Itachi-niisan, terimakasih banyak telah membuatku menemukan kebahagiaanku. Kau benar-benar sangat membantuku. Di saat aku terpuruk, kau tiba-tiba berdiri di depanku, tersenyum dengan sangat lembut dan menjadi superhero pertama dalam hidupkusetelah ayahku sebetulnya.

Di bawah sinar rembulan, ketika kau menawarkan punggungmu padaku, menggendongku dan mengatakan hal-hal yang sangat konyol waktu itu, aku yakin bahwa aku menyukaimu. Saat itu, kau seperti hidup baruku. Kau sangat baik.

Itachi-niisan, lalu kau menawarkan pekerjaan yang tidak masuk akal untukku. Sangat tidak masuk diakal. Aku ingin sekali menolak, aku tidak yakin aku bisa, namun aku tidak memiliki pilihan lain bukan? Aku menerimanya, dengan gerutuan tanpa henti dalam hatiku.

Tapi, jika dulu aku menolaknya, aku pasti akan menyesal seumur hidupku. Di sini, di tempat ini aku menemukan dunia baruku. Hal yang tidak pernah aku sangka ketika dua anak asuhku menjadi segalanya bagiku. Tidak pernah aku sangka bahwa aku akan jatuh cinta dengan ayah mereka.

Sudah banyak yang aku lalui di sini, tanpamu, denganmu, bersama teman-temanku, atau tanpa kehadiran teman-temanku. Namun, mereka bertigaanak asuhku dan ayahnyaselalu ada di setiap detik yang berlalu dalam hidupku. Mereka bertiga menjadi bagian dari diriku.

Aku banyak belajar. Karenamu aku mendapat hal yang berharga.

Sudah saatnya membawa mereka ke kehidupan lamaku yang pernah aku campakkan. Aku akan membuka siapa diriku sebenarnya pada mereka.

Terimakasih, Itachi-niisan. Aku harap aku dapat bertemu kembali denganmu.

Naruto termenung menatapi layar ponsel yang menunjukkan deretan huruf pada kolom email. Pesan yang baru saja ia tulis untuk Itachi, curahan hatinya yang ternyata amat panjang untuk Itachi. Ia menghela napas ketika membaca deretan huruf itu kembali, memeriksa jika semuanya tidak ada yang salah.

Sudah lama sekali sejak ia mengirim pesan pada Itachi, tokoh superhero dalam hidupnya. Naruto bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia dan Itachi berkirim pesan. Ia menarik napas dan mengeluarkannya lembut, berusaha menetralkan rasa gugupnya.

Kenapa harus gugup?

Naruto menggeleng. Ia tidak ingin memikirkan hal buruk tentang Itachi, pria itu adalah orang yang terakhir akan Naruto jadikan tersangka jika ada kasus kejahatan—Itachi orang yang sangat baik. Jarinya dengan kaku bergerak untuk menekan tombol kirim pada email, matanya memperhatikan notifikasi pesan terkirim.

Jujur saja, semua tentang Itachi sekarang berputar-putar kembali di pikirannya, mengganggunya dan seperti tidak bisa hilang. Mungkin karena ucapan Mikoto yang memberitahu tentang kakak dari Sasuke yang namanya mirip sekali dengan Itachi? Oh, tidak, nama mereka sama, Itachi.

Ia juga masih belum menanyakan pada Sasuke perihal kakak dari pria itu walau sebenarnya ia sangatlah penasaran. Setiap Naruto ingin bertanya, selalu terbesit satu pikiran yang masuk akal.

Banyak orang dengan nama Itachi di Jepang.

Dia terlalu berlebihan berpikir mungkin. Namun jika seandainya memang benar jika Itachi kakak dari Sasuke itu adalah Itachi, pasti ia dan Sasuke bekerja sama entah untuk apa itu—semoga bukan atas nama Sasori—membuat Naruto sangat risih.

Ia menghela napas. Berat.

"Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu sekarang atau akhir-akhir ini," Naruto terlonjak dan segera menaruh ponselnya kembali ke saku. Ia melihat Sasuke di sampingnya, menatap kearahnya dengan pandangan dingin. "Larut malam duduk sendiri sambil memandangi ponselmu yang menyala dengan tatapan sendu."

"Ah, tidak." Naruto menggeleng canggung. Tentu saja Sasuke dapat melihat dengan jelas kegugupan pada mimik wajahnya. "Tidak ada apa-apa." Naruto berdehem berusaha menormalkan suaranya. "Sasuke-san belum tidur?"

"Kau sendiri belum tidur?" pria raven itu menarik kursi di samping Naruto, mendudukkan dirinya dengan nyaman. "Atau kau tidak mau diganggu olehku?"

Naruto membuka mulutnya dengan tidak sadar. Ia menatap Sasuke dengan tatapan aneh. Ucapan terakhir dari pria itu terdengar seperti sindiran yang kekanak-kanakkan di telinga Naruto. Jangan bilang Sasuke kesal hanya karena aku tidur larut karena bermain ponsel?

"Sasuke-san tidak mengganggu kok. Tidak sama sekali." Naruto langsung angkat suara dan mengibaskan tangannya, tidak ingin Sasuke makin kesal hanya karena pikiran negatifnya. "Maksudku, Sasuke-san pasti baru selesai dengan pekerjaanmu, pasti sangat melelahkan." Naruto mengangkat bahunya. "Kau perlu istirahat, Sasuke-san."

"Temani aku tidur."

"Hah?" Naruto memekik tertahan dan menatap Sasuke dengan mata membulat tidak percaya. "Sasuke-san sudah terlalu besar untuk ditemani tidur. Shisui-chan dan Obito-chan saja tidur sendiri."

"Masa bodo." Ujar pria itu dengan arogan. Melihatnya mengingatkan Naruto pada Shisui ketika sifat angkuhnya kumat. "Jika kau belum mau tidur, maka aku tidak akan tidur."

Naruto memutar bola matanya. Kenapa juga pria berusia dua puluh lima yang sudah menimang dua anak masih berkelakuan seperti ini. Sasuke semakin lama semakin manja pada Naruto. Bukan manja yang bergelayut atau apa, namun manja yang seperti ini.

Baju haruslah Naruto yang menyiapkan, jika Sasuke senggang maka ia akan terus mengganggu Naruto untuk terus menemaninya, makan harus bersama, tidur minta ditemani. Naruto mendesah berat, rasanya seperti mengurus tiga anak sekaligus.

Bukannya Naruto benci akan sifat Sasuke, hanya saja ia merasa aneh mengingat sifat Sasuke dulu tidaklah seperti ini.

Naruto menggeleng pasrah. "Ya sudah, ayo tidur." Ia beranjak dari duduknya, melihat Sasuke yang memperhatikannya namun masih terduduk nyaman di kursinya. "Sasuke-san, ayo. Katanya mau tidur."

Sasuke tersenyum tipis, perasaannya membuncah ketika merasa ia menang. Walau Naruto terlihat enggan, namun Sasuke tahu pemuda itu juga tidak membenci sifat Sasuke yang seperti ini. Toh, Sasuke begini hanya pada Naruto.


Naruto © Masashi Kishimoto

Perfect Nanny Candidate © Haraguroi Yukirin

Pairing

SasuNaru

Warning!

Boys Love a.k.a Shonen-Ai! Metrosexual-Naruto, Alternative Universe, typo(s), etc.

Bagian ini adalah bagian terakhir dari fanfik Perfect Nanny Candidate

Happy Reading!

.

.

Chapter 18 : Let's Find Our Happiness

.

.


Jika diingat kembali, dulu ia sangat tidak menyukai berada di kamar Sasuke. Rasanya sangat menegangkan, membuat jantungnya tidak karuan, sangat panik—sudah, hentikan pikiran itu Naruto. Pemuda pirang itu menggeleng keras.

Namun sekarang, ia berbaring di ranjang super besar Sasuke, dengan pria tampan itu di sampingnya—sambil menatap dirinya dalam—Naruto sama sekali tidak merasakan perasaan aneh. Ia masih berdebar tentu saja, tapi perasaan tidak aman berganti dengan perasaan nyaman.

Debaran jantung yang tidak karuan, pipi yang selalu memanas, kehadiran Sasuke di sampingnya, semua seperti sudah menyatu bersamanya.

"Pejamkan matamu, Sasuke-san. Jika kau memperhatikanku terus mana mungkin kau bisa tidur." Ujar pemuda pirang itu dengan nada pelan.

"Hei, kau tidak ingin menceritakan sesuatu padaku?"

Naruto mengernyit. Ia langsung memiringkan tubuhnya, menatap Sasuke yang menatapnya dengan mata sayu setengah mengantuk, namun garis matanya tetap tajam. Surai raven itu sedikit berantakan, entah mengapa Naruto melihat Sasuke saat ini sangatlah tampan.

"Me—menceritakan apa?"

"Entahlah. Keresahanmu akan sesuatu mungkin?" Sasuke memejamkan matanya yang mulai terasa perih karena menahan kantuk. "Sepulang dari rumah orangtuaku kau banyak sekali melamun dengan wajah menyebalkan."

Naruto mengerjap, ia menyentuh wajahnya sendiri. "Wajahku memang menyebalkan ya?"

Sasuke terkekeh sekali, tawa kecil dengan nada berat yang Naruto sukai. Ia membuka matanya, mengulurkan tangan kanannyanya dan mengusap pipi Naruto dengan ibu jarinya. "Wajah yang mengatakan aku sangat bimbang apa yang harus aku lakukan aku tidak ingin semua ini terjadi."

"Hah? Mana ada wajah yang seperti itu, Sasuke-san?" Naruto memajukan bibirnya. Ia menggenggam telapak tangan Sasuke yang berada di pipinya. "Kau mendeskripsikannya dengan kata-kata seperti itu, sangat aneh tahu."

Sasuke dengan tangan kirinya menarik pucuk hidung Naruto dengan lembut. "Kau tidak suka bertemu dengan orangtuaku?"

Wajah pemuda pirang itu terpaling dari Sasuke, pikirannya kembali saat ia berada di rumah orangtua Sasuke, termenung memikirkan segalanya. "Bukan tidak suka," hanya saja terlalu mengejutkan ketika ia kembali harus mengingat Itachi di sana saat ia mulai terbiasa dengan hidupnya dengan Sasuke dan dua bocah kecil kesayangannya.

Kenangannya tentang Itachi membawa Naruto jauh pada masa di mana ia terpuruk dan kemudian bangkit kembali untuk memulai sesuatu yang baru.

"Aku hanya memikirkan sesuatu." Ia terhenti, memikirkan hal yang terbaik adalah memberitahu Sasuke atau tidak tentang pikirannya yang kacau. Beberapa kemungkinan sudah Naruto pikirkan, bagaimana cara menceritakannya pun telah ia susun dalam benaknya.

Hanya mengucapkannya sangat sulit.

Sasuke mendesah halus melihat pemuda pirang itu masih tenggelam dalam pikirannya. "Sesuatu?" ia berusaha membangunkan Naruto dari lamunannya.

"Sepulang dari rumah orangtuamu, aku jadi teringat masa laluku. Aku ingat ibuku, ayahku, rumahku, teman-temanku," ia mengulum bibir dan seolah ragu mengatakan hal selanjutnya. "Juga seseorang yang pernah membantuku bangkit ketika aku terpuruk."

Bohong jika Sasuke tidak merasakan getaran sakit ketika Naruto mengatakan kalimat terakhir. Namun pria itu diam, menanti Naruto melanjutkan ceritanya. "Aku penasaran sekali dengan orang itu, namun aku juga takut jika aku mengetahui kenyataan tentang orang itu—"

Takut jika kenyataannya Itachi mengenal Sasuke—atau kakak dari Sasuke—yang bekerja sama juga dengan Sasori untuk mempermainkannya lagi?

Naruto menatap Sasuke. Tidak, tidak mungkin Sasuke melakukan hal itu 'kan? "Hei, Sasuke-san," Naruto melirih, menelan ludahnya ragu sebelum akhirnya berucap. "Mau mengantarku tidak bertemu dengan orangtuaku?"

Sasuke tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Mata yang melebar dan alis yang terangkat, menatap Naruto tidak percaya.

Pemuda ini selalu menutup-nutupi identitas aslinya, tidak mau tersentuh rahasianya, menutupi segalanya dari Sasuke dan terkadang membuat Sasuke pening sendiri. Namun sekarang mengajak Sasuke bertemu dengan orangtua pemuda pirang itu sangat mendadak, ia sungguh tidak bisa menyangkanya.

"Baiklah," kata itu keluar dengan mudahnya keluar dari bibir Sasuke. "Kapan kau ingin bertemu dengan orangtuamu?"

Naruto bergumam, menimang-nimang kapan saat yang tepat untuk mempertemukan Sasuke dengan kedua orangtuanya. Ia tertawa canggung dan memejamkan matanya sekali. "Entahlah. Kapanpun Sasuke-san tidak sibuk, uh, mungkin?"

Sasuke tertawa lembut, tangannya terulur untuk memainkan surai pirang pemuda yang berbaring di sampingnya. "Usuratonkachi," Naruto hampir membalas ejekkan Sasuke, namun ia berhenti ketika mendengar ucapan selanjutnya.

"Kau tidak pernah sadar ya? Aku tidak pernah sibuk jika itu menyangkut dirimu dan anak-anakku."


Jika Naruto ingat kembali betapa marahnya sang ayah ketika mengetahui ia berpacaran dengan Sasori, ia merasakan takut itu kembali. Ia bergidik seolah sang ayah berada di hadapannya dan mengomelinya, lalu mengusirnya dari rumah.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia, yang notabene sudah nyaris dua tahun diusir dari rumah, tiba-tiba pulang dengan menggandeng duda beranak dua kehadapan orangtuanya.

Mungkin ayahnya akan memenggal kepalanya?

"Tidak mungkin." Naruto tersenyum pahit dengan wajah lesu pucat pasi. Tidak mungkin ayahnya setega itu pada dirinya 'kan? Memenggal kepala Naruto—memang ini film gore yang biasa Gaara tonton dengan wajah datarnya?

Lagipula! Naruto menampakkan wajah berseri dengan senyum lebar. Ia memikirkan hal yang positif. Sasuke bukanlah orang brengsek macam Sasori. Walaupun ia duda, Sasuke memiliki reputasi baik, kelakuan baik, kehidupan yang baik, dan berasal dari keluarga yang baik.

Jangan lupakan ketampanannya yang sangat baik juga anak-anaknya yang sangat menggemaskan dan mudah untuk dicintai.

Jadi tidak ada alasan ayahnya menolak Sasuke bukan?

"Naru-chin seram dari tadi ketawa sendiri lalu bicara sendiri."

"Shisui-chan!" Naruto menyerukan nama anak itu dengan riang gembira. Ia bangun dari duduknya di kasur Obito yang nyaman lalu mengangkat Shisui dalam gendongannya. "Woah, Shisui-chan sudah tampan sekali. Bisa memakai baju sendiri sekarang." Ia menggesekkan pipinya pada pipi Shisui lalu mengecup pipi anak itu dengan gemas. "Mana Obito?"

Shisui memegang pipinya yang basah akibat kecupan Naruto. "Obito masih gosok badannya sama handuk." Shisui melingkarkan tangannya pada leher Naruto. "Aku 'kan sudah pakai baju sendiri, berarti Naru-chin mau buatin aku sup labu yang enak itu lagi?"

Naruto terkekeh lembut dengan pertanyaan anak itu. "Tentu saja! Shisui-chan 'kan sudah pintar." Ia mengecup pelipis anak itu sesaat kemudian menurunkan Shisui dari gendongannya. "Aku mau lihat Obito-chan dulu. Shisui-chan tunggu di sini atau boleh turun ke bawah menungguku. Tapi pelan ya turun tangganya, tidak boleh berlari."

Setelah melihat Shisui mengangguk, Naruto berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk melihat apakah Obito baik-baik saja.

Hari ini Naruto membuat permainan kecil, ia menyuruh dua anak kembar itu untuk mandi dan memakai baju tanpa bantuan Naruto dengan iming-iming akan membuatkan makanan apapun yang mereka minta jika mereka berhasil.

Setidaknya ia ingin dua bocah kesayangannya itu menjadi lebih mandiri dan tidak terus bergantung padanya. Bukan berari Naruto akan meninggalkan mereka atau apa, ia sama sekali tidak memiliki pikiran itu—okay, mungkin dulu ada, namun sekarang tidak. Naruto sangat mencintai Shisui dan Obito.

Naruto membuka pintu kamar mandi dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia mengintip Obito yang sedang sibuk menghanduki tubuh kecilnya dengan handuk bebek kesukaannya. Naruto mencoba menahan tawa ketika melihat Obito dengan susah payah mengeringkan tubuhnya sendiri.

"Obito-chan, aku masuk ya?" tanpa menunggu jawaban dari bocah itu, Naruto membuka pintu dengan lebar dan melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi. "Wah, Obito-chan bisa mengeringkan tubuh sendiri. Hebat!"

Mendengar pujian dari Naruto tidak membuat Obito tersenyum. Anak itu mengambil handuknya dan menyodorkannya pada Naruto dengan wajah tertekuk. "Susah, Nalu-tan." Rengeknya.

Naruto berjongkok, membiarkan Obito menghampiri dirinya sebelum akhirnya ia membawa tubuh telanjang bocah itu kedalam dekapannya. Kaus yang ia kenakan menjadi sedikit basah karena tubuh Obito yang belum sepenuhnya kering, namun Naruto tidak mempedulikan itu, ia malah mengecupi pipi Obito dengan gemas.

"Aih, Obito-chan sekarang pintar ya." Pujinya kembali. Naruto mulai menghanduki tubuh Obito dengan benar, sekilas ia mendekatkan hidungnya ke curuk leher Obito, menghirup wangi sabun dari tubuh Obito. "Wangi sekali. Kalau begini 'kan jadi tambah tampan."

Obito terkekeh geli ketika merasa rambut Naruto mengenai wajahnya. "Hehe, Obito pintal 'kan sekalang mandinya sendili dong."

"Iya, pintar sekali." Naruto tersenyum, ia memlilitkan handuk untuk menutupi tubuh Obito. "Ayo kita pakai baju dulu ya?"

Obito mengangkat kedua tangannya tinggi dan tertawa lebar, "Tapi, Nalu-tan yang pakaikan baju ya."

Naruto tersenyum sebagai jawaban, ia mengangkat tubuh Obito, membawanya dalam gendongannya dan keluar dari kamar mandi untuk memakaikan si tampan kecil baju.


Kala itu Naruto dengan emosi yang tinggi pergi dari rumah, meninggalkan ayah dan ibu untuk seseorang yang nyatanya sangatlah tidak berharga untuk dipertahankan. Membuat hatinya terbalut akan penyesalan karena meninggalkan orangtuanya.

Gaara dan Kiba tentu turut membantu. Mungkin ketika Gaara berkata untuk tidak membantunya dan memintanya untuk hidup sendiri terdengar sangat kejam, tapi ia tahu jika sahabat-sahabanya sangat peduli padanya.

Pertolongan yang tidak terduga muncul dari orang asing bernama Itachi. Pahlawannya, pelindungnya, seseorang yang membantunya, dan berarti dalam hidup Naruto.

Jika dipikir kembali, mungkin ia tidak akan menyesal karena pernah keluar dari rumah. Bukan karena ia tidak menyesal membangkang pada orangtuanya. Hanya saja—seandainya—jika ia tidak membangkang dan tetap tinggal di rumah mungkin Naruto tidak akan menemukan keajaiban dalam hidupnya.

Ia tidak akan bertemu dengan Sasuke dan anak-anaknya.

Dan di sinilah ia berdiri. Gerbang tinggi yang menjadi penghalang rumah besar di sana, sangat familiar namun juga terasa asing—rumahnya.

Ia menarik napas berat. Tangan kanannya digandeng oleh Shisui, di sebelah kirinya Obito menatapnya dengan mata bingung. Naruto tersenyum, ah aku membawa dua anak pulang ke rumah. Ia berdoa dalam hati semoga kedua orangtuanya tidak terkena serangan jantung mendadak karena dirinya.

Sasuke sendiri sama gugupnya dengan Naruto. Pria itu memarkirkan mobilnya di depan rumah besar—yang katanya—kediaman pemuda pirang itu untuk sementara, biarlah nanti penjaga rumah yang memasukan mobilnya ke dalam. Oh, itu jika mereka diizinkan masuk.

"Aku anak dari Namikaze Minato."

Sasuke menggeleng mengingatnya kembali. Ia masih tidak habis pikir jika Naruto yang merupakan pengasuh dari anak-anaknya dan merangkap menjadi calon pasangan hidupnya merupakan anak dari saudagar kaya di Jepang. Tidak heran jika Naruto memiliki barang-barang super fantastis meskipun ia seorang pengasuh kala itu.

Ia telah mempekerjakan anak konglomerat Jepang.

"Kita masuk?" Sasuke bertanya dengan pelan, tidak berniat mengagetkan Naruto yang masih termenung menatap rumahnya. Sasuke bahkan bisa merasakan ketakutan juga kegugupan Naruto, semua terpancar di mata biru jernih pemuda pirang itu.

Pria tampan itu mengulurkan tangannya, memainkan surai pirang Naruto dengan ibu jarinya, mencoba mendapatkan perhatian pemuda itu. "Jika kau belum mau—belum siap untuk bertemu dengan kedua orangtuamu, kita bisa lakukan nanti."

Naruto menatap Sasuke dengan alis bertaut khawatir, "Aku tidak mau menundanya lagi." Ia menunduk dan mengambil napas dalam untuk memantapkan hatinya. "Sebentar, aku hanya—"

"Jika kau memang ingin masuk dan bertemu dengan orangtuamu, ayo lakukan." Sasuke memotong ucapan ragu Naruto dengan mantap. Telapak tangannya mengusap pipi hangan Naruto dan membawanya untuk melihat tepat kearah mata Sasuke. "Tidak ada yang perlu ditakutkan karena aku, juga Shisui dan Obito, ada selalu bersamamu."

Naruto tertegun. Mereka selalu ada bersamanya, tentu saja. Di saat Naruto terjatuh, kesal, menangis, bahagia, khawatir, dan aman. Mereka bertiga selalu ada di setiap pertambahan waktunya selama hampir dua tahun. Mungkin bukan waktu yang terlalu lama, namun itu semua cukup.

Cukup untuk membuktikan bahwa Naruto yakin bahwa ia tidak akan meninggalkan tiga orang terpentingnya.

Senyum pemuda itu terkembang, ia menatap Sasuke dan mengangguk mantap. "Ayo, Sasuke-san kita masuk." Ia beralih pada Shisui dan Obito yang masih menggandengnya erat. "Shisui-chan dan Obito-chan juga siap-siap ya bertemu dengan Ayah dan Ibuku."


"Naruto-sama?!"

Semua mata membelalak tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Tuan muda mereka yang sudah hampir dua tahun tidak kembali ke rumah ini kembali pulang—dengan menggandeng dua anak dan membawa satu pria tampan. Dengan langkah takut, Naruto memasuki rumahnya dengan menggandeng dua anak kesayangannya.

Demi Tuhan, ini rumahku tapi aku sangat takut. Naruto merasa ngilu di perutnya.

"Ini lumahnya Nalu-tan?" Obito tidak berhenti menggumam takjub melihat rumah yang baru ia masuki. Langkah kakinya terhentak senang berpikir ini kali pertama ia berkunjung ke rumah orang kesayangannya. "Besaaal!"

Naruto tersenyum melihat Obito yang selalu tertarik dengan segala hal. "Oh ya? Aku rasa rumah Obito-chan dan Shisui-chan lebih besar dari rumah aku lho."

"Aku telah mempekerjakan putra tunggal Namikaze Minato-san." Naruto melirik ke arah Sasuke yang mengucapkan kalimat penuh tanya namun dengan nada mengejek. "Kenapa aku tidak sadar ya kalau kau ini putra tunggal Namikaze yang terkenal itu?"

Mimik Naruto berubah masam. "Tolong jangan berucap seolah Sasuke-san ini menyesal." Naruto memajukan bibirnya. "Maaf juga telah membohongimu selama ini."

Sasuke tidak menyahutnya. Ia tetap mengikuti langkah Naruto yang masih menggandeng kedua putranya. Ia masih tidak habis pikir jika selama hampir dua tahun ia telah membabui anak tunggal dari salah satu konglomerat di Jepang.

Kenapa juga Sasuke bisa tidak mengenali Namikaze Naruto?

"Ah, selamat datang kembali."

Langkah mereka terhenti. Sasuke yang sedang sibuk memperhatikan figura dan lukisan yang terpampang di dinding langsung membeku ketika mendengar suara yang familiar. Ia sontak menoleh dan mencari sosok yang dikenalnya.

"Itachi-san!"


Mata biru itu membulat penuh ketidak percayaan ketika melihat pria yang dikenalnya berdiri tersenyum di hadapannya. Naruto bahkan yakin jika mulutnya sedang terbuka amat lebar saat ini.

Sekali menelan ludah untuk menghilangkan rasa mengganjal di tenggorokannya kemudian ia berteriak.

"Itachi-san!"

"JICHAN!"

Tidak, tidak. Naruto lebih kaget ketika kedua anak yang sedang menggandengnya langsung berlari dan memeluk Itachi dengan teriakan riang gembira. Pria yang amat Naruto kagumi itu langsung menunduk menyamakan tingginya dengan si kembar, membawa dua anak itu dalam pelukannya.

"Aku kangen Itachi-jiji!"

Naruto membelalak tidak percaya, "Kenapa—"

"Aniki! Kenapa kau ada di sini?"

"Ha—ANIKI?!" Naruto sontak membulatkan mata dan berteriak pada Sasuke yang berada di sebelahnya. Ayah dari Obito dan Shisui itu mengerutkan dahi, alisnya bertautan karena tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

Orang yang membuat terkejut itu malah tersenyum tanpa beban dan menggaruk pelipisnya. "Biar nanti aku jelaskan." Itachi kembali berdiri tegak, memiringkan tubuh seolah mempersilahkan mereka kembali berjalan. "Naruto sudah ditunggu oleh Minato-san dan Kushina-san."

"Ayah dan Ibu." Ia meneguk ludah merasa tenggorokannya mendadak kering. Ia mengepalkan tangannya tidak sadar dan berujar lirih "Apa tidak apa?"

Itachi tersenyum, senyum yang membuat Naruto tenang seketika. "Tidak apa. Mereka memang menanti kedatanganmu, Naruto."

Sasuke terdiam melihat semuanya. Ia menatap tajam kakaknya seolah sedang mengobservasi kakak kandungnya sendiri.

Mereka masih tidak habis pikir apa yang Itachi lakukan di sini.


"Selamat datang kembali, anakku!"

Kushina tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia ketika ia melihat putra semata wayangnya berada tepat di hadapannya. Nyonya Namikaze itu langsung berlari dan mendekap putranya dengan erat. Melepas rindu setelah setahun lebih tidak bisa berinteraksi dengan putranya.

"Aaah, ibu sangat merindukanmu." Ia membawa kepala Natuto untuk bersandar pada bahunya, tangannya tak lepas mengusap punggung sang anak dengan lembut. Wanita itu sedikit terisak. "Maafkan ibumu ini, Naruto. Maaf."

Naruto tersenyum sendu, tangannya melingkar pada pinggang sang ibu. "Ibu tidak salah kok." Ia menggeleng pelan. "Aku yang salah tidak mendengarkan larangan ayah dan ibu." Naruto membenamkan wajahnya pada sosok wanita yang ia cintai. "Maafkan aku ibu."

"Sekarang kau sudah mau mendengarkan kami 'kan?"

Naruto melonggarkan pelukannya dari sang ibu ketika ia mendengar suara yang sangat ia rindukan. Ia berbalik dan tersenyum lebar ketika melihat Minato merentangkan tangan dengan senyuman lembut terpatri di wajahnya. "Ayah!" Naruto langsung menerjang sang ayah, memeluknya dengan erat.

"Maaf," ucap pemuda pirang itu dengan lirih, tubuhnya bergetar ketika mengingat kesalahan juga kebodohan yang ia buat pada ayahnya. "Maaf aku tidak mendengar ucapan ayah, maaf aku bersikap bodoh dan membentak ayah dan ibu."

Sang ayah tersenyum bijaksana, mengerti dengan apa yang sebenarnya Naruto sesalkan selama ini. Matanya terpejam dengan tangan yang mengelus punggung sang putra berusaha untuk menenangkan.

"Maafkan ayah juga sudah mengusirmu seperti itu." Minato memegang kedua pundak sang anak, membuat Naruto terlepas dari pelukan mereka dan menatap wajah sang ayah. "Hentikan menangisnya, kau kan laki-laki. Lebih baik kita makan dulu sekarang."

"Kami sudah membuat jamuan khusus menyambut kepulanganmu, Naruto." Ujar Kushina dengan riang. Wanita yang merupakan ibu dari Naruto kemudian menatap pada dua bocah yang memandang sekeliling dengan tatapan heran yang menggemaskan. "Ara, siapa anak-anak manis ini?"

Obito mendekatkan diri pada ayahnya ketika ia sadar bahwa wanita itu bertanya padanya dan sang kakak—ketakutan. Shisui menggigit bibirnya tanda tidak nyaman dengan orang asing. Naruto tersenyum melihat mereka. Sejak kapan ia jadi hapal sifat bocah kembar itu?

"Jawab pertanyaan dari bibi." Belum sempat Naruto menenangkan dua anak kesayangannya, Sasuke terlebih dahulu berjongkok dan mengelus punggung dua anaknya. Ia berujar dengan pelan.

"Um! Uttchica Obito, bibi, paman. Salam kenal." Obito memang pada dasarnya merupakan anak yang mudah menempatkan diri di mana saja langsung memperkenalkan diri dengan cengiran lebar. Tidak lupa menunduk hormat pada dua orang asing di depannya—Sasuke mengajarkan bagaimana berperilaku pada orang yang lebih tua.

Kushina tidak bisa menyembunyikan senyumnya melihat betapa menggemaskan anak bernama Obito. "Wah, Obito-chan pintar sekali ya. Kalian kembar kan?" Kemudian ia tersenyum melihat satu anak lagi yang masih terlihat tidak nyaman. "Lalu, siapa si tampan yang satu ini?"

Shisui menatap Kushina malu-malu, kemudian menatap ayahnya dan Naruto secara bergantian. Ketika ia melihat Naruto mengangguk—tidak apa, bicara saja—membuat Shisui mengulum bibirnya. "Uh, um. Uchiha Shisui. Salam kenal bibi, paman." Ia pun membungkuk dengan sopan.

"Wah kalian berdua memang pintar!" Kushina langsung mendekati dua bocah itu, mengusap pipi Obito dan Shisui yang gembul. "Ayo ikut makan, bibi akan pesankan kalian kue yang paling besar!"

Mendengarnya, mata Obito langsung membulat bersinar senang. "Benalkah?"

"Tidak boleh." Naruto langsung memotong. Meski intonasinya lembut namun seperti tidak bisa dibantah. "Jangan ya. Shisui-chan dan Obito-chan tidak boleh makan kue."

Shisui yang pada dasarnya sudah mengerti hanya diam, walau tentu saja kecewa. Shisui ingin makan kue besar. Namun kekecewaannya pasti akan diserukan oleh Obito. "Gak boleh kue? Sedikit aja, Nalu-tan, Obito janji!" mohon Obito dengan memelas.

Naruto menghela napas, ia menggeleng. "Tidak boleh."

Melihat Obito yang memasang raut kecewa, Kushina langsung angkat bicara. "Kau tidak memperbolehkan mereka makan kue? Beri mereka sedikit saja, Naruto."

"Bukannya aku tidak mau, ibu. Tapi tidak bisa." Naruto menunduk. "Mereka diabet, jadi tidak bisa sembarangan makan apapun, bu."

Kushina sontak menutup mulutnya yang terbuka, merasa bersalah telah menawarkan kue pada mereka yang jelas-jelas dua anak itu tidak bisa memakannya. "Kalau begitu bibi akan pesankan yang lain. Kalian mau 'kan?"

"Obito mau!" anak itu berubah menjadi ceria kembali, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan bersemangat. "Telimakasih bibi!"

Naruto tersenyum melihat ibunya yang ternyata jga menyukai dua bocah Uchiha itu. Bicara soal Uchiha, Naruto kembali melirik Itachi yang tertawa melihat tingkah Shisui dan Obito.

What the—bagaimana bisa Itachi ada di sini? Sebuah kebetulan? Hal yang direncanakan? DAN DIA KAKAK DARI SASUKE BUKAN? Naruto menjerit dalam batinnya. Kenapa juga Sasuke dan Itachi santai-santai saja seolah tidak terjadi apa-apa.

"Nah, nah, ayo makan!" sang kepala keluarga Namikaze pada akhirnya bertepuk tangan untuk mendapatkan perhatian. Ayah dari Naruto itu menggiring mereka ke meja makan.

Rasanya daripada makan, Naruto ingin menarik Itachi dan Sasuke secara paksa saja untuk dimintai keterangan.


Selepas makan, mereka tidak langsung beranjak dari meja makan. Shisui dan Obito dibuatkan pie labu oleh juru masak di kediaman Namikaze dan memakannya dengan lahap membuat orang dewasa di sana gemas dengan tingkah mereka.

Itachi, dan ayahnya pun berbincang dengan sangat akrab. Sasuke yang tadi memperkenalkan diri pada Minato dan Kushina juga terkadang ikut dalam obrolan mereka.

"Jadi ini Sasuke-kun, adik yang sering Itachi banggakan?" Minato bertanya dengan nada menggoda pada Itachi. Naruto secara tak langsung menahan napasnya, pertanyaan yang sangat ia dambakan jawabannya sudah dilontarkan oleh sang ayah.

Itachi tertawa renyah, "Ya, dia Sasuke." Ia melirik pada sang adik. "Sudah lama sekali sejak terakhir aku bertemu dengannya."

"Sasuke-kun, anak-anakmu benar-benar menggemaskan." Kushina langsung berbicara sambil membersihkan pipi Obito dari noda pie. "Benar-benar beruntung sekali Naruto merawat mereka."

Naruto tertawa hambar. Ah tidak tahu saja ibu bahwa dulunya mereka itu dua setan kecil yang berusaha ia jauhkan mati-matian.

"Ah, bicara soal itu." Minato beralih pada Sasuke, menatap pria dua anak itu dengan serius. "Terimakasih banyak kau sudah membantu Naruto. Ia sepertinya menjadi lebih dewasa sekarang." Kalimat itu diakhiri degan teriakan protes dari Naruto.

Sasuke terdiam. Jujur ia tidak mengerti dengan situasi sekarang. "Maaf, Minato-san. Aku tidak melakukan apapun untuk membantu Naruto—sebetulnya." Ia mengetukkan jari telunjuk pada meja. "Aku menerimanya karena niisan," melirik ke arah Itachi. "Menyarankan Naruto sebagai pengasuh kedua anakku. Ia sempat bicara soal pengasuh padaku sehari sebelum Naruto datang ke rumahku."

Ah! Naruto tersentak. Ia ingat betul hari di mana ia meminta tolong pada Itachi, di mana pria tampan—yang dulu sukses membuat Naruto jatuh cinta dalam sekejap—menyarankan ia untuk bekerja sebagai pengasuh.

Naruto melotot ke arah Itachi. Jangan-jangan memang rencana dia!

Minato tertawa sesaat, "Iya memang betul Itachi yang membantu Naruto," bukan jangan-jangan lagi, namun memang betul. "Tapi juga kau membantunya, kau memperlakukan anak kami dengan baik dan membuatnya menjadi lebih dewasa." Ia tersenyum lembut, "Terimakasih, Sasuke-kun."

"Tunggu, tunggu!" Naruto yang tidak tahan dengan ketidak tahuannya di sini langsung memutuskan obrolan sang ayah dengan Sasuke. Alisnya bertaut, menatap sang ayah dengan tatapan penuh tanya. "Jadi sebetulnya ayah meminta Sasuke dan Itachi-nii untuk membantuku ketika aku diusir dari rumah?"

Naruto diam sejenak. Ia kembali berucap dengan nada yang lebih tinggi. "Selama ini ayah membantuku?" Ia menatap Itachi dan Sasuke, "Kalian disuruh ayah untuk membantuku?"

"Nalu-tan kenapa malah-malah?" tanya Obito takut-takut. Bocah itu mendengar Naruto yang menaikan suaranya—kesal—karena biasanya pemuda pirang itu—sudah—tidak pernah meninggikan suaranya. Obito menaruh sendoknya. "Nalu-tan sebal ya sama kami?"

Agh, apa yang aku lakukan? Mulut pemuda pirang itu terkatup kemudian terbuka kembali, merasa bersalah dan juga bingung bagaimana menjelaskannya pada dua anak kesayangannya.

Shisui dan Obito berhenti memakan pie yang disediakan dan sekarang malah melihat Naruto dengan mata berkaca-kaca dan bibir bawah yang sedikit maju—sedih. Naruto tidak tahan dengan tatapan menggemaskan mereka. "Tidak kok. Aku tidak marah sama Obito-chan atau Shisui-chan." Naruto langsung tertawa tanda bahwa ia baik-baik saja dan tidak marah. Memang tidak baik berteriak di depan mereka.

"Naruto hanya sedang berbicara pada ayahmu dan juga paman Itachi." Minato menambahkan dengan senyum menenangkan menatap dua anak itu. Ia mengacungkan jempolnya. "Mana mungkin ada yang marah pada dua anak manis ini." Ia mencubit pelan pipi Obito dan Shisui secara bergantian.

Kushina ikut menenangkan dua anak yang mendadak menjadi kesayangannya. "Nah, nah. Ayo habiskan dulu makanannya." Ia mengambil sendok yang Obito taruh, mengambil potongan pie dan menyuapkannya pada Obito. "Kalau makannya sudah selesai, bibi punya banyak mainan untuk kalian."

Obito tertawa senang, Shisui menatap Kushina dengan penuh tarik. "Asik!"

"Minato-san, Kushina-san, tidak perlu repot-repot." Sasuke berucap dengan sopan, berusaha tidak membuat tuan rumah tersinggung. "Kami sudah cukup merepotkan kalian dengan makan siang ini."

"Jangan dipikirkan Sasuke-kun," balas Kushina dengan senyuman tipis. "Sudah lama sekali aku tidak bermain dengan anak-anak. Lagipula," ia menatap Naruto yang memandangnya keheranan. "Saat Naruto kecil aku jarang bermain dengannya, jadi aku kehilangan masa kecil anakku."

Diam.

Ucapan Kushina menohok Minato juga Sasuke, bahkan membawa Naruto kepada ingatan lamanya. Memang benar ucapan Kushina barusan, tidak banyak waktu yang Minato dan Kushina miliki untuk Naruto kala pemuda pirang itu masih sebesar Shisui dan Obito. Bahkan rasanya merasakan bermain dengan orangtuanya merupakan saat membahagiakan namun juga sulit didapat.

Untuk Sasuke, dulu sebelum Naruto hadir dalam kehidupan mereka, ia hampir tidak pernah menghabiskan waktunya dengan dua jagoan kecilnya. Ia hanya cukup memberikan mereka mainan, menuruti segala keinginan mereka sebagai bentuk kasih sayang.

Namun ternyata memang Sasuke salah, anak-anaknya hanya membutuhkan perhatian dari sang ayah—karena sang ibu tidak pernah ada di samping mereka. Dua jagoan kecilnya hanya butuh Sasuke. Ia sangat bersyukur sekarang ia bisa sedikit demi sedikit melihat perkembangan kedua anaknya.

Berkat pemuda pirang yang membuatnya jatuh cinta. Naruto.

"Maa, mungkin harusnya kita jelaskan semuanya dari awal, Minato-san?" Itachi memecah keheningan. Pria itu cukup tahu bahwa adiknya dan orangtua Naruto sedang terlarut dalam pikiran sedih mereka—bahkan Naruto juga jika ia lihat dari matanya yang meredup.

"Ah iya." Minato mengerjapkan matanya, menggelengkan kepalanya pelan untuk mendapatkan kembali fokusnya. "Naruto, sebetulnya ayah memang meminta Itachi untuk megawasimu dan melaporkan apa yang terjadi padamu kepada ayah."

Naruto kembali melebarkan matanya melihat kearah Itachi. Ah, memang direncanakan. Naruto mendengus sebal.

Itachi yang menyadari kekesalan Naruto hanya dapat menghela napas "Namun adikku—Sasuke—tidak mengetahui apapun tentang semua ini. Aku sengaja menyembunyikannya dari Sasuke, berpura-pura tidak mengenalmu padahal aku yang menyuruhmu melamar bekerja di tempat Sasuke."

"Berarti—Itachi-nii juga mengenal Sasori?" Naruto bertanya, menatap Itachi dengan mata tertutup rasa tidak percaya. "Aku pernah melihatmu berjalan bersama Dei, berarti Itachi-nii teman Sasori juga 'kan?"

"Dei?" Itachi terdiam sesaat. Ia tidak pernah tahu jika Naruto pernah melihatnya berjalan bersama Deidara. "Aku mengenalnya sebelum ia berteman dengan Sasori malah." Ujarnya. "Dan, maafkan aku Naruto, sebetulnya yang memberitahu orangtuamu tentang Sasori itu aku."

"Hah?" mata Naruto membulat tidak percaya. Ia menatap orangtuanya. "Jadi ayah dan ibu memang sudah mengenal Itachi-nii lama sekali?"

Minato tertawa melihat wajah anaknya yang terkejut seperti itu. "Ceritanya panjang sekali, tapi iya. Itachi bisa dibilang tangan kanan ayah."

Naruto diam. Ia benar-benar merasa seperti orang bodoh. "Aku sangat berterimakasih pada Itachi-nii karena semua ini—"—aku bertemu dengan Sasuke juga kedua anaknya. Naruto terdiam dengan mata menatap kosong pada meja makan. "—tapi aku bingung dan merasa bodoh."

Sasuke yang sedari tadi tidak membuka suara hanya bisa memperhatikan Naruto—raut wajah pemuda itu yang tampak terkejut dan bingung diwaktu bersamaan, gumaman ketidak percayaan, semuanya yang membuat ia ingin merangkul pemuda pirang itu.

"Maafkan kami, Naruto." Minato meraih telapak tangan anaknya, mengusap punggung tangan putra semata wayangnya. "Kami mengusirmu untuk belajar bagaiman jika kau hidup tanpa kami yang membantumu. Namun ayah dan ibu tidak bisa membiarkan kau tanpa pengawasan jadi kami meminta bantuan pada Itachi. Ialah penghubung kami denganmu selama kau pergi."

Naruto membalas genggaman ayahnya, ia tersenyum. "Tidak, ayah. Aku yang meminta maaf. Juga terimakasih, aku pikir ayah dan ibu memang sudah tidak peduli padaku. Aku benar-benar senang." Ia kemudia beralih pada Itachi, masih dengan senyuman yang sama. "Terimakasih juga, Itachi-nii. Selama ini kau banyak sekali membantuku, dari awal hingga sekarang."

"Naruto anakku!" Minato langsung berdiri dari duduknya, menuju sang anak dengan tangan direntangkan. Ia memeluk putranya dengan erat. "Kau benar-benar sudah dewasa." Ia mengecup pelipis sang anak. "Ayah menyayangimu."

Kushina yang sedang terfokus pada Obito dan Shisui kini beralih melihat Minato yang meraung penuh haru dan memeluk putra mereka. Bahkan sekarangpun Kushina masih ingat hari di mana suaminya itu mengusir Naruto pergi dari rumah, dan bagaimana putranya tidak peduli dengan ucapan mereka.

Di mana Minato bilang ia tidak akan peduli dengan putra semata wayang mereka, namun belum sejam sejak kepergian Naruto ia malah memanggil Itachi dan meminta pria itu mengawasi putra mereka.

"Aku mau disuapi sama Naru-chin." Shisui tiba-tiba menjauhkan piringnya, menyilangkan tanyannya di dada dengan memajukan bibirnya.

Sasuke hapal sekali dengan perubahan sikap anaknya—ia ingin mendapat perhatian dari Naruto. Sasuke tersenyum karena merasa sudah bisa memahami anaknya. "Shisui makan sendiri dulu. Katanya sudah besar."

Shisui menggeleng tidak terima. "Tapi aku maunya disuapi sama Naru-chin."

Naruto juga paham betul dengan sikap Shisui. Ia menatap Sasuke yang juga sedang menatapnya, mereka melempar senyum maklum. "Ayah, sepertinya sekarang ada yang cemburu pada ayah." Ia menepuk punggung Minato pelan, membuat ayahnya melepaskan pelukan mereka.

Naruto menunjuk ke arah Shisui, membuat Minato mengikuti arah telunjuk Naruto. Ia melihat Shisui tengah merajuk, juga Kushina yang menatapnya dengan senyuman ah-kau-sekarang-kalah-suamiku.

Hah. Naruto sekarang sudah seperti memiliki anak ya?


Obrolan makan siang diakhiri dengan Naruto yang menyuapkan sisa pie yang hanya dua suapan lagi pada Shisui. Anak itu benar-benar membuat Sasuke geleng kepala karena menyadari bahwa keras kepala Sasuke menurun pada Shisui.

Setelah menutup makan siang, Naruto bersama Kushina menggiring dua bocah kembar itu ke kamar Naruto di kediaman Namikaze untuk tidur siang—sebetulnya agar orang dewasa dapat bicara dengan leluasa tanpa gangguan mereka. Sasuke yang sempat enggan akhirnya pasrah karena rayuan Kushina.

Tentu saja kamar milik Namikaze tunggal itu sangat luas, dihiasi perabotan elektronik mewah, walk-in-closet, dan ranjang king size yang terlihat berkelas. Naruto takjub melihat ternyata kamarnya sangat mewah seperti ini—setahun lebih menetap di kediaman Sasuke, jika dibanding kamarnya yang asli, kamar tempat ia tidur di kediaman Uchiha memang bukan apa-apa.

Namun Naruto merasa bodoh sekali karena selama ini ia tidak pernah mensyukuri apa yang ia miliki.

Setelah menidurkan Shisui dan Obito, sebelumnya anak-anak itu mengoceh tentang besar sekali kamarnya dan aku tidak mau tidur sendiri, akhirnya Kushina dan Naruto berkumpul di ruang keluarga, di mana ayahnya sedang berbincang dekat dengan Sasuke juga Itachi.

"Aku minta maaf karena menyusahkan kalian dengan anak-anakku, Kushina-san, Minato-san." Setelah melihat Kushina datang bersama Naruto dan langsung mendudukkan dirinya dekat dengan sang suami, Sasuke langsung angkat suara.

"Hush, Sasuke-kun, sudah aku bilang kalian sama sekali tidak merepotkan." Wanita itu terkekeh dengan anggun. "Tapi aku benar-benar takjub lho. Naruto itu sangat tidak menyukai anak kecil, tapi ia sangat telaten dengan anak-anakmu, Sasuke-kun."

"Ah," Sasuke diam sesaat, ia menatap pada Naruto yang mengangkat alis melihat dirinya. "Naruto mengurus anak-anakku dengan baik selama ini. Bahkan aku juga mengira bahwa anak-anakku lebih menyayangi Naruto ketimbang ayah mereka sendiri."

Sontak pernyataan Sasuke tersebut disambut dengan tawa dari Minato dan Kushina, bahkan Itachi juga tidak dapat menyembunyikan tawanya. Naruto memajukan bibirnya sementara Sasuke dengan kening yang mengerut menatap mereka aneh.

"Terimakasih banyak, Sasuke-kun." Minato berdehem untuk menghentikan tawanya. Bukannya mereka menganggap ucapan Sasuke sebagai lawakan, namun Minato dan Kushina seperti merasa bangga berlebihan pada anak mereka yang kini sudah bisa mengurus dirinya sendiri, bahkan mengurus orang lain.

"Naruto itu benar-benar anak yang manja dan sulit diatur. Hobinya membangkang dan hampir tidak bisa melakukan apa-apa kecuali itu memang atas keinginannya sendiri." Kushina angkat bicara. Wanita dengan surai merah itu mengatup tangannya.

"Maka dari itu, ketika mendengar bahwa Naruto baik-baik saja, bahkan telaten mengurus anak yang notabene ia tidak suka kami benar-benar merasa bangga." Lanjut Kushina. Ia mencoba menatap sang putra dengan pandangan teduh. "Aku rasa bersama dengan Sasuke-kun dan anak-anakmu bisa merubah pribadi Naruto. Terimakasih."

Sasuke entah untuk keberapa kali menggeleng, ia berusaha mengelak akan ucapan terimakasih dari Kushina dan Minato.

"Kushina, benar. Terimakasih banyak Sasuke-kun." Minato menambahkan. Selanjutnya pria itu melirik Itachi. "Kau juga Itachi, terimakasih atas kerja kerasmu yang mau membantu Naruto." Itachi membalasnya dengan anggukan pelan dan senyum tipis. "Aku jadi merasa bersyukur sekali jika memiliki menantu sepertimu, Itachi." Ujar Minato dengan tawa lepas.

Naruto sontak tersedak oleh ludahnya sendiri. Sasuke terdiam merasakan tubuhnya mendingin.

"Naruto, kau tahu aku tidak pernah memparmasalahkan orientasi seksualmu. Kau menyukai laki-laki atau perempuan bagi kami sama saja, kau tetap anak kami." Setelah Minato menatap istrinya yang mengangguk lembut, ia menatap Naruto dengan lekat.

"Jika memang kau menyukai pria, dibanding Sasori atau siapapun yang mungkin saja memiliki sifat buruk, bukankah Itachi beribu persen lebih baik?" lanjut Minato. "Kami ingin yang terbaik untukmu."

Tunggu. Naruto membiarkan pikirannya mencerna setiap detail kata dalam kalimat yang baru Minato lontarkan. Itachi beribu persen lebih baik dari Sasori? Tentu saja! Tidak adil sekali menyamakan pria brengsek dengan pria baik macam Itachi.

Itachi yang terbaik untuk Naruto?

Mungkin itu menurut orangtuanya, namun tidak untuk Naruto. Jika saja orangtuanya berkata seperti itu pada Naruto sekitar setahun yang lalu mungkin Naruto akan langsung berteriak; ya, Itachi yang terbaik untukku, tanpa membantah, tanpa penolakan, ia memang mencintai Itachi kala itu.

Kakak baik hati yang membantunya saat ia dalam masalah, menyadarkannya dari betapa ia tidak bersyukur dengan hidupnya—walau mungkin itu hanya suruhan orangtuanya.

Lalu bagaimana dengan Shisui dan Obito? Juga Sasuke, ayah dari mereka. Seseorang yang awalnya sangat dingin dan kaku, tidak pernah mencurahkan perhatiannya pada anak-anaknya, seseorang yang menyimpan dendam pada mantan istrinya. Namun juga seseorang yang hangat, melimpahkan perhatian dengan canggung, menyayangi anak-anaknya—

—juga mencintai Naruto.

Tidak berbeda dengan Naruto, sekarang Sasuke juga sedang terlarut dalam pikirannya.

Jika memiliki menantu seperti Itachi.

Ucapan Minato terngiang, membuat Sasuke mengorek kembali pada masa lalunya di mana ayah mereka berkata bahwa anak seperti Itachi memang hebat, atau Itachi seperti yang diharapkan.

Jika ia harus mencari celah kekurangan dari sang kakak, maka Sasuke akan menjawab dengan mantap bahwa ia tidak menemukan setitik kekuranganpun dari Itachi. Kakaknya itu sempurna, dambaan setiap orang, dihormati semua orang.

Termasuk dirinya.

Jikalaupun ayah dari Naruto bilang bahwa Itachi adalah orang yang terbaik untuk Naruto, Sasuke tidak bisa membantahnya karena pada kenyataannya memang begitu. Bahkan jika Naruto akan memilih Itachi sekalipun ia tidak akan keberatan—mungkin.

Ia akan melakukan apapun untuk kakak tersayangnya.

"Tapi, ayah, ibu." Naruto mengumpulkan keberanian untuk menyuarakan pendapatnya. Ia bicara dengan hati-hati agar orangtuanya tidak tersinggung. "Memang benar Itachi-nii sangat baik. Ia juga banyak membantuku. Tapi—uh, bukan berarti dia yang terbaik untuk menjadi pasanganku 'kan?"

Minato dan Kushina menatap anak mereka dengan mata melebar kaget. Mungkin bukan dengan perasaan kesal seperti ketika Naruto membela Sasori dulu, namun lebih terkejut karena Naruto menatap mereka dengan gelisah.

Itachi memperhatikan Naruto dengan lekat untuk sesaat. Ia sangat yakin bahwa pemuda itu pada awalnya menatap Itachi lebih dari sekedar penolongnya, menambahkan rasa sayang untuk Itachi, begitupun sebaliknya dengan Itachi.

Namun gelagap gugup, tidak nyaman, ingin melontarkan segalanya yang ia pendam terlihat jelas di wajah Naruto. Bukan Itachi terlalu percaya diri jika ia menafsirkan bahwa Naruto menyukainya—dulu. Meski Itachi yakin sekali bahwa perasaan Naruto tidak sedalam itu padanya.

"Itu benar, Minato-san." Itachi kini ikut ambil suara. "Aku memang menyayangi Naruto, namun konteksnya sama dengan aku menyayangi Sasuke." Itachi mengusap pelipisnya. Sasuke adik kandungnya, dan Naruto sudah ia anggap sebagai adik kecilnya juga. "Aku juga yakin bahwa Naruto sudah memiliki pilihannya sendiri."

Naruto mengerjap menatap pria itu. Entah mengapa ia merasa bahwa Itachi memang dapat membaca pikiran. Pria itu memang benar-benar baik sejak awal. Naruto tidak dapat menyembunyikan senyumnya.

Ah, itulah mengapa Naruto sempat terpikat pada Itachi. Kebaikan hatinya dan juga kebijaksanaan dari seorang Uchiha Itachi.

"Hm, aku tidak pernah melarang jika memang Naruto sudah menemukan orang yang tepat untuk dirinya." Minato mendesah berat. Sejujurnya ia masih khawatir jika anaknya akan memilih orang yang tidak baik untuk kedua kalinya. "Jadi, apa orang yang kau pilih itu baik, Naruto? Kau bisa menjaminnya?"

Sasuke terdiam. Ia paham betul dengan nada penuh kekhawatiran dari Minato. Ia tidak tahu Sasori, atau garis besar permasalahan Naruto—walau pemuda itu pernah memberitahunya—yang jelas pasti itulah yang membuat desahan berat penuh rasa khawatir keluar dari Minato.

Naruto mengepalkan tangannya, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia menatap kedua orangtuanya dengan sorot mata penuh dengan keyakinan.

"Aku tidak tahu apakah menurut ayah dan ibu ia baik atau tidak. Tapi jika kalian bertanya menurut sudut pandangku, ia lebih dari sekedar baik. Ia membuatku tahu bahwa kehidupan itu menyenangkan jika dijalankan bersama. Rasanya ingin melindungi, menyayangi, dan disayangi. Bahkan rasa takut kehilangan."

Naruto mengulum bibirnya. "Aku tidak mau jika harus berpisah dari orang-orang yang aku sayangi. Ia dan anak-anaknya." Naruto terkekeh lembut. Ia menatap Sasuke dengan mata teduh, siluet kemerahan menghiasi pipi Naruto. "Maka dari itu aku membawa Sasuke ke sini agar ayah dan ibu bisa menilai pria pilihanku."

Sasuke tidak dapat menjelaskan tentang perasaannya yang membuncah saat ini. Melihat pemuda yang ia cintai, tersenyum lembut dengan mata sayu yang memancarkan kasih, pipi bersemu indah, hanya untuk dirinya.

Pemuda yang membuat keluarga kecilnya seolah sangat lengkap.

"Aku," Sasuke berusaha mengumpulkan suaranya. Naruto mengatakan semua itu, ia terkekeh ketika ia merasa kalah dengan Naruto. "Maafkan kelancanganku, Minato-san, Kushina-san." Ia menatap kedua orangtua Naruto dengan tatapan serius, walau nyatanya Sasuke juga merasakan gugup, namun ia menelan rasa gugupnya bulat-bulat.

"Aku sangat menanti saat ini di mana Naruto membuka semuanya pada saya, saat di mana saya dapat bertatap muka dengan Minato-san juga Kushina-san." Sasuke mengucapkannya dengan suara tegasnya. "Saya mencintai putra anda. Tolong biarkan ia menjadi bagian dari hidupku juga anak-anakku."

Naruto terkisap. Tidak terbayang jika Sasuke mengatakan itu pada orangtuanya, astaga Sasuke melamarku!

Walaupun terdengar mengharukan namun Naruto juga sangat malu mendengar kalimat yang Sasuke lontarkan seperti dialog dalam sebuah dorama. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang terasa panas, "Dasar bapak-bapak gombal." Gumamnya sangat pelan.

Minato dan Kushina pun tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Mereka melemaskan tubuh mereka yang tanpa sadar menegang mendengar pengutaraan Sasuke. Memang benar mereka tidak pernah menanyakan mengapa Sasuke ikut ke sini bersama Naruto. Mereka juga tidak menyangka jika anak tunggal mereka jatuh cinta pada adik Itachi.

Minato dan Kushina saling bertatapan, mereka tersenyum dan mengangguk bersamaan. "Hm, menurut ibu, Sasuke-kun orang baik, ia juga ayah yang baik jika dilihat bagaimana sayangnya Shisui dan Obito pada Sasuke-kun."

"Kalau menurut ayah," Minato berpura-pura berpikir serius dengan jari yang menyentuh dagu. Ia kemudian tersenyum lebar. "Tentu jika kau menyukai Sasuke-kun, itu sangat baik. Sasuke-kun juga terlihat sangat dewasa dan pastinya ia bertanggung jawab."

Naruto membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya berbinar bahagia menatap kedua orangtuanya dan bersiap untuk memeluk orangtuanya. "Tapi kau juga harus ingat." Naruto menghentikan gerakannya ketika sang ayah kembali bicara. "Aku tidak ingin kau menyakiti anak kami dalam hal apapun, Sasuke-kun." Minato menekan setiap katanya.

Sasuke mengangguk mantap. "Kalian bisa mempercayakan Naruto pada saya." Betapa Itachi bangga melihat adiknya yang seperti ini.

"Bagus." Dengan itu Naruto tertawa dan memeluk orangtuanya dengan erat. "Terimakasih." Bisiknya pada telinga Minato dan Kushina. Mereka hanya dapat tersenyum dengan tindakan putra semata wayang mereka.

"Kau juga harus ingat, Naruto." Kushina berujar sambil membelai lembut punggung putranya. "Sasuke tidaklah sendiri, ia memiliki masa lalu dan ia memiliki dua orang putra. Ibu harap kau menyayangi Shisui dan Obito seperti anakmu sendiri ya, tidak boleh mengabaikan mereka."

Mendengar nasehat kushina yang seperti itu membuat Sasuke tersenyum.

Bahkan Naruto menyayangi anak-anaknya melebihi dari ibu kandung mereka sendiri.


"Sebetulnya kalau aku boleh jujur, kau juga secara tidak langsung membantuku, Naruto."

Setelah berbincang dengan Minato dan Kushina, kini mereka bertigalah yang berbicara satu sama lain—menjelaskan segala sesuatunya.

Naruto mengerjap bingung. Ia kini duduk di samping Sasuke, dengan Itachi di hadapan mereka. "Maksud, Itachi-nii?"

Itachi menyamankan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia menatap dua orang di hadapannya dengan senyuman meminta maaf. "Sasuke benar-benar sangat kaku dan aku merasa bersalah karena akulah yang menyebabkan ia seperti itu. Aku yang menyebabkan penyesalan dalam hidupnya karena menikah dengan wanita pilihan ayah."

"Niisan, itu semua bukan salahmu!" Sasuke langsung menyangkal dengan keras. "Memang aku melakukannya atas tindakanku sendiri—"

"Aku tahu itu semua karena aku, Sasuke." Potong Itachi. Naruto mengerjap menatap mereka bergantian. "Tidak perlu diributkan kembali. Tapi melihatmu, Naruto, juga melihat Sasuke, kalian yang sama-sama harus berubah dari kebiasaan buruk kalian,

"Sasuke adikku yang self-centric, Naruto yang sedikit sombong. Daripada dibilang aku yang penolong sebetulnya kalian menolong diri kalian satu sama lain."

Dua pemuda di hadapannya terdiam. Itachi melanjutkan ucapannya. "Naruto, terimakasih sudah membantu Sasuke jika selama ini yang paling penting adalah keluaganya, anak-anaknya." Ia tersenyum menatap Naruto. "Juga Sasuke, kau bisa melembutkan hati Naruto yang terlalu kukuh akan pendiriannya."

Itachi memijat pangkal hidungnya sebentar, kembali memejamkan mata menunggu dua orang di hadapannya membalas ucapannya atau bicara sepatah dua patah kata, namun nihil. Ia kembali membuka suara. "Maaf jika aku terkesan memanfaatkan kalian."

Naruto menggeleng diiringi gumaman tidak setuju. "Tidak, Itachi-nii. Aku justru sangat berterimakasih pada Itachi-nii." Itachi sama sekali tidak memiliki niat jahat padanya maupun Sasuke, ia yakin itu. "Itachi-nii sangat baik padaku."

Ah, Sasuke-san menatapku. Ia memiringkan kepalanya untuk menatap Sasuke. Lalu ia menunjuk ke arah Itachi. "Aku menyukai kakakmu lho, Sasuke-san." Matanya mengerjap bersikap seolah tidak berdosa.

Sasuke dengan alis terangkat dan mata melebar menatap Naruto diam. Ia kaget—atau mungkin tidak? Ia tidak dapat bicara apapun.

Itachi yang mendengar pernyataan mendadak dari seseorang yang disukai adiknya tentu saja tubuhnya menjadi kaku. Ia merasa sebentar lagi akan mengganggu kebahagian adiknya.

"Tapi dulu."

Dua Uchiha yang tubuhnya tadi menegang karena kaget kini melemas, dengan raut wajah yang menjadi lega.

Naruto tidak percaya ia bisa membuat dua orang dengan wajah dingin itu menjadi seperti itu. Haha, rasakan itu! Ia tertawa puas dalam hatinya.

"Mengagetkanku saja," Itachi mendesah lega.

Naruto sontak menatap Itachi sinis, "Siapa suruh menjadi peran baik hati yang menolong seseorang yang sedang patah hati dan mendadak miskin!" ucap Naruto ketus. "Makanya jangan mengambil peran superhero kalau tidak mau disukai."

Itachi merasakan sebulir keringat turun di pelipisnya. Ia tersenyum takut. "Bukan seperti itu."

Sasuke menepuk pahanya, berusaha menetralkan perasaan kagetnya. "Lalu?" Naruto dan Itachi kini menatap Sasuke. "Sekarang kau bertemu dengan kakakku, tahu tentang kebenarannya." Sasuke berhenti, "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Naruto tahu jelas kalimat bagaimana perasaanmu sekarang itu untuk menanyakan apa ia masih menyukai Itachi atau tidak.

Naruto menatap langit-langit, menggumam panjang seolah berpikir dengan matang. "Hmm, bagaimana ya?"

Sebelah alis Itachi terangkat ketika memperhatikan Naruto. Ia yakin sekali bahwa jawabannya adalah tidak. Namun sepertinya sang adik ingin mendengar jawaban yang dinantikannya secara langsung.

"Itachi-nii itu baik, sangat baik! Dia membantuku ketika aku terpuruk, dia mengajariku satu hal jika kita harus mensyukuri hidup dan membuatku sadar kalau aku ini terlalu manja." Naruto pura-pura memasang wajah terkejut. "Hebat kan?"

"Namun," ia kembali melanjutkan. Namun kini ia membuang semua wajah bohongnya. "Shisui-chan dan Obito-chan lebih hebat lho!" Ujarnya Naruto dengan riang. "Mereka mengajariku banyak hal. Bersabar, menyayangi, memberi perhatian, melindungi—

—juga menyayangi ayah mereka."

Sehebat apapun Itachi di mata Naruto, namun sekarang ia tahu bahwa sebenarnya yang terhebat adalah tiga orang terkasihnya.

"Kalian selalu ada bersamaku. Saat aku ingin sekali menangis, tanpa sadar Shisui da Obito akan menghiburku dengan tingkah mereka." Naruto tersenyum lembut. "Atau ketika aku senang, aku gelisah, pikiranku kacau. Selama ini yang ada bersamaku hanya kalian bertiga."

Naruto memandang Sasuke. Kelopak mata itu menurun, biru matanya melembut. "Mungkin dua tahun tidak selama lima, sepuluh, atau dua puluh tahun." Ia tersenyum, mengutarakan perasaannya. "Tapi selama ini aku merasa sudah banyak yang aku lalui bersama Sasuke-san dan anak-anakmu."

Sasuke tanpa sadar mengulurkan tangannya, berusaha menyentuh pipi Naruto.

"Terimakasih Sasuke-san sudah bersabar menghadapiku." Naruto mendahului untuk menangkup tangan Sasuke. "Aku benar-benar merasa beruntung memiliki kalian bertiga."

Itachi melipat kedua tangannya di dada, terulas senyum di bibirnya ketika melihat Naruto menggoda Sasuke lalu menyatakan perasaannya, juga sang adik yang masih terdiam seolah tidak tahu ingin berucap apa mendengar pernyataan dari Naruto.

Itachi mendesah lega. Setidaknya untuk kali ini ia tidak menghalangi kebahagiaan adiknya. "Kau dengar sendiri 'kan jika Naruto menyukaimu?"

Sasuke mendengus dan menatap kakaknya yang sedang menggodanya. "Berisik." Gumamnya dengan nada setemgah malu.

Jika mau dibilang, Sasuke sama sekali tidak menyangka jika Naruto akan mentgatakan hal itu. Ia cukup terkejut ketika mendengar Naruto menyukai Itachi—pada awalnya-dan menyangka bahwa pemuda itu tentu akan memilih Itachi dibanding dirinya yang sudah pernah menikah dan memiliki anak dua.

Namun ternyata pikirannya sangat salah.

"Nah, Sasuke-san," Naruto bangun dari duduknya. Ia mengulurkan tangan pada Sasuke yang masih terdiam menatapnya. "Mau berkeliling rumahku? Sudah lama aku meninggalkan rumahku dan aku ingin melihat taman bunga yang selalu aku rawat."

Sasuke untuk beberapa detik masih menatap Naruto sebelum pada akhirnya menyambut uluran lengan hangat pemuda itu, ikut berdiri dan menggandeng pemuda pirang itu.

"Kalau begitu," mereka berdua beralih menatap Itachi.

"Jangan khawatirkan aku." Itachi mengibaskan tangannya. "Kalian bersenang-senanglah dengan kencan kalian sebelum dua keponakan manisku bangun."

Naruto tersenyum lebar dan mengangguk. "Itachi-nii juga selamat bersenang-senang sendiri ya." Ia mengulurkan lidahnya jahil. "Aku mau menghabiskan waktu berdua dulu dengan Sasuke-san."

Sasuke menggeleng melihat tingkah emuda yang sedang merangkul tangannya. "Dobe." Ejeknya. "Terimakasih, niisan. Aku ingin bicara denganmu lebih lama nanti."

Itachi mengangguk. Ia juga merindukan menghabiskan waktu dengan adik semata wayangnya. "Kapanpun kau mau, otouto."


"Jadi sebelum aku diusir dari rumahku, aku banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang."

Sasuke memperhatikan Naruto yang berjalan di depannya yang melangkah dengan senang, Punggung itu terlihat sangat menawan di mata Sasuke.

"Tapi aku juga suka berkebun dan menanam bunga. Aku yang merawat semua ini dulu lho, Sasuke-san!"

Nadanya terdengar sangat cerah, jenaka, seolah Naruto tidak memiliki beban apapun lagi. Seolah ada sinar baru dalam diri Naruto.

"Nah, Sasuke-san tahu bahasa bunga tidak? Itu namanya iris, makna bunganya adalah kepercayaan dan harapan. Nah, kalau yang putih ini namanya violet, artinya mengambil kesempatan untuk kebahagiaan. Dan itu—"

Sasuke melihat sisi baru pemuda itu. Di mana Naruto menunjuk pada bunga-bunga yang bermekaran dengan indah, dengan nada yang membuat Sasuke tertarik untuk terus mendengar celotehannya. Pipi itu bersemu ketika tersenyum kala menjelaskan makna bunga pada Sasuke, rambut pirang yang terlihat sangat halus ketika tertiup angin senja.

Sasuke mencintai pemuda itu. Namikaze Naruto yang selalu mengunci mata dan hatinya.

"Ayo kita menikah."

"Sa—Sasuke-san?!" Naruto sontak menatap Sasuke diiringi dengan pekikan tidak percaya. Pipi tan itu kini dihiasi rona merah yang terlihat lebih nyata. Sebelah tangannya berusaha menutupi wajahnya yang terlihat malu. "Bisakah tidak terang-terangan begitu?"

Sasuke maju, melangkah mendekati pemuda yang telah mengambil hatinya itu. Sasuke dengan berani menyingkirkan tangan Naruto yang menutupi wajah, menggenggam sebelah tangan pemuda itu dan menatap dalam pada manik biru indah milik Naruto.

Diam. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat membuka suara. Naruto terlalu gugup ketika melihat bola mata hitam Sasuke yang seolah mengunci pandangannya, membuat dadanya berdegup hingga pemuda itu bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Tidak berbeda dengan Sasuke yang terlarut dalam mata safir itu. Mata yang jernih, bergetar karena gugup dan terlihat menantikan sesuatu—menantikan Sasuke membuka suara atau untuk mengambil tindakan yang lebih jauh.

Angin berhembus menimbulkan suara gemerisik daun, membawa kelopak-kelopak bunga yang rapuh mengikuti laju angin. Membawa aroma semerbak disekeliling mereka.

Sasuke harap waktu berhenti saat itu.

Tidak.

Tidak, Sasuke tidak akan membiarkan waktu berhenti. Ia ingin waktunya tetap berjalan bersama Naruto juga kedua putranya.

"Menikahlah denganku." Sasuke menarik napas dalam, mengumpulkannya di dada sebelum menghembuskannya pelan. "Hiduplah bersamaku, dengan Shisui juga Obito. Biarkan aku menjagamu, biarkan kami menjadi alasanmu berbahagia."

Naruto terpaku ketika pria itu berucap dengan sungguh-sungguh. Angin membelai wajah tampan pria itu, membuat surai raven Sasuke bergoyang mengikuti tiupan dari angin. Mata yang selalu terlihat tajam itu kini seolah melembut. Tangan pria itu dengan hangat menangkup kedua telapak tangan miliknya,

"Aku ingin kau menjadi bagian dari keluarga kecilku, Naruto. Keluarga kecil yang selalu aku impikan."

Alis Naruto terpaut, bibirnya bergetar dengan mata berkaca-kaca. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya menahan agar isakan tidak keluar. Naruto menarik tangannya dari genggaman Sasuke, ia beralih untuk menyentuh dada Sasuke dengan telapak tangannya.

Selangkah maju, Naruto mulai menyandarkan dahinya pada dada bidang Sasuke, tangannya meremas baju yang Sasuke kenakan. Isakan mulai terdengar keluar dari bibirnya. Dengan suara parau ia berusaha bicara, "Sasuke-san,"

Sasuke tersenyum sendu pada pemuda yang menyandarkan diri padanya. Sebelah tangannya terangkat untuk menepuk pucuk kepala Naruto sebelum ia membawa pemuda itu dalam dekapannya yang lebih erat.

Sasuke sedikit menundukkan kepala, membuat surai pirang Naruto menggelitik wajahnya. "Naruto," panggilnya dengan nada lembut. "Aku mencintaimu."

Naruto semakin menenggelamkan wajahnya pada dada Sasuke, tidak mempedulikan pakaian pria itu yang basah karena tangisannya. Naruto mengangguk lemah, "Aku—" suaranya tertahan. "—juga mencintai, Sasuke-san."

Sasuke hampir saja memeluk pemuda itu dengan lebih erat jika saja Naruto tidak melepaskan pelukan mereka.

Sasuke melihat pada wajah Naruto. Jejak air mata yang membekas di pipinya yang merona, pucuk hidungnya yang memerah memperindah paras Naruto. Bola mata indah yang membuat Sasuke terpana, terhias oleh air mata di pelupuk matanya.

"Maka dari itu," nada suara yang terdengar lebih serak dari biasanya. Naruto mengucap dengan sekali tarikan napas. "Biarkan aku menjadi bagian dari hidup Sasuke-san, juga Shisui dan Obito."

Wajah terkejut Sasuke langsung melembut. Sasuke tersenyum, matanya berbinar bahagia. Sasuke tidak bisa menjelaskan rasa sesak di dadanya karena terlalu bahagia.

Ia menangkup wajah Naruto, membawanya mendekat pada wajahnya. Ia menempelkan dengan lembut dahinya pada dahi Naruto, tangan kirinya memegang belakang kepala pemuda pirang itu.

Sasuke memejamkan mata sesaat. Naruto tersenyum melihat pria tampan itu sedikit bergetar—entah karena terlalu bahagia atau menahan tangis. Ia menggesek lembut dahinya pada dahi Sasuke. "Sasuke-san, aku mencintaimu.

"Ah,"—aku tahu. Sasuke tidak perlu jawaban lagi, semua telah terjawab.

Di bawah langit senja, angin bertiup lembut membawa kelopak bunga yang rapuh terbang bersamanya. Gemerisik dedaunan yang terdengar menenangkan membuat Sasuke dan Naruto memejamkan mata nyaman, merasakan deru napas yang bertautan.

Sebelum malam benar-benar turun, dengan lembut Sasuke membawa bibirnya untuk menyentuh lembut bibir Naruto. Mengulum lembut bibir bawah pemuda yang dicintainya, menciptakan lengguhan indah dari kedua belah pihak.

Hembusan angin membawa doa mereka untuk membuat keluarga kecil yang baru.


SELESAI


"Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau!"

Sudah sekitar sepuluh menit Obito meraung-raung melontarkan kata penolakan ketika Sasuke mengajak mereka pulang. Obito benar-benar membuat mereka kewalahan.

"Tidak mau! Obito gak akan pulang kalau Nalu-tan gak ikut!" Ia menjerit pada sang ayah. Ia dengan kasar mengusap matanya yang berlinangan air mata. "Nalu-tan halus pulang sama Obito."

Tidak beda dengan adiknya, sang kakak—Uchiha Shisui—sedari tadi mencengkram erat ujung baju Naruto tanpa bicara sepatah katapun, namun ia tidak ingin beranjak sedikitpun dari sisi Naruto.

Naruto hanya dapat tersenyum pasrah.

"Nanti 'kan bisa bertemu dengan Naruto lagi." Sang ayah untuk kesekian kalinya malam itu kembali membujuk. "Anak ayah pintar, ayo pulang."

"Touchan pulang sendili! Obito mau sama Naluto!"

Entah mengapa Sasuke merasa denyutan nyeri di hatinya ketika Obito secara tidak langsung mengusirnya.

"Bagaimana jika Sasuke-kun menginap saja di sini?" Kushina yang tidak tega melihat Obito menangis akhirnya memberikan usul. "Jadi Shisui dan Obito bisa tidur di sini malam ini."

Sasuke menampakkan raut wajah bersalah. "Maaf, Kushina-san, sepertinya tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkan rumah dan ada beberapa hal yang harus aku kerjakan." Sasuke menatap kedua puranya iba. "Tapi aku juga tidak mau meninggalkan kedua putraku di sini. Aku—tidak bisa jauh dari anak-anakku."

Sebetulnya ketika hendak pulang, Sasuke dan Naruto telah berbincang-bincang dengan Minato dan Kushina tentang bagaimana hubungan mereka ke depannya. Tentu saja mInato tidak melarangnya seperti yang ia ucapkan sebelumnya.

Namun kepala keluarga Namikaze itu meminta agar Naruto kembali tinggal di kediaman Namikaze.

Bukannya Naruto tidak senang kembali kerumah. Namun—"—seperti ini jadinya," ia mendesah lelah.

"Begini saja." Naruto dengan lembut menepuk kepala Shisui yang masih setia memeganginya. Ia berjongkok, lalu memanggil Obito untuk mendekatinya. Ketika dua anak itu sudah berada di dekat Naruto, pemuda itu langsung mendekat mereka.

"Kita buat perjanjian."

"Perjanjian?" Shisui menatap Naruto heran, begitu juga dengan Obito.

"Untuk sekarang, coba Shisui-chan dan Obito-chan menurut dengan ayah kalian." Sasuke yang merasa diikut sertakan mulai mencermati baik-baik. "Touchan kalian mau membacakan kalian cerita sebelum tidur, lalu mengajak kalian bermain bongkar pasang, dan menemani kalian tidur."

Sesaat mereka terlihat bersemangat, namun mereka kembali merenggut. "Lalu Nalu-tan gimana?"

Naruto tersenyum, "Aku tinggal di sini dulu ya?" Shisui dan Obito langsung menggeleng keras. "Kalau kalian tidak nakal, menurut apa yang ayah kalian katakan, dan mengikuti ucapan ayah kalian, aku janji tidak akan pernah meninggalkan kalian lagi."

Shisui mengerjap mendengarnya. "Tidak akan pergi selama-lamanya? Tetap sama kami?"

Naruto mengangguk mantap. "Tentu saja! Aku janji."

Shisui dan Obito saling bertatapan, mereka mengangguk kemudian menatap Naruto. "Okay!"

Naruto tersenyum senang. Ia menautkan kelingkingnya pada kelingking mungil Shisui dan Obito.

Dua anak kecil yang telah memikat hati Naruto itu beralih untuk mencium pipi pemuda yang mereka sayangi. Dengan suara kecupan yang terdengar sangat jelas, Shisui dan Obito kemudian tertawa.

"Janji ya gak akan pergi lagi!"

Naruto merasa tidak ingin meninggalkan mereka.


Hari ini Naruto berjanji untuk bertemu dengan dua sahabatnya—setelah ia yang memaksa, Gaara dan Kiba.

Di salah satu kafe yang terbilang cukup minimalis, namun dengan suasana tenang membuat Naruto memilih tempat inilah yang akan dipakai mereka bertiga mengobrol.

"Akhirnya kau pulang juga!" Kiba menepuk punggung Naruto beberapa kali, membuat si pirang tertawa dengan ringisan kesakitan. "Aku kira kau tidak mau pulang lho."

"Untunglah dia masih pakai otak dan bersedia meminta maaf pada orangtuanya." Naruto menjeritkan rasa kesalnya mendengar kalimat Gaara yang menusuk—walau sebetulnya Naruto tahu Gaara bukanlah orang yang jahat.

Naruto mengulum bibir bawahnya, "Jadi, ayah menceritakan semuanya padaku." Ia bergumam, lalu menatap Gaara dan Kiba bergantian. "Kalian juga ikut dalam rencana ayah mengawasi Naruto walau aku mengusirnya 'kan?"

Kiba tertawa terbahak, begitupula dengan Gaara yang ikut tertawa. Mereka tidak tahu bagaimana Naruto menamai rencana ayahnya dengan nama aneh begitu.

Gaara berdehem kecil untuk menghentikan tawanya. "Tentu saja kami ikut dalam rencana ayahmu." Ia menyilangkan tangannya di dada, kemudian mengangkat wajahnya angkuh. "Kami tidak bisa membiarkan si ceroboh berkeliaran sendirian."

Naruto tersenyum pahit. Ah, sudah lama tidak bertemu, Gaara semakin menusuk saja ucapannya.

"Sebenarnya sih dia khawatir sekali padamu lho, Naruto."

Kiba melirik jahil pada Gaara sambil menyunggingkan senyum mengejeknya. Gaara sontak langsung melotot ke arah sahabat bersurai coklatnya itu—walau sebetulnya pipi Gaara memerah karena malu.

Tentu saja Naruto tahu kalau sebetulnya baik Gaara dan Kiba sangat peduli padanya. Walau Gaara kala itu terdengar ketus tidak ingin membantu Naruto dan malah menyuruh Naruto untuk menghadapi masalahnya sendiri, sebetulnya pemuda bersurai merah itu sangat peduli pada Naruto.

Gaara ingin Naruto berubah, tidak selalu mengandalkan uang dari orangtuanya, tidak selalu menghamburkan uang dan hidup hanya bersenang-senang tanpa memikirkan apapun. Gaara tidak mau selamanya Naruto menjadi anak yang manja.

Berbeda dengan Kiba yang memang juga ingin menolong Naruto—merubah sifat buruk pemuda itu. Namun Kiba lebih tidak tega melihat Naruto kesuahan dan hampir menangis di hadapannya kala itu.

Naruto hampir saja meneteskan air mata haru jika ia tidak segera menghapusnya dengan jari. Ia melihat Kiba yang masih meledek Gaara sementara Gaara menyangkalnya dengan wajah memerah.

Dua sahabatnya ini memang yang terbaik.

"GAARA! KIBA!"

Naruto berteriak nyaring, membuat beberapa staff kafe dan pengunjung menatap ke arah mereka. Belum sempat Gaara mengomeli Naruto, pemuda pirang itu sudah terlebih dulu menerjang Gaara dan Kiba dalam pelukannya.

"Terimakasih ya. Kalian teman-teman yang baik."

Gaara dan Kiba terpaku sebelum akhirnya tersenyum dan menepuk pundak Naruto.

"Apapun untukmu, baka kinpatsu."


Firstly, saya mau ucapin Happy SasuNaru Day 2017!

Dan saya mau mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada readers yang selalu mengikuti fanfik ini walau saya sadar *cough* updatenya lama gila, dan jujur saya masih kurang puas sama fanfik ini namus saya sangat berharap readers-san terhibur dengan fanfiksi ini.

Saya benar-benar berterimakasih, setiap liat review rasa bersalah langsung muncul kenapa saya tidak bisa jadi author yang sayang sama readers dan fanfiknya *cry*

Tapi kalian semua tetap mau baca dan review, saya benar-benar terharu.

As I said in the previous chap, ini adalah chapter terakhir ya dari PNC dan saya harap readers semua merasa puas dengan finalnya—kalau saya sih enggak—dan terimakasih banyak untuk dukungannya!

I'll miss Shisui dan Obito di sini, juga om Sasuke dan dedek Naru yang jadi nanny *nangis*

Semoga Shisui dan Obito dikaruniai adik. Aamiin.

And I'll miss you all. Terimakasih sudah menyukai fanfik ini, saya benar-benar senang melihat komentar dari para readers. Kalau bisa saya mau kasih satu satu hadiah /apaayaku. Love you all!

Sampai ketemu di fanfiksi lain, terimakasih atas dukungannya!

With love and kiss,

Harayuki

Thank you so much!