Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Sewaktu saya baca chapter Akashi pertama kalinya dikalahkan—thanks to Kagami and Kuroko's quarsi emperor eyes haha, syoknya dia sampai gagal shoot, ekspresinya Akashi itu … asli bikin brokoro. ampun itu biasku, KENAPA MUKAMU OOC BEGITU?! MANA MUKA ANTAGONMU?! UKH, Akashi—huhuhuhu. *berlinang airmata*

Alhasil, jadilah fic ini. *peluk Akashi* oh iya, karena awal fic ini SANGAT MINIM dialog, mohon dibaca perlahan, ya.

.

Yosh, I will survive!

Dozo, Minna-sama~

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi.I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.

Warnings: AR, boys love/shounen-ai, OOC, minim dialog, mild language, typo(s).

Special back sound: As Long as You Love Me – Justin Bieber (Lunafly Cover more good, though. IMO *cough*)

.

Saya sudah memberikan warnings. Jadi, jika ada yang tidak disukai, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. ;)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Ruang kamar mandi begitu lenggang. Suara tetes air memercik keramik dalam keheningan.

Pemuda biasa-biasa saja keluar dari bilik toilet. Menyuci bersih tangannya di wastafel sembari menatap refleksi diri di cermin yang mengulas cengiran lebar dengan mata berbinar-binar. Bisa dipastikan ini adalah hari terbaik dan membahagiakan dalam hidupnya. Meski tidak banyak yang ia lakukan selain membuatnya suaranya serak karena berteriak sepanjang hari, menggila mendukung teman-temannya yang berlaga di fase akhir liga Winter Cup. Namun timnya mendapatkan kemenangan setelah seluruh jerih-payah, suka-duka, perjuangan, persatuan, airmata luluh ….

Sungguh Furihata tidak tahu apalagi yang dapat disebutnya sebagai kebahagiaan lebih dari momentum penanda memori hari ini.

Usai mengeringkan tangannya, pemuda yang masih mengenakan seragam basket bernomor punggung dua belas di balik jersey Seirin-nya itu keluar dari toilet. Pandangannya menemukan seseorang terduduk menerawangi salju yang reras dari langit kelabu di penghujung lorong, kepalanya tertutupi dengan handuk putih. Pupil coklatnya kian mengecil tatkala melihat border nama sekolah dan nomor punggung yang tertera di kaus yang dikenakan sosok tersebut.

Rakuzan. Nomor 4.

Manik solid kolong langitnya bertemu dengan mata heterokromik yang hampa.

Sekian sekon berdentang sia-sia.

Furihata Kouki tergemap kaku, kemudian sisi pengecutnya yang lemah memosi dirinya untuk berpaling, beranjak pergi karena enggan menghampiri Akashi Seijuro.

Di penghujung hari, berkat renungan sepanjang perjalanan pulang, kekecewaan karena kepengecutan diri sendiri menggenangi hati Furihata. Nuraninya berbisik menginginkan hal yang dioposisi oleh rasionalitasnya.

Furihata gagal mengerti bisik hati yang ingin menghampiri Akashi.

.

#~**~#

A Kuroko no Basket fanfiction,

.

Silence

.

Chapter 1

"To Look at His Eyes"

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

Senja menua direngkuh hamparan malam. Suhu hampir menapak titik beku. Kapas-kapas kristal dingin lebat menghujani seluruh penjuru bumi yang kini sepi ditapaki. Membelenggu dunia dalam gigil yang disemiliri angin dingin menginvitasi siapapun untuk meniru fauna berhibernasi.

Furihata seorang diri menelusuri tepi jalan di hilir sungai. Usai menunai janji pergi ke konbini bersama Fukuda dan Kawahara—mengisi waktu luang liburan musim dingin, kini tengah menuju destinasi untuk pulang ke rumahnya.

Sampai matanya menangkap keributan yang terjadi di bantaran sungai di bawah jembatan beton jalan. Kendati gelap namun temaram akibat lampu solar surya menyercah tipis penerangan. Adegan kekerasan yang dilakoni oleh tiga preman berseragam pelajar pada satu entitas yang gelap tersudut ke punggung tebing kecil rerumputan.

Dia tahu, publik tak asing lagi dengan semua yang terjadi. Distrik tersepi ini terlebih saat malam meraja dipenuhi oleh kaum premanisme yang frekuentif melakukan tindak kriminal. Memeras, merampok, memerkosa, membuli, dan bahkan beredar berita mengenai pembunuhan—yang mayat dihanyutkan ke sungai dengan tubuh termutilasi sekian bagian.

Pihak berwajib telah menegaskan garis batas keamanan dan menegakkan hukum yang berlaku. Namun para pelaku tentu tidaklah jera semudah itu.

Furihata berjengit ketakutan. Pupil semungil pucuk pinus kecil itu membeliak, tak menyangka satu orang yang tersudut itu melayangkan tendangan kuat dengan tumit kaki kanan dibalut sepatu ke perut salah seorang penyerangnya. Penyerangnya mengerang kesakitan setelah ditendang mundur. Dua orang kawannya mempreprasi balik agresi, mengepalkan pukulan pada si orang yang tersudut, namun orang tersebut lincah mengelabui dua musuhnya.

Pemuda bersurai kecoklatan dipupuki salju itu membeku. Lidahnya kelu. Bukan hanya karena dirinya lemah jadi ia tidak berani membantu, tidak—orang yang tersudut itu memanuver gerakan familiar meradangkan kengerian dalam memori pemain tim Seirin bernomor punggung dua belas.

Ankle break.

Furihata mematung melihat ankle break dipadu cross-over sempurna berkecepatan tinggi, hampir dirinya yakin melihat bola basket di-dribble oleh tangan terkepal melayangkan tinju pada dagu hingga musuh terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, musuh mengangkat lutut untuk menusuk rusuk. Tapi entitas itu melempar tubuhnya ke belakang, punggungnya mengurva seratus tiga puluh lima derajat menunjukan fleksibelitas luar biasa. Satu kaki ditekuk dalam sebagai tumpuan, menjadi pivot begitu kilat kaki kanannya melakukan sliding-tackle balas menendang poros kaki musuh yang tersisa.

Ketiga musuhnya jatuh terkapar. Mengerang-erang kesakitan, menatap dendam pada satu orang yang berdiri di tengah ketiganya—dan memandang rendah pada mereka. Presensi yang memenangkan pertarungan itu menyepak satu kaki bersepatu kets lusuh—yang hendak menyerangnya lagi.

Satu orang lagi nekat bangun untuk memukul kepala—titik buta—bersurai membara itu. Furihata memejamkan mata ngeri ketika melihat tangan yang telah berlumur darah itu meninju wajah penyerangnya. Terdengar bunyi gemeretak mengerikan. Mungkin hidung preman malang itu remuk.

Bos ketiga pelajar gadungan yang ternyata preman itu meludahi sepatu eksistensi asing di sektor kekuasaan mereka. Dia menjerit kesakitan tatkala sepatu yang diludahinya merajam dadanya, menginjaknya seakan dirinya hanyalah serangga belaka.

Furihata yang menyaksikan semua itu sekujur tubuh diteror tremor. Gemetar ketakutan, berkeringat dingin, tatkala tiupan angin dingin mengantar pandangan tertuju padanya dari sang emperor.

Kelereng solid kolong langit menyirat endapan kengerian bersiborok dengan mata dwi warna yang memendar kecaman.

Selangkah mundur.

De javu.

Furihata disergap lagi perasaan terintimidasi familiar yang menguras segala energi. Tiada lagi daya atau tenaga dalam tubuhnya yang kian produktif memproduksi peluh seakan tanpa limitasi. Hawa dingin membelai tengkuk hingga napas tercekat seolah dia menyongsong suatu esensi seperti mati.

Merah dan emas.

Instingnya menjerit untuk lari.

Itulah yang Furihata lakukan. Melarikan diri diburon segala trauma karena tendensi diri pengecut meluberkan seluruh takut.

Lari.

Sejauhnya dari Akashi yang mematri ingatan bahwa malam itu Furihata memergoki aksi sadisnya.

.

#~**~#

.

Malam-malam berikutnya, Furihata mengumpati kedua sahabatnya, Fukuda dan Kawahara. Kendati tak menampik dirinya turut andil menyusahkan diri sendiri—karena terlalu menikmati waktu kebersamaan dengan teman-temannya tersayang.

Mereka tidak tahu Furihata benci pulang malam—meski pulang melampaui waktu senja itu sudah umum bagi remaja menjelang legal usia dewasa. Jalan pintas agar ia bisa segera sampai di rumah hanyalah melewati bantaran sungai jernih yang kian membeku ditimang buai dingin suhu. Kawasan serupa yang tenar akan gonjang-ganjing serta kabut tebal isu.

Walau patroli pihak berwajib tiada absensi setiap hari, mereka tak mendapatkan sindikat premanisme licik yang kerapkali mengganggu ketertiban umum di distrik agak tersepi tersebut.

Bukan itu yang Furihata takutkan. Tapi setiap kali ia melintasi sungai tersebut, selalu saja dilihatnya sosok yang sama. Repetitif. Menghajar orang-orang sampai babak-belur dan tak kuasa menang atasnya. Para preman yang pendendam. Gembong-gembong menyeramkan dengan tubuh sebesar gentong. Bahkan gerombolan pemuda sebaya mereka yang membawa senjata tajam untuk mengeroyok pemuda beraura penguasa.

Semua ditumpaskan. Tak satu pun tersisa. Setapak salju tetap beku dinoda hujan darah setiap waktu.

Furihata selalu melihat itu. Ia tidak pernah bisa langsung berlari pergi atau berpretensi tidak ada apa-apa terjadi. Selalu saja kakinya pada bumi terpaku kaku bergeming laksana mati suri. Khawatir bila nuraninya menepis kejujuran dan ekspetasi hati.

Semoga tak ada yang saking malu atau dendamnya karena dikalahkan lantas bunuh diri.

Pemuda malang yang tidak akan pernah berani melapor polisi ini, selalu berlari pergi ketika Akashi selesai membantai segala musuhnya lantas menotis presensinya yang ketakutan setengah mati.

Disorot lampu solar surya jalan bertopangkan beton jembatan, sepasang mata berkilau menghalau derak hujan salju, selalu menghantui mimpi-mimpi Furihata dalam tidur risaunya.

Merah dan emas.

.

Tsuzuku

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Tenang, ini baru permulaan. *nyengir*

Mampir juga ya ke fic saya yang lain. ;D

.

And see you latte~

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan