uchiha membuka jendela dengan perlahan, masuk ke dalam ruangan dan berjalan langsung ke arahnya.
Sasuke melintasinya begitu saja, meraih lengan seseorang yang sekarang sedang mendengkur, tertidur lelap di sisi Naruko.
"Naruto," desis Sasuke. "Ayo."
Kakak kembarnya menguap, mengusap matanya dan berkedip ke arah Sasuke. "'Suke? Bintangnya sudah mau jatuh ya?"
Senyuman tipis muncul dari bibir Sasuke. "Hn."
Naruko hanya bisa terdiam, memperhatikan semua itu. Dia memperhatikan kakak kembarnya yang menyabet jaket dan melesat keluar dari jendela. Sebelum dia keluar, dia menoleh dan menyeringai ke arahnya, melambaikan tangan. Naruko balas melambai.
Sasuke tidak melihatnya sama sekali.
Naruko terdiam sesaat, memperhatikan sekeliling, di mana anak-anak di sekitarnya masih tertidur lelap. Dia menyabet bantal guling, menyelimuti guling tersebut dengan selimut supaya suster panti asuhan tidak tahu bahwa Naruto menghilang. Setelah merasa puas dengan hasil kerjanya, dia kembali berbaring, memejamkan mata.
Dia benci Sasuke Uchiha.
Karena Sasuke merebut keluarga satu-satunya.
xxx
Gadis dua belas tahun itu tidak tahu apa yang dia lakukan. Sungguh. Kenapa dia mau berjaga sampai tengah malam hanya untuk Sasuke? Dia tidak tahu.
Di kamar panti asuhan ini, tergeletak kumpulan futon. Anak-anak seusianya tidur berderetan. Dan tentu saja, Naruto selalu tidur di sisinya, dari kecil sampai sekarang. Sebulan sekali, Sasuke akan menyelinap masuk ke dalam kamar ini untuk mengajak Naruto menonton bintang jatuh. Tapi tentu saja, di balik kegelapan Sasuke tidak tahu futon yang mana milik Naruto.
Naruko tahu bahwa Sasuke tahu kalau Naruto selalu tidur di sisinya. Karena itu, ketika Sasuke menyelinap masuk, hal pertama yang dicarinya adalah mata biru bundar dari balik kegelapan. Matanya.
Naruko terduduk ketika dia mendengar suara jendela yang terbuka. Dia berkedip, langsung bertemu mata dengan sepasang mata onyx tajam. Dan lagi-lagi, Sasuke langsung berjalan melintasinya, menggoncang tangan Naruto di sebelahnya.
Naruko tidak tahu apa artinya dia untuk Sasuke Uchiha. Senter di balik kegelapan? Peta yang memberi arah menuju ke harta karun?
Apa pun itu, dia tahu bahwa Sasuke tidak akan pernah peduli padanya.
xxx
"Kau bisa masuk ke sekolah kami, kau tahu," Naruto menggerutu. "Aku tidak tahu kenapa kau sengaja tidak mau sekolah di Konoha dan memilih untuk sekolah di Suna."
Naruko memutar bola matanya. "Karena Suna lebih dekat dari panti asuhan. Dan aku bisa pulang cepat dan membantu para suster menyiapkan makan malam." Dan dia suka dengan teman-temannya. Gaara, Temari dan Kankurou. Dia tidak mau berpisah dengan mereka.
Naruto mendengus. "Kau tidak sekolah bersamaku selama 6 tahun di SD, setidaknya kali ini ayo lanjut sekolah di SMP Konoha…" Kakak kembarnya menendang bola kaki. "Ada Sasuke Uchiha! Aku selalu bercerita tentang sahabatku itu kan? Si teme berambut hitam. Kau cuma pernah melihat dia sesekali saja, ketika dia menyelinap masuk ke kamar kita."
Salah. Naruko selalu melihatnya setiap kali dia datang berkunjung. Sebenarnya jika dipikir-pikir, Naruko tidak tahu seperti apa wajah Sasuke. Dia selalu melihat mata hitam itu di balik kegelapan. Sasuke berasal dari keluarga elit yang tidak mengijinkannya bermain di panti asuhan bersama Naruto. Jadi dia tidak pernah melihat wajah Sasuke di siang hari, hanya di balik kegelapan saja.
Dan meski pun dari balik kegelapan, Sasuke tidak peduli dengannya dan selalu mengabaikannya untuk Naruto. Bagaimana jika mereka berada di sekolah yang sama? Kelas yang sama?
Dada Naruko terasa nyeri ketika dia membayangkan Sasuke yang melintasinya begitu saja.
"Hei, kok kau diam?" Naruto menyeringai. "Jadi? Konoha ya! Bersamaku!"
Naruko berkedip. Bukankah jawabannya sudah jelas? Batinnya bertanya. "Maaf, nii-chan. Aku tidak mau berpisah dengan teman-temanku di Suna," Dia tertawa ketika melihat Naruto yang memanyunkan bibirnya.
"Ya sudah!" Naruto mendengus. "Hei, hari ini hari 'berkunjung' kan?"
Naruko mengangguk. Hari berkunjung. Ini hari di mana orang dewasa datang ke panti asuhan untuk mengadosi anak. Tentu saja, kesempatan supaya Naruto dan Naruko diadosi sangatlah tipis. Ketika mereka masih kecil, banyak yang ingin mengadopsi mereka. Namun mereka berdua tidak mau berpisah. Jadi sang pengadopsi hanya punya satu cara jika mau mengadopsi salah satu dari mereka. Adopsi yang satunya lagi.
Dan tentu saja. Biaya hidup di Jepang tidak sedikit, apalagi Tokyo. Tentu saja tidak ada yang mau mengadopsi mereka berdua sekaligus. Tapi Naruko tidak keberatan jika dia tidak diadopsi. Sejak kecil dia sudah mandiri. Dia bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Dia sering dipuji karena sifatnya yang cerdas dan tenang. Anak-anak di panti asuhan mengandalkannya. Karena itu, bagi Naruko, panti asuhan ini sudah cukup Dia tidak butuh keluarga. Namun Naruto… Naruko tahu bahwa kakaknya sangat menginginkankan keluarga.
"Kita akan selalu bersama kan?" Naruko menyeringai lebar. Meski tidak sama sekolah… meski mereka sudah jarang bermain karena Sasuke… "Iya kan, nii-chan?"
"Tentu saja, dattebayo!" Naruto mendengus. "Aku tidak peduli jika yang mengadopsiku adalah perdana menteri Jepang! Kalau dia tidak mau mengambilmu juga, aku tidak akan pergi!" Naruto menggenggam tangan Naruko.
Naruko menyeringai, meremas tangan Naruto.
Mereka akan selalu bersama.
"Naruto-kun?" Suster masuk ke dalam ruangan, senyuman lebar di bibirnya. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
Senyuman Naruko menghilang. Dia memperhatikan Naruto yang beranjak, memasang ekspresi bingung. Satu jam kemudian, Naruto kembali ke kamar mereka dengan wajah yang tidak bisa dilukiskan. Senang bercampur depresi? Naruko cuma bisa terdiam, memperhatikan kakaknya yang menggigit bibir sambai memainkan bola di tangannya dengan jari bergetar. "Siapa?" Naruko bertanya pelan. "Yang mau mengadopsimu?"
Naruto menengadah, menatap Naruko dengan mata yang berlinang. "Iruka-sensei…"
Naruko terdiam. Selain Sasuke, 'Iruka-sensei' adalah nama terbanyak yang melontar dari bibir Naruto. Tentu saja perdana menteri kalah dari sang Iruka-sensei yang sering mengajak Naruto makan ramen. "Apa lagi yang kau tunggu?" Naruko memaksakan senyuman lebar. "Diadopsi olehnya adalah impianmu bukan?"
"Tapi… Naruko…"
"Nii-chan," Naruko memutar bola matanya. "Kita sudah besar. Kau bisa datang mengunjungiku. Aku bisa mengunjungimu. Toh kita masih di Tokyo. Kata orang, dunia itu kecil. Kita bisa bertemu dengan mudah."
Naruto terdiam, mengusap matanya berulang kali.
"Terima dia, nii-chan," Naruko tersenyum lebar. "Aku janji aku akan mengunjungimu."
"Aku juga," Naruto tersenyum.
Malam itu adalah malam pertama di mana Naruko tidur tanpa Naruto di sisinya.
Dan mata hitam bundar yang tajam tidak pernah lagi muncul dari balik jendela.
xxx
Naruko sangat berhati-hati. Dia tahu kapan waktu yang tepat untuk mengunjungi Naruto tanpa bertemu dengan si mata hitam. Dan Naruko cukup bangga untuk menyatakan bahwa sudah enam tahun berlalu sejak dia dan Naruto terpisah. Tidak sekali pun dia bertemu dengan Sasuke. Dan jujur, Naruko sudah lupa seperti apa wajah sang Uchiha itu. "Aku kenal dengan orangtua kalian berdua," Iruka berujar ketika dia meletakkan sepiring nasi kari di depan Naruko. "Sifat Naruto sangat mirip dengan ibunya. Dan kau, Naruko-chan, tenang dan cerdas seperti ayahmu."
Gadis delapan belas tahun itu tersenyum lebar. Dia suka dengan Iruka. "Terima kasih," dia menjawab sopan.
"Cerdas? Hah! Dia jenius!" Naruto berseru dengan mulut yang penuh akan nasi. "Dia ditawari beasiswa kuliah! Di Amerika!" Kakaknya menatapnya dengan tatapan kagum bercampur rasa sedih.
"Aku akan sering menelponmu," Naruko cepat-cepat berujar.
"Setiap hari. Minimal sehari sekali."
Naruko langsung tertawa, kembali mengunyah nasinya.
"Eh! Eh! Naruko! Ada yang harus kubilang padamu!" Naruto tiba-tiba berseru girang. "Kau tahu kan sama Sakura-chan? Dia kadang-kadang ikut denganku mengunjungimu di panti asuhan!"
Naruko berkedip, membayangkan gadis seusianya yang berambut pink. "Tentu saja. Kenapa?"
"Kami sudah pacaran!"
Mau setenang apa pun sifat Naruko, tetap saja dia tersedak mendengar berita itu. "Serius?"
"Baru hari ini!" Naruto meringis. "Ahh… seperti mimpi saja, dattebayo…"
Naruko tertawa melihat ekspresi kakaknya. "Kau menembaknya di hari kelulusan? Romantis sekali."
"Tentu saja! Kami berdua juga sudah sepakat mau kuliah di Konoha bersama!"
"Oh?" Naruko menyeringai. "Bagus lah." Jika ada Sakura di sisi Naruto, dia tidak perlu cemas lagi. "Jadi kalian berdua akan kuliah di Konoha… bagaimana dengan…" Bibir Naruko terkatup. Sepasang mata onyx melintas di kepalanya.
"Sasuke?"
Terkadang Naruko yakin bahwa telepati antar kembaran itu bisa saja terjadi antara dia dan Naruto. "Iya. Sasuke. Sabahatmu sejak kecil itu."
"Entahlah!" Naruto mendengus. "Si teme itu memang super aneh! Dia berhenti berbicara denganku setelah aku menembak Sakura-chan! Sepertinya dia iri aku punya pacar secantik dia. Dia juga tidak mau bilang dia akan lanjut ke mana."
Naruko terdiam. Iri? Dia menggeleng. Cemburu? Mungkin. Sahabatnya sejak kecil tiba-tiba direbut sama orang lain. Naruko sendiri sering cemburu ketika Naruto menghabiskan waktu bersama Sasuke, bukan bersamanya.
"Kau sudah harus pergi beberapa hari lagi kan?" Pertanyaan Naruto membangunkannya dari lamunan.
"Iya. Banyak persiapan yang harus dilakukan," Naruko tertawa. "Universitas tempatku kuliah nanti menawarkan pekerjaan juga. Pustakawan. Aku harus ikut training dulu."
"Aku akan merindukanmu…" Naruto bergumam.
"Aku juga," dia membalas. "Tapi seperti ucapanku dulu ketika kita masih kecil. Dunia itu kecil, nii-chan. Tanpa kita sadari nanti kita akan bertemu lagi." Naruko tersenyum lebar.
"Setuju," Naruto menyeringai lebar, mengusap rambutnya.
xxx
Naruko sedang merapikan buku di perpustakaan ketika dia menerima SMS dari Naruto. Dia tidak langsung membaca pesan itu karena ada murid yang mendekatinya dan bertanya di mana lokasi buku. "Over here," Naruko tersenyum, menuntun lelaki yang mendekatinya itu.
"Tidak biasanya ada orang Jepang yang berambut pirang."
Naruko tertegun, menatap lelaki di depannya. Rambut hitam lurus. Senyuman aneh menempel di wajahnya. "Kau orang Jepang juga?"
"Hmmm, aku lahir di Amerika, tapi kedua orang tuaku berasal dari Jepang."
"Ah…" Naruko bergumam.
"Naruko," lelaki di depannya membaca nama yang tertera di kemeja Naruko. "Seperti Naruto? Bakso ikan?"
Naruko tertawa. "Iya. Namamu?"
"Sai," sang lelaki kembali tersenyum. Senyuman palsu. Naruko balas tersenyum. "Ah, kau juga ahli," Sai berujar santai.
"Ahli apa?"
"Memalsukan senyuman."
Naruko tersenyum semakin lebar. "Hmm, entahlah?"
"Kenapa?" Sai kembali bertanya.
"Kau sendiri ahli bukan?" Naruko meringis. "Bukankah kau tahu jawabannya?"
Senyuman Sai mengembang. Namun kali ini Naruko tahu bahwa itu bukan senyuman palsu. "Aku suka padamu. Kau menarik."
"Begitu?" Dia meringis semakin lebar. "Kau juga menarik," Mata Naruko terpaku pada mata onyx Sai. "Yoroshiku, Sai."
"Yoroshiku, Naruko-chan."
xxx
Mandiri.
Terlalu mandiri.
Tidak percaya pada orang lain.
Naruko memutar bola matanya ketika dia membaca hasil dari tes kepribadian yang baru saja diambilnya. Tentu saja dia mandiri. Sejak kecil dia hidup tanpa orang tua sampai sekarang. Tidak percaya pada orang lain? Tentu saja dia begitu. Memangnya siapa yang bisa dia percayai di dunia ini? Sejak kecil dia selalu 'dicampakkan'.
"Hmm, sulit untuk mencari kerja dengan hasil seperti itu."
"Berisik. Pergi kau, Sai." Wanita dua puluh dua tahun itu menggeram ketika pacarnya seenak perut membaca hasil tes kepribadian itu.
"Pasti sulit kalau kau mau kerja kantoran."
"Aku tidak mau kerja kantoran, kau tahu itu," Naruko tahu dia mau menjadi apa. "Hasil tes ini tidak berarti apa-apa."
"Karena kau mau menjadi penulis. Kau tidak perlu mempercayai siapa pun kecuali dirimu sendiri. Benar?" Sai tersenyum lebar.
"Ah, sang pelukis yang tidak bisa percaya pada orang lain ini bisa mengataiku ya?" Naruko menyeringai. "Sebagai info saja ya. Aku sudah menjadi penulis."
"Aku tahu. Aku sudah melihat bukumu berjejeran di nyaris setiap toko buku."
Naruko tersenyum lebar. "Bagus kalau kau tahu." Dia terdiam sesaat, memperhatikan Sai yang masih tersenyum.
Senyuman palsu.
"Tiga tahun pacaran…" dia bergumam sesaat. "Dan kau masih belum bisa mempercayaiku, Sai?"
"Sama sepertimu," Sai menjawab santai. "Kau tidak mempercayaiku. Topengmu masih menempel dengan sempurna di wajahmu."
Naruko tidak membantah. "Memalsukan perasaan sendiri. Itu yang kita lakukan selama ini."
"Apa boleh buat. Dua orang yang tidak bisa percaya pada orang lain sulit untuk bersatu."
Naruko terdiam, menunduk sesaat. "Tapi… aku menikmati waktuku bersamamu," dia tersenyum.
"Aku juga," Sai balas tersenyum.
Naruko tersenyum pahit. Dia suka dengan Sai. Sungguh. Dia juga yakin kalau Sai menyukainya. Toh hanya dia wanita yang tidak pernah menerima kritikan 'jelek' dari Sai. Tapi… Naruko tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya kalau mereka masih bersama. Dia membayangkan mereka menikah. Tetap sulit dalam mempercayai satu sama lain. Bagaimana dengan anak mereka? Siapa yang bisa dipercayai anak itu nantinya? Bibir Naruko bergetar. Dia memaksakan senyuman paksa, "Kau tahu, sepertinya hanya satu orang yang kupercayai di dunia ini. Dan orang itu adalah kakakku."
"Hmm, suatu hari nanti akan datang orang lain yang bisa kau percayai." Sai menatapnya lekat-lekat, senyum masih menempel di wajahnya. Dan orang itu bukan aku, matanya seakan-akan berujar.
"Kau juga," Naruko berbisik. Bibirnya bergetar. "Good bye, Sai." Dia berjinjit, menempelkan ciuman singkat di pipi Sai.
Sai memejamkan mata, merasakan bibir Naruko yang bergetar. Selama beberapa detik, senyuman palsu itu menghilang dari wajahnya. "Good bye, Naruko-chan."
xxx
Naruko menikmati pekerjaannya. Sudah dua tahun dia menjadi penulis. Umurnya sekarang 24 tahun dan dia hidup dengan penghasilan yang lumayan. Dia membeli apartemen dengan dua kamar. Dia tidak pernah kesepian. Jika dia ada waktu, dia akan keluar, bertemu dan minum-minum dengan teman-temannya. Dia terkadang mengunjungi Sai, sengaja mampir untuk melihat sahabatnya melukis.
Dia bersenandung pelan, membersihkan rumahnya. Dia tidak sadar kalau Sai masuk di rumahnya begitu saja. Yah, salahnya juga karena dia sudah memberikan kunci rumahnya kepada Sai. "Kau senang."
"Iya. Aku sedang senang," Naruko tertawa lepas. "Kakakku dan kekasihnya akan datang besok."
"Ah, si bakso ikan dan permen karet?"
Naruko tertawa semakin menjadi-jadi, melempar kain pel ke arah Sai dan tentu saja, dia bisa mengelak dengan mudah. "Nama mereka Naruto dan Sakura! Sudah jangan ganggu aku. Pergi sana."
"Kau tahu, aku bertemu dengan orang yang menarik hari ini," Sai mengabaikan Naruko dan duduk di sofa terdekat. "Dia datang ke gallery, membeli salah satu lukisanku."
"Apanya yang aneh dari orang yang membeli lukisanmu? Lukisanmu kan bagus. Normal saja jika ada yang membelinya."
"Tidak," Sai bergumam pelan. "Dari semua lukisan yang diperebutkan orang, dia membeli lukisan yang paling… abstrak."
"Abstrak seperti apa?" Naruko berhenti menyapu.
"Ini," Sai melempar ponselnya. Naruko dengan gesit menangkap ponsel Sai. Mata wanita itu terpaku pada gambar dua butir permata biru dari balik kegelapan. Naruko langsung terpaku. "Dia menawarkan harga yang sangat tinggi untuk lukisan itu. Awalnya aku tidak berniat menjual lukisan itu dan ingin memberikan lukisan itu padamu sebagai hadiah natal. Tapi…"
"Ini… mata biru?" Naruko memotong. "Mataku?"
Sai mengangguk. "Matamu sangat indah kau tahu, apalagi di balik kegelapan. Menatap tajam, dan seakan-akan bisa membaca pikiran orang yang kau lihat."
Naruko berdehem. "Orang aneh… membeli lukisan abstrak seperti ini."
"Aku tahu kan?"
"Tapi yang melukisnya juga aneh," Naruko tertawa ketika melihat Sai yang meringis. Namun tak lama kemudian, tawa Naruko menghilang. Kenangan masa kecil itu terlintas lagi di kepalanya. Dia yang menatap tajam di balik kegelapan dan mata onyx yang balas menatapnya.
xxx
"Naruko-chan! Kau cantik sekali!" Sakura meraup Naruko di pelukan erat, membuat wanita itu tertawa.
"Kau juga cantik," dia memperhatikan Sakura sesaat. Wajah berseri-seri, mata hijau bersinar-sinar. Yup. Sakura adalah wanita yang cantik. Dia melepaskan pelukan dari Sakura ketika dia merasakan pelukan erat Naruto dari belakang. Naruko tertawa lepas. "Sakit! Sakit, dattebane!" Dia menepuk lengan Naruto. Kakaknya menyeringai lebar.
"Kuncir kuda. Aku tidak bisa membayangkan kau yang berkuncir kuda seperti ini," Naruto tertawa. Naruko hanya bisa bergumam malu.
"Aku tidak bisa selama-lamanya menguncir rambutku dengan kunciran dua kan?"
"Hmmm, kau benar," Naruto memainkan rambut pirangnya yang panjang. "Aku kangen sekali padamu, dattebayo!"
"Aku juga," Naruko meringis. "Kalian akan di sini selama tiga hari kan? Aku akan membawa kalian berkeliling."
"Hmmm, malam ini tidak bisa. Kami ada rencana," Naruto menggerutu kesal. "Padahal aku ingin sekali makan malam bersamamu dan…"
"Kenapa tidak bisa?" Naruko menaikkan sebelah alis. "Ada acara apa? Ada orang yang mau kau temui di New York ini selainku?"
"Naruto, kita ajak saja Naruko! Dia belum pernah bertemu dengannya kan?" Sakura meringis.
"Oh iya ya, kalau kau tidak keberatan, ayo ikut kami bertemu dengannya," Naruto meringis, menggandeng tangan adiknya.
"Siapa?" Kening Naruko berkerut.
"Hmmm, aku tidak tahu kau masih ingat atau tidak. Tapi dia sahabatku ketika masih kecil. Sasuke Uchiha. Kau ingat?"
Jantung Naruko seakan-akan berhenti berdetak. Sasuke… "Dia ada di Amerika?"
"Sudah lama dia ke Amerika. Sejak lulus SMA. Hanya saja... dia tidak mau bilang di Amerika bagian mana dia tinggal," Naruto mendengus. "Si teme itu mengabaikanku sampai bertahun-tahun. Untung saja tiga tahun terakhir ini dia mau bicara denganku lagi. Aku ada SMS tentang ini padamu, dulu. Tapi kau tidak membalasku."
Naruko terpaku, teringat akan satu SMS dari Naruto yang tidak dia buka. Dia bertemu dengan Sai dan lupa untuk membaca SMS itu.
"Tapi yah, ternyata dia tinggal di New York juga! Dunia memang kecil ya, Naruko!" Naruto tertawa kencang, mempererat gandengannya pada tangan Naruko. "Hmm, kenapa tanganmu tiba-tiba berkeringat? Ini sedang salju kan? Kau kepanasan?"
Naruko cepat-cepat menggeleng. Dia melepaskan gandengan tangan Naruto dan mengenakan sarung tangan. "Aku tidak apa-apa." Dia memasang senyuman lebar. Wanita itu menengadah, menatap langit gelap yang bersalju.
Ah, apa yang akan Sai katakan? Bahkan di depan kakaknya, dia memasang senyuman palsu.
"Jadi bagaimana? Kau ikut dengan kami?" Naruto tersenyum.
Wajah Sai terlintas di benaknya lagi. Lukisan lelaki itu sudah terjual semua. Dia tidak ada kerjaan untuk sementara ini. "Aku ingin mengajak sahabatku. Boleh?" Setidaknya, dengan keberadaan Sai, dia bisa lebih tenang sedikit.
"Tentu," Naruto meringis, menyabet ponselnya. "Oi, teme. Aku sudah sampai. Iya iya. Bertemu di restoran. Hei, aku akan mengajak adikku dan dia akan membawa sahabatnya. Boleh kan?"
xxx
"Penismu pasti kecil."
Naruto tersedak. Sakura melongo. Naruko menepuk keningnya.
"Ap… apa katamu?" Naruto mendelik.
"Penismu kecil," Sai tersenyum lebar. "Ah, aku kasihan pada pacarmu yang jelek ini. Dia pasti merasa tidak puas."
"Sai!" Naruko mendesis. Dia menatap Naruto dan Sakura dengan tatapan bersalah. "Nii-chan, mulutnya memang tajam, tapi tidak biasanya dia seperti ini."
"Begitu?" Naruto masih menggeram dan Sakura masih melotot.
"Permisi sebentar, aku mau bicara dengannya," Naruko langsung menyeret Sai pergi dari meja makan restoran. "Apa-apaan kau?! Aku tidak mengajakmu ke sini untuk bertengkar dengan kakakku!" Mata birunya mendelik tajam, melotot ke arah Sai.
"Katamu kakakmu adalah satu-satunya orang yang bisa kau percayai," mata Sai mendelik tajam.
"Tentu saja!"
"Dan kenapa sejak tadi kau tersenyum 'palsu' di depannya?"
Naruko terdiam.
"Selain itu, kau terlihat memaksakan dirimu sejak tadi. Mereka melakukan sesuatu yang menyakitkanmu bukan?"
Naruko menggigit bibirnya. "Sai… mereka tidak…" Dia menengadah, menatap Sai yang tetap mengamatinya. "Aku begini bukan salah mereka. Aku tidak tahu kenapa aku begini… Dan aku…" Dia menghela napas. "Aku tahu aku tidak akan kuat menghadapi apa pun yang akan terjadi nanti. Makanya aku mengajakmu."
"Si penis kecil itu bahkan tidak tahu kalau kau memaksakan senyumanmu."
Naruko tersenyum pahit, memeluk Sai erat-erat. "Dia tidak mengenalku lagi. Aku sudah bukan Naruko yang dikenalnya. Dan aku ingin tetap menjadi 'Naruko' yang suka menyeringai dan tertawa bersamanya. Apakah aku tidak boleh begini?"
Sai tidak menjawab, menepuk pelan punggung Naruko. "Dan kau mengajakku di sini untuk?"
"Aku merasa lebih kuat jika ada kau di sisiku. Hanya kau yang tahu seperti apa… diriku yang sebenarnya."
Sai menghela napas, mengecup pelan puncuk kepala Naruko. "Dan kau tidak ingin kembali menjadi kekasihku, hm?" Dia tersenyum mengejek, membuat Naruko tertawa.
"Kita tidak mencintai satu sama lain seperti itu, Sai. Kau tahu itu," Naruko mencubit pelan lengan Sai. Naruko tahu bahwa mereka menyayangi satu sama lain sebagai sahabat. Tidak lebih. Mau bagaimana lagi, mereka sudah tahu dengan sifat satu sama lain. Dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan cocok menjadi kekasih. "Ya sudah. Ayo, kita kembali," dia memperat pelukannya. "Janji kau tidak akan menjadi cowok brengsek seperti tadi?"
"Aku bahkan akan minta maaf pada mereka," Sai berujar dengan senyuman lebar, menunduk dan menempelkan kecupan singkat di pipi Naruko, membuat Naruko memutar bola mata. "Ngomong-ngomong, kalian semua ini sedang menunggu siapa?"
"Teman masa kecil kakakku, namanya…"
"Kalau kalian ingin bermesraan, jangan disini dan menghalangi jalanku." Suara dingin yang tajam membuat Naruko memutar tubuhnya. Dia berkedip, menatap sosok lelaki jangkuk berambut raven. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam, celana jeans. Mata hitamnya mendelik tajam.
Dia tahu dengan mata hitam itu.
"Ah, Mr. Uchiha," Sai langsung memasang senyuman lebar. "Tidak menyangka bisa bertemu denganmu di tempat ini."
Sasuke Uchiha mendengus. Tanpa bicara apa-apa, dia berjalan melintasi mereka dan berjalan menuju meja di mana Naruto dan Sakura sedang duduk.
"Kau kenal dengannya?" Naruko berbisik pelan.
"Tentu. Dia yang membeli lukisan abstrak milikku itu," Sai menoleh, menatap Naruto yang sekarang memeluk Sasuke. "Dia sahabat masa kecil Naruto?"
Naruko mengangguk.
"Hmmm, kau tahu bahwa dia itu homo?"
Naruko langsung tersedak. "Kau jangan main-main Sai. Sejak tadi kau sudah keterlalu…"
"Tidak homo? Bisexual kalau begitu," Sai menaikkan bahunya.
"Kau tahu dari mana?" Naruko mendelik.
"Insting," Sai tersenyum. "Kau tahu kalau instingku kuat. Dan kalau instingku benar… dia menyukai Naruto."
Naruko tidak bicara apa-apa, memperhatikan Sasuke yang tidak melepaskan tatapannya dari Naruto. Sasuke bahkan tidak melihat ke arah Sakura. "Astaga."
TBC
AN: jujur, ide ini sudah lama ada di otakku. Dan akhirnya aku tidak tahan lagi dan menulis ini fic. Fic ini akan cepat tamat. Sekitar dua chap lagi sudah tamat (soalnya aku tahu endingnya akan seperti apa. haha)
jadi cuma three-shot fiction lah :)
Sampai jumpa di chapter yang berikutnya!