Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Pairing : SasuFemNaru
Rated : T
Genre : Romance, Family, Friendship
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)
Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fict ini maupun fict milik saya lainnya!
Ok. Selamat membaca!
14 Days With Mr. Stranger
Chapter 8 : Perpisahan dan Pertemuan
By : Fuyutsuki Hikari
Kimimaro bergerak gelisah di atas tempat tidurnya. Adik bungsunya masih hidup? Pria itu melepas napas panjang dan menutup matanya erat. Tuiuh belas tahun bukan waktu singkat. Bagaimana bisa Uzumaki Mito menyimpan rahasia itu begitu lama? Bukankah Naruto juga cucu kandungnya? Kenapa dia begitu tega? Kenapa amarah selalu mampu menutup akal sehat manusia? Kenapa amarah selalu mampu membutakan hati nurani? Kimimaro lagi-lagi melepas napas panjang. Semua ini salahnya, pikirnya. Andai saja dia tidak pernah ada, maka semua ini tidak akan pernah terjadi. Minato, Kushina, Kyuubi serta Naruto pasti menjadi keluarga utuh yang bahagia, tidak seperti sekarang.
Sebuah ketukan pelan mengembalikannya dari lamunan. Kimimaro mengernyit, melirik ke atas nakas yang berada di samping tempat tidurnya. Jam digital yang diletakkan di atas nakas tersebut sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih lima belas menit. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya, tengah malam begini? Batinnya.
Ketukan kembali terdengar. Kimimaro bergerak, bangun dari tempat tidurnya dan berjalan dengan langkah panjang-panjang untuk membuka pintu. Kedua alisnya terangkat saat mendapati Kyuubi berdiri di depan pintu kamarnya dengan senyum gugup. "Ada apa?" tanya Kimimaro pelan.
"Ada yang mau aku bicarakan," jawab Kyuubi dengan ekspresi serius.
Kimimaro membuka pintu kamarnya lebar dan berkata, "apa yang mau kau bicarakan?"
Kyuubi melangkah masuk. "Mengenai Naruto," jawabnya dengan suara bergetar.
"Jadi?" tanya Kimimaro lagi setelah keduanya duduk di sofa. "Apa yang mau kau bicarakan mengenai Naruto?" tanya Kimimaro lagi saat Kyuubi tak juga menjawab pertanyaannya. "Hei, kenapa kau malah menangis?" Kimimaro bergerak ke sisi Kyuubi dan merengkuh tubuh adiknya ke dalam pelukannya. "Sstttt... jangan menangis! Kau membuatku bingung!" Kimimaro mengelus lembut punggung Kyuubi yang menangis semakin menjadi. "Aku bukan penghibur yang baik, kau tahu?" tambahnya dengan tawa kering.
"Bagaimana bisa Nenek berbuat setega itu pada Naruto?" Kyuubi akhirnya bicara setelah tangisnya mereda. Kimimaro menghapus jejak air mata di kedua pipi adiknya dengan kedua ibu jarinya dan tersenyum lembut sebelum menjawab dengan nada pahit. "Semua salahku," ujarnya membuat Kyuubi tersentak.
"Apa maksudmu? Kenapa kau menyalahkan diri sendiri?" dahi Kyuubi berkerut saat mengatakannya.
Kimimaro menggenggam kedua tangan adiknya dan melepas napas lelah, "jika aku tidak hadir di dalam kehidupan kalian, semua ini tidak akan terjadi."
"Jangan menangis!" pinta Kyuubi parau. Kini giliran gadis muda itu yang panik melihat kedua mata kakaknya yang berkaca-kaca.
"Aku tidak menangis!" bantah Kimimaro tidak mengidahkan bulir air mata yang mulai memberontak turun dari kedua pelupuk matanya.
"Jangan menangis!" ulang Kyuubi lagi. "Aku juga tidak pintar memberi penghiburan."
Hening.
Dan suara tawa keduanya pun terdengar beberapasaat kemudian. "Kita berdua sangat menyedihkan," ujar Kyuubi setelah tawanya reda. "Jika kita sedih, siapa yang akan menghibur kita nanti?"
"Naruto?" jawab Kimimaro tanpa berpikir panjang.
"Ah..." Kyuubi mengangguk dengan semangat dan tersenyum lebar. "Kalau begitu kita harus segera menemukannya."
"Tentu saja," sahut Kimimaro antusias. "Kita akan segera menemukannya dan berkumpul kembali. Kyuubi tersenyum lembut mendengarnya, hatinya membuncah bahagia saat memikirkannya. Keluarga mereka akan kembali utuh.
"Kau tidak keberatan jika orangtua kita kembali rujuk?" Kimimaro bertanya dengan suara pelan. Dengan teliti dia mengamati perubahan mimik wajah Kyuubi.
"Tentu saja tidak," seru Kyuubi. "Aku akan bahagia jika mereka bahagia. Aku akan menerima apapun keputusan mereka."
"Kau semakin dewasa," ujar Kimimaro bangga seraya mengacak sayang rambut merah Kyuubi.
"Hentikan!" rajuk Kyuubi. Dia sangat tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. "Kau boleh melakukannya pada Naruto tapi tidak kepadaku."
"Kenapa?" Kimimaro melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyempitkan mata.
"Aku bukan anak kecil," jawab Kyuubi cemberut seraya merapihkan rambut merahnya yang tergerai panjang.
"Ck, kau juga masih anak kecil," ujar Kimimaro, mengangkat kedua bahunya ringan. "Setidaknya untukku," tambahnya cepat saat Kyuubi melotot ke arahnya. "Kembali ke pembicaraan awal, apa yang mau kau bicarakan mengenai Naruto. Aku yakin bukan tentang nenekmu saja yang ingin kau katakan."
Kyuubi mengangguk dan mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan duduk bersila. Ekspresinya serius saat ini. "Senju Naruto," ujar Kyuubi.
Kimimaro mengernyit sebelum akhirnya mengerjapkan mata, otaknya langsung mengerti maksud dari ucapan Kyuubi. "Naruto juga diadopsi oleh keluarga Senju. Mungkinkah?" tanyanya menggantung, wajahnya terlihat shock, namun sedetik kemudian wajahnya kembali biasa. "Jangan terlalu berharap, Kyuu. Akan terasa sakit jika kau jatuh nanti."
"Aku hanya berandai," sahut Kyuubi menunduk. "Apa kau tidak merasa jika ikatan kita bertiga begitu kuat?" tanyanya penuh harap. "Bahkan Itachi menganggap kita bertiga kakak-beradik."
"Aku tahu," Kimimaro memasang pose berpikir. "Aku juga ingat, Naruto mengatakan jika dia diadopsi saat berumur tujuh tahun dan dibawa ke Amerika oleh nenek angkatnya-"
"Benar, kan! Benar, kan!" teriak Kyuubi antusias, memotong ucapan Kimimaro. "Aku yakin dia adik kita," tambahnya sungguh-sungguh. "Bagaimana jika besok kita menemui dan menanyakan latar belakangnya secara langsung?"
Kimimaro mengernyit dalam. "Bagaimana jika Naruto tersinggung?" ujarnya tidak yakin akan ide Kyuubi. "Rasanya sangat tidak sopan jika kita harus menanyakannya secara frontal. Tidak. Aku sama sekali tidak setuju."
Kyuubi terdiam lama mendengarnya, sebelum akhirnya sebuah ide kembali muncul di kepalanya. "Kalau begitu kita tidak perlu bertanya banyak, kita langsung tes DNA saja. Ambil beberapa helaian rambut Naruto untuk tes. Bagaimana?"
"Bagaimana caranya kita mengambil rambut Naruto?"
Kyuubi memutar kedua bola matanya. Dalam hati mengumpat karena kakak pertamanya ini mendadak bodoh. "Kita bisa mengambilnya dari sisir milik Naruto, pasti ada helai rambut patah, kan?"
Kimimaro mengangkat bahu, tidak tahu.
"Ck, bisakah kau berpikir positif?" omel Kyuubi kesal. "Dan jangan tanya bagaimana cara kita mengambil sisir milik Naruto, karena aku yang akan memikirkan caranya."
"Jika gagal?" tanya Kimimaro lagi. Pria itu menelan air liurnya dan tersenyum kering dengan jari tangan diangkat ke udara membentuk simbol peace saat Kyuubi lagi-lagi melotot kearahnya.
"Aku akan memikirkan cara lain jika gagal mendapatkan sisir itu," jawab Kyuubi ketus. "Mungkin aku akan memotong sedikit rambutnya. Ah, aku harus membawa gunting kecil untuk itu. Atau aku ambil saja sikat gigi miliknya? Atau aku ambil gelas yang sudah dipakainya?" gadis itu terus bicara panjang lebar membuat mulut Kimimaro yang sudah terbuka untuk menyela kembali tertutup rapat. "Jadi kau tidak perlu memikirkan apapun," tukasnya mutlak dengan tatapan tajam terarah pada Kimimaro. "Aku yang akan membuat rencana, dan kau hanya perlu mengikuti arahanku. Mengerti?"
"Terserah," sahut Kimimaro menyerah. Percuma berdebat dengan Kyuubi saat ini, karena pada akhirnya mereka akan kembali berdebat panjang.
.
.
.
Pagi pun datang dengan cepat. Ruang makan di apartemen Sasuke begitu sepi. Hanya ada suara denting sendok dan garpu yang terdengar di sana. Baik Sasuke maupun Naruto menyantap sarapan pagi sederhana yang disiapkan oleh Naruto dalam keheningan.
Naruto melirik ke arah Sasuke lewat bulu matanya yang lentik. Sikap Sasuke sangat aneh sejak kemarin. Pemuda itu terlihat sangat kesal tanpa alasan yang jelas.
"Aku sudah selesai." Suara berat Sasuke sedikit mengagetkan Naruto. "Terima kasih untuk sarapannya," tambah pemuda itu tanpa menatapnya.
"Ah, ya." Jawab Naruto salah tingkah. Dirinya sedikit merasa tidak nyaman karena sikap Sasuke yang terkesan dingin. "Hati-hati di jalan!" Naruto berkata lembut. Sasuke hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Naruto melepas napas panjang setelah kepergian Sasuke. Pasti ada sesuatu yang salah, pikirnya. Naruto mengernyit, mencoba mengingat hal apa yang menjadi penyebab kemarahan Sasuke.
Semuanya baik-baik saja saat kemarin mereka pergi berdua untuk jalan-jalan. Tapi sikap Sasuke berubah sejak keempat temannya datang dan bergabung. Apa Sasuke tidak suka aku berkenalan dengan teman-temannya? Apa aku membuat Sasuke malu? Pikirannya mulai melantur. "Mungkin ada baiknya aku menanyakannya langsung pada Sasuke," tukas Naruto dengan helaan napas panjang.
Naruto baru saja selesai mencuci piring kotor saat telepon genggamnya berbunyi. Keningnya berkerut dalam saat melihat nomor tak dikenal dilayar telepon genggamnya. "Halo?" ia akhirnya menjawab panggilan itu setelah terdiam beberapa saat. "Benar, saya Naruto Senju." Ujarnya lagi, menjawab pertanyaan si penelepon.
"Saya Michael Smith," pria itu memperkenalkan diri. "Saya juru bicara Kedutaan Besar Amerika di Jepang."
Perasaan Naruto mendadak tidak karuan mendengarnya. Untuk apa pihak kedutaan menghubunginya? Apa terjadi sesuatu pada kakak atau neneknya? Tidak. Kumohon, semoga tidak terjadi apa-apa pada keduanya. Mohonnya di dalam hati. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Saya sangat sulit menghubungi kakak anda di Peru, dan baru hari ini saya mendapat nomor telepon pribadi anda."
"Ah. Kakak saya saat ini ada di pedalaman Peru. Dia pasti sangat sulit untuk dihubungi." Jelas Naruto. Jadi bukan Kak Dei, apa mungkin Nenek?
"Saya ingin memberitahukan jika Nyonya Tsunade Senju mengalami kecelakaan di Ethiopia," terang pria itu tenang.
"Apa? Kecelakaan? Nenek saya kecelakaan? Bagaimana bisa?" Naruto semakin panik mendengar berita yang baru di dengarnya.
"Kami akan menjelaskan detailnya di kantor. Saya minta anda datang ke kedutaan secepatnya."
"Baik. Baik. Saya akan segera ke sana," Naruto menjawab parau. Kedua tangannya bergetar hebat dan jantungnya berdetak semakin cepat. "Baik. Saya akan menemui anda. Segera."
"Tolong berikan alamat anda saat ini, agar kami bisa menjemput anda."
"Tidak perlu. Saya akan naik taksi saja," Naruto menolak cepat. Waktu yang dibutuhkan pasti lebih lama jika dia menunggu untuk dijemput. Jadi lebih baik jika dia pergi naik taksi.
"Kalau begitu kami menunggu kedatangan anda, Nona Senju."
"Terima kasih untuk informasinya," tukas Naruto menutup pembicaraan itu. Gadis itu berganti pakaian dengan cepat, mengikat rambutnya tinggi dan segera pergi dengan terburu-buru.
.
.
.
.
Suasana Konoha International High School sangat ramai hari ini. Teriakan para pendukung masing-masing kelas yang bertanding bergema sepanjang pertandingan berlangsung. Hari ini merupakan hari pertama festival olahraga. Setiap kelas bertanding untuk memperebutkan gelar juara.
"Woi, Sasuke. Kau masih marah kepada kami?" Kiba berteriak kencang. Seolah tuli, Sasuke terus berjalan tanpa mengidahkan teriakan teman dekatnya itu. Dia memang masih kesal setengah mati pada keempat temannya yang kini menyeringai penuh arti di belakang punggungnya. Mereka jelas sengaja mengganggu acara kencannya dengan Naruto, kemarin. Dasar brengsek! Umpatnya di dalam hati.
Neji berlari, menyusul langkah Sasuke lalu merangkul pundak Uchiha bungsu. "Hei, kau merajuk seperti seorang gadis," oloknya yang dihadiahi tatapan sinis dari Sasuke. Neji hanya menyeringai senang saat Sasuke menepis tangannya kasar. "Kami perlu mengenal calon ipar kami, Sas." Neji kembali bicara dengan ekspresi serius yang dibuat-buat.
"Oh, ayolah. Apa kau akan terus merajuk sepanjang hari?" Shikamaru menimpali. "Apa aku perlu menghubungi Naruto dan memintanya untuk datang mendukungmu?" Shikamaru menahan tawa saat Sasuke berbalik dan berdesis penuh ancaman, "jangan coba-coba!" ancam Sasuke kemudian berbelok masuk ke dalam gedung olahraga, sementara keempat temannya terus mengikutinya dengan menahan tawa. Ah, kapan lagi mereka bisa mengganggu Sasuke?
Sasuke meletakkan tas olahraganya di pinggir lapangan. Sebentar lagi akan berlangsung pertandingan basket antara kelas Sasuke dan kelas olahraga. Pertandingan pasti akan berlangsung seru, kelas olahraga pasti akan berusaha mengalahkan kelas unggulan untuk membalas kekalahan mereka tempo hari.
"Perasaanku saja, atau memang siswa kelas olahraga sangat menakutkan hari ini?" ujar Gaara mencoba mencairkan suasana. "Mereka seperti ingin menelan kita hidup-hidup."
Sasuke melirik ke arah kelas olahraga dan mendengus kecil. "Kita pasti menang," ujarnya mutlak. Tatapan dinginnya kini beralih pada keempat temannya. "Aku akan menghajar kalian jika kita kalah hari ini."
"Apa kau perlu alasan lain untuk menghajar kami?" tantang Neji dengan berani. "Kau benar-benar menggemaskan saat marah, Sas. Benar-benar imut," tambah Neji dengai senyum menyebalkan.
"Kau mau kuhajar sekarang?" Sasuke melotot marah. Urat kesabarannya hampir putus saat ini. Kemarahannya pada keempat temannya semakin memuncak. Berani sekali mereka mengoloknya terus menerus. Bukankah seharusnya mereka meminta maaf dan menyesal? Ah, mungkin seharusnya dia menghajar keempatnya kemarin.
Di tempat lain, Naruto sampai ke tempat tujuannya tepat pukul sebelas siang. Naruto memperlihatkan paspor miliknya pada pihak keamanan dan memberitahukan alasan kedatangannya. Seorang pria bertubuh tinggi besar mengantarnya masuk ke dalam gedung menuju meja penerima tamu.
"Dia mengatakan sudah ada janji dengan Tuan Smith," jelas pria itu pada wanita setengah baya berambut pirang yang masih terlihat sangat cantik.
"Saya Naruto Senju." Naruto memperkenalkan diri dengan suara bergetar. "Tuan Smith meminta saya untuk datang," lapornya.
Wanita di balik meja itu mengangguk kecil pada pria besar di samping Naruto, sebuah sinyal untuk meminta pria itu meninggalkan keduanya di sana. "Tuan Smith sudah menunggu anda, Nona Senju." Ujarnya ramah setelah kepergian pria besar itu. "Mari, saya akan mengantar anda ke ruangannya."
Naruto di antar ke sebuah ruang pertemuan. Gadis itu semakin gugup saat mendapati banyaknya orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Seorang wanita paruh baya lain menyambutnya hangat dan mempersilahkannya untuk duduk. Seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Tuan Smith tersenyum ramah sekaligus simpati ke arahnya.
"Jadi, bagaimana keadaan nenek saya?" tanya Naruto setelah berhasil menenangkan diri.
"Nenekmu mengalami kecelakaan saat helikopter yang membawa rombongan sepuluh orang dokter menuju Kota Harer dari Jijiga gagal mendarat dengan mulus kemarin sore, waktu Ethiopia," terang Tuan Smith tenang. "Pihak kedutaan dan PBB sedang menyelidiki penyebab kecelakaan itu. Kami takut ada unsur sabotase mengingat wilayah Harer hanya berjarak enam puluh kilometer dari Negara Somalia yang saat ini tengah terjadi pemberontakan."
Naruto menatap Tuan Smith dengan berkaca-kaca dan menimpali dengan suara serak. "Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan nenek saya. Itu lebih penting daripada alasan penyebab kecelakaannya."
Wanita yang menyambutnya masuk ke dalam ruangan memberi Naruto segelas air putih dan memintanya minum untuk menenangkan diri. Wanita itu bahkan menggenggam tangan kanan Naruto untuk memberi kekuatan. "Thank you!" cicit Naruto dengan senyum kecil, dipaksakan. Wanita berambut coklat itu mengangguk dan tersenyum lembut.
Tuan Smith mengambil napas panjang. Menyampaikan berita duka selalu menjadi tugas paling berat yang harus dikerjakannya secara profesional. Dan kini dia harus dihadapkan pada seorang cucu yang terlihat begitu rapuh. "Tiga orang dokter serta pilot yang bersama nenekmu- meninggal di tempat, sedangkan Nyonya Tsunade Senju mengalami luka bakar hampir tujuh puluh puluh persen. Beliau sudah dipindahkan ke Pretoria, Ibu Kota Afrika Selatan untuk perawatan intensif."
Naruto terkesiap mendengar penjelasan itu. Hatinya sangat sedih mendengar berita duka itu, tapi batinnya memanjatkan syukur karena neneknya berhasil selamat walau harus mengalami luka bakar sangat hebat. Yang terpenting neneknya masih hidup. Dia benar-benar sangat merasa bersalah karena mengucapkan syukur padahal keluarga korban yang lain pasti sedang menangis histeris saat ini.
"Kami akan mengatur agar kau bisa pergi ke Pretoria secepatnya," ujar Smith membuat Naruto senang. "Pihak kedutaan Amerika di Peru juga saat ini sedang berusaha mencari kakakmu. Kami akan mengatur keberangkatan kakakmu ke Afrika Selatan setelah berhasil menemukannya."
"Ada beberapa dokumen yang harus anda isi dan tandatangani, Nona Senju." Wanita di samping Naruto ikut berbicara. "Karena itu mungkin anda harus tinggal lebih lama di sini."
"Tidak masalah," jawab Naruto parau.
.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat Sasuke mendapati Kyuubi dan Kimimaro berdiri menunggunya di depan pintu gerbang masuk sekolah. "Yo, Pantat Ayam!" sapa Kyuubi dengan seringai menyebalkan.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Sasuke dengan ekspresi datar. Sebaiknya duo Namikaze ini tidak mengganggunya, moodnya belum membaik bahkan bertambah buruk karena keempat temannya terus mengolok dan menjadikan kemarahannya sebagai bahan guyonan. Kemenangannya dari kelas olahraga pun tidak membantu mengembalikan suasana hatinya.
Kyuubi mengangkat bahu dan menjawab cepat, "mencarimu tentu saja. Apalagi? Aish... kenapa otakmu mendadak bodoh?" ejeknya kasar.
Kening Sasuke berkedut mendengarnya, ingin sekali dia berteriak marah pada teman dekat kakaknya ini. Namun bukan Uchiha Sasuke namanya jika dia tidak bisa mengendalikan diri. "Untuk apa kalian mencariku?" tanyanya dingin, mengabaikan seringai menyebalkan Kyuubi.
"Apa kau tahu Naruto pergi kemana?" timpal Kimimaro dengan ekspresi serius.
Sasuke mengernyit, "dia ada di rumah." Jawabnya pendek. "Biasanya dia akan menghubungiku jika akan pergi ke suatu tempat."
"Kami sudah mencarinya ke apartemenmu, tapi tidak ada jawaban. Telepon genggamnya pun tidak bisa dihubungi," jelas Kimimaro.
Sasuke merogoh saku celana seragamnya dan mengeluarkan telepon genggamnya dari sana. Ditekannya nomor telepon genggam Naruto, dia menunggu dengan tidak sabar dan berdecak saat mendengar pemberitahuan dari mesin penjawab jika nomor yang dihubunginya sedang tidak aktif. Sasuke kemudian menghubungi nomor telepon apartemennya, lagi-lagi tidak ada jawaban. "Mungkin dia tidur," ujar Sasuke mencoba berpikiran positif.
"Ayo, masuk ke dalam mobil. Kita cek ke apartemenmu saja," usul Kimimaro. Tanpa banyak bicara ketiganya langsung melaju menuju apartemen Sasuke, sore ini. Dalam perjalanan, Sasuke mengirim pesan singkat pada Obito, memberitahukan jika hari ini dia tidak bisa masuk kerja. Kenapa perasaannya mendadak tidak enak? Batin Sasuke. Apa Naruto tersinggung oleh sikapnya hingga dia tidak memberitahu jika akan pergi keluar? Sasuke menggelengkan kepala pelan, mengenyahkan pikiran buruk itu dan berharap jika Naruto baik-baik saja dan sedang tertidur pulas saat ini di apartemennya.
Perlu waktu hampir satu jam untuk Sasuke, Kimimaro dan Kyuubi sampai di apartemen Sasuke karena jalanan yang cukup padat sore ini. Setengah berlari Sasuke menuju ke apartemennya. Sasuke memasukkan password dan beranjak masuk. "Naruto?" panggilnya cukup keras dan mulai mencari ke setiap ruangan di apartemen sederhana miliknya.
Kimimaro dan Kyuubi mengikutinya dari belakang dengan perasaan was-was. Mereka semakin gugup saat Sasuke menghambur keluar dari dalam kamarnya dengan ekspresi panik. "Naruto tidak ada dimana pun," lapornya dengan suara berat. Dia kembali mengambil telepon genggamnya untuk menghubungi Naruto, namun yang didapatnya tetap sama, nomor Naruto masih tidak aktif. "Kemana dia?" Sasuke bergumam pelan. Sasuke kembali memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku dan berkata, "aku akan mencarinya. Naruto, anak itu seringkali tersesat. Aku takut kali ini dia juga tersesat."
"Kami akan ikut mencari," seru Kimimaro sementara Kyuubi mengangguk pelan, menyetujui. "Lebih banyak orang yang mencari akan semakin baik," tambahnya lagi.
"Baiklah kalau begitu," sahut Sasuke. "Naruto sangat suka jalan-jalan walau dia tidak tahu tujuannya," jelas Sasuke pada kedua Namikaze di depannya. "Kita bisa mulai mencarinya di tempat-tempat rekreasi."
"Kalau begitu kita bagi tugas," ujar Kyuubi. "Aku akan mencari di pusat kota, Kimimaro-nii mencari di bagian utara, dan Sasuke di bagian selatan."
"Bagaimana dengan bagian barat dan timur? Wilayahnya terlalu luas jika satu orang mencari di dua bagian tempat."
"Aku akan meminta bantuan ayahku," timpal Sasuke menjawab pertanyaan Kimimaro. "Sebaiknya kita segera berangkat, hari sudah semakin gelap," tambahnya cepat. "Boleh aku minta nomor telepon genggam kalian?" tanyanya. "Aku akan memberitahu kalian jika aku sudah menemukan Naruto, begitu juga sebaliknya."
Dan ketiganya segera berangkat untuk mencari Naruto setelah bertukar nomor telepon genggam.
.
.
.
Hal pertama yang dilakukan Sasuke setelah keluar dari apartemennya adalah menemui ayahnya; Uchiha Fugaku. Dia mendongak menatap gedung berlantai tiga puluh di depannya- Uchiha Corp, tempat ayahnya bekerja. Ayahnya pasti masih berada di kantor saat ini. Sasuke yakin betul hal itu mengingat ayahnya yang workaholic. Dengan langkah berat dia bergerak masuk ke dalam gedung. Tanpa meminta persetujuan bagian penerima tamu, dia terus berjalan menuju lift untuk naik ke lantai dua puluh dimana ruang kerja ayahnya berada.
Aku harus melakukannya, putus Sasuke di dalam hati. Pemuda itu bahkan tidak mengidahkan teriakan sekretaris yang melarangnya masuk ke dalam ruang kerja Fugaku. "Kau tidak boleh masuk tanpa janji temu!" seru wanita berambut coklat itu, keras. Dia segera menekan tombol bantuan untuk memanggil petugas keamanan, sedangkan Sasuke terus melangkah masuk ke dalam ruang kerja ayahnya tanpa mengetuk pintu.
"Maaf, Tuan Fugaku, saya sudah mencoba menghalanginya untuk masuk," ujar sekretaris itu takut dari belakang punggung Sasuke.
Fugaku menutup map di tangannya dan melepas kacamata bacanya untuk menatap si pembuat onar. "Tidak apa-apa, Yui. Dia putraku." Tukasnya penuh wibawa, sementara matanya terus menatap lurus ke arah putranya.
Yui, sekretaris muda itu hanya bisa menatap Sasuke dengan mulut terbuka lebar. Pemuda ini putra dari bosnya? Oh, tidak.
"Pergilah!" ujar Fugaku pada Yui yang masih berdiri membatu di tempatnya.
Yui segera membungkuk kecil setelah sadar dari keterkejutannya. Dia melirik sekilas pada Sasuke yang berdiri menghadapi ayahnya dengan wajah datar, sebelum akhirnya berbalik pergi dan menutup pintu ganda di belakangnya pelan.
"Kau tidak pulang selama bertahun-tahun dan datang untuk membuat keributan?" tanya Fugaku dengan sorot mata tajam.
"Aku memerlukan bantuanmu, Ayah." Kata Sasuke langsung pada tujuannya.
Sebelah alis Fugaku naik, dia sama sekali tidak menyangka jika putra bungsunya akan datang untuk meminta bantuannya. Pasti ada hal yang sangat mendesak, pikir Fugaku. "Kau meminta bantuanku?" tanya Fugaku dengan ekspresi datar. "Anak keras kepala sepertimu mau datang dan memohon bantuan dariku? Dari ayah yang sangat dibencinya? Apa aku tidak salah dengar?" tanyanya lagi, beruntun.
"Aku akan melakukan apapun yang Ayah inginkan. Tapi untuk kali ini, aku mohon bantuan ayah."
Fugaku melepas napas panjang dan menyandarkan diri pada punggung kursi kerjanya, mencari posisi duduk yang nyaman. Ditelitinya dengan baik ekspresi putra bungsunya. Ah, Sasuke tumbuh dengan pesat. Tidak ada lagi wajah kanak-kanak pada diri putra bungsunya, hanya ada rahang tegas yang membuat putranya terlihat begitu dewasa. "Apa yang bisa kubantu untukmu?"
Sasuke berjalan mendekat dan menyodorkan telepon genggamnya pada Fugaku. Fugaku mengernyit melihat foto seorang gadis remaja di telepon genggam putranya. "Kau ingin aku menculiknya?" tanyanya datar.
Sebuah dengusan kasar terdengar, Sasuke mendelik dan melotot marah. "Jangan bercanda, Yah!"
Fugaku mengangkat kedua bahunya dan menjawab santai. "Aku tidak bercanda."
"Tolong bantu aku mencarinya," ujar Sasuke setelah berhasil menstabilkan emosinya. "Dia menghilang, telepon genggamnya juga tidak aktif. Aku takut dia tersesat lagi."
"Woah, kau sepertinya mengenalnya dengan sangat baik, Sasuke. Apa hubunganmu dengannya?"
Sasuke terdiam, benar, apa hubungan Naruto dengannya? Mereka hanya dua orang asing yang terpaksa tinggal bersama karena keadaan. Kenapa dia khawatir setiap kali Naruto menghilang atau bertindak bodoh? Kenapa dia harus secemas itu?
"Jadi, apa hubunganmu dengan anak perempuan ini?" tanya Fugaku lagi, sambil menunjuk foto Naruto dengan dagunya. "Apa arti dia untukmu? Berikan aku alasan kenapa aku harus membantumu!"
Hening.
"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus merasa cemas setiap kali dia berbuat bodoh dan tersesat jalan," Sasuke mulai bicara setelah terdiam cukup lama. Fugaku menutup mulutnya rapat, mendengarkan penuturan putranya dengan seksama. "Aku tidak tahu sejak kapan hatiku membuncah senang setiap kali dia melempar senyum kearahku. Aku juga tidak tahu kenapa hatiku merasa nyaman saat mendengar gelak tawanya. Hingga saat ini, aku sama sekali tidak tahu apa arti Naruto untukku, Ayah."
Fugaku tersenyum kecil mendengar penuturan Sasuke. Putra bungsunya jelas menyukai anak perempuan ini. "Sejak kapan dia menghilang?"
"Aku tidak tahu," jawab Sasuke membuat Fugaku kembali menekuk dahinya dalam. "Kyuubi dan Kimimaro-nii mencari Naruto sejak tadi sore, tapi Naruto tidak ditemukan dimanapun."
Fugaku mengangguk pelan, "dimana anak perempuan itu tinggal?"
"Di rumahku?" jawab Sasuke datar, membuat Fugaku hampir terjatuh dari kursi kerjanya.
"Kalian tinggal bersama?" teriak Fugaku, Sasuke hanya mengangguk pelan. "Sejak kapan?"
"Kurang lebih sudah sebelas hari."
"Bagaimana bisa kalian tinggal bersama? Kalian hanya tinggal berdua saja?" tanya Fugaku lagi, beruntun.
"Begitulah," Sasuke kembali menjawab tanpa beban.
"Lalu, apa kalian?" Fugaku berdeham dan kembali bicara, "apa kalian, kau tahu?"
"Jangan bercanda, Yah!" raung Sasuke marah. "Kami tidak mungkin melakukan hal macam-macam," tambahnya cepat. "Naruto ditipu oleh Danzo-san yang menyewakan apartemenku. Dia tidak memiliki tempat tinggal lain selama berada di Tokyo. Lagipula rencananya hari Minggu besok, kakaknya akan datang menjemputnya."
Fugaku tersenyum tipis mendengar ucapan terakhir Sasuke yang terdengar tidak rela. "Ayah akan mengerahkan anak buah untuk mencarinya. Sebaiknya kau pulang dan tunggu berita dari ayah."
"Tidak," sahut Sasuke menggelengkan kepala. "Aku juga akan mencarinya."
"Kalau begitu aku akan menemanimu untuk mencarinya."
"Tidak perlu," tolak Sasuke cepat. "Aku bisa mencarinya sendiri."
Fugaku melempar tatapannya keluar kaca ruang kerjanya, di luar langit begitu gelap. "Hujan turun deras di luar, kau memerlukan kendaraan untuk mencari anak itu. Lagipula, kau berjanji akan mematuhi apapun perintahku. Lupa?"
Sasuke kembali terdiam.
"Kirim foto pacarmu kepadaku, aku akan menyebarkannya pada anak buahku agar mereka bisa segera mencarinya."
"Dia bukan pacarku," Sasuke meralat terlalu cepat.
"Cepat kirim!" ujar Fugaku dengan senyum tipis, membuat Sasuke sedikit gugup di bawah tatapan tajam ayahnya.
Fugaku segera memanggil sepuluh anak buahnya ke kantor, dan memberikan intruksi cepat untuk mencari Naruto. Sasuke membantunya, menjelaskan secara rinci tempat-tempat mana saja yang biasa didatangi oleh Naruto serta kebiasaan gadis itu yang sering tersesat.
.
.
.
Pukul sebelas malam, Fugaku mengantar Sasuke pulang ke apartemen. Pencarian mereka tidak membuahkan hasil, begitu juga dengan Kyuubi dan Kimimaro. Semuanya memutuskan untuk pulang dan melanjutkan pencarian besok pagi.
"Ayah, lampu apartemenku menyala," seru Sasuke penuh harap. "Apa mungkin dia sudah pulang?"
Fugaku hanya terdiam sementara Sasuke membuka pintu apartemennya dan masuk ke dalamnya untuk mencari Naruto. Air muka pemuda itu berubah menakutkan saat melihat sosok yang dicarinya duduk di lantai dengan tubuh basah kuyup.
"Kau kemana saja?" Sasuke membentak karena cemas. Dia lalu berlutut dan menggoyangkan bahu Naruto keras. "Kenapa kau basah kuyup? Kau membuat kami khawatir." Omelnya. "Bicara! Kenapa kau diam saja?"
"Sasuke, tenang!" Fugaku menengahi. Ada yang salah dengan anak perempuan ini, pikir Fugaku saat melihat tatapan kosong Naruto. "Bicara lebih pelan padanya," ujar Fugaku lagi.
"Aku sangat marah padamu," tukas Sasuke semakin kesal karena Naruto tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kau membuat kami panik. Ayah, Kyuubi dan Kimimaro-nii mencarimu-"
"Sasuke?" potong Naruto lirih masih dengan tatapan kosong.
"Kau mau minta maaf?" ejek Sasuke. "Aku tidak akan memaafkanmu semudah itu."
Naruto menggeleng pelan dan menjawab dengan suara tercekat. "Mereka bilang nenekku tidak bertahan."
"Apa maksudmu?" tanya Sasuke tidak mengerti.
"Nenekku meninggal, Sas." Naruto menyodorkan telepon genggamnya pada Sasuke. "Tuan Smith meneleponku dan dia mengatakan jika nenekku tidak bertahan. Dokter gagal menyelamatkan nyawanya. Padahal rencananya aku akan terbang ke Pretoria besok, kenapa nenek tidak menungguku datang?" Naruto terus bicara tanpa ekspresi.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Sasuke berbisik lirih. Dia melirik lewat bahunya saat Fugaku menepuk bahu kanannya pelan.
"Temanmu masih syok, Sasuke. Berikan dia waktu untuk pulih," tukas Fugaku. "Apa kau punya teman wanita yang bisa kau mintai tolong? Kurasa Naruto harus dibantu berganti pakaian. Dia bisa jatuh sakit jika terus mengenakan pakaian basah itu."
Tiga puluh menit kemudian, Kimimaro dan Kyuubi tiba di tempat Sasuke. Keduanya terlihat sangat cemas karena penuturan Sasuke mengenai kondisi Naruto saat ini. "Ada apa dengannya?" tanya Kyuubi khawatir. Dia berlutut dan berbicara lembut, "Naruto?" panggilnya pelan.
"Dia terus seperti itu sejak kami datang," ujar Sasuke yang juga terlihat cemas.
"Apa kau bisa membantunya untuk berganti pakaian, Kyuu?" suara Fugaku membuat Kyuubi mendongak, terkejut akan keberadaan Uchiha Fugaku yang baru disadarinya. "Kenapa kau terkejut melihatku?" tanya Fugaku tersenyum kecil.
"Maaf, Paman!" seru Kyuubi. "Saya hanya tidak menyangka jika paman bisa berada di sini," tukasnya jujur.
"Itu tidak penting. Kau harus cepat mengganti pakaian Naruto, dia bisa sakit. Kita bisa bertanya padanya besok. Kurasa dia masih sangat syok karena kematian neneknya."
Kyuubi mengangguk cepat, dan segera memapah Naruto masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
"Aku sudah mengganti pakaiannya dan memberinya obat agar dia bisa tidur," lapor Kyuubi beberapa menit kemudian pada tiga orang pria yang menunggu di ruang santai. "Sebenarnya apa yang terjadi? Naruto sama sekali tidak bicara di dalam dan tatapannya begitu kosong."
"Dia mengatakan neneknya meninggal di Pretoria," jawab Sasuke. Pemuda itu sejenak memejamkan mata dan melepas napas panjang sebelum kembali bicara, "yang tidak aku mengerti, kenapa neneknya ada di Pretoria? Karena Naruto pernah mengatakan jika neneknya menjadi dokter sukarelawan di Addis Ababa, Ethiopia."
"Mungkin terjadi sesuatu saat neneknya ada di Ethiopia hingga beliau dipindahkan ke Pretoria dan meninggal di sana," Kimimaro menimpali.
"Sebaiknya kita tunggu Naruto pulih," tukas Fugaku. "Semuanya akan jelas jika kita bertanya langsung padanya. Tapi untuk saat ini, lebih baik biarkan dia istirahat. Dan kau Kyuubi, sebaiknya kau menginap dan menjaganya malam ini. Mungkin dia membutuhkan sesuatu."
"Tentu," jawab Kyuubi tanpa perlu berpikir panjang.
"Aku bisa menjaganya, Yah." Sasuke protes keras. "Tidak perlu Kyuubi untuk menjaganya. Aku sendiri mampu melakukannya."
"Kau pria, Sasuke." Ujar Fugaku sambil menepuk bahu Sasuke, meminta pengertian. "Ada beberapa hal yang tidak bisa kau lakukan dan lebih nyaman jika yang membantu temanmu saat ini seorang wanita juga."
"Aku setuju," ujar Kimimaro membuat Sasuke mendengus tidak suka. "Sebaiknya aku pulang dan memberitahu orang rumah jika Kyuubi menginap di sini malam ini. Besok aku akan datang lagi, mungkin Naruto memerlukan kita untuk persiapan kedatangan jenazah."
"Apa jenazahnya akan dibawa ke Jepang?" tanya Kyuubi. "Tidak ke Amerika?"
"Kita juga akan menanyakan hal ini pada Naruto besok," sahut Fugaku. "Sebaiknya kalian semua istirahat," tambahnya tenang. "Sasuke, ayah pulang dulu. Besok ayah datang lagi."
Sasuke mengangguk kecil saat ayahnya bangkit berdiri dan berpamitan pada Kyuubi serta Kimimaro. Sasuke mengantarkan Fugaku hingga depan pintu dan berujar lirih, "terima kasih untuk bantuannya."
Fugaku menghentikan langkahnya, berbalik dan menatap wajah putranya penuh kasih. Ia mengacak lembut rambut Sasuke dan tersenyum tipis, "sudah menjadi tugas seorang ayah untuk melindungi dan membantu anaknya. Kau tidak perlu berterima kasih untuk itu. Mengerti?"
Sasuke mengangguk pelan. "Maafkan aku, Yah!"
"Apa yang harus kumaafkan?" Fugaku balik bertanya.
"Selama ini aku tidak pernah memikirkan perasaan ayah. Aku tidak pernah berpikir jika ayah juga merasakan kesedihan yang sama saat ibu meninggal. Aku tidak pernah berpikir jika ayah juga memerlukan seseorang untuk mengisi kekosongan hati itu. Dan dengan egoisnya aku melarang ayah untuk menikah lagi dan memutuskan keluar rumah, maafkan aku. Tolong maafkan aku...!"
Fugaku menatap sendu putranya. Ini merupakan kalimat terpanjang yang didengarnya dari mulut Sasuke. Pernikahan keduanya memang digagalkan oleh Sasuke. Hal itu membuatnya marah besar dan berakhir dengan perginya Sasuke dari rumah. Dada pria itu terasa sesak saat mengingat lontaran kalimat yang diucapkannya pada Sasuke, hal yang masih disesalinya hingga detik ini. Fugaku terus menunggu hingga Sasuke siap untuk bertemu dengannya. Dan dia sama sekali tidak menyangka jika Sasuke akan luluh dalam waktu hampir tiga tahun.
Tubuhnya secara otomatis bergerak untuk memeluk tubuh putranya yang sudah begitu tinggi. Ah, kenapa waktu cepat sekali berlalu? Putranya sudah dewasa saat ini. "Maaf karena seharusnya ayah meminta pendapatmu terlebih dahulu sebelum membuat keputusan yang sangat penting. Dalam mimpi sekalipun aku tidak berani berandai mendapat maaf darimu, Sasuke. Kesalahanku terlalu besar. Ayah tidak bisa mengembalikan waktu, tapi bisakah kau memberikan ayah kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya?"
Sasuke terdiam.
"Aku mungkin bukan ayah terbaik di dunia, tapi demi kau dan demi Itachi, ayah akan berusaha menjadi ayah yang bisa kalian banggakan dan andalkan. Tolong berikan ayah kesempatan untuk melakukannya."
Sasuke sama sekali tidak menjawab, tidak butuh kalimat untuk menjawab permintaan Fugaku. Sasuke hanya membalas pelukan itu erat. Pelukan pertama yang dia terima dan bisa dia balas setelah bertahun-tahun lamanya. Pelukan yang memperbaiki hubungan buruknya dengan sang ayah. Ya, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Semua orang berhak untuk bahagia.
.
.
.
"Kau darimana saja, Kimimaro?" suara tegas Minato menghentikan langkah Kimimaro yang hendak melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Kimimaro berbalik, tatapannya beradu temu dengan tatapan mata Minato yang jelas meminta penjelasan. "Kenapa kau pulang seorang diri? Mana Kyuubi?" tanyanya lagi beruntun.
"Kyuubi menginap di rumah teman," jawab Kimimaro."
"Dan kau mengijinkannya menginap di rumah teman disaat seperti ini?" Minato terdengar sangat marah. "Bagaimana bisa kalian melakukan hal seperti itu disaat kita sedang berusaha mencari keberadaan adik bungsu kalian?" tanya Minato dengan nada suara lebih rendah. Dia terlihat begitu kecewa.
"Sebenarnya ada apa, Yah?" Kimimaro balik bertanya. "Ayah tidak mungkin semarah ini hanya karena Kyuubi menginap di rumah teman." Dia berjalan mendekati Minato yang kini mendudukkan diri di sofa terdekat.
Minato menunduk dalam, kedua matanya terpejam erat. Kenapa dia harus melampiaskan amarahnya pada Kimimaro? "Maaf," katanya lirih. "Sore tadi Kakashi baru memberikan laporan mengenai adikmu," jelas Minato sementara Kimimaro ikut mendudukkan diri di sofa tepat di depan Minato.
Jantung Kimimaro berdetak semakin cepat. Tidak. Dia tidak mau mendengar berita buruk mengenai adik bungsunya. "Apa ada hal buruk terjadi pada adik bungsuku?"
Minato tersenyum pahit dan menatap Kimimaro lurus. "Aku ayah yang sangat buruk," kata Minato tidak menjawab pertanyaan putra sulungnya.
"Apa maksud ayah?" tanya Kimimaro tidak mengerti. "Ayah?" panggilnya lagi saat Minato tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Aku sudah pernah bertemu, ah, lebih tepatnya melihat adik bungsumu; Naruto."
"Apa?" Kimimaro tersentak kaget mendengar penuturan ayahnya. "Dimana? Bagaimana bisa?" tanyanya beruntun.
Minato terdiam sesaat sebelum berbicara. "Hampir dua minggu yang lalu di kantor, aku melihat seorang gadis muda berdiri di meja penerima tamu. Dan siapa yang menyangka jika dia adalah adikmu?"
Kimimario menekuk wajahnya. "Apa ayah yakin?"
"Sangat," jawab Minato dengan keyakinan penuh. "Seharusnya saat itu aku mengejarnya dan menanyakan alasan kedatangannya ke kantor. Dan kenapa aku tidak mengenalinya sebagai putriku? Putri kandungku?"
"Tapi saat itu ayah belum tahu jika dia adalah putri kandung ayah. Lagipula, mungkin perawakannya saja yang sama. Belum tentu dia Naruto."
Minato menggeleng pelan, "tidak. Aku sangat yakin jika dia adalah adikmu." Minato memberikan selembar foto pada Kimimaro. Kimimaro menerima foto itu dan serta merta wajahnya memucat. "Begitu pun dengan ibumu. Dia tidak berhenti menangis sepanjang sore. Ternyata ibumu juga pernah bertemu dengan Naruto. Bahkan mereka berdua sempat berjalan-jalan di daerah Kamakura," Minato tertawa kering. "Takdir benar-benar mempermainkan keluarga kita."
"Ayah, dia Naruto?" tanya Kimimaro dengan suara bergetar. Air matanya nyaris menetes saat ini. Foto itu adalah foto Naruto, Senju Naruto yang dikenalnya. Yang saat ini tengah dijaga oleh Kyuubi. Ternyata pemikiran Kyuubi benar, gadis itu adalah adik bungsu mereka yang hilang.
"Ya, itu adikmu. Dia sangat cantik, bukan?" Minato tersenyum bangga namun sorot matanya terlihat sangat sedih. Dia melewatkan hal-hal penting yang sudah terjadi di dalam kehidupan putri bungsunya. Dan nanti apa yang harus dikatakannya saat mereka bertemu muka? "Wanita yang bersamanya merupakan nenek angkat Naruto, sedangkan pemuda di samping Naruto, adalah kakak sepupunya. Itu yang dilaporkan Kakashi. Pamanmu sedang berusaha untuk mencari dimana Naruto tinggal selama di Jepang pada pihak imigrasi. Semoga kita bisa mendapat kabar secepatnya. Ayah sangat khawatir pada ibu kalian. Dia menolak makan dan terus mengurung diri di dalam kamar. Dia pun menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa mengenali Naruto."
Kimimaro terdiam lama, akhirnya dia bisa melihat nenek serta kakak yang begitu dicintai oleh adik bungsunya. Entah kenapa hatinya merasa cemburu melihat kedekatan ketiganya di dalam foto itu. Namun dia pun merasa bahagia karena adiknya mendapatkan keluarga yang begitu mencintainya. "Ayah?"
"Hm...?" Minato menyahut dan melap air mata yang jatuh dari sudut-sudut matanya dengan punggung tangan kanannya.
"Aku dan Kyuubi juga sudah bertemu dengannya," katanya, dengan suara bergetar.
"Apa maksudmu?"
Kimimaro meletakkan foto di tangannya ke atas meja di depannya. Kepalanya menunduk menekuri jari-jari tangannya yang saling bertaut. Sakit. Hatinya begitu sakit. "Gadis remaja yang kutabrak tempo hari adalah Naruto, adikku sendiri, jika laporan yang diberikan Kakashi memang benar adanya."
Minato terkesiap, dia menyandarkan diri pada punggung sofa, kekuatannya seolah menguap hilang bersama udara di sekitarnya. "Dia; Naruto? Naruto kita?"
"Ya," sahut Kimimaro pendek. Air matanya berderai turun. Ada perasaan bersalah namun lega secara bersamaan. Entahlah, perasaannya campur aduk saat ini.
"Apa maksudmu, Kimimaro?" Kushina yang sedari tadi mencuri dengar pembicaraan suami dan putra sulungnya ikut bicara. Ia menggenggam erat dadanya, anak-anaknya juga sudah bertemu dengan Naruto?
"Bu-"
"Kau tahu dimana dia saat ini?" Kushina memotong ucapan Kimimaro. Dia berjalan cepat ke arah putranya dan mencengkam kedua bahu Kimimaro, wajahnya terlihat lelah dan sedih. "Tolong katakan jika kau tahu dimana dia saat ini. Kumohon...!" Kushina mulai menangis.
"Aku tahu dimana dia sekarang," jawab Kimimaro serak. "Kyuubi bahkan menginap di rumahnya saat ini."
Minato dan Kushina terkesiap kaget. Kyuubi bersama Naruto saat ini? "Bagaimana bisa?" tanya Kushina pelan.
"Sesuatu terjadi," jawab Kimimaro mulai menceritakan duduk persoalannya.
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi pada putri kita?" Minato memeluk tubuh Kushina yang terus menangis mendengar penuturan Kimimaro. "Kenapa putri kita begitu malang?" tanya Kushina lagi disela tangisnya. "Bawa aku kesana, Kimimaro. Aku harus berada di sisi adikmu saat ini. Dia membutuhkan kita semua."
Minato menggelengkan kepala pelan dan mengelus punggung Kushina penuh kasih untuk menenangkannya. "Kita hanya akan mengganggunya jika datang malam ini. Ini sudah larut malam. Naruto memerlukan istirahat. Besok kita akan datang untuk menemuinya."
"Apa kita akan memberitahukannya mengenai siapa kita?" Kushina kembali bertanya. Dia mengambil beberapa lembar tisu untuk melap air matanya. Wanita itu berusaha mengendalikan diri.
Kimimaro melepas napas panjang. "Kurasa kurang bijak jika kita tiba-tiba datang dan mengatakan jika kita adalah keluarganya. Naruto bisa syok, dia pasti bertanya kenapa dia berakhir di panti asuhan. Lalu apa yang harus kita katakan? Kebenaran jika nenek kandungnya sendiri yang membuangnya? Rasanya itu tidak mungkin. Perasaannya sangat sensitif saat ini, lebih baik kita menunggu waktu yang tepat untuk memberitahunya."
Dan ketiganya pun sepakat untuk memberi Naruto waktu hingga masa berkabungnya berakhir.
.
.
.
Pagi ini Sasuke terbangun oleh aroma sedap masakan dari dapur. Pemuda itu menggeliat dan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya bangun sepenuhnya. Sasuke berjalan pelan menuju dapur dan menatap punggung Naruto yang terlihat sibuk memasak. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sasuke pelan. Ingin sekali dia memeluk dan memberikan penghiburan pada Naruto. Kenapa gadis itu malah menyapanya dengan senyum ramah yang sangat memikat? Kenapa Naruto begitu hebat dalam menyembunyikan perasaan yang sebenarnya?
"Aku menyiapkan sarapan pagi untuk kita," jawab Naruto. "Sepertinya Kyuubi-nee sangat kelelahan. Jangan terlalu berisik, kau bisa membangunkannya." Tambahnya tenang.
Dan bagaimana bisa kau mengkhawatirkan keadaan orang lain saat hatimu sendiri sedang hancur?
"Cepat cuci muka! Sebentar lagi sarapan akan siap. Ada hal yang ingin aku bicarakan," katanya, masih dengan ekspresi tenang yang sama.
Lima belas menit kemudian Sasuke sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Naruto mengernyit dalam, "kau tidak sekolah?"
"Tidak," jawab Sasuke datar. Dia baru saja akan duduk di kursi saat bel pintu rumahnya berbunyi. "Mungkin ayah atau Kimimaro-nii," ucapnya pelan dan segera beranjak untuk membuka pintu. Sasuke mengernyit bingung saat ayahnya datang bersama Kimimaro dan siapa pria dan wanita paruh baya itu? Sasuke sama sekali tidak mengenal keduanya.
"Kami bertemu di depan," Fugaku menjawab pertanyaan tak terucap dari mulut Sasuke. "Ini Namikaze Minato serta istrinya, mereka teman lama ayah yang juga orangtua dari Kyuubi dan Kimimaro."
Sasuke mengangguk pelan dan membuka lebar pintu rumahnya dan mempersilahkan tamunya untuk masuk. Dia bahkan bisa menangkap jika orangtua Kyuubi sangat gugup saat ini.
"Aku membawa pakaian ganti untuk Kyuubi," Kushina memperlihatkan sebuah kantong kertas berisi perlengkapan milik Kyuubi. Kushina berdiri mematung saat melihat sosok Naruto yang tengah menyiapkan sarapan pagi. Dia meremas dadanya erat, dadanya sesak, lidahnya terasa kelu. Minato mengelus punggung Kushina, berbisik agar istrinya itu kembali tenang.
"Ah, Bibi?" Naruto menatap Kushina tak percaya. "Anda ada disini?" gadis itu menghambur dan memeluk Kushina erat. "Apa kabar?" tanyanya terdengar senang. Kushina membalas pelukan itu erat, seolah takut jika Naruto akan kembali hilang. "Kenapa anda menangis?" tanya Naruto yang menyeka air mata Kushina.
Mulut Kushina bergetar hebat, ia menggeleng pelan dan mengecup kening Naruto sayang. "Aku merindukanmu," jawabnya lembut dengan senyum tipis. "Kau baik-baik saja?"
Naruto memiringkan kepalanya ke satu sisi, "aku baik-baik saja. Ah, aku baru selesai membuat sarapan. Mau sarapan bersama?" tawarnya ramah.
Fugaku dan Minato saling melempar pandangan, Naruto jelas berusaha bersikap begitu kuat. Namun hal itu malah membuatnya semakin terlihat begitu rapuh.
"Meja makan tidak akan muat untuk kita semua," Naruto memasang pose berpikir. "Kita sarapan di ruang santai saja," usulnya. "Sasuke tolong bantu aku menyiapkan meja." Tanpa banyak bicara, Sasuke segera membantu Naruto menyiapkan sarapan.
"Dimana Kyuubi?" tanya Kushina setelah berhasil menenangkan diri.
"Dia masih tidur," jawab Naruto dengan menekuk mulutnya ke atas.
Kimimaro berdesis dan menggelengkan kepala pelan. Seharusnya Naruto yang masih tidur saat ini, kenapa malah terbalik?
"Kyuubi-nee menjagaku sepanjang malam, dia pasti kelelahan," Naruto menjelaskan. "Ngomong-ngomong, apa hubungan bibi dengan Kyuubi-nee?"
"Dia anak keduaku," jawab Kushina. "Kimimaro putra pertamaku, dan ini suamiku." Jelas Kushina. Naruto membungkuk dalam, memberi salam pada Minato yang menatap nanar padanya.
"Jadi kalian keluarga?" pekik Naruto. "Dunia ternyata sangat sempit," ia terkekeh kecil. Semua orang di dalam ruangan itu hanya terdiam, bingung karena Naruto bersikap ceria seperti biasa.
"Sebaiknya aku bangunkan Kyuubi agar kita bisa sarapan bersama. Aku ingin mencicipi masakanmu," Kushina bicara dengan nada biasa yang dipaksakan. "Dimana kamarnya?" Naruto menunjuk kamar yang ditempati Kyuubi dan kembali menyiapkan sarapan dibantu oleh Sasuke dan Kimimaro.
Tiga puluh menit kemudian Kyuubi keluar dengan mata sembab. Kushina menjelaskan semuanya pada Kyuubi di dalam kamar tadi. Kyuubi bahkan berusaha menahan diri untuk tidak menyerbu dan memeluk Naruto erat saat ini.
"Ada apa dengan matamu, Kyuubi-nee?" tanya Naruto bingung.
"Aku kebanyakan tidur," jawab Kyuubi berbohong. "Seharusnya kau membangunkanku sejak tadi," tambahnya parau.
"Wah, kelihatannya semua makanan ini sangat lezat." Fugaku buka suara untuk memecah ketegangan di antara mereka. "Perutku sudah sangat lapar. Bagaimana denganmu, Minato?"
"Ah," Minato terperanjat dan memasang senyum yang tidak menyetuh kedua bola matanya. "Aku juga sudah sangat lapar."
"Kalau begitu, selamat makan!" Naruto menundukkan kepala, berdoa dan mulai menyantap sarapannya dengan lahap. Untung saja kari yang dibuat Naruto cukup banyak hingga bisa disantap oleh tujuh orang. Benar-benar beruntung.
.
.
.
"Perihal kemarin, aku minta maaf karena sudah membuat semua kerepotan," Naruto menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan menunduk. Semua orang berkumpul di ruang tengah setelah selesai sarapan. Kyuubi dan Kimimaro terlihat sibuk di dapur unuk mencuci peralatan makan yang kotor.
"Jadi nenekmu benar meninggal?" tanya Fugaku hati-hati. "Maaf, karena kemarin kau tidak mengatakannya dengan jelas hingga kami perlu meluruskannya saat ini. Mungkin kami bisa membantu untuk pemakamannya?"
Naruto mengangguk pelan, "kemarin saya mendapat telepon dari kedutaan besar. Mereka mengatakan jika nenek saya mengalami kecelakaan helikopter dan terluka parah." Naruto menjelaskan dengan suara tenang. "Tuan Smith; juru bicara pihak kedutaan mengatakan jika nenek dipindahkan ke Pretoria untuk pengobatan intensif. Semuanya terjadi sangat cepat hingga saya panik dan lupa memberitahu Sasuke kemana saya pergi."
"Lalu?" Kushina bertanya dengan suara tercekat. Minato menggenggam tangan istrinya yang bergetar hebat menahan tangis.
"Saya terpaksa berada di kedutaan besar lebih lama karena pihak kedutaan akan mengatur keberangkatan saya ke Pretoria," jawab Naruto lagi panjang lebar. Gadis itu mengambil napas panjang, ekspresi wajahnya masih terlihat biasa saat dia kembali bicara. "Kemarin malam saya baru sadar jika telepon genggam saya kehabisan baterai, dan saat sudah terisi giliran telepon genggam Sasuke yang tidak bisa saya hubungi," Naruto melirik ke arah Sasuke dan tersenyum kecil sementara Sasuke mengumpat di dalam hati, tadi malam telepon genggamnya memang kehabisan baterai. Seharusnya aku mengeceknya dulu kemarin, pikirnya kesal.
"Saat pulang ke rumah, saya mendapat telepon lagi yang mengatakan jika nenek saya meninggal dunia. Dia tidak bertahan," jelas Naruto pelan.
"Kau akan pulang ke Amerika?" tanya Minato. Tangannya menggenggam semakin erat tangan istrinya yang terasa dingin.
Naruto menggeleng lalu menjawab. "Nenek pernah berpesan, dia ingin dimakamkan di tanah kelahirannya; Konoha. Karena itu saya akan meminta tolong pihak kedutaan untuk mengatur kepulangan jenazah beliau ke Jepang."
"Kami akan membantumu."
Naruto mendongak, menatap Minato dengan mata safirnya yang berbinar penuh terima kasih. "Anda semua mau membantuku?" tanyanya nyaris tak percaya.
"Tentu saja," sambung Kushina. Dia mengelap hidungnya dengan tisu. "Aku akan mengatur tempat di rumah kita untuk menyambut kedatangan jenazah nenekmu."
"Ah, tidak perlu sejauh itu, Bibi." Naruto menolak halus. "Saya sudah menghubungi Bibi Shizune untuk mengatur pemakaman nenek. Dia akan menyewa rumah duka untuk tempat penghormatan terakhir sebelum nenek dimakamkan."
"Akan lebih baik jika kau menggunakan rumah kami sebagai rumah duka." Minato bersikeras mendukung keputusan istrinya. "Lagipula, rumah kami juga di Konoha. Jika menyewa ruangan di rumah duka, kau harus menginap di sana selama masa penghormatan. Kami akan lebih tenang jika kau menginap di rumah kami saja selama masa itu."
"Tapi saya jadi merepotkan anda semua." Naruto menautkan tangannya erat-erat di pangkuan dan memandanginya lama-lama. Pikirannya kini begitu kosong, hatinya terasa sangat hampa.
"Keputusan sudah dibuat," Fugaku kembali bicara setelah keheningan yang cukup lama. "Rumah keluarga Namikaze akan menjadi rumah duka untuk penghormatan terakhir nenekmu. Dan kau menginap di sana selama prosesi berlangsung. Tidak ada tapi!" seru Fugaku saat Naruto hendak protes. "Sebaiknya memang seperti itu. Dan bagaimana dengan kakakmu? Sasuke bilang kau memiliki seorang kakak?"
"Pihak kedutaan Amerika di Peru sedang melacak keberadaannya," jawab Naruto. "Saya tetap akan mengebumikan nenek walau tanpa kehadiran Dei-nii."
Kushina bergerak untuk memeluk tubuh Naruto. Dia menangis tersedu, rasa sakit di dadanya berlipat ganda karena melihat putrinya yang terlihat begitu tegar saat ini. Kenapa Naruto harus berpura-pura tegar? Kenapa?
.
.
.
Hari berlalu dengan cepat setelahnya. Dengan koneksi yang dimikiki Fugaku dan Minato, jenazah Tsunade berhasil dipulangkan ke Jepang tiga hari kemudian. Para kolega Tsunade mulai berdatangan ke kediaman Namikaze untuk memberikan penghormatan terakhir. Semua rahasia mengenai identitas asli Naruto masih tetap dirahasiakan dari gadis remaja itu hingga detik ini.
Sasuke yang sudah diberitahu mengenai kebenarannya pun memilih untuk menutup mulutnya rapat karena hal ini di luar wewenangnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Sasuke pada Naruto yang terus berdiri di samping peti mati Tsunade. Pemuda itu begitu mencemaskan Naruto. Gadis itu sama sekali tidak menangis, dia bersikap begitu tegar, dia bahkan mampu tersenyum untuk mengucapkan terima kasih pada semua kolega Tsunade yang datang memberi penghormatan. "Kau bisa menangis jika kau sudah tidak mampu menahannya," Sasuke berkata pelan.
Naruto menggeleng dan menjawab tenang. "Aku baik-baik saja, Sasuke."
"Jika kau baik-baik saja, kau tidak akan terus memasang senyum palsu seperti sekarang!" Sasuke nyaris frustasi karena tidak bisa berbuat apapun untuk menghibur Naruto. "Kau membuatku sangat cemas!" tambahnya pelan. "Menangislah kalau kau mau menangis. Menangislah agar beban di hatimu hilang. Berbagilah kesedihan denganku, jangan menanggungnya seorang diri." Pinta Sasuke parau.
Sementara itu, di luar kediaman Namikaze, seorang pria muda berambut pirang berlari cepat menuju rumah duka. Tasnya terjatuh saat matanya menatap peti mati hitam berkilat di ruangan besar yang penuh sesak oleh para pelayat.
Langkah kakinya semakin gontai saat dia melihat adiknya berdiri di samping peti mati. Deidara melepas napas lelah, dia sama sekali tidak menyangka jika pada akhirnya akan berakhir seperti ini. Dia tidak menyangka jika dia akan memakamkan jasad neneknya begitu cepat.
"Dei?" panggil Shizune pelan, kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Namun seolah tuli, Deidara terus berjalan menuju peti mati.
Para pelayat mulai berbisik, simpati melihat kedatangan Deidara, begitupun dengan Minato dan Kushina. "Yah, bukankah itu kakak angkat Naruto?" tanya Kyuubi berbisik pelan.
"Mungkin ada baiknya kita berikan waktu pada Naruto dan kakak angkatnya untuk bicara," ujar Minato bijak.
"Naruto?" panggil Deidara serak.
Naruto berpaling, mendengus dan berlari menuju kakak angkatnya. "Kenapa kau baru datang?" bentak Naruto marah sambil memukul-mukul dada Deidara tanpa henti. Deidara tidak menjawab, dia hanya merengkuh tubuh Naruto yang terduduk, hilang kekuatan. "Kenapa kau baru datang?" bentak Naruto lagi. Air matanya kini mengalir hebat. Gadis itu menangis untuk pertama kali sejak berita kematian nenek angkatnya diterimanya. "Aku menunggumu di sini? Apa kau tidak tahu jika aku sangat mencemaskanmu? Apa kau tahu bagaimana perasaanku saat nenek meninggal? Aku bingung, Kak. Apa yang harus aku katakan saat kau kembali sementara nenek sudah dikebumikan? Aku bingung..." Naruto terus berkata tanpa henti. "Maafkan aku, Kak!" Naruto mendongak menatap kakaknya dengan wajah berlinang air mata.
Deidara menghapus jejak air mata itu dan berkata, "maaf untuk apa?"
Naruto terisak hebat, dadanya berdenyut sakit, mulutnya bergetar saat ia kembali bicara. "Maaf karena kakak harus kehilangan nenek."
Deidara tercekat, kenapa Naruto harus minta maaf? "Kenapa kau harus meminta maaf?" dia balik bertanya. "Bukan hanya aku yang kehilangan, kau juga kehilangan nenekmu!" Deidara menangis dengan memeluk erat tubuh Naruto yang kini menangis keras. Keduanya saling menumpahkan kesedihan. Kesedihan karena kehilangan orang yang sangat mereka sayangi.
Pemakaman Tsunade dilaksanakan sore harinya. Upacaranya begitu khidmat. Naruto dan Deidara berdiri di samping pusara dengan duka yang mendalam. Naruto kembali menangis saat ia melempar bunga mawar putih ke dalam liang lahat Tsunade. Deidara memeluknya erat, mencoba memberikan penghiburan walau hatinya pun sama sedihnya.
.
.
.
Naruto sudah tertidur saat Deidara turun ke lantai satu dan berjalan ke ruang keluarga dimana keluarga besar Namikaze dan Uchiha berkumpul. "Deidara membungkuk kecil sebelum duduk nyaman di sebuah sofa kosong yang tersedia di sana." Semua orang di dalam ruangan itu terlihat begitu lelah. "Maaf karena kami sudah menyusahkan dan membuat repot anda semua," kata Deidara dengan suara berat. "Dan terima kasih untuk semua bantuan anda semua untuk keluarga saya. Terima kasih karena anda bersedia menjaga adik saya; Naruto."
"Sebenarnya ada yang ingin kami bicarakan, Dei." Minato menyahut. "Boleh aku memanggilmu seperti itu?"
Deidara mengangguk, sama sekali tidak keberatan.
"Kami ingin mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Naruto," lanjut Minato. Ruangan itu begitu sunyi setelahnya. Ada ketegangan menggantung di sana sebelum akhirnya Deidara melepas napas panjang dan menatap Minato juga Kushina dengan ekspresi serius.
"Naruto, dia putri kalian?" tebak Deidara tepat sasaran. Kushina dan Minato mengerjapkan mata. Kyuubi dan Kimimaro saling melempar pandang, sementara Fugaku dan Sasuke tetap bersikap tenang begitu juga dengan Itachi.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Kushina bertanya lirih.
Deidara tersenyum kecil dan menjawab, "aku melihat kemiripan antara Naruto dengan anda Tuan Namikaze. Dan melihat bagaimana keluarga ini memperlakukan adikku, aku hanya bisa menarik satu kesimpulan, Naruto putri kalian." Jelas Deidara. "Namun ada satu hal yang ingin aku pastikan, kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kalian mencari adikku?"
Kushina menunduk, ia mengerjapkan mata menghalau air matanya yang hendak keluar. "Tujuh belas tahun, sembilan bulan lebih lima hari," Kushina tersenyum tipis saat Deidara menatapnya tak mengerti. "Aku terus menghitung setiap hari sejak ibuku memberitahu jika putri bungsuku meninggal dunia. Aku tidak pernah tahu jika Naruto masih hidup, hingga satu minggu yang lalu." Minato merangkul bahu Kushina, mengelusnya pelan untuk memberinya kekuatan.
"Kapan kalian akan memberitahu Naruto tentang ini?" tanya Deidara lagi. Baik Kushina maupun Minato hanya terdiam seribu bahasa. Bingung. Alasan apa yang harus mereka katakan pada Naruto? Nenek kandungnyalah yang membuangnya? Naruto pasti sakit hati jika mendengarnya. Keduanya tidak mau membuat putri bungsunya sakit hati dan merasa tidak dicintai. Tidak. Mereka tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya pada Naruto.
"Kita akan mencari alasan lain agar Naruto tidak sakit hati. Kita akan memberitahunya jika kalian keluarga kandungnya-"
"Kalian keluargaku?" tanya Naruto yang muncul dari balik pintu. Sebenarnya dia bangun dan mengikuti Deidara sejak pria itu keluar dari kamarnya. Naruto pun mendengar semua percakapan keluarganya. Kini dia tahu alasan kenapa dia bisa berakhir di panti asuhan. Jadi nenek kandungnya yang membuangnya? Naruto memang sangat sedih saat mengetahuinya, tapi dia juga bersyukur karena hal itu dia bertemu dengan Tsunade dan Deidara yang sangat menyayanginya.
Naruto kembali menangis malam itu. Namun kali ini tangis bahagialah yang dia tumpahkan. Minato, Kushina, Kimimaro dan Kyuubi memeluknya hangat. Kelimanya menangis dan tertawa bahagia karena pada akhirnya bisa kembali bersama. Fugaku, Itachi dan Sasuke mengamatinya dalam diam. Ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh keluarga Namikaze.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya Minato pada Deidara. "Kemarilah, mulai detik ini, kau juga putraku. Kau juga anak kami, bagian dari keluarga Namikaze." Minato merentangkan tangan kanannya dan memeluk Deidara yang berjalan mendekat dengan wajah berkaca-kaca."
Tuhan mengambil orang yang paling disayanginya, tapi Tuhan juga memberikan keluarga baru sebagai penggantinya.
.
.
.
Seminggu berlalu sejak pemakaman Tsunade. Sasuke sudah pulang dan kembali tinggal di rumah ayahnya di Tokyo. Hubungan keluarga Uchiha pun membaik, mereka sepakat untuk memulai lembaran baru. Sementara itu, Deidara dipaksa untuk tinggal menemani Naruto di Konoha. Baik Kushina dan Minato tidak mengijinkan Deidara untuk pulang ke New York.
"Aku harus kembali ke Amerika dan mencari pekerjaan," ujar Deidara beralasan. "Lagipula ada kalian yang menjaga Naruto di sini. Aku tidak perlu khawatir selama ada kalian."
"Naruto membutuhkanmu, Dei." Kushina menjawab, meminta pengertian Deidara. "Apa kau tidak bisa mencari pekerjaan di sini? Kau bisa bekerja untuk ayahmu di sini." Tawarnya penuh harap.
Deidara terlihat berpikir keras, menimang-nimang sebelum akhirnya menjawab dengan yakin. "Jika aku tinggal di sini, siapa yang akan menjaga Naruto setelah dia pulang ke New York?" tanyanya. "Naruto pasti akan kembali ke sana untuk menyelesaikan sekolah balletnya."
"Dia tidak akan tinggal di sini?" tanya Kushina cemas. "Tapi kita baru saja-"
"Kita akan menyerahkan semua keputusan pada Naruto," potong Minato mencoba menenangkan istrinya yang terlihat gelisah. "Kita tidak bisa memaksanya, Kushina."
"Karena itulah aku akan pergi mencari kerja di New York agar bisa menjaganya selama dia sekolah di sana," Deidara kembali bicara dengan tenang.
"Kalau begitu aku juga akan sekolah di New York untuk menjaganya," seru Kyuubi yang akhirnya keluar dari persembunyiannya.
"Aku juga akan mencari kerja di sana," Kimimaro ikut menimpali dengan serius.
Kushina berkacak pinggang dan menatap galak kedua anaknya itu. "Kalian mau meninggalkanku di sini seorang diri? Kalau begitu, kenapa kita tidak pindah saja kesana sekalian?"
"Tapi, Bu. Rumah pasti sangat sepi jika tidak ada Naruto." Rajuk Kyuubi. "Aku setuju jika kita pindah ke sana."
"Aku akan pulang setiap liburan," Naruto berjalan pelan menuju ruang keluarga dan duduk di pangkuan Minato dengan manja. "Ayah, aku akan melanjutkan sekolah di sana. Boleh, kan?" rayunya. Minato mencubit gemas pipi Naruto dan mengangguk, setuju.
"Kau mudah sekali luluh oleh rayuan putrimu," Kushina mengeluh. Kushina memanggil Naruto untuk duduk di sampingnya. Ia merengkuh tubuh putrinya dan mendaratkan sebuah kecupan sayang di kedua pipi putrinya. "Kau tidak akan pulang cepat, kan? Bukankah liburanmu masih ada satu minggu lagi?"
Naruto mengangguk. "Aku akan pulang minggu depan. Jadi kita bisa menghabiskan waktu bersama lebih lama." Kushina kembali mengecup pipi putrinya penuh sayang. "Ah, ngomong-ngomong, besok aku akan ke Tokyo?"
"Menemui Sasuke?" tanya Kimimaro, Deidara dan Kyuubi secara bersamaan. Mereka terlihat cemburu. "Kau masih kecil, tidak boleh pacaran!" ujar Kimimaro dengan melipat kedua tangan di depan dada. Deidara dan Kyuubi mengangguk, menyetujui.
"Jadi kau pacaran dengan Sasuke?" selidik Minato dengan mata menyipit. "Kakakmu benar, kau masih kecil untuk pacaran."
"Aku tidak pacaran," bantah Naruto. "Aku dan Sasuke hanya berteman. Tidak lebih."
"Tidak apa-apa, Sayang. Ibu setuju jika Sasuke menjadi calon suamimu."
"Bu?!" teriak Kimimaro, Deidara dan Kyuubi tidak rela. Sementara Minato cemberut tidak suka.
Kushina memutar kedua bola matanya. Keluarganya terlalu protektif terhadap Naruto. Dasar berlebihan! Pikirnya. "Ibu akan mengantarmu besok," Kushina tersenyum menatap Naruto. Dia membelai rambut pirang putrinya penuh kasih.
"Tidak perlu, Bu. Aku akan naik bis saja-"
"Tidak!" seru Deidara memotong ucapan Naruto. "Aku tidak mengijinkanmu pergi sendiri. Kau selalu tersesat, ingat?"
Naruto menekuk wajahnya dalam.
"Kalau begitu aku saja yang akan mengantarmu," tawar Kyuubi bersemangat. Namun Minato dan Kushina menolak usulan itu dengan cepat. "Kenapa?" tanya Kyuubi tidak mengerti.
"Cara menyetirmu sangat mengkhawatirkan, Kyuu." Ujar Kushina. "Mungkin lebih baik jika supir saja yang mengantar, Naruto." Usul Kushina. "Bukankah besok kau akan ke kantor ayahmu untuk mengecek masalah IT, Dei?"
"Ah, iya. Aku hampir lupa." Deidara menghela napas panjang dan menepuk keningnya keras.
"Dan kau juga harus bekerja, Kimimaro. Sudah berapa hari kau bolos kerja?" omel Kushina membuat Kimimaro bungkam tak mampu melawan. "Baiklah, sudah diputuskan. Besok Naruto akan diantar supir ke Tokyo. Tidak akan ada yang menemaninya," tambah Kushina saat anak-anak serta suaminya hendak protes. "Naruto perlu waktu untuk bicara dengan Sasuke. Titik."
Ah, senangnya jika berada di satu kubu yang berkuasa. Batin Naruto senang sambil memeluk tubuh ibunya erat.
.
.
.
Naruto menemui Sasuke keesokan harinya. Sasuke tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya saat Naruto datang siang ini. "Kau datang diantar siapa?" tanya Sasuke basa-basi. "Kau tidak datang sendiri, kan?"
"Diantar supir," jawab Naruto. Dia mengeluarkan beberapa kotak makanan dari dalam tasnya dan memberikannya pada Sasuke. "Ini bekal makan siang," ujar Naruto menjawab kernyitan pada wajah Sasuke.
"Sebanyak ini?" tanya Sasuke.
"Tolong berikan pada Shikamaru, Neji, Gaara dan Kiba juga," jelas Naruto membuat Sasuke mendelik tidak suka. "Aku membuatkan bekal yang berbeda untukmu." Sebelah alis Sasuke terangkat mendengarnya, dia menekuk mulutnya tipis ke atas karena senang. "Apa setiap tahun festivalnya selalu seramai ini?" tanya Naruto mengalihkan topik pembicaraan.
"Hn," sahut Sasuke tidak jelas. "Ngomong-ngomong, kapan kau akan pulang?"
"Akhir minggu besok," jawab Naruto. "Tapi aku akan pulang ke Jepang setiap liburan."
"Begitu?" tanya Sasuke datar. "Naruto, aku-"
"Aku tidak boleh pacaran," potong Naruto cepat.
"Eh?"
"Kau mau menembakku, kan?"
"Kenapa kau begitu percaya diri?" bentak Sasuke sebal. "Siapa juga yang mau dengan wanita mengesalkan sepertimu?" tambahnya cepat sambil memalingkan muka.
"Jadi kau tidak menyukaiku?" tanya Naruto menyelidik. "Jadi aku bertepuk sebelah tangan?"
"Apa?" Sasuke terperanjat kaget. "Maksudmu kau menyukaiku?" tanyanya lagi. Naruto mengangkat bahu ringan. "Bukankah kau tadi bilang jika kau tidak boleh pacaran?"
Naruto berdecak dan mendesis keras, "aku hanya mengatakan jika aku tidak boleh pacaran. Iya, kan. Apa aku mengatakan hal lain?"
"Lalu maksudmu apa?" tanya Sasuke gemas.
"Saat ini kita masih remaja, Sasuke. Ya. Aku memang menyukaimu, tapi sekali lagi, kita masih remaja. Kita masih perlu belajar banyak untuk masa depan kita. Bisakah kau menunggu hingga beberapa tahun lagi?"
Sasuke terdiam.
"Kau tidak mau menungguku?"
"Aku akan menunggumu," sahut Sasuke mantap. "Aku akan menunggu hingga kita dewasa. Aku janji." Ucapnya membuat Naruto mengangguk dan tersenyum senang mendengarnya.
Kushina yang sejak awal mengikuti Naruto tersenyum penuh kebanggaan. Putrinya sangat dewasa, hal itu membuatnya lega dan yakin untuk melepas Naruto pulang ke New York. Kushina kembali bersembunyi di balik pepohonan saat Naruto berdiri dan melambaikan tangan pada Sasuke. Naruto akan pergi kemana? Tanyanya dalam hati saat Naruto masuk ke dalam mobil. Apa dia akan pulang?
Kushina menuju mobilnya dengan setengah berlari. Ia menghidupkan mesin mobil dan mulai mengikuti mobil yang ditumpangi oleh Naruto. Kening Kushina ditekuk dalam saat mobil yang membawa Naruto berbelok menuju rumah sakit. Siapa yang akan ditemui olehnya? Kushina terkesiap saat pemikiran itu muncul di otaknya. Apa mungkin Naruto datang untuk menemui Mito; nenek kandungnya?
.
.
.
Naruto berdiri cukup lama di depan pintu kamar inap Mito. Dia menunduk, menekuri keramik putih di bawahnya. Apa yang harus kukatakan? Batinnya gelisah. Dia mengambil napas dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar.
"Kau siapa?" tanya Mito yang duduk di atas tempat tidurnya dengan sebuah buku di tangannya.
Naruto terkesiap, pura-pura bingung. "Eh, kenapa anda ada di sini?" tanyanya.
Mito membuka kacamata bacanya lalu meletakkannya di atas meja di samping tempat tidurnya. "Maksudmu apa?" Mito balik bertanya. "Ini kamar inapku. Siapa yang kau cari?"
"Teman," sahut Naruto dengan nada senormal mungkin. "Dia mengatakan jika dia dirawat di kamar ini."
"Mungkin temanmu salah memberi informasi," ujar Mito tenang. "Atau dia membohongimu."
Naruto terlihat berpikir keras sebelum akhirnya mendudukkan diri di tempat tidur Mito. "Kalau begitu aku mengunjungi anda saja. Boleh?"
Kedua alis Mito terangkat mendengarnya, sebelum akhirnya dia tertawa. Tawa tulusnya yang pertama. "Kau benar-benar aneh, gadis kecil," ujarnya terkekeh pelan.
"Anda sakit apa?" tanya Naruto.
"Penyakit tua," jawab Mito.
"Tidak ada keluarga yang mejengukmu?"
Mito tersenyum pahit dan menjawab lirih, "bukankah kau sedang menjengukku saat ini?"
"Ah, benar juga." Jawab Naruto polos. "Apa aku boleh menjenguk anda lagi?"
"Kau ini bicara apa? Kau datang tanpa diundang dan sekarang kau meminta persetujuanku untuk datang kembali?"
"Aku hanya mencoba bersikap sopan," balas Naruto.
"Kau boleh datang kapan saja, Nak." Mito tersenyum lembut saat mengatakannya. Naruto tersenyum lebar dan memeluk Mito singkat. Pelukan yang membuat Mito sedikit terkejut.
"Tapi aku pulang ke Amerika, minggu besok." Naruto menunduk sedih. "Apa anda akan merasa kehilangan jika aku tidak datang menjenguk?"
"Kau memang aneh," seru Mito. "Mungkin aku memang akan sedih jika kau tidak datang berkunjung lagi." Tambahnya serius. "Kau menetap tinggal di Amerika?"
"Ya. Aku besar dan sekolah di New York. Aku calon penari ballet profesional," ujarnya penuh kebanggaan. "Apa anda bersedia datang jika aku mengundang anda di pentas perdanaku nanti?"
"Kau mau mengundangku?" tanya Mito kaget.
"Kenapa tidak?" sahut Naruto santai. "Nenekku baru saja meninggal minggu lalu. Dia nenek terbaik di dunia. Apakah anda bersedia datang untuk menggantikannya?"
Mito membelai rambut pirang Naruto. Entah kenapa ada perasaan sayang di hatinya untuk gadis remaja di hadapannya ini. Dia pun merasa aneh karena hal itu. "Aku pasti datang jika kau mengundangku," janjinya. "Kau bisa mengirim undangan itu ke alamat email pribadiku." Mito mengambil sebuah buku dan pulpen dari atas meja, menulis alamat email pribadinya lalu menyobek kertas itu untuk diberikan pada Naruto. "Simpan dengan baik, aku akan menunggu undanganmu."
"Tentu," sahut Naruto antusias. "Boleh aku meminta sesuatu dari anda?" Sebelah alis Mito terangkat naik mendengarnya. "Apa...?" tanyanya ramah. "Boleh aku mencium pipimu?" tanya Naruto malu-malu.
Mito tergelak, dan meminta Naruto untuk mendekat. "Kemarilah!" dia memberikan pelukan hangat pada gadis asing di depannya sementara Naruto mendaratkan sebuah ciuman singkat di pipi kanan neneknya itu.
Kushina berjalan masuk setelah Naruto keluar dari ruang inap neneknya. Mito melirik ke arah Kushina, wajahnya terlihat berbinar karena bahagia. Kushina menimang-nimang, haruskah dia mengatakan kebenarannya?
"Kau datang?" tanya Mito. "Kau seharusnya datang lebih awal. Tadi ada seorang gadis-"
"Aku tahu," potong Kushina. Dia mengambil selembar tisu dari dalam tas tangannya untuk mengelap air matanya. "Aku mengenal anak gadis itu, Bu."
"Kau mengenalnya?" Mito terlihat antusias saat mendengarnya. "Siapa namanya? Aku semakin pikun hingga lupa menanyakan namanya."
"Bu," Kushina mengambil napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak semakin cepat. "Anak gadis itu- putri bungsuku, cucumu sendiri; Naruto."
Mito menatap nanar putrinya, matanya kemudian terpejam saat rasa sesak itu menerkam dadanya begitu hebat. "Dia cucuku?" beo Mito. "Ya, Tuhan. Dia cucuku?"
"Bu, mari kita lupakan masa lalu dan memulai kehidupan baru. Seperti halnya Naruto, aku ingin memulai semuanya dari awal."
Mito membuka matanya perlahan, dan mengangguk kecil. "Maaf..." ucapnya lirih dalam pelukan Kushina. "Maafkan ibu, Nak." Ucapnya terus menerus dengan air mata yang tidak mampu dibendungnya.
.
.
.
I'll never stop dreaming that one day we can be a real family, together, all of us laughing and talking, loving and understanding, not looking at the past but only to the future (LaToya Jackson)
.
.
.
Lima tahun kemudian :
"Sikap ayah dan kakakmu sangat berlebihan," bisik Kushina yang saat ini tengah mengulang sebuah video lagu terbaru di laptop miliknya. "Memangnya apa yang salah dari Naruto? Dia terlihat sangat cantik di video klip ini," Kushina tersenyum bangga.
Kyuubi mengangguk menyetujui, dan mendelik ke arah ayah dan Kimimaro yang saat ini tengah mengomeli Naruto lewat sambungan telepon. "Jika ayah dan kakak bersikap seperti ini, bagaimana dengan Sasuke?"
"Mungkin dia akan segera terbang menuju New York dengan penerbangan pertama," jawab Kushina dengan terkikik kecil.
Dilain tempat, Itachi bergegas masuk ke dalam ruangan kerja Fugaku. Wajahnya ditekuk dalam saat ini. "Ayah, apa ayah tahu kemana Sasuke pergi?" tanya Itachi dengan ekspresi serius.
Fugaku melirik lewat kacamata bacanya dan menjawab datar. "Adikmu meminta libur selama dua minggu dan aku memberinya ijin."
"Tapi, dia memberikan setumpuk pekerjaan padaku," protes Itachi kesal.
"Bukankah kau sering melakukannya pada Sasuke?" jawab Fugaku menohok Itachi. "Sebaiknya kau kembali ke ruang kerjamu dan kerjakan tugas-tugasmu dengan baik."
Itachi sama sekali tidak menjawab, dia segera berbalik dan kembali ke ruangannya masih dengan wajah ditekuk dalam.
Sementara itu, Naruto terbangun dari tidurnya karena suara bel pintu rumahnya yang terus berbunyi tanpa henti. Siapa yang membangunkannya di tengah malam seperti ini? Naruto berjalan setengah mengantuk dan membuka pintu rumahnya. "Kau?" katanya kaget saat melihat Sasuke berdiri di depan pintu rumahnya dengan ekspresi datar.
Sasuke segera masuk ke dalam tanpa permisi. Dia menarik kopernya dan mendudukkan dirinya di sofa di ruang tamu. "Boleh aku meminta secangkir kopi?"
Naruto menghela napas dan menggeleng pelan. Namun pada akhirnya dia membuatkan secangkir kopi panas untuk Sasuke. "Kenapa kau datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu?"
"Kejutan," jawab Sasuke dingin seraya menyesap pelan kopinya.
"Seharusnya kau memberitahuku jika mau datang, jadi aku bisa menjemputmu di bandara."
"Tidak perlu," balas Sasuke ketus. "Buktinya aku bisa sampai di sini dengan selamat."
Naruto mengernyit saat mendengar nada tidak bersahabat dari suara Sasuke. Pasti terjadi sesuatu hingga membuat Sasuke begitu marah, pikirnya. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
Sasuke meletakkan cangkir kopinya dan menyempitkan mata saat menatap Naruto. "Video klip itu-"
"Ah..." ujar Naruto akhirnya mengerti kenapa Sasuke bersikap begitu aneh. "Kau sudah melihat video klipnya? Responnya sangat bagus. Aku bahkan ditawari untuk membintangi video klip dari artis terkenal lainnya."
"Kau harus menolaknya!" desis Sasuke tidak suka. "Bagaimana bisa kau menari begitu intim dengan seorang pria?"
Naruto memutar kedua bola matanya, bosan. "Itu hanya bagian dari pekerjaan. Tidak lebih dari pertunjukkan," ujarnya membela diri.
"Partnermu menyukaimu, Naruto." Sasuke mengangkat kedua tangannya ke udara. "Aku tidak suka cara dia menatapmu."
"Di video klip itu kami berperan sebagai sepasang kekasih, tentu saja ekspresinya harus seperti itu." Naruto kemudian mendudukkan diri di samping Sasuke dan menyandarkan kepalanya pada bahu bidang pria itu. "Kau tidak perlu cemburu, Sasuke. Itu hanya akting."
Hening.
"Daripada memikirkan hal yang tidak penting, ada hal lain yang harus kau pikirkan," ujar Naruto membuat Sasuke menoleh dan mengernyit tak mengerti. "Kemarin nenek meneleponku, dan dengan jelas dia mengatakan jika dia melarangku menikah cepat. Bagaimana?"
Sasuke menghela napas panjang. Hingga saat ini dia masih belum mendapat restu dari Minato, Kimimaro, juga Deidara, dan sekarang, Mito juga menjadi tembok penghalang? Oh, yang benar saja!
"Kenapa nenekmu mengatakan hal itu?"
Naruto mengangkat bahu, "beliau hanya mengatakan ingin melewatkan waktu lebih lama denganku. Itu saja."
Sasuke kembali terdiam, hingga sebuah ide muncul di pikirannya. "Bagaimana kalau kita memberi dia cicit?"
"Kau gila?!" bentak Naruto dengan wajah bersemu merah. "Beliau pasti menerima cicit, tapi dia tidak akan menerimamu selamanya."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Sasuke nyaris putus asa. Kenapa hubungannya dengan Naruto harus begitu sulit dan penuh perjuangan?
"Pertama-tama, kita harus mencarikan pendamping untuk kedua kakak laki-lakiku," jawab Naruto serius. "Jika keduanya sudah menikah, konsentrasi mereka pasti terbelah dan tidak akan mengganggu hubungan kita lagi." Jelasnya membuat Sasuke menyeringai dan mengangguk setuju. "Kita juga harus menyatukan kakakmu dan Kak Kyuubi. Aku gemas melihat hubungan mereka saat ini. Aku tahu kakaku juga menyukai Kak Itachi, dia hanya bersikap jual mahal," Naruto menggeleng pelan saat mengatakannya.
"Sejujurnya aku tidak terlalu peduli dengan Itachi," ujar Sasuke datar. "Tapi karena ayah mewajibkan Itachi untuk menikah terlebih dahulu, aku jadi tidak punya pilihan lain, kan?"
"Kenapa kau begitu jahat pada kakakmu sendiri?" Naruto berdesis dan memukul keras bahu Sasuke.
"Karena dia menyebalkan," jawab Sasuke tanpa merasa bersalah.
"Kita harus memikirkan rencananya secara matang." Naruto kembali berekspresi serius saat mengatakannya.
"Tidak masalah," jawab Sasuke tenang. "Aku memiliki waktu empat belas hari untuk memikirkannya bersamamu."
"Kau libur selama itu?"
"Begitulah," jawab Sasuke tenang.
"Lalu, dimana kau akan menginap?" tanya Naruto lagi. Ck, entah kenapa dia tidak suka melihat senyum licik di wajah Sasuke saat ini.
"Untuk apa aku mengeluarkan uang jika aku bisa menginap gratis di sini," jawabnya santai. "Bukankah Dei-nii sedang tugas keluar kota selama satu bulan?" tanyanya penuh arti.
"Kau pasti bercanda?" cicit Naruto gugup.
Sasuke merangkul bahu Naruto dan berbisik pelan di telinga wanita muda itu. "Anggap saja ini sebagai balas budi karena kau pernah kuijinkan tinggal di rumahku selama empat belas hari."
Ah, tidak! Jerit Naruto di dalam hati, meratapi nasib.
.
.
.
END
Akhirnya fic ini selesai juga. Rencananya mau hibernasi selama bulan puasa, tapi akhirnya gagal juga. Hahaha! Terima kasih untuk semua dukungannya untuk fic ini. Untuk semua yang bersabar menunggu, untuk beberapa oknum yang neror minta fic ini cepet dilanjut, untuk semua yang sudah fav dan review juga saya ucapkan terima kasih.
Senang bisa berbagi imaginasi dengan kalian semua, teman-teman. Walau dalam perjalanannya saya perlu waktu yang cukup lama untuk update chap per chap. Yah, apa yang bisa saya katakan? Saya mah orangnya gitu, suka bikin pembaca kesel. Hahaha!
Maaf saya tidak menyebutkan satu persatu readers yang sudah memberikan saya dukungan. Hanya ucapan terima kasih yang bisa saya ucapkan untuk kalian semua. Sampai jumpa di fic lainnya!
#WeDoCareAboutSfN