Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk RnR fic saya, ataupun memberikan fave/follow/faves. Saya senang sekali. X"D

Yosh, I will survive!

Dozo, Minna-sama~

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi.I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.

Warnings: AR, boys love/shounen-ai, OOC, minim dialog, mild language, typo(s), rather heavy-themes, please beware of this fanfiction's diction, a little bit gore for this chapter, etc.

Special back sound: As Long as You Love Me – Justin Bieber

.

Saya sudah memberikan warnings. Jadi, jika ada yang tidak disukai, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. ;)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Tik.

Seperti gravitasi kini berpusat di pipi dan airmata pun merintih ke sana. Dinginnya persis aspal kasar dingin yang berfriksi dengan bagian bawah tubuhnya. Batuk tergelincir dari bibir. Erangan parau adalah manifestasi tubuh yang kaku, rangka tulang berderak karena linu, dan ditanggapi cekatan napas-napas pilu.

Rumbai bulu mata bergerak. Bola yang masih ditirai kelopak lalu ditarik katrol imajiner, menyingkap pupil mungil yang ketidaksadarannya terkoyak.

Udara yang dihirup menyerap asam, samar tercecap asin. Berbau memuakkan laiknya bensin bocor, memusingkan bahkan walau diekshalasi oleh tikus-tikus di gorong beraroma khas selokan, memualkan serupa bau mayat digerogoti dekomposer.

Kerjapan.

Posisi tubuhnya serong. Kepalanya terlengak sedikit. Dalam remang tanpa sistemasi pencahayaan benderang, meski sedemikian sulit mengidentifikasi lokasi dan mencerna persona diri sendiri, ada dinding baja kusam yang di puncaknya menyelipkan cahaya sayup di luar mengukuhkan impresi keterisolasian.

Tak butuh menjelma seorang dermawan dan membelikan lampu, sinergi dari lampu-lampu kemuning yang menyayat pedih retina itu menjatuhi seberkas foto. Itu dia dan dirinya. Matanya yang berbayang akan awang-awang suatu malam berdua dan kucuran air pelangi itu dan sekurva senyuman hangat, dan torehan pilu serupa baret luka di kepalanya.

"Oh, sudah sadar?"

Ia baru akan menoleh pada sumber suara dingin yang redah beraksen sinisme dengan kehendak mendestruksi mentalnya, tepat ketika matanya tertumbuk pada seseorang yang berbaring di hadapannya.

Mata terbelalak. Bibir terbuka separuh. Kaku. Hanya penggalan kepala bergenang kubangan darah. Tulang putih menggelantung di sentral bawah kepala bersama anyir likuid merah dan amis lapisan sandwich kulit serta buntalan otot tak bernyawa. Tak ada badan.

"AAAAAAAARRGHHH!"

Respons manusiawi itu yang terlambat menyadari tangan dan kakinya dililit belitan sadis tali-temali yang mengiritasi kulit—jika bebatan dibuka pasti akan terlihat bekas belitannya, Furihata Kouki histeris menjerit—tak menghiraukan luka di tubuh dan darah orang yang tak sengaja tersauh padanya.

Bahakan keji itu mengapresiasi kejutan yang disiapkannya karena bosan menunggu kartu truf mereka untuk memerangkap Akashi Seijuurou, mengabadikannya dalam kilatan putih benderang, ringkusan kamera menyekat momen tersebut.

"Oke. Kita harus menelepon titisan iblis sialan itu."

Sang Aknan melenggang arogan diiringi dayang-dayang berseragam seperti orang akan melayat ke makam.

Furihata susah payah berguling ke arah sebaliknya dari kepala seorang pria paruh baya entah siapa, menahan muntah yang menggelosor dari peningkatan drastis asam lambung akibat stressor traumatik melihat yang bahkan tak pernah hadir dalam mimpi terburuknya sekalipun. Baunya menjijikkan, menakutkan, mengerikan.

Tak dinyana, ditemukannya muda-mudi berusia tanggung menangis miris tak berani bersuara, lusuh berdebu dan terluka, terabaikan di pojokan bersama benda-benda mati laiknya drum-drum dan jejalan kontainer, berpaling dari Furihata serta pria malang yang mereka kenal baik selama menerima proses edukasi formal.

Antara kedua lanskap kolong langit yang merinaikan hujan pada aspal berdarah-darah, Furihata nanar tak berdaya memandang mereka dan tragis nasib yang tersekap di tempat antah-berantah.

.

#~**~#

A Kuroko no Basket fanfiction,

.

Silence

.

Chapter 10

"To Rescue You"

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

Dari tahun ke tahun, pengunjung yang datang ke gimnastik lokal Tokyo terkemuka itu mengalami peningkatan kuantitas. Terutama ketika babak eliminasi telah usai dan memasuki babak sepuluh besar. Maka tak mengherankan, loket tiket lebih cepat tutup karena tiket laris-manis terjual tanpa sisa.

Pasca babak perempat final kemarin dengan hasil Rakuzan versus Seirin dimenangkan oleh Rakuzan, dan Too versus Kaijou dimenangkan oleh Too, maka pertandingan hari ini adalah untuk menentukan posisi juara tiga dan empat. Seirin akan melawan Kaijou—lagi. Dan lusa, Rakuzan akan berhadapan dengan Too yang tahun ini sukses menyabet kemenangan konsekutif berturut-turut sampai ke final.

Akashi tidak keberatan dengan siapapun yang harus dihadapinya. Logikanya semata beropini bahwa Kise akan jadi lawan tangguh yang atraktif karena talenta tiada limitasi—hanya ia agak naïf, dan pasti akan sangat menantang melawan Kise yang merepresentasikan seluruh anggota Kiseki no Sedai dalam permainan basketnya.

Tapi toh nasib menakdirkan Too yang akan mengusung bendera untuk mengobarkan rivalitas di medan laga berkilauan kebanggaan para pebasket, berhadapan dengan tim emperor yang siap merebut tahtanya kembali.

Memantau perkembangan tim Too—terutama ace-nya, perkembangan pesat Aomine Daiki—mengingatkan Akashi pada Kagami—menjadikan pemuda negro itu rival yang setimpal dan siap merampas singgasana agung pemenang dari Rakuzan.

Saat bertemu di lobi, beberapa tim basket sedang berkumpul, Akashi sempat bertukar pandang dengan Aomine—yang hanya mengangguk sambil memulas seringai asal padanya. Berbanding terbalik dengan Momoi yang merekahkan senyum manis seraya melambai ceria padanya.

Lobi tampak dipadati kehadiran tim-tim basket, juga spektators yang sudah membawa properti dan tengah berlatih paduan sorak-sorai untuk mendukung tim yang hari ini bertanding. Ternyata mereka masih menunggu pintu gim menuju tribun dibuka.

Akashi yang tengah duduk di sebuah kursi mengabaikan pertengkaran ketiga seniornya. Entah apa. Ia akan menegur mereka nanti ketika pelatih kembali dan memberitahukan bahwa Rakuzan telah mereservasi tribun penonton di sisi terbaik untuk mengobservasi dua tim yang akan bertarung hari ini.

Mengenai tim yang akan bertanding hari ini, Akashi teringat determinasinya yang dikokohkan untuk mengungkapkan kesungguhannya—dan klarifikasi segala hal, pada salah seorang sosok di tim yang hendak bertanding memperjuangkan titel juara ketiga. Jadilah netra magentanya memindai ke seberang lapang.

Tim Kuda Hitam, lagi-lagi gagal jadi juara Inter-High tahun ini, menandingi rusuh racau kacau kawanan burang murai. Wajar adanya; mereka tipikal tim seperti itu. Tapi tidak seharusnya dengan mimik kegamangan, gemas, dan sebal terpeta pada setiap indvidu tim tersebut.

Akashi berekshalasi, memejamkan mata sekilas. Denyar lamat-lamat mengelenyar dalam diri, kasak-kusuk membahana buruk menjelma bisikan provokatif yang susah-payah Akashi enyahkan. Ia beranjak usai menalikan sepatunya dengan rapi, mengetukkan ujungnya untuk menguji ikatannya. Setelah mantap, mengerling trio Mukan no Goshou yang tak jelas saling ribut berdebat mengusung topic apa. Diliriknya junior yang merupakan starter muda.

"Aku pergi sebentar. Panggil aku jika Kantoku sudah kembali."

Junior itu melongo sebentar. Tak biasanya kapten tim mereka itu meninggalkan tim saat pelatih sedang tidak ada. Senior yang telah menjabat sebagai kapten sejak kelas satu tersebut tak pernah abai terhadap tanggung-jawabnya, tak juga dalam memonitor kelakuan setiap anggota tim.

"Hai', Akashi-Senpai."

Akashi menembus kerumunan dan orang-orang berlalu-lalang. Lurus melangkah ke seberang pandang. Tim Seirin dalam kondisi normal pasti telah menotis presensinya yang punya aura intimidatif. Mereka tidak seperti biasanya.

Pelatih yang Akashi tahu adalah siswi kelas tiga Seirin itu sedang mencak-mencak emosional, bila orang biasa terlalu awam untuk menyadari ada percikan kekhawatiran dalam falsetto alto omelannya.

"Akashi-kun."

Sapaan itu membungkam dengung konversasi dan perdebatan internal tim Seirin. Hanya Kuroko dan Kagami yang menyadari presensi asing dalam lingkungan tim mereka.

Akashi mengangguk tenang. Matanya terpicing tajam. Tiada seseorang yang dicarinya. Mungkin datang terlambat. Tapi kalau ia seterlambat ini untuk datang ke pertandingannya, tidakkah ia harusnya mengabari rekan-rekan setim Seirin sehingga tidak akan menimbulkan kepanikan segenting status siaga pemukiman di tepi gunung berapi?

"Bisakah aku bicara sebentar pada Kuroko?" pinta Akashi. Sopan, dan membuat individu lain gerombolan Seirin itu kian segan.

Mereka saling berpandangan ragu, Akashi sabar menunggu.

Kagami dan Kuroko bersipandang. Hanya keduanya yang paham, bahwa Akashi di hadapan mereka adalah Akashi Seijuurou yang sesungguhnya. Menatapi sosok emperor di hadapan mereka, baru menotis ceruk mata dengan iris merah tanpa anomali jingga. Kagami menepuk punggung Kuroko, mengangguk sekilas padanya.

"Sebentar saja, ya." Aida Riko mengangguk menyetujui. Ia mengerling adik kelasnya yang ternyata sedang meliriknya, menanti apakah ia diizinkan untuk bicara dengan Akashi.

"Cepat kembali, Kuroko-kun."

"Terima kasih, Kantoku." Kuroko keluar dari lingkaran timnya. Menatap Akashi yang saksama memerhatikan anggota timnya, asumsi bersemi di benaknya. "Ayo, Akashi-kun."

Pemuda bersurai magenta itu membalikkan badan. Jersey Rakuzan-nya tergantung menutupi garis bahu dan bidang pundaknya. Ia menuntun rekan setimnya ke sebuah pillar silinder berwarna putih—dengan noda di beberapa bagian. Menyandarkan diri ke penyangga gedung berbentuk silinder itu, bersidekap. Pandangannya kalkulatif beradu dengan biner lazuardi yang datar balas memandangnya dengan begitu observatif.

"Sesuatu telah terjadi." Akashi mencetuskan hal tersebut. Ia tidak akan mengungkapkan intensi sesungguhnya menghampiri Kuroko—karena tindakannya anomali dan pasti mengambangkan pertanyaan akan alasan.

Kuroko mengangguk. Menghela napas selintas. "Memang terjadi. Kemarin. Dan kemarinnya lagi. Beberapa kali."

Titik sudut bibirnya terangkat dalam sinisme. "Hari ini."

Sebelah alis biru langit terkernyit. Ia menginisiasi rencana untuk membuat Akashi membeberkan intensinya, namun pasti berbalik arah—dirinya yang justru akan dimanipulasi untuk memaparkan apa yang terjadi sesungguhnya. Tapi melihat kerapatan bibir itu terkatup—malah menyeringai antagonis yang mengundang dirinya untuk menghantamkan ignite pass demi menggerus seringai itu, Kuroko menghembuskan napas panjang lagi.

"Beritahu aku dulu apa yang terjadi antara kau dan Furihata-kun."

Kuroko tak menyenangi cara kelopak mata itu turun, dan seringai yang kian melebar. "Aku tidak tahu kau punya hobi mengendus privasi orang lain."

"Karena mungkin ada kaitannya dengan apa yang sekarang terjadi." Kuroko melangkah ke sisi lain pilar, turut menyandarkan tubuhnya.

Kediaman Akashi yang Kuroko kalkulasi dalam hati terlalu lama ketimbang seharusnya sang emperor lekas menjawab. Melirik, ternyata ada retakan dalam aura distan kapten tim Rakuzan tersebut.

"Aku tidak bisa bilang ada apa-apa antara kami." Akashi memelankan frekuensi suaranya. Sepi yang janggal mempolusi nada di tiap suku katanya. Memoarnya dibelenggu rana tak fana mengilas balik peristiwa kemarin.

"Ada sesuatu di antara kalian. Jika aku keliru, silakan koreksi, Akashi-kun." Kuroko kukuh pada konklusinya. Membuka telapak tangan, mengangkat satu per satu jemari.

"Pertama, ketika Furihata-kun pucat datang saat pertandingan pembukaan Inter-High. Dia terlalu lama untuk seseorang yang hanya pergi mengambil sepatu untuk Kawahara-kun."

Akashi menyahut tenang. "Aku baru tahu dia mengambil sepatu untuk orang lain."

"Kedua, selesai bertanding, dia bertingkah aneh karena langsung buru-buru pergi dari ruang loker. Dan kembali lagi dengan wajah murung."

Ah. Ketika Agata menciumnya. Di pelupuk mata magenta, terimaji mata selaras tapak bumi, solidasi retak. Keabsurdan dalam tingkahnya—dan caranya menghindari Akashi.

"Saat di Maji Burger, Furihata-kun tiba-tiba ingin keluar lagi padahal di luar sedang berbadai."

Akashi tak hirau pada kerling intensitas mata sebiru pangkal samudera.

"Aku lihat kau."

Ujung bibir Kuroko naik dalam untai kemenangan. Tensi mengakari kewaspadaan tergestur pada pemuda di sampingnya. "Kau pergi di kegelapan, tidak duduk di tempat."

Akashi takkan menampik bila Kuroko menuntut klarifikasi atas rahasia yang bersifat privasi, desperasi akan intimasi—berdua saja dengan Furihata. Dikungkung pekat gelap, dan terangnya netra seperti almond itu yang merefleksi pijar fantastis tujuh warna.

"Kemudian tiba-tiba saja Furihata duduk di lantai."

"Aku sudah bilang untuk tidak berpikir macam-macam, aku mengambilkan cincin Agata."

"Jika terjadi sesuatu saat itu, bagaimana?" Kuroko memancing.

Jawaban yang agak lama, kemudian. "Apa yang kau lihat?"

"Aku melihatmu berdiri di tengah ruangan Maji Burger saat petir menyambar kedua kali. Hanya badan bagian belakangmu terlihat. Bukan hanya aku, Murasakibara-kun juga lihat. Tapi jika aku tidak salah, ada seseorang di hadapanmu."

Menimbang sesaat. Akashi berekshalasi. "Dia di depanku." Dirasakannya sang pebasket bayangan terbeliak menatapnya.

Menerima sinyal penolakan untuk menjawab apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka, serta pengakuan kejujuran tak disangka apa adanya dari emperor muda itu, Kuroko menyimpulkan.

"Berarti benar; kau kemarin tidak datang secara tidak sengaja ke ruang tunggu Seirin."

"Aku ingin menghampirinya."

Kuroko perlahan menoleh ke mantan kapten tim basketnya. Terkejut.

"Tapi kau lihat reaksinya." Rijeksi dari Furihata Kouki.

Sang pemain bayangan meraba-raba dalam ambiguitas yang Akashi sampaikan. Tertatih menyusun informasi. Kuroko melenyapkan seliweran asumsi negatif seputar relasi Akashi dan teman setimnya. Aneh. Ia tak pernah tahu keduanya saling kenal, tapi bahkan dari visi kasat mata, seseorang bisa paham ada rantai relasi yang menautkan keduanya.

"Dia membenciku, sepertinya." Akashi memejamkan mata. Kenangan-kenangan kebersamaannya dengan Furihata menerangi kegelapan yang mengukungnya.

Sedepa jeda.

"Menurutku, tidak." Itulah yang Kuroko ucapkan sebagai tanggapan setelah beberapa saat kata-kata vakum dari pita suara mereka.

Dengusan rendah yang terdengar mencemooh di telinganya menyebabkan Kuroko berkata lagi, "Kalian harus meluruskan kesalahpahaman."

"Semoga benar kesalahpahaman." Akashi tanggap, sarkasme, rahangnya kaku hendak mengurvakan bibir menggapai tepian mata. Lirikan tajam menghunjam mantan rekan setim basketnya. "Sesuatu terjadi, hari ini, dan itu menyangkut dia."

"Benar." Kuroko mengangguk, kecemasan memolusi raut datar wajahnya. "Kami baru menerima kabar dari orangtua Furihata-kun yang mengabarkan bahwa Furihata-kun tidak pulang semalaman."

Akashi dipalu sembilu menyebabkan ngilu ulu hati. Kontan memfokuskan atensi pada Kuroko.

"Kami pikir dia menginap di rumah teman. Tapi Fukuda-kun dan Kawahara-kun sudah meneleponi seluruh teman sekelas mereka dengan Furihata-kun, juga teman-teman Furihata-kun yang mungkin diinapi, tak ada hasil.

"Paginya, Kantoku menyuruh kami mencari Furihata-kun di tempat mana pun yang memungkinkan kami menemukannya. Kami sudah cari kemana-mana, tidak seorangpun menemukan Furihata-kun. Kantoku telepon ke sekolah, tapi tidak ada hasil juga."

Kuroko berhati-hati seperti seorang peternak mencari jarum di antara tumpukan jerami agar tak dikonsumsi kudanya membeberkan informasi pada Akashi. Secercah sesal menyembul dalam dirinya.

Akashi jelas tidak terlihat baik-baik saja setelah mendengar informasinya.

"Apa kau dan dia terlibat sesuatu yang berbahaya?"

Meteor memori menghunjam lapak ingatan akan kisah setahun lalu. Dalam benak berjejelan asumsi semengerikan kawah chandra di muka bumi. Sebulir keringat dingin bergulir di pelipis, ini pertama kali. Mengoptimalkan kinerja neuron-neuron otaknya. Hingga secarik kenangan tak terlupa menyibak kelam ketakutan serupa malam diseruak gemilang kejora.

"Aku tahu dia di mana, sepertinya."

Ganti Kuroko yang kaget. "Benarkah?"

"Aku akan mencarinya." Akashi akan segera berlari bila Kuroko tak menginterupsi langkahnya.

"Aku ikut bersamamu. Bagaimanapun, Furihata-kun adalah temanku dan kami membutuhkannya sebagai point-guard starter untuk tim Seirin."

Akashi mengecek arloji, menggeleng tegas. "Tidak bisa. Seirin lawan Kaijou akan dimulai sejam lagi." Ia memosi pelatih Seirin yang mencak-mencak gemas tak karuan. "Pelatih kalian tidak akan mengizinkan starters pergi di saat genting begini."

"Tapi—"

"Biarkan dia pergi, Kuroko."

Kedua pemuda yang tengah bersitegang itu terpecah fokusnya pada Kagami yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dari mereka. Tak usah membeber penjelasan berbusa dari awal halaman sampai tutup buku, tampaknya Kagami cukup paham situasi dan kondisi yang tengah terjadi—secara harafiah ia mencuri dengar konversasi mereka.

"Akashi, aku tidak tahu dan tidak peduli apapun yang terjadi antara kau dan dia, tapi temukan Furi!" Kagami mengacungkan kepalan tinjunya pada kapten tim yang setahun lalu digilas habis oleh Seirin. "Kami akan menunggu di sini."

Kuroko menarik napas dalam. Sulit harus berdiam diri saja fokus pada pertarungan basket sementara hatinya tumpah-ruah oleh bah kekhawatiran. "Cepat beritahu kami jika sesuatu terjadi pada Furihata-kun."

Sepasang biner monokrom itu melunak. Tangannya terangkat mengepal, disinggungkan dengan kapalan tinju ace tim Seirin.

"Tentu. Aku pasti membawanya kembali."

Resolusi layaknya ikrar sejati.

Kuroko dan Kagami mengawasi kibasan jersey Rakuzan kilat menembus gelombang orang-orang yang merangsek masuk ke dalam gim. Menoleh sekilas ketika mendengar seseorang memanggil-manggil Akashi Seijuurou, tapi yang bersangkutan tuli dari geraman dunia yang menyembunyikan Furihata Kouki entah di mana.

.

#~**~#

.

Jika diingat-ingat, yang harusnya berdiri di spot ini memandang ke lubuk langit yang bercumbu dengan garis gedung-gedung pencakar langit dan tebing rerumputan di pinggir sungai adalah dia, bukan dirinya.

Marathon dengan roman yang sekilas tampak monoton. Sebaliknya, hatinya yang dihunjam bongkahan beton ketidaktahuan dan kekhawatiran berton-ton.

Kendati kini sungai tersebut disambangi oleh piknik keluarga yang berupaya menikmati Hanami—karena wangi bunga si simbol Negara Jepang bertaburan di udara, masih ada renik-renik kaum yang dikutuk peradaban umat dan fosil vandalisme mereka yang membangkang seraya melayangkan pertentangan untuk tetap eksis menyipu semu di kepala pohon.

Akashi menghirup semilir harum Sakura dan rerumputan basah. Obentou berisi sajian khas musim semi dari siapapun yang sialnya bisa berpiknik di saat seperti ini—bukan salah mereka tak tahu-menahu orang lain dihimpit siksa untuk mengetahui yang selalu di hati lenyap seperti matahari ditenggak cakrawala senja.

Pemuda itu menapaki lereng bukit. Kaki sadis menginjaki kuncup bunga yang sebenarnya gugup hidup sekali lagi. Hijau dicemari tanah. Coklat yang lunak. Ia memandangi sungai itu, bara di matanya redup.

Sungai itu tidak indah tanpa hujan cahaya beragam warna.

Tapi seindahnya sungai ini dalam legam malam dihujani cahaya warna-warni seperti pelangi, jika disuruh mengungkapkan, Akashi dapat frontal mengemukakan ia lebih suka melihat cahaya berpijar di mata solid kolong langit yang memandangnya dengan kesungguhan tanpa tipu daya pretentif.

Di mana dia?

Langkah-langkahnya bertransformasi, frekuensi kecepatan meningkat. Akashi berlari. Menjejak rumput yang berembun akibat dingin cuaca makin menurun, terpercik riak air sungai yang merangkak ke batas dataran karena dimainkan oleh orang-orang.

Langkah pertama. Pertama ia mengindenfikasi siluet yang bergetar ketakuan senaas tiang panjat pinang dicakari oleh para pemanjat.

Langkah kedua. Terus setiap waktu ia tak pergi jua. Tetap di situ, memantaunya—Akashi sadar itu, lalu ketika Akashi mengeborkan pandangan untuk menyelidik intensinya, ia keburu lari dicambuk ketakutannya.

Langkah ketiga, Akashi tak melihat spot yang selalu dipandanginya usai darah mengganti hijau rumput menjelma merah nan menguarkan amis memuakkan. Tak sudi mengingat ia dikeroyok terlalu banyak kriminal dan mereka membuatnya lumpuh total, jika saat itu ajal membunuh keabsolutannya, hal terakhir yang Akashi ingat adalah kelegaan merengkuh hampa tak tertara karena setidaknya ia pikir ia akan bertemu dengan ibunya. Tidak, seseorang melindunginya—dan Akashi membuka mata, hidup sekali lagi.

Langkah keempat, bukan berlokasi di pinggang sungai yang berpulang ke laut. Ruangan putih, seperti bau karbol dan medis memuakkan yang merampas wangi kasih ibunya—tak menghidupkannya, mereka berpandangan. Akashi tahu ia dipahami.

Langkah kelima, ia tak perlu memutar kepala—ekspetatif mendapati siluet bertremor di suatu spot. Seseorang itu menghampirinya, memberinya benda murahan dan absurd indah tak terkatakan, bening cahaya di mata yang solid meraup pesonanya. Sejak malam itu, Akashi mencari sendiri informasi tentang dirinya. Ia ingin melihat mata tersebut lagi, hanya merefleksi dirinya saja.

Langkah keenam, mereka bertemu lagi dalam tebaran harum air salonpas dan karet basket. Letup adrenalin, dan raungan lapar akan kemenangan. Betapa Akashi menginginkan bisa mengucapkan langsung bahwa ia sungguh senang mereka bertemu lagi, dan akan bertanding.

Langkah ketujuh, menemukan dirinya tersudut tak berdaya seumpaha fauna terluka oleh kebrutalan satu pak serigala yang hendak memangsa. Mereka tidak berkata-kata, hanya pandangan mata, dan pemahaman lagi-lagi mendahului kata-kata yang harusnya mereka ucapkan.

Langkah kedelapan, getir mendapati mimik seberantakan serakan kelopak Sakura terkoyak dipijak ke bumi. Satu ciuman, waktu tidak tepat. Jika saja ia tidak lekas berlari pergi, tak ada gadis malang itu, Akashi akan menahannya—memaksanya mengobatinya yang terluka karena menolong pebasket tim Seirin tersebut. Mungkin, untuk bicara. Entah apa.

Langkah kesembilan, celosan karena penolakan.

Langkah kesepuluh, Akashi kembali ke tempat pertama semua bermula dan segalanya, dia, juga tiada.

Di titik inilah Akashi merasiokan segalanya. Ia bahkan tak pernah berbahasa verbal dengan Furihata Kouki, apa yang dapat diekspetasi darinya untuk menemukan Furihata?

Aliran hulu sungai menyenandungkan mars hilir air bermuara ke samudera. Terdengar kakofoni, sarkasme di telinga pemuda berambut merah magenta yang tengah memetakan siluet punggung seorang pemuda biasa-biasa saja duduk di bantaran sungai.

"Hah … haaah … AKASHI!"

Yang dipanggil menoleh. Seseorang yang tak pernah Akashi sangka akan muncul menghampirinya bersama seseorang yang dikenalinya secara temporer. "Higuchi-san."

"Aku dari tadi memanggil-manggilmu, kau malah pergi saja." Higuchi menormalkan lajur tenggorokannya dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida.

"Aku sudah bilang pada Shirogane dan Higuchi, Akashi. Kau ikut denganku sekarang."

"—Inspektur." Akashi memicingkan mata. "Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana kau bisa kenal Higuchi-san?"

"Akan kujelaskan nanti." Inspektur itu kini tak mengenakan kostum holmes-nya lagi, hanya tuksedo formal biasa. Akashi bisa meneliti kerutan terlampau dalam di dahi lebar pria tersebut. "Higuchi yang akan menjaga tim basketmu sementara kau harus ikut denganku."

Sedepa jeda. Inspektur mengeluarkan ponselnya, menekan nomor salah seorang bawahannya untuk menjemput mereka di tempat tersebut.

"Tidak bisa. Ada yang harus kulakukan."

Inspektur mendelik dingin pada Akashi, berdeduksi meneliti reaksi determinatif Akashi. "Aku tidak menawarkan, kau harus ikut denganku. Ini genting."

"Kesepakatan kita hanya bila aku ingin melakukannya, sudah selesai sejak tahun lalu, dan aku tidak ingin melakukan hal-hal itu lagi," tolak Akashi tegas.

"Bocah ini." Inspektur bersidekap, berdiri menjulang di hadapan pemuda yang menumpas gembong kriminal kelas kakap lebih baik dengan tangan kosong, jauh lebih baik bahkan daripada anak-anak buahnya. "Dengarkan, kami membutuhkanmu. Ini karena kepolisian baru saja menerima—"

Drrrrt.

Drrrt.

Drrrt.

"Maaf, sebentar." Akashi merogoh saku jersey Rakuzan-nya. Nomor privasi. Orang iseng. Namun intuisinya menggerung protes, pikatan sendu firasat memprovokasi Akashi untuk memijit ikon gagang telepon warna hijau. "Halo."

"Akashi Seijuurou?"

Roman wajah sang pemuda mengeruh dengan pemahaman itu adalah suara artifisial robotik. Kedua pria yang berada di hadapannya saling bersitatap, memandangnya kentara terlihat cemas. Akashi menaruh bibir di telunjuk, kode diam.

Akashi menyingkir menjauhi keramaian piknik hanami keluarga, masuk ke kolong jembatan yang diperkosa oleh kreatifitas vandalisme dengan cat-cat dan pola gambar labil para berandalan. Dikliknya fitur pengeras suara agar sepasang pria yang ada bersamanya dapat turut mendengar konversasi dengan orang asing ini.

"Ya. Siapa ini?"

"Tak penting. Lihat kotak pesanmu, ada gambar yang kukirimkan. Jawablah, apa kau tahu orang yang kami sandera ini?"

Akashi tak lekas menjawab. Ibujarinya bertremor samar melihat gambar ikon amplop di desktop ponselnya. Menekannya. Terkuak.

Sekerjap mata, baik inspektur muda itu dan Higuchi merasakan diferensiasi aura Akashi—mengesampingkan perubahan mata yang kini heterokromik lagi. Dari sisi kanan-kiri Akashi, mereka melihat seorang pemuda dengan darah mengolesi wajah dari kepala berhelai sewarna bumi musim panas seperti cabang anakan sungai.

Tubuhnya dibaringkan menyamping, telah terikat dengan tambang kasar seperti yang biasa dipakai untuk mengatrol air dari lembah sumur. Ada genangan darah mengalasi kepala pemuda berwajah biasa-biasa saja itu. Hujan dari mata menyembabkan wajahnya. Sorot kosong di mata kolong langit yang Akashi cintai karena berkilau dengan refleksi pelangi.

Inspektur yang khawatir dan roman kemarahan menggelora dalam diri pemuda itu—karena dia ingat pemuda biasa-biasa saja itu adalah yang ditemukannya bersama Akashi yang babak-belur beberapa waktu silam, hendak mengatakan sesuatu, tapi Higuchi menghentikan usahanya. Menunjuk Akashi yang berinhalasi dalam, terlihat berusaha mengontrol angkara murkanya.

Rahang Akashi mengeras kaku, diusahakannya untuk tak menggemertak keras giginya. "Aku tidak tahu dan tidak mengenalnya."

"HAHAHAHA." Tawa bengis itu sumbang mengguncang nurani ketiga lelaki yang mendengarnya. "Kebetulan sekali jawaban kalian bisa. Kalau memang benar begitu, kuenyahkan saja anjing ini, bagaimana?"

Anjing, katanya. Akashi menanamkan kuku ke telapak tangannya, mengucur dari dari luka minor saking keras kepalannya melebihi kokoh karang dalam lebur debur ombak.

"Dia hanya orang sial, kau salah tangkap."

Higuchi mengangkat sebelah alisnya, agaknya tak percaya dengan wajah Akashi yang semarak oleh murka sementara suaranya dingin dan tetap distan. Kawan semasa kuliahnya, sang inspektur, menepuk bahunya pelan.

Drrrt.

"Ada pesan masuk lagi di ponselmu. Bukalah."

Akashi lekas memijit gambar amplop yang muncul lagi. Hatinya seperti terjun bebas dari tebing, hancur menghantam dasar jurang desperasi melihat foto sebuah bidang ditempeli secarik foto.

Itu dirinya dan Furihata di tepi sungai menikmati ajal musim salju dengan penghujung jari-jemari saling bertemu. Tampak punggung. Ada pisau menusuk punggung.

Sasaran bajingan ini adalah dirinya.

"Hanya begitu saja." Akashi lekas menyahut, urgensi mulai memelintir ketenangan monotonis nada suaranya. "Aku bahkan tidak pernah bicara padanya."

"…"

"…"

"…GAHAHAHAHAHAA! Ya Tuhan, kalian berdua sungguh romantis sinis sekali. Bahkan yang kalian ungkapkan sama. Kau yakin dia benar-benar hanya anjing sial yang salah kami tangkap?"

Kami. Akashi mengode lagi pada inspektur yang menggangguk paham.

"Kami mengatakan yang sebenarnya, terserahk kau mau percaya atau tidak." Akashi menyahut lagi, berdesis indignan, "apa yang kau mau sekarang?"

Berbisa nadanya saat menjawab instan, "Kau."

"Bagaimana caranya aku bisa menemuimu?"

"Tanya pada antek-antek polisimu itu, Bangsat! Mereka sudah mengepung tempat ini sejak kemarin pagi. Aku ingin kau menyuruh mereka semua mundur dan hengkang dari luar sana atau kau akan kukirimkan penggalan kepala anjing sialan ini padamu!"

Pik. Semena-mena sambungan telepon dibunuh.

Sunyi sesaat.

"Aku tak tahu soal anak itu tertangkap, maaf." Inspektur menatap dengan selintas sesal berkelibat di wajahnya pada partner termudanya dalam ranah kriminalitas itu. "Kami pikir ini sudah lewat lebih dari sebulan, jadi pengamanan atas dirinya memang telah dihentikan."

"Jelaskan itu nanti." Akashi tajam menelusuri sungai yang terlihat tak berpenghujung, kemilau matahari yang menguyup permukaan sungai itu menginspirasi aksinya, mengeluarkan ponselnya lagi dan membuka aplikasi GPS. Mendecih marah karena nomor privasi tadi tak terlacak berada di mana.

"Tak perlu. Aku tahu dia ada di mana, dari tadi juga aku ingin mengajakmu ke sana." Inspektur mengibaskan tenang, berjalan mendahului Higuchi dan Akashi menuju mobil sedan hitam berkilau yang menyembul di lereng bukit beremah tanah basah. "Higuchi, kau bisa kembali sendiri, 'kan? Ayo, Akashi!"

"Tolong jaga Akashi." Higuchi lalu menatap anak didiknya yang berjalan di depannya. "Yang tadi itu … pemain Seirin, 'kan? Haruskah aku beritahu—"

"Jangan." Akashi segera menyela, menggeleng singkat. "Tahu pun hanya akan membuat mereka panik. Cukup katakan pada mereka, aku sedang mencari Furihata Kouki dan berjanji akan memulangkannya pada mereka lagi."

"Baiklah." Higuchi menepuk punggung tegap yang tegar, melampaui remaja-remaja muda seusianya yang harusnya tengah merangkak dalam proses mencari jati diri. Terlalu dewasa. Sedikit dalam hati ia mensyukuri bahwa yang berada di posisi riskan bertaruh nyawa ini adalah Akashi Seijuuurou. "Selamatkan dia, dan jagalah dirimu sendiri, Akashi!"

Anggukan Akashi yang tanpa disuruh langsung masuk ke mobil dan mendudukkan diri di kursi penumpang di sisi sang inspektur, menyisakan kepul asap menodai suci kelopak sakura yang telah mati dan lambaian sekilas Higuchi.

Akashi duduk memandangi pemandangan yang berlari-lari belingsatan dari selaput kaca jendela mobil, memerhatikan spektrum warna bumi musim panas yang bertebaran di benda-benda mati distrik tersebut, serta langit muram yang tak memiliki refleksi pelangi brilian di sana.

Sirine polisi bergaung-gaung riuh, membumbung ke angkasa, bertemu buhul-buhul samar tangis tak bervokal.

.

Tsuzuku

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

*poke Di* seperti inilah chapter ini.

Greget pasti ya karena AkaFuri-nya di chapter ini juga gak ketemu? *dijepret*

Bila rating-nya harus saya naikkan karena ehm ada bagian yang agak gore, tolong beritahu saya, ya. Sebenernya cuma potekan kepala, nggak lebih. Tapi di chapter depan, ada sedikit kekerasan dengan berdarah-darah—tunggu, memang banyak banget kekerasan chapter depan tapi seperti chapters awal. Action. Chapter berikutnya beda "kekerasan". Tolong beritahu saya jika harus menaikkan rating dari sekarang, ya. /guidelines FFN: M for safety/

Mari berdoa supaya kepala Furi tetep nyantol di badannya sampe Akashi dateng~ /kalau gak, malah yang ada kepalamu dicopot sama LeChi-tachi, Light!/

Itu chara antagonnya woles aja, bukan OC antah-berantah seperti Inspektur, memang ada chara-nya di manga, kok. ;)

.

And see you latte~

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan