Naruto belongs to Masashi Kishimoto


Alternative Universe Fiction!Fantasy/Fairy Tale

CALL OF NATURE

Written by: Waffle R. Dewey

III. Akhir yang Sebenarnya

Mereka berdua memulai kembali hari-hari yang baru, bersama-sama melestarikan kehidupan hutan yang mereka tinggali hingga penghujung musim dingin, itulah satu waktu dimana saat-saat kritis keduanya pun tiba.

Tanpa sadar Hinata memegang erat jemari Naruto begitupula dengan pria itu, keduanya memandangi horison di awal bulan baru sembari memejamkan mata, menghayati setiap detik yang mereka lalui sekarang.

"Aku siap," ucap Hinata agak berat sementara itu tak ada respon dari Naruto.

Angin semilir hadir bersama kehangatan yang mencapai hingga penjuru hutan, salju maupun es sudah lama mencair sepenuhnya menjadi air, bibit rumput maupun dedaunan mulai bermunculan—awal musim semi.

Gadis Elf itu menghirup nafas panjang, udara segar masuk memenuhi relung dadanya. Tak ada yang terjadi, setelah terdiam selama beberapa puluh menit tak ada yang terjadi. Naruto dan Hinata membuka matanya dan saling bertukar pandang sebelum akhirnya tertawa senang.

"Aku tidak apa-apa. Aku masih disini. Naruto-kun, lihat aku masih disini!" ucap Hinata dengan riangnya.

"Hinata." Naruto menatap bahagia keberadaan Hinata yang tak terhapuskan meski musim telah berganti.

"Naruto-kun, aku bisa disini selama mungkin, aku bisa berada disini selamanya," lanjut Hinata.

"Syukurlah," balas Naruto singkat.

Karena terlalu senang gadis Elf itu sampai memeluk Druid muda di sampingnya. Lama keduanya terdiam sebelum akhirnya sadar apa yang mereka tengah lakukan. Naruto mendorong pelan kedua bahu Hinata dan gadis itu mendorong pelan dada Naruto. Keduanya saling mengalihkan pandang, menyembunyikan wajah masing-masing yang dibubuhi semburat merah.

"M-Maafkan aku … a-aku terbawa suasana," kata Hinata setelah mereka terdiam agak lama.

"Aku … juga sedikit terbawa … kurasa …" Naruto menggaruk kepalanya mengutuk betapa bodohnya sikapnya tadi.

"Tapi ada yang lebih penting sekarang, banyak yang ingin aku perlihatkan padamu!" lanjut Naruto penuh semangat.

Naruto memegang pergelangan tangan Hinata dan membawanya kembali menuju hutan. Suasana disana sudah berubah telak dari sebelumnya, kini perjalanan mereka dinaungi dengan atap bibit dedaunan baru yang mulai tumbuh menghijau. Hinata menatap kagum mendapati perasaan hangat dan damai kini menyelimuti hutan. Beberapa hewan bangun dari hibernasi mereka, beberapa yang lain keluar dari sarang untuk memulai aktivitas baru, hewan-hewan seperti rusa, aneka ragam burung, bahkan hewan imut seperti kelinci tak ingin melewatkan kesempatan untuk keluar menikmati awal musim semi.

"Indahnya." Hinata mengucap kagum pemandangan sekitarnya.

"Dalam beberapa minggu hutan ini akan kembali lebat seperti sediakala. Bagaimana, apa kau senang? Semua berkatmu yang membantuku sepanjang musim dingin," kata Naruto sembari tersenyum lebar.

Hinata maju satu langkah di depan Naruto. Ia masih tak percaya, benarkah semua bentuk kehidupan ini, semua udara segar dan kedamaian ini ada berkat bantuannya, semua rasa takjubnya membuat Naruto terkekeh kecil. Druid muda itu menggerakkan sedikit tangannya, mengendalikan unsur hara dalam tanah yang kemudian menyebabkan sebuah pohon berkembang pesat secara tiba-tiba, batang serta rantingnya tumbuh kuat memangku dedaunan yang tumbuh lebat, lalu dalam beberapa menit saja sebuah pohon besar terbentuk secara instan.

"Sebagai Druid kami diberikan kemampuan khusus yang disebut panggilan alam, dengan kekuatan ini kami bisa menjaga lestarinya hutan, pepohonan, selama berabad-abad—dari generasi ke generasi," ucap Naruto yang kemudian melangkah maju—berhenti tepat di samping gadis Elf itu.

"Namun, meski memiliki semua kemampuan itu, kami tak bisa terus-terusan menciptakan alam secara instan. Makhluk lain pun berperan penting akan keberlangsungan hidupnya," lanjut pria itu.

"Kalau begitu aku akan menjaganya. Mulai sekarang aku akan menjaganya bersamamu!" kata Hinata yang kemudian memandang Naruto dengan senyuman semangat.

"Hehe … kau ini …" Naruto tertawa kecil dan kemudian berpaling kembali menatap pohon besar di depan mereka.

Sepanjang musim semi Hinata dan Naruto bekerja keras menjaga lestarinya hutan tempat tinggal mereka. Terkadang mereka memindahkan dan merawat kumpulan bunga-bunga kecil yang tumbuh di tempat yang tidak seharusnya, terkadang mereka membantu para binatang membangun sarang mereka, terkadang pula mereka membantu merawat hewan-hewan yang sakit atau terluka. Musim semi ini benar-benar indah terutama lagi … saat kedamaian kala itu juga ikut hadir dalam ikatan keduanya.

"Hahhh, menyenangkan sekali." Naruto menggeliat nyaman di kumpulan rumput itu.

"Umnn, benar. Apa ya rencana kita untuk besok, Naruto-kun?" tanya Hinata yang ikut berbaring di samping Naruto.

"Entahlah, aku tidak tahu. Terlalu damai sampai-sampai aku hanya ingin berbaring seharian menikmatinya," jawab Naruto singkat.

"Ne—Naruto-kun, kita tidak boleh malas-malasan," ucap Hinata yang kemudian menggembungkan kedua pipinya.

"Habisnya kau bekerja keras sekali." Naruto berbalik lalu mencubit kedua pipi chubby Hinata, "kau lupa kalau aku Druid hutan ini? Gara-gara kau, aku terlihat seolah tidak berguna samasekali."

"Thehehe …" Hinata tersenyum kecil sambil memejamkan matanya.

Mereka berbaring beratapkan dedaunan hutan yang lebat. Sedikit sinar matahari masuk melalui celah-celahnya—memberi kehangatan dalam tidur keduanya, bersama angin semilir yang kemudian berhembus membawa aroma rerumputan dan menyegarkan suasana alam. Begitu indah, begitu tenang, begitu damai, sebuah momen yang takkan mudah dilupakan bagi siapapun yang berada di dalamnya.

"Entah kenapa, aku merasa lelah … Naruto-kun."

"Siapapun akan lelah jika bekerja sekeras dirimu."

"Tidak tapi … aku benar-benar merasa lelah."

Naruto membuka matanya dan terkejut melihat Hinata yang terlihat kesusahan mengatur nafasnya, wajah gadis Elf itu sudah sepenuhnya dibasahi oleh keringat. Naruto panik dan bergegas mengangkat Hinata, membawanya kembali ke rumah pohon mereka.

Naruto menjatuhkan Hinata di pembaringannya dengan pelan, kemudian pria itu pun bergegas mengambil wadah kayu dan mengisinya dengan air jernih. Naruto kembali ke dalam rumah, masuk ke kamarnya lalu mengompres Hinata menggunakan kain dari serat kayu miliknya. Hinata masih terlihat kepanasan dan Naruto pun memutuskan untuk memercikkan air itu ke beberapa bagian tubuh sang peri musim. Dengan cepat air itu mengering di kulit putihnya lalu Naruto kembali mengulang pekerjaannya. Setelah beberapa waktu kesadaran Hinata pun mulai terkumpul, meskipun hanya sebatas membuka kembali pandangannya.

"Aku tak apa-apa kok. Aku hanya kelelahan Naruto-kun," kata gadis itu dengan lemah, tatapannya samar-samar namun ia masih bisa sedikit melihat wajah Druid muda di depannya.

"Aku tahu kau tak terbiasa dengan semua ini. Jadi mulai sekarang sebaiknya kau tinggal di rumah saja, Hinata," saran Naruto.

"Tapi aku—"

"Aku takkan membiarkan apapun terjadi padamu."

Hinata terdiam menatap raut wajah Naruto. Pria itu serius dengan semua yang ia katakan barusan. Rasanya ia akan baik-baik saja, ia percaya pada Naruto, ia percaya Druid muda itu akan melakukan apapun untuknya sama seperti ia yang akan melakukan apapun untuk pria itu.

"Kau sudah banyak membantuku, sekarang aku akan membalasnya. Kau akan membaik Hinata, aku janji!" ucap Naruto mencoba menyemangati Hinata.

"Terima kasih … Naruto-kun." Hinata tersenyum tulus memandangi Druid muda itu.

Naruto melanjutkan pekerjaannya, dengan raut wajah penuh ketulusan ia mengusapi bagian-bagian wajah Hinata dengan kain serat yang basah. Gadis Elf itu sendiri hanya bisa memalingkan wajahnya. Rasa penuh perhatian dari Naruto membuatnya nyaris tak sanggup bertukar pandang dengan sang Druid muda tersebut.

"Hinata … kau ingat saat aku hampir mati karena keracunan. Maksudku … aku penasaran, dimana kau belajar teknik pengobatan?" tanya Naruto, memecah kesunyian.

"Fearia," jawab Hinata setelah terdiam agak lama, "aku berada di kota itu selama berpuluh-puluh tahun. Fearia adalah tempat bangsa Elf dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Fearia juga menjadi kota awal bagi kami para peri musim sebelum akhirnya pergi menuju batas dunia ini."

"Begitukah," sahut Naruto yang kemudian menaruh kain basah itu kembali di dahi Hinata.

"Fearia juga tempat … pernikahan bangsa Elf yang berbeda jenis."

Naruto terdiam mendengar kata-kata itu. Apakah Hinata sengaja mengatakannya? Apakah ini tanda bahwa Hinata ingin ia membawanya kesana? Entahlah, hanya saja Naruto terlampau ragu. Lagipula ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan hal itu pada Hinata, akan tetapi kapan saat yang tepat itu datang? Pertanyaan demi pertanyaan bergaung dalam hati Naruto, kabut keraguan memenuhi benaknya—mengaburkan kembali perasaannya terhadap peri musim itu.

"B-Bagaimana Elf yang berbeda jenis bisa menikah … Hinata?" tanya Naruto pelan.

Hinata menatap sayu wajah Naruto yang seolah meragukan kata-katanya kemudia gadis Elf itu pun tersenyum tipis, "Elf salah satu makhluk yang istimewa … bukan tidak mungkin kita mengalami reinkarnasi menuju satu bentuk kehidupan yang baru."

"Oh," lanjut Naruto singkat.

Tak ada lagi dialog-dialog panjang dari Naruto ataupun Hinata hingga hari itu berakhir. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, seiring waktu yang terus berjalan kondisi Hinata tak kunjung membaik. Menjelang pertengahan musim panas Naruto pun memutuskan untuk mengubah struktur rumahnya, Druid muda itu menumbuhkan banyak pepohonan untuk meneduhkan sekitar rumahnya, ia juga memindahkan tempat tidur miliknya ke ruang tamu sementara Hinata tidur dalam bak penuh air di kamarnya—musim panas merupakan saat-saat terberat bagi Hinata juga Naruto yang harus bekerja ekstra.

SRSSSH

"Hahh … Nah bagaimana, sudah lebih baik?" tanya Naruto yang baru saja menambahkan air dalam bak Hinata.

"Um, sedikit lebih nyaman ketimbang sebelumnya," jawab gadis itu singkat. Ia tersenyum senang sembari memainkan kepingan-kepingan es dalam bak airnya, namun karena pengaruh musim kekuatannya lemah sehingga bongkah-bongkah kecil es buatannya tak jarang mencair seketika.

"A-Ano, Naruto-kun."

"Hm, apa masih ada yang kau perlukan?" tanya Druid muda itu ramah.

"A-Aku hanya … umn, bisakah kamu tidak memandangiku sementara waktu? Hanya saja, m-maksudku, ini sedikit … memalukan." Hinata memalingkan wajahnya yang merona merah, tak sanggup memandang wajah Naruto.

Naruto sedikit tersadar saat mendengar perkataan Hinata. Ia baru sadar peri musim itu tak terlalu bisa bergerak—hanya bisa istirahat dalam sebuah bak penuh air, terbaring hanya dengan mengenakan sebuah pakaian putih yang basah, dan juga … terlihat sangat menggoda.

Wajahnya yang begitu manis, lekuk-lekuk tubuhnya yang terlihat menggiurkan, rambutnya yang panjang tergerai mempesona, pria mana yang tahan jika dihadapkan dengan pemandangan seperti ini.

"M-Maafkan aku." Naruto pun bergegas keluar dari kamar itu.

Naruto menutup hidungnya yang sedikit memerah dengan punggung tangannya. Pria itu nyaris tak bisa bernafas. Benar-benar sial baginya, jika terlambat beberapa detik saja keluar dari tempat itu pasti ia sudah memaksa Hinata melakukan hal yang tidak-tidak.

Naruto menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, mencoba menenangkan diri, menghapus bayangan Hinata yang baru saja terekam dalam pikirannya. Melindungi gadis Elf itu, tidak akan membiarkan apapun terjadi padanya, jika tidak mengingat janji-janji itu ia pasti sudah menggila—memang sewaktu ia mengajak Hinata tinggal bersamanya sudah merupakan tindakan gila, meski begitu tak pernah sekalipun ia berpikir untuk melakukan hal sejauh itu bersama Hinata.

"Berhenti! Jangan lagi!" gumam Naruto agak keras. Kenapa pikirannya semakin tidak bersahabat dengan Hinata? Memang wajar saja, ia seorang Druid muda normal yang masih memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya, terutama lagi sosok peri musim itu tidaklah mudah untuk dilupakan.

"Sial … panas … sekali …" Naruto mengelap sedikit keringat di pipinya dengan bahunya.

Naruto menggeliat resah. Druid muda itu menatap langit sore—terlihat lebih teduh ketimbang siang hari, namun mengapa ia merasa sepanas ini? Naruto memandangi kedua telapak tangannya, kulitnya perlahan mengkerut, melepuh, dan mengelupas. Naruto terkejut, Elf muda itu baru saja menyadari apa yang terjadi.

"Apa lagi yang kalian lakukan disaat seperti ini?" umpat Druid muda itu.

Memang seperti biasa, untuk melindungi hutannya ia memasang mantra di lingkar luar hutan yang disebut garis pelindung utama—ini berguna untuk mendeteksi ancaman yang datang dari luar hutan. Mantra ini terhubung dengan tubuhnya sebagai Druid, sehingga ia akan sedikit merasakan apa yang hutan di lingkar luar rasakan.

"Arkkhhh!" Naruto jatuh di tanah seketika, Elf muda itu berguling-guling, menggeliat tak karuan sembari berteriak kesakitan.

Dengan susah payah ia bangkit, meringis sembari menggigit bibirnya, dan berlari sesegera mungkin. Hingga kakinya terhenti tepat di tempat tujuan, terpaku—menatap tak percaya apa yang ia lihat sekarang.

Api. Seluruh hutannya terbakar dari ujung timur hingga ujung barat. Mantra pelindung utama miliknya luluh lantah dan koneksi dengan tubuhnya pun terputus. Naruto maju beberapa langkah melihat pohon-pohon yang menjulang tinggi satu persatu jatuh karena terbakar habis, bola-bola api bak meteor terus meluncur masuk ke dalam hutannya, sementara Druid muda ini … tak bisa melakukan apapun—hanya jatuh memandang bumi.

Salah satu batu jatuh tepat di dekatnya, membakar sebagian bahu berikut wajahnya, akan tetapi itu tak menggerakkannya sedikit pun. Pada akhirnya kakinya bisa kembali menopang tubuhnya—bangkit, lalu berjalan terus menuju luar hutan.

Disana ditemuinya ratusan prajurit yang menggunakan ketapel untuk menembakkan bola-bola api ke hutan—tak dapat dipungkiri yang ia hadapi sekarang adalah sekumpulan manusia, mereka yang tak pernah bisa menghargai alam, mereka yang hanya bernafsu untuk kekuasaan, mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi ini.

"Anda yakin dengan hal ini, tuan?" tanya salah seorang prajurit pada pemimpin kelompok—sang ahli strategi kerajaan, Shikamaru.

"Jika hutan itu tak bisa memberikan keuntungan untuk persediaan sumber daya kita, maka tanahnya masih bisa kita pergunakan untuk mendirikan benteng-benteng pertahanan. Aku tak perduli lagi … ratakan saja semuanya dengan tanah!" perintah Shikamaru.

"Tuanku, lihat! Ada seseorang disana," teriak salah seorang prajurit lain, menunjuk jauh pada objek di depan target tembak mereka.

Naruto tak lagi memperdulikan teriakan-teriakan yang prajurit itu lontarkan padanya. Ia hanya berusaha memfokuskan mantranya untuk mengendalikan bagian-bagian hutan, sayangnya semua usaha yang ia lakukan percuma. Apa yang tersisa hanyalah jiwa-jiwa yang sudah mati, kumpulan-kumpulan pohon itu hangus—jatuh dalam lahapan api. Akar-akar pohon yang Naruto kendalikan tak bisa lagi mencapai kumpulan prajurit itu, semuanya hangus menjadi abu.

"Tak bisa dipercaya."

"Dia … Elf."

"ELF!"

Ratusan panah pun berhamburan—melesat ke arah Naruto, semua prajurit itu bergerak spontan tanpa menunggu perintah dari Shikamaru lagi. Bukan pria itu tak mau memberi perintah, hanya saja ia dihadapkan pada satu pemandangan takjub, melihat seorang Elf berdiri di depannya. Shikamaru baru tersadar setelah para prajuritnya berteriak sembari melepaskan panah-panah, pria itu terbangun seketika dari lamunannya.

"H-Hentikan … hentikan kalian! Semuanya tahan tembakan kalian!" perintah Shikamaru lantang.

Pria itu bergegas meninggalkan kudanya, mencampakkan semua prajurit bawahannya, ia bergegas berlari menuju Naruto yang bersimbah darah—bukan hanya karena panah tapi juga karena luka bakar yang menghanguskan sebagian tubuhnya.

Keberadaan Shikamaru hilang ditutupi kobaran-kobaran api, para prajurit lain masih diam—bersiaga menunggu kembalinya sang pemimpin. Di sisi lain, Shikamaru terhenti—pria itu terdiam tepat di depan Naruto, hanya tinggal beberapa langkah lagi jaraknya dengan Elf muda itu akan tertutup habis.

"Sekarang aku baru mengerti," ucap Shikamaru di tengah suara kobaran api dan suara pepohonan yang berjatuhan.

"Aku mengutukmu."

"Apa?" Pria berambut kuncir itu terhenyak mendengar kata-kata Elf di depannya.

"Dengan seluruh darahku, dagingku, bahkan jiwaku, aku mengutukmu … AKU MENGUTUKMU!" teriak Naruto lantang dengan pandangan penuh kebencian.

Druid muda itu berdiri perlahan, berjalan kembali ke dalam hutan dan meninggalkan Shikamaru yang masih termanggu. Sedikit tertatih tapi Elf muda itu tetap melangkah sampai akhirnya jejaknya hilang bersama abu.

Shikamaru terdiam memandangi hilangnya Elf itu, ia berjalan kembali menuju pasukannya—ia menunduk menatap tak percaya bumi yang dipijaknya.

Melihat sang pemimpin keluar dengan tenang melewati kobaran api para prajurit pun bersorak sorai. Kemungkinan besar Shikamaru telah menghabisi Elf itu pikir mereka. Sementara sang ahli strategi sendiri diam seribu bahasa—tak begitu memperdulikan riuh suara yang mengelu-elukan dirinya.

"Bagus sekali, tuan. Kejayaan akan datang bagi mereka yang berhasil membunuh Elf. Kami yakin dibawah tuntunan anda kerajaan Konoha akan memenangkan peperangan ini."

"Tarik mundur semua pasukan!"

"A-Apa?" Para prajurit saling berpandangan saat mendengar perintah Shikamaru.

"Aku bilang tarik mundur semua pasukan!" teriak pria itu lagi dan menggentarkan semua orang yang mendengarnya.

"Siap, tuan!"

Seluruh ketapel ditarik mundur dari posisi awalnya, para prajurit berkumpul membentuk satu formasi sebelum akhirnya meninggalkan medan tersebut. Akan tetapi, pergerakan mereka harus terhenti sejenak saat sebuah fenomena alam yang aneh muncul.

Salju. Kumpulan kristal putih itu tiba-tiba saja bertebaran, datang bersama kumpulan awan perak yang menutupi nyaris keseluruhan langit di tempat itu. Shikamaru termanggu mendapati fenomena alam yang tak biasa ini—di tengah musim panas seperti ini turun salju?

Shikamaru berbalik menatap kobaran api di kala senja itu mulai meredup. Nyalanya mulai terhapuskan oleh kumpulan salju yang terus berjatuhan. Hingga kini hanya sedikit cahaya yang berasal dari bara pohon sisa yang menerangi tempat itu.

Meski tak pernah melihat fenomena alam yang unik seperti ini, ia tak berniat berlama-lama di tempat tersebut—mengingat ia baru saja bertemu seorang Elf, fenomena ini tidak memberi percikan kagum sedikitpun di matanya. Shikamaru kemudian meneruskan menuntun seluruh prajuritnya kembali ke benteng kerajaan.

Sementara itu—

Naruto jatuh bersimpuh beratapkan hamparan bintang yang mulai bermunculan kala malam menjelang. Tak terasa Druid muda itu meneteskan air mata, terlampau sedih memikirkan ketidakbecusannya dalam pekerjaan ini. Seluruh kerja kerasnya selama beberapa dekade, seluruh kerja kerasnya bersama Hinata, hilang hanya dalam satu sapuan.

"Naru … Naruto-kun …" Peri musim itu dengan susah payah melangkah dan jatuh tersungkur tepat di belakang Naruto.

"Kamu … tidak apa-apa … 'kan?" tanya Hinata lagi, gadis Elf itu sedikit terisak karena jauh di dalam hatinya ia menyadari betapa hancurnya perasaan Naruto. Ia terus merayap, sebisa mungkin berusaha mendekat.

"Berhenti, Hinata! Cukup sampai disitu saja! Aku mohon … aku mohon padamu jangan kesini!" ringis Elf itu. Naruto tak ingin peri musim di belakangnya melonjak takut karena melihat wajahnya yang separuhnya habis terbakar.

Meski begitu Hinata tak mendengarkan ucapan Naruto. Sang peri musim terus merayap sebelum akhirnya memeluk pinggang sang Druid, berusaha dengan keras untuk bangkit dan berakhir dengan memeluk punggung Elf itu.

"Jangan tatap aku!" bisik Naruto lagi, sedikit tertahan.

"Tak apa, Naruto-kun. Kita sudah berusaha semampu kita," hibur Hinata sedikit tertawa kecil.

"Setelah semua yang terjadi … hanya itu yang ingin kau katakan?" Naruto menggigit bibir bawahnya—menahan gejolak emosi itu, "lihat apa yang manusia lakukan! Lihat perbuatan orang-orang yang kau suruh aku untuk mempercayai mereka! Lihat semua ini, Hinata!"

"Manusia … takkan pernah berhenti," ucap Naruto lagi penuh dendam.

"Maafkanlah!"

Druid muda itu terkejut mendengar satu kata dari Hinata, sempat merasa tak yakin bahwa suara gadis itu baru saja menyusun satu frasa. Apakah Hinata baru saja menyuruhnya untuk memaafkan semua tindakan ini? Apakah Hinata baru saja mengatakan hal itu? Tidak, tidak mungkin, ia pasti sudah gila, pendengarannya pasti sudah rusak karena semua luka ini.

"Setelah semua yang mereka lakukan padamu … maafkanlah mereka, Naruto-kun!" balas Hinata berat, gadis Elf itu menangis di punggungnya dan akhirnya jatuh kembali ke tanah.

"H-Hinata? Hinata!" teriak Naruto yang bergegas berbalik dan memangku gadis Elf itu dalam pelukannya.

"Menghancurkan … memang selalu lebih mudah daripada—membangun, begitulah hidup … Naruto-kun. Akan tetapi … apa tindakan yang … kita ambil hari ini … selalu memiliki tujuan di kemudian hari … karena itulah jangan pernah menyesali semuanya … aku mohon padamu—maafkanlah mereka!" ucap Hinata lemah, gadis Elf itu memegang pipi Naruto yang terbakar sembari tersenyum tulus.

"Jangan bercanda, Hinata! Mengapa kau selalu saja memihak mereka?" balas Naruto agak keras, tetapi respon dari sang peri musim malah bertolak belakang dengan yang ia kira—Hinata tertawa kecil mendengar ocehannya.

"Aku sudah bilang 'kan … kalau menyakiti perasaan memanglah mudah … tapi sebenarnya … jauh lebih mudah memaafkan. Atas semua yang te—lah mereka perbuat … aku memaafkan mereka … Naruto-kun." Hinata menatap tulus iris biru safir di depannya, "aku selalu memandangi mereka … dari batas dunia yang gelap dan sepi. Aku tahu bahwa dalam hati mereka … masih terdapat kebaikan, jauh lebih besar dari yang kau kira."

Naruto meringis, menggigit bibir bawahnya. Gejolak hatinya masih bersikeras menolak semua ungkapan Hinata. "Aku tidak … bi—sa."

"Jangan buat dirimu … menyesali ini … Naruto-kun! Maafkanlah! Sete—lah … semua yang mereka lakukan padamu maafkanlah!" pinta gadis itu lagi lemah, sambil berurai air mata.

"Aku memaafkan mereka, Hinata!" teriak Naruto keras, tak tahan pria itu menangis bahkan meraung keras—rasanya sakit sekali, benar-benar sangat menyakitkan.

Hinata tersenyum bahagia mendengar ucapan Naruto … dan sekarang gadis itu bisa tenang. Memang, ini sudah saatnya ia harus pergi. Dengan kehilangan seluruh kekuatannya maka daya tahan tubuhnya di dunia ini pun ikut menurun, kondisinya diperparah dengan musim panas juga pembakaran hutan yang dilakukan prajurit-prajurit tadi. Ia sudah terlalu lama bertahan, ia sudah terlalu lama kuat, kini waktunya di dunia ini telah habis.

"Selamat tinggal, Naruto-kun."

Tubuh gadis Elf itu hancur dalam pelukan Naruto, berubah menjadi sekumpulan kristal-kristal yang tersebar dimana-mana. Sang Druid tak bisa memproses kejadian apa yang barusan terjadi, akan tetapi jauh dalam lubuk hatinya seluruh perasaan itu hancur lebur seketika. Matanya menatap sayu dan akhirnya ia pun ikut jatuh tersungkur di tanah. Pandangannya mulai kabur karena akhirnya tubuhnya mulai merespon seluruh luka fisik yang menderanya—Druid muda itu juga sudah tiba di ambang batas kehidupannya.

Kulitnya memucat, retak-retak, dan terkikis semilir angin. Tak ada lagi yang tersisa baginya baik harta ataupun jiwa, tak ada lagi alasan baginya untuk tetap tinggal di dunia ini.

Bersama jiwa yang rapuh tubuh Naruto pun hancur berkeping-keping, menjadi butiran-butiran tanah, dan lenyap dibawa hembusan angin.

&O&

Beberapa tahun berlalu semenjak pembakaran hutan terlarang. Tanahnya sedikit menghitam dan sisa-sisa pepohonan yang hangus dibiarkan berserakan begitu saja.

Meskipun ketersediaan lahan cukup besar, tidak ada satu pun benteng yang didirikan di kawasan tersebut, alasannya para pekerja terlampau takut dengan desas-desus yang mengatakan bahwa kutukan melanda tempat itu.

Sementara itu, suasana kerajaan Konoha sendiri sedikit dihebohkan oleh sikap sang ahli strategi yang menyatakan mundur dari jabatannya sebagai prajurit—akan tetapi permintaannya tetap dikabulkan karena mereka sudah berada di akhir masa peperangan.

Dengan berat hati sang raja menerima keputusannya, mengingat Shikamaru banyak berjasa atas kerajaan pria itu juga diberikan beberapa bidang tanah dan rumah sebagai hadiah di akhir masa kerjanya.

"Tapi apa kau yakin dengan semua keputusanmu ini?" tanya Chouji yang tak habis pikir, ini bukan pertama kalinya Shikamaru bertindak diluar dugaan.

"Maaf Chouji. Sekarang semua kuserahkan padamu," jawab Shikamaru yang kemudian melangkah pergi meninggalkan benteng kerajaan Konoha.

Shikamaru melangkah mantap berjalan pergi meninggalkan benteng kerajaan Konoha. Tak ada lagi armor besi yang biasa ia kenakan, tak ada lagi pedang yang biasa melapisi tangannya, apa yang lebih penting baginya sekarang bukan lagi kekuasaan ataupun kemenangan melainkan sebuah keinginan yang teramat simpel—ia hanya ingin istirahat seharian, menikmati semua hasil kerja kerasnya selama ini.

Bersama semua pikiran itu Shikamaru terhenti … tepat di hadapan sebuah tempat yang sedari tadi ia ingin tuju—hutan terlarang.

Pria itu melangkah terus melewati sisa pepohonan yang terbakar menuju bagian tengah hutan. Ia berjongkok, menggali sedikit tanah, lalu memindahkan sebuah pohon kecil dari wadah kulit binatang yang sedari tadi ia bawa. Pria itu lalu menutupnya dan mencarikan air untuk pohon muda itu, lalu setelah selesai menyiramnya Shikamaru pun pergi meninggalkan tempat itu.

Dan sepeninggalnya, pohon muda itu pelan-pelan menumbuhkan ranting yang kemudian menyangga beberapa daun—sebuah cikal bakal alam yang baru.

THE END?

A/N: Fic ini kemungkinan—masih mungkin yaa, akan ada sequelnya dan diusahakan Multichap juga. Well, kalau kalian memang mengiginkannya aku akan mengusahakan sebisa mungkin. Jadi, semua tergantung respon para reader & fanficcer semua yang hadir ke fanfiksi ini :P Did you like it? Or not?

Btw, maaf aku ngga menuliskan adegan pernyataan perasaan hingga akhir cerita … udah terlalu mainstream :D #PLAK. Yah, maaf atas segala kekurangannya, RnR yaa :)