Tahun lalu di saat libur semester ini, mungkin kini aku tengah menikmati liburanku di kota romantis seperti Paris, atau menikmati keindahan di Swiss atau paling dekat aku akan bersantai ke negeri seberang, Korea Selatan. Paling tidak jika aku tidak ke luar negri, aku pasti sedang menikmati keindahan pantai di pulau Hateruma. Aku akan menghabiskan waktu berliburku berbelanja atau liburan ke tempat yang aku inginkan.

Tapi jangan salah, aku tak pernah besar pasak dari pada tiang. Itulah enaknya memiliki orang tua yang memiliki kekayaan yang berlimpah. Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Bahkan bila aku sudah kehabisan uang, Ayahku akan selalu mengisi debit cardku dengan jumlah yang besar, sehingga aku bisa berbelanja sepuasnya dan kesemua tempat yang aku suka.

Aku memang seorang laki-laki, namun aku memiliki kebiasaan yang aneh. Aku senang berbelanja dan menghabiskan uang seperti kebanyakan perempuan-perempuan. Tapi jangan salah, aku bukanlah banci asal kalian tahu! Mungkin bisa di sebut kalau aku ini pria metroseksual mungkin?

Hidup bergelimangan harta milik orangtuaku merupakan sesuatu yang paling menyenangkan dalam hidupku. Kegilaanku belanja barang bermerek kelas atas dimulai sejak aku masih kecil. Ibuku selalu membelikanku barang-barang branded dengan harga selangit dan kualitas yang terbaik untukku. Oh mungkin saja kulitku bisa alergi jika tidak memakai barang ber-merk.

Untung saja Ayahku merupakan pemilik sebuah hotel berbintang lima di Jepang, dengan banyak cabang yang tersebar di kota maju seperti Jepang ini. Selain itu Ayah juga memiliki beberapa Resort di luar negeri, seperti Thailand misalnya, atau juga di Hawaii. Hey, jangan pikir bisnis Ayahku hanya disekitar lingkup Jepang saja! Ayahku juga seorang pemilik perusahaan besar ternama di Tokyo.

Yah, mungkin itulah yang menyebabkan Ayah dan Ibu lebih sering tidak pulang kerumah yang luasnya delapan kali Saitama Super Arena ini. Tapi tak masalah sih selama Ayah masih memberikanku uang yang banyak untuk memuaskan hasrat berbelanja dan liburanku ini.

Tapi, libur semester ini benar-benar bencana bagi tuan muda Namikaze Naruto ini! Bisa mati aku!

.

.

.

.

.

Disclaimer :

Masashi Kishimoto (always DDX)

Pairing:

SASUNARU! Slight SasoNaru

Tapi sampai chap depan tuan muda bungsu Uchiha belum nampak xD

WARNING!

Shonen-Ai! AU. Lill' bit OOC maybe? Maybe it'll be weird fanfic. SO IF YOU DON'T LIKE IT, PLEASE DON'T READ :P

.

.

.

= Haraguroi Yukirin =

.

oOo

Perfect Nanny Candidate

oOo

.

.

.

Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Kini aku, Namikaze Naruto, pewaris tunggal dari Namikaze Minato sedang duduk di sofa ruang keluargaku yang nyaman dan empuk ini. Namun sofa ini terasa sangat keras di bokongku. Mungkin efek dari Ayah yang memandangiku seolah aku ini pencuri .

"Namikaze Naruto!" Baru saja aku berniat membuka mulutku untuk berbicara, ternyata Ayah telah mendahuluiku. Aku menatap kedua orangtuaku dengan pandangan ketakutan.

"Y-ya, Tou-sama?" Manik biru Ayahku yang sama sepertiku itu sedang menatapku dengan penuh kemarahan. Ugh, rasanya aku mau kabur ke Los Angles saja kalau begini.

"Apa maksudmu menghabiskan seluruh uang yang kuberikan hanya dalam waktu tiga hari saja hah?" tanya Ayah sarkastik. Astaga, lihat mata Ayahku yang memelototiku ini. Jahat sekali dia jadi Ayah.

"Tapi, Tou-sama, aku bahkan pernah menghabiskan uang yang Tou-sama berikan padaku hanya dalam sehari.." Aku berhenti bicara ketika Ayah makin memelototiku, tubuhku yang tadinya duduk tegap kini merosot melemah. "Tou-sama tidak pernah marah padaku tentang seberapa banyak uang yang kupakai." Lanjutku lirih.

Kulirik kembali Ayah yang kini tidak lagi memelototi calon pewaris tunggalnya ini. Dia menghela nafas. "Tapi yang kau habiskan sepuluh juta yen dalam dua hari Namikaze Naruto!" erang Ayah frustasi. Tubuhku menegang, keringat dengan manisnya meluncur dari pelipisku.

"A-aku kira, Tou-sama memberikannya padaku sebagai hadiah liburan semester pertamaku sebagai mahasiswa." Gagapku. Aku melihat Ibu menutup mulutnya, menahan tawa melihat putera semata wayangnya ini ketakutan.

Lagi-lagi, Ayah memelototi aku, anak kesayangannya ini. Ugh. "Aku mengisi debit card-mu dengan uang itu, aku pikir aku tidak usah repot-repot mendengarmu merengek minta uang untuk ke Rio tahun ini Naruto!" erang Ayah frustasi.

Ya, memang, aku sudah jauh-jauh hari merencanakan berlibur ke Rio tahun ini. Tepatnya Rio de Jainero di Brasil. Aku sangat ingin kesana sejak terakhir kali aku menonton film Rio. Tapi ini kan salah Ayah yang seenaknya memberiku uang tanpa menjelaskan kalau itu uang untuk persiapan liburanku ke Rio! Kenapa juga mulut manis ini tak bisa bicara?

"T-Tou-sama.."

"Kau malah menghabiskannya untuk berbelanja dan mengajak teman-teman barumu itu liburan ke Singapore! Sialnya, kau mentraktir semua temanmu itu Naruto!" cerocos Ayahku. "Dan lagi kau tidak mengajak Gaara dan Kiba!"

"A-aku ingin mengajak mereka kok," belaku. "Mereka saja yang menolak ikut."

"Kau memilih menghabiskan uang sebanyak itu untuk membawa teman-teman barumu yang tak jelas itu! Mereka itu berandalan yang hanya akan memanfaatkanmu, Naruto." Ayah berteriak dengan lantang. Sialnya, aku tidak bisa berkutik lagi.

Aku menatap Ibuku dengan mengiba, tolonglah Kaa-sama, tolong aku.

Seakan mengerti tatapanku, Ibu tersenyum padaku, lengan Ibu mengelus pundak Ayah. "Sudahlah, Minato. Semakin kau marah semakin kau cepat tua, Anata." Ujar Ibu. Ah, Ibu benar-benar penyelamat. "Lagipula kau juga salah, tidak memberitahukannya kepada Naruto, sehingga dia pikir itu memang hadiah untuknya."

Ya Tuhan, suara Ibu seperti suara dari Surga bagiku. Dari kecil Ibu memang selalu memanjakanku. Aku sayang padanya pokoknya.

Ayah hanya merenggut kesal. "Padahal aku sudah memberinya hadiah." Gumamnya kesal. "Tapi Namikaze muda, kau jangan senang dulu! Tahun ini, tak ada liburan ke Rio!"

Mulutku terbuka lebar begitu juga dengan bola mataku ketika mendengar perkataan Ayah. "T-tapi, Tou-sama. Bukankah Tou-sama sudah mengizinkanku untuk liburan ke Rio?" protesku.

"Kau sendiri yang membuat liburanmu batal." Ayah menyalahkanku. "Aku tidak akan memberikan uang lagi untuk liburan ke luar negeri tahun ini! Kau, Namikaze muda, sebaiknya kau habiskan saja libur semester ini dengan bermain di taman kota."

Setelah Ayah menunjuk wajahku, ia langsung pergi meninggalkanku yang masih berduka karena tidak jadi liburan ke Rio. Aku menatap memelas pada Ibuku.

"Sebaiknya kau turuti saja kata Chichi-mu, ya, Naru-chan." Ibu mengelus surai pirangku kemudian ikut pergi meninggalkanku. Hancur sudah rencana liburanku ke Rio dan melihat Christ the Redeemer yang sangat ingin kulihat sejak aku menonton Rio itu.

Oh, Tuhan. Kenapa tahun ini begitu mengenaskan?

.

.

-oOo-

.

.

Aku meneguk sesuatu yang ada dalam gelas yang sedang kugenggam sekali teguk, sehingga menyisakan setengah dari isi gelas yang kupegang ini. Aku memutar-mutar gelas ini tepat di hadapan mataku. Rasanya pikiranku tidak jernih.

"Aku, huks.. Tou-sama jahat sekali padakuuu!" rengekku. Aku kembali menegak yang ada dalam gelas yang kugenggam ini.

"Berhenti minum orange-squashmu seakan kau sedang menegak liquor, Naruto." Ucap sahabatku Gaara dengan sarkastik. Kulihat dia sedang melipat kedua lengannya di dada, mata jadenya menatapku ilfil. Aku cemberut melihatnya.

"Aku kan sedang menghayati rasa sakit hati disini, Gaara." Ucapku sambil menepuk-nepuk dadaku.

"Maa, Naru-chan. Lagipula tidak bisa ke Rio tahun ini bukan berarti kiamat." Aku menatap Kiba yang duduk di sebelahku sebal. Bukan kiamat sih, tapi bencana. "Kita bisa ke Disney Land Tokyo bukan?"

Aku memutar bola mataku jengah. "Ayolah, Kiba! Kita sudah sering kesana. Paling tidak setiap akhir pekan kesana. Sungguh liburan semester yang tidak fablous."

"Sesekali jadilah orang biasa Naru, jangan terus menerus menjadi tuan muda yang manja." Sontak aku menatap Gaara tajam Dia mengataiku apa?

"Aku tidak manja Gaara." Rengekku. Gaara menggelengkan kepalanya seolah tidak setuju dengan perkataanku. Aku memang tidak manja kok. Ini adalah naluri dari diriku saja.

"Sudahlah, jangan saling melempar tatapan macam itu." Lerai Kiba. "Bagaimana jika kita ke Aeon Mall? Kudengar ada butik baru disana."

Aku berbinar mendengar ucapan Kiba. Yah, bisa kubilang Kiba juga sama sepertiku, sopphaholic. Walau tidak separahku. "Ayo! Sekarang saja!" ujarku.

"Oh, ayolah. Apakah kalian tidak bisa menghabiskan waktu untuk tidak berbelanja?" tanya Gaara bosan. Ya, bungsu Sabaku sahabatku ini memang tidak memiliki hobi yang sama denganku dan Kiba. Dia ini melenceng sendiri.

"Memang kau ada rekomendasi tempat bagus untuk cuci mata dimana?" tanyaku pada Gaara. Aku yakin tempatnya pasti membosankan.

"Perpustakaan kota."

HELL NO! No way! Lihat wajah datarnya itu yang dengan santainya merekomendasikan perpustakaan kota. Memang aku apa?

"Tidak!" tolakku. Kulihat mimik muka Gaara yang nampaknya biasa saja. Mungkin dia sudah tahu kalau aku akan menolak idenya itu.

"Cari tempat lain lagi?" usul Kiba.

Aku menggeleng, "Usul Kiba lebih ba—" belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, aku merasakan sesuatu di sakuku bergetar. Aku mengambil I-phone yang tadi berada di sakuku. Ada panggilan masuk.

"Halo."

"Naru, kau dimana?"

"Di cafe dekat taman kota."

"Dengan siapa?"

Aku menatap Gaara dan Kiba. "Dengan Gaara dan Kiba. Ada apa?"

"Temui aku di apartementku, oke?"

Sambungannya terputus. Aku melihat layar I-phoneku sejenak, kemudian melihat Kiba dan Gaara bergantian. "Aku tidak bisa ikut kalian."

"Sasori?"

Aku mengangguk, "Dia memintaku menemuinya." Kiba dan Gaara menatapku bosan.

"Ayolah, Naru. Dia itu orang brengsek." Aku mendelik pada Kiba. Berani sekali dia mengatai kekasihku brengsek.

"Sasori tidak brengsek!"

"Dia itu ketua anggota gankster, Naruto! Kau tahu sendiri dia sering balapan liar kan? Aku yakin seratus persen kalau dia juga seorang pengguna!"

Aku menggebrak meja mendengar ucapan Gaara. "Hentikan perkataan lancangmu, Gaara!" aku refleks langsung berdiri dan menunjuk wajah porselen Gaara. "Sasori bukan orang seperti yang kalian pikirkan!"

Aku menyambar tas keluaran terbaru Louis Vuitton milikku,kemudian melangkahkan kaki meninggalkan kedua sahabatku.

"Lihat saja nanti Naruto, kau akan tahu bahwa Sasori hanya memanfaatkanmu!" mengabaikan teriakkan Gaara yang membuat emosiku memuncak, aku lekas melangkahkan kakiku keluar cafe ini.

.

.

-oOo-

.

.

"Kau ini! Kenapa bisa jadi begini?" omelku pada kekasihku ini. Sesampainya aku di apartement Sasori, sungguh dia membuatku terkejut. Wajah kekasihku ini penuh dengan lebam.

Sasori meringis ketika aku mengompres lukanya. "Tadi aku menolong orang yang kerampokan."

Aku menatapnya menyelidik. Hah, percuma saja. Wajahnya terlihat sama saja, tidak berdosa.

"Aku ke dapur sebentar mengambil es batu." Sasori hanya mengangguk pelan.

Aku melangkahkan kakiku ke dapur apartement Sasori ini. Ya, sebetulnya aku juga turut ikut dalam pembelian apartement milik Sasori ini. Tidak mungkin kan aku tidak membantu kekasihku ini?

Aku membuka freezer. Sedikit merasakan perasaan aneh juga ketika melihat banyak sekali ice cream dalam kemasan di kulkas milik Sasori ini. Pasalnya, kekasihku bukanlah orang yang suka makan makanan manis.

"Sasori, ini ice cream milik siapa?" teriakku dari arah dapur.

"Itu sengaja kubelikan untukmu." Aku mengernyit mendengar jawaban Sasori. Tumben sekali ia perhatian padaku.

Aku tersentak saat merasakan pundakku dirangkul oleh seseorang, Sasori ternyata. Aku menatapnya bingung.

Sasori tersenyum padaku. "Naru, kau tahu Minerva Meegelli itu?"

Aku mengangguk. "Tentu. Ada apa memang?"

"Boleh kupinjam uangmu dulu? Aku ingin sekali membelinya." Ujarnya dengan santai. Aku mengernyit. Meminjam? Pasti akal-akalannya lagi.

"Entahlah. Aku rasa tidak bisa."

Sasori memegang kedua pundakku, matanya menatap lekat kearah mataku. "Kau mencintaiku, 'kan?"

Selalu seperti ini jadinya. "Hah, kau pakai saja uangku, tidak usah kau pinjam. Tapi aku tidak bisa membantu banyak, Tou-sama sedang menghukumku."

Kulihat Sasori yang tersenyum senang. Selalu begini jadinya, aku tidak bisa mengatakan tidak kepada orang ini.

.

.

-oOo-

.

.

Lagi-lagi aku di hadapkan dalam situasi seperti ini. Berhadapan dengan kedua orangtuaku tercinta di tempat yang sama dengan kasus terakhirku dipanggil oleh Ayah.

"Kau tahu apa kesalahanmu kali ini, Namikaze Naruto?" Aku menatap Ayah yang nampaknya sangat marah, kemudian menggeleng lemas. "Kau memberikan uang kepada kekasihmu yang brengsek itu secara cuma-cuma!"

Aku menggigit bibir bawahku. "A-aku meminjamkannya, Tou-sama." Bohongku.

"Berani berbohong rupanya." Ujar Ayah sarkastik. "Kau pikir aku bodoh?"

Aku menundukkan kepalaku mendengar suara Ayahku yang makin meninggi. Aku rasa Ayah benar-benar marah kali ini.

"Aku tidak pernah peduli akan orientasi seksualmu yang menyimpang!" ujar Ayah. "Tapi kekasihmu seorang bajingan dan brengsek. Tidakkah otakmu bekerja ketika mencari kekasih?"

"Sasori bukan bajingan, Tou-sama!" bantahku.

"Diam kau anak tak tahu diri!" Bibirku bergetar. Ayah membentakku. Dia membentakku dengan kata-kata seperti itu.

"Sasori yang kau pacari itu dia hanya memanfaatkanmu! Dia seorang bajingan yang bergantung sebagai parasit padamu, dia seorang pengguna!"

Aku tertohok mendengar ucapan Ayah. Sama persis dengan yang Gaara katakan padaku tempo hari. Tapi, Sasori tidak mungkin memanfaatkanku!

"Sasori tidak mungkin memanfaatkanku!"

"KAU!" aku tahu Ayah hendak menamparku, namun ditahan oleh Ibu. "Sudahlah, Minato. Tidak perlu menggunakan kekerasan." Ujar Ibu.

"Anak ini. Pasti bocah brengsek itu telah mencekokkan kokain padamu!" Ayah menatapku geram. "Aku tidak keberatan kau menghabiskan uangku seberapa banyak. Segala yang kau minta, kami turuti tanpa pikir panjang! Kami tidak pernah mempermasalahkan apapun selama ini! Tapi kau, sebagai anak bisa-bisanya kau membangkang pada kami demi bajingan tolol itu!"

"Naruto," aku menatap Ibu yang memanggilku dengan lembut. Bisa kulihat kesedihan nampak dimatanya, namun Ibuku itu tetap tersenyum tipis. "Tinggalkan Sasori, dia bukan orang baik untukmu. Kami tidak melarang kau ingin memiliki kekasih wanita atau pria, tapi juga kami tidak ingin kau memiliki kekasih yang tidak benar seperti dia."

Aku menggeleng, "Sasori orang baik. Tidak mungkin Sasori memanfaatkanku atau dia seorang pengguna." Elakku.

"Masih membelanya ternyata." Ucap Ayah dengan nada kesalnya. "Kau masih mau dengannya yang jelas-jelas bejat itu?" aku mengangguk mendengar pertanyaan menusuk Ayahku.

"Baiklah, kau boleh bersamanya." Aku membelalakkan mataku tak percaya. "Sebagai gantinya pergi kau dari rumah ini, bocah tak tahu diri! Aku tidak mau punya anak yang memiliki kekasih bajingan pecandu begitu."

Aku tertohok mendengarnya. "T-Tou-sama!"

"Minato, sebaiknya kau piki—"

"Pergi kau Namikaze muda! Aku tidak mau melihatmu lagi!"

Aku mematung melihat Ayahku dan Ibuku yang lagi-lagi pergi meninggalkanku sendiri. Kali ini berbeda. Ayahku benar-benar marah padaku, dia dengan jelas mengusirku dari rumah ini. Mereka tidak lagi membutuhkanku.

"Tou-sama.. Kaa-sama.."

.

.

.

To be next chapter..

Pojokan Yukirin

Hiaaah.. Demi apa saya buat beginian DX masa iya Naru metroseksual DDX dan lagi kenapa kayak angst gitu bawahnya? DX

Sebenernya saya dapet ide nulis beginian karena baca novel yang ada di perpus sekolah, lupa judulnya tapi X3

Oh ya, buat Sasuke-kun yang tertjintah, maaf ya ga bisa dimunculin di chapter sekarang. Belum waktunya si Sasucakep keluar, tapi nanti kita buat kejutan buat Saskeeh~ xD

Sebenernya saya pas nulis ini awalnya nge-feel banget, tapi makin kebawah kok makin ngaco yak? -_- mungkin karena makin kebawah makin bingung ini harus gimana DX

Ada yang mau protes kah Sasori disini jadi pacarnya Naruto? Ahaai, si Sasu sih yang protes DX

Satu lagi, met milad ya buat kakanda kasep Uchiha Sasuke *lopelope*

Makin langgeng sama sang 'istri', wokeh x3

Makasih buat semuanya yang udah mau baca~ :'D

Sampai ketemu di chapter depan minna~ ^w^

Review pleeeeaseee~ -/\-