"Aku menyerah, kini aku menyerah Naruto…"

THE SUN AND THE MOON

.

.

Jemari kurus itu memegang sebuah pena dengan gemetar, kulitnya seperti mati rasa akan dinginnya angin yang enggan berhenti berkunjung ke kamar bernomor 103. Matanya yang lelah menatap secarik kertas putih dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang untuk berfikir apakah ia akan melakukannya atau membiarkan peristiwa ini terjadi sebatas kenangan saja, kenangan bagi sebesit orang yang peduli dengannya, bukan bagi seseorang yang meninggalkannya begitu saja.

'Kau harus melakukannya Hinata, mungkin ini adalah hal terakhir yang bisa kau berikan untuk seseorang di luar sana, seseorang yang menganggapmu sebagai pelayan pengikutnya.`

Kini, pena itu mulai bergesekan dengan sehelai kertas. Tampak jejak-jejak yang ditinggalkan pena berupa tulisan. Pena itu bergerak amat pelan, tenaga yang mendorongnya seperti angin senja yang menggoyang rumput ilalang dengan perlahan.

Untuk yang kucinta, Uzumaki Naruto.

Senyuman pahit terpatri di wajah Hinata. Cinta? Masih pantaskah perasaan Hinata kini disebut dengan cinta? Tulisan 'cinta' itu seakan menertawakan Hinata yang tengah menatap kertas itu dengan datar. Hinata menggenggam pena di tangan kanannya kuat-kuat dan kembali menorehkan tinta pena di kertas.

Aku mengenalmu karena cinta.

Aku bersamamu karena cinta.

Dan aku, merelakanmu juga karena cinta.

Hinata berhenti sejenak, ia menghela napasnya dan mengeluarkannya perlahan. Bagi gadis itu, hal ini berupa meditasi. Meditasi yang berupaya menenangkan diri. Tirai yang bergoyang kala semilir angin menyentuhnya seakan menghibur Hinata. Hinata tak mengacuhkan hal itu lalu kembali menulis dengan perasaan hancur.

Kau bilang, kakimu terlahir untuk mengikutiku.

Tampak seorang siswa SMA dengan ransel yang tersandang di pundaknya tengah berlari tergesa-gesa. Napasnya nan terengah-engah mengepul keluar seiring salju yang berlomba-lomba menghujani bumi. Derap kaki pemuda itu berhenti setelah sepasang kakinya berada di depan pintu. Ia menetralkan deru napasnya dan mengetuk pintu. Tak ada jawaban, lelaki berambut kuning itu membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam ruangan.

Kau bilang, matamu tercipta untuk menatapku.

Pemuda itu menoleh ke segala arah, mencari perempuan yang ia kunjungi. Ekor matanya terhenti di sebuah kasur, dimana seorang gadis tengah menatap nanar ke luar jendela, memandang salju yang tak henti-hentinya berjatuhan. Mulutnya tertutup membisu, matanya memerah dan sembab seperti menghabiskan waktu satu jam hanya untuk menangis. Naruto mendekati gadis itu dan menatapnya dalam-dalam.

Kau bilang, tanganmu tercipta untuk memelukku.

Air mata itu meluap dan membasahi pipi gadis itu, isak tangis sesekali keluar dari bibir tipisnya. Spontan Naruto memeluk siswi itu, ia arahkan kepala gadis itu ke dada bidangnya. Tangan kanannya mengelus punggung perempuan itu dan tangan kirinya membelai rambut gadis itu. Dagu Naruto disenderkan di puncak kepala siswi yang tengah menangis.

"Sst… berhentilah menangis…" bisik Naruto, tapi gadis itu tetap menangis. Kedua tangan siswi itu memeluk tubuh Naruto dengan erat.

Kau bilang, telingamu hanya untuk mendengar suaraku.

"Apa masalahmu heum? Kenapa kau menelpon ku tadi?" tanya Naruto lembut. Naruto melepaskan pelukannya dan menatap sepasang mata sembab yang tengah menitikkan air mata.

"Hiks… Dia, dia… meninggalkanku Naruto… hiks…" balas gadis itu diiringi sesegukan kesedihan. Naruto menghapus air mata yang mengalir deras di pipi gadis itu dengan kedua telapak tangannya.

"Siapa?"

"Hiks… Sa… Sasu… Sasuke, memutuskan ku tadi. Hiks… dia bilang… Ak… aku gadis yang buruk… hiks…" jawab Sakura.

"Sudahlah, berhentilah menangis Sakura."

"Hiks… aku, aku kesepian… Naruto…."

Kau bilang, suaramu hanya untuk memuji diriku.

"Kau bukan gadis yang buruk Sakura! Kau baik, lucu dan menyenangkan!" hibur Naruto, tapi Sakura tetap saja menangis.

"Dan kau juga cantik Sakura. Sayang jika kecantikanmu ditutupi air mata ini." sambung Naruto, Sakura mendongak menatap Naruto yang tengah memandangnya dengan teduh. Air mata Sakura berhenti dan memeluk Naruto dengan hangat.

"Arigatou Naruto, Arigatou…" bisik gadis bersurai pink itu.

Dan kau bilang, hatimu telah tertaut padaku.

"Seandainya saja, aku mempunyai kekasih yang baik sepertimu Naruto." celoteh Sakura, Naruto yang mendengar itu hanya bisa tersenyum.

Ya, seandainya ia lebih dulu menyatakan cinta kepada Sakura, pasti gadis ini tidak akan menangis seperti sekarang. Pasti Naruto tak perlu menangis menahan pedih karena mendengar wanita yang ia cintai telah mempunyai kekasih. Pasti Naruto tidak akan bertemu dengan gadis yang sangat baik bernama Hinata di atap sekolah yang nantinya akan menjadi kekasihnya. Dan pasti, Naruto tidak akan jatuh ke dalam pesona gadis pemalu bermarga Hyuga itu.

"Kita hanya bisa berandai Sakura…" balas Naruto. Sakura melepaskan pelukannya dan menatap Naruto dengan sendu.

"Naruto, aku akan pindah sekolah." ucap Sakura.

"Apa? Jangan bercanda Sakura! Ini tidak lucu!"

Sakura hanya bisa tersenyum simpul lalu menjitak kepala Naruto dengan keras. Naruto yang merasa kesakitan berteriak dengan suara tujuh oktafnya.

"AAAGH! Sakit Sakura, apa salahku? Kenapa kau menjitak kepalaku?" Sakura tertawa kecil lalu mengusak surai kuning Naruto.

"Hehehe… itu jitakan perpisahan Naruto, jangan lupakan rasa sakitnya ya!" Sakura kembali tersenyum, Naruto menatap Sakura heran lalu mengelus kepalanya yang terasa sakit.

Matahari itu kuat, dia akan selalu menyinari dunia seorang diri, setiap orang akan merasakan keberadaan dirinya.

Bulan sangatlah lemah, sinarnya berasal dari matahari yang kuat, dia terabaikan akan senandung malam yang mengajak manusia untuk terlelap di malam hari.

Bibir Hinata kembali pucat, sinar matanya melemah dan tangannya mulai terasa kaku. Kedua kakinya terasa lumpuh, kaki gadis itu tak bisa digerakkan. Tapi Hinata tetap berharap menyelesaikan surat ini, walau nantinya surat ini hanya akan ditampung keranjang sampah.

Kita laksana matahari dan bulan, saling berhubungan tapi tak akan pernah bersatu.

Ayo Hinata, tinggal satu kalimat lagi! Kalimat yang menjelaskan hubunganmu dengan Naruto. Jemari kurus itu semakin gemetar dan terasa kaku, tulisannya yang tak beraturan mengabarkan kondisinya yang semakin menurun. Dengan susah payah Hinata menuliskan kalimat itu diiringi segala tenaganya.

Naruto, Game over.

Hinata tersenyum, senyuman yang tak bisa diartikan. Ia tutup bolpoint yang telah berjasa dan menggenggamnya pelan. Usai sudah surat itu dibuat, perlahan Hinata lipat kertas yang telah digores oleh pena. Kelopak matanya semakin memberat, pandangannya mulai kabur dan tak jelas. Dengan hati-hati gadis itu meletakkan kertas itu di atas meja, tak sengaja ujung jarinya menggeser segelas air putih hingga pecah dan berserakan di atas lantai. Tiba-tiba beberapa orang memasuki ruang rawat Hinata dan mencek keadaan kesehatan Hinata, semuanya terlihat panik. Hinata menoleh ke jendela menatap salju yang masih berjatuhan, langit malam yang begitu gelap dan angin malam yang menusuk tulang membujuk Hinata untuk memejamkan matanya secara perlahan.

Pandangan Hinata semakin gelap dan gelap, gadis itu menghela dan menghembuskan napasnya. Bukan untuk meditasi yang menenangkan dirinya, tapi untuk memberitahu bahwa waktunya telah berakhir.

҉ ҉ ҉҉҉҉

"Lee, apakah makanan ini baik untuk kesehatan Hinata?" tanya Kiba lalu menyodorkan sekantung plastik ke hadapan Lee.

"Aku tidak tahu. Bagaimana kalau aku mencobanya?" sahut Lee dengan senyuman lebar, cacing-cacing di perutnya telah mendemo dan membakar ban mobil sedari tadi.

"Enak saja! Ini untuk Hinata, bukan untukmu!"

"Ooh, ayolah Kiba! Sedikiiiiit saja!" rayu Lee, tetap saja Kiba tak mau dan memegang kantung plastik itu dengan erat. Lee dan Kiba tengah berjalan santai ditemani salju-salju putih. Tak sengaja sorot mata Kiba menatap seorang siswa SMA lengkap dengan ransel di pundaknya bersama seorang gadis berambut merah muda tengah bercengkrama ria.

"Lee! Bukankah itu Naruto?" tanya Kiba sedikit berbisik, Lee langsung menoleh ke seberang jalan dan mengangguk pelan.

"Ayo kita kesana Kiba! Naruto harus tahu keadaan Hinata!" mereka menyebrangi jalan dengan susah payah. Kendaraan yang berlalu lalang malam ini sangat banyak, sesampainya mereka di seberang jalan tak sengaja Lee dan Kiba mendengar percakapan Naruto.

"Maaf Naruto, aku memanggilmu tiba-tiba." ucap Sakura dan menundukkan kepalanya.

"Hey, santai saja! Tadi tidak ada acara penting! Aku hanya bertemu dengan Hinata dan setelah itu, aku menemuimu! Lagipula, Hinata sudah kuantar pulang." jawab pemuda berambut kuning itu.

Lee dan Kiba sontak terkejut, bagaimana mungkin pertemuan itu terkesan biasa saja setelah Hinata merancangnya dengan baik? Dan ia bilang Hinata sudah diantar pulang? Hell, andai saja Kiba tak mencari Hinata sampai atap sekolah mungkin esok Hinata telah ditemukan terbujur kaku diselimuti salju. Kenapa Naruto harus berbohong kepada Sakura?

Wajah Lee memerah memendam amarah, kepalan tangannya begitu kuat hingga pembuluh darah di pergelangan tangannya tercetak jelas. Kiba menarik kerah mantel Lee dan berjalan menuju rumah sakit.

"Kiba, apa yang kau lakukan! Naruto harus diberi pelajaran!" Lee meronta-ronta seperti anak kecil yang dilarang membeli permen. Kiba hanya diam, ia menatap Lee dengan tajam. Sontak Si Rambut Mangkuk terdiam dan membiarkan Kiba menyeretnya hingga rumah sakit.

Pintu kamar rawat Hinata terbuka, tampak lelaki paruh baya yang mengenakan jas putih yang biasanya dipanggil dokter keluar dari sana diiringi dua wanita memakai baju putih dan rok selutut yang dipanggil suster. Ekspresi mereka terlihat sedih, sorot mata pria itu berhenti ke arah Kiba dan Lee.

"Kenapa kalian membuka jendela ruangan pasien? Bukankah saya bilang bahwa kalian harus menjaga pasien dari suhu dingin." tutur sang dokter. Lee dan Kiba saling menatap heran, perasaan tadi mereka tidak membuka jendela kamar Hinata?

"Membuka? Kami telah menutup jendela rapat-rapat dok." jawab Lee bingung.

"Lalu kenapa jendela itu terbuka dengan infus yang telah lepas dari tangan pasien?"

Merasa kejanggalan, Lee dan Kiba berlari menuju ruangan Hinata. Langkah mereka terhenti disaat sang dokter menahan mereka. Tatapan sendu itu dilemparkan kepada kedua siswa SMA itu. Begitupun dengan dua orang suster yang menunduk dalam. Sang dokter memukul pundak Lee dan Kiba pelan lalu mengabarkan sebuah berita,

"Gadis itu, telah pergi meninggalkan kita…"

҉҉҉҉ ҉ ҉

Salju tetap setia menemani Jepang, suasana bahagia tak luput dari taman bermain di dekat sekolah. Tapi jangan lupakan suasana berkabung di sebuah rumah. Tampak puluhan pelayat memasuki rumah itu, air wajah sedih terlalu sering ditunjukkan disana. Perempuan yang biasa dipanggil ibu itu tengah menangis sambil memeluk pigura dengan potret Hinata.

"Ibu, berhentilah menangis… Hinata telah tenang disana ibu…" hibur Lee dan mengelus pundak ibunya.

"Hinata belum mati Lee, Hinata belum mati! Hinata sedang bersembunyi dari kita. Kami-sama tolong temukan gadis kecil kami…" racau sang ibu.

"Ibu, kumohon berhentilah ibu…" seketika sang ibu mendorong Lee menjauh, perih yang mendalam itu membuat air mata tak henti-hentinya mengalir.

"Kami-sama, kenapa engkau tidak mendengar doa ku? Setiap malam aku berdoa agar Hinata berada di bawah lindunganmu? Tapi kenapa sekarang dia pergi? Dia pergi meninggalkanku!" Lee berdiri dan mendekati ibunya, ia tatap mata ibunya yang berlinang air mata.

"Ibu, salahkan aku ibu! Salahkan aku! Aku yang tidak bisa menjaga Hinata dengan baik! Aku yang salah!" ujar Lee dengan simbahan air mata, ia tak kuat melihat ibunya yang menangis dengan perasaan kacau seperti ini. Mendengar ucapan itu, sang ibu spontan memeluk Lee dengan erat.

Dari jauh, tampak sesosok pria dan seekor anjing di sampingnya. Wakil Ketua OSIS itu terlihat enggan memasuki rumah temannya. Satu hal yang pasti, Kiba tak menangis, ia tak mau air matanya dilihat oleh orang lain. Kiba menyenderkan punggungnya ke dinding bercat kuning dan mendongak menatap langit. Beberapa salju menerpa wajah Kiba yang tengah memandang kosong. Hari ini dan selanjutnya, tak ada lagi Hinata yang selalu menunggunya di setiap rapat, tak ada lagi Hinata yang menyiapkan bekal untuknya, tak ada lagi tawa Hinata yang tertawa renyah di saat Lee tengah kebingungan, tak ada lagi Hinata di sampingnya.

"Guk... Guk!" gonggongan Akamaru menyadarkan Kiba dari lamunannya. Kiba menatap Akamaru yang memandangnya dengan sendu, Kiba berjongkok dan mengelus Akamaru dengan pelan.

"Akamaru, Hinata tak bisa lagi memandikanmu." ujar Kiba.

"Guk…"

"Hinata tak bisa lagi menemanimu jalan-jalan."

"Guk…"

"Dan sekarang, Hinata tak bisa lagi bermain dengan kita." akhir Kiba dan mengelus bulu Akamaru berulang-ulang. Kiba berdiri dan mengajak Akamaru pergi dari rumah Lee.

"Kiba!" panggil seseorang, Kiba menoleh kebelakang dan berhenti melangkah.

"Aku turut berduka cita." sambung orang itu.

"Sudahlah Gaara, lagipula kita semua pasti akan mengalami hal yang sama dengan Hinata." jawab Kiba. Kiba menjejalkan tangannya ke dalam kantung baju bulunya dan menemukan secarik kertas. Lekas Kiba mengambil kertas itu dan membacanya.

"Ngomong-ngomong, dimana Naruto? Ada sesuatu yang harus kuberikan padanya." sahut Kiba.

"A… Aku tidak tahu."

Kiba mendengus pelan, ia memejamkan matanya dengan geram.

'Bahkan di hari terakhirnya, Naruto tak hadir di sampingnya…'

҉ ҉ ҉҉҉҉

"Apakah kau telah membawa semua barang-barangmu?" introgasi Naruto kepada Sakura.

"Sudah bos, aku sudah membawa semuanya!" celetuk Sakura dan tersenyum.

Naruto menggosok-gosokkan telapak tangannya, suhu pagi ini sangat dingin. Betapa nikmatnya meminum secangkir hot chocholate ditemani sekaleng biskuit, hm… sepertinya besok Naruto akan mengajak Hinata untuk melakukan hal itu di sebuah café.

"Naruto, kenapa melamun? Memikirkan Hinata ya?" tanya Sakura sambil melambai-lambaikan tangannya di depan mata Naruto.

"Kenapa kau bisa tahu Sakura?" selidik Naruto. Sakura terdiam, ia tangkup wajah Naruto yang dingin dengan kedua tangannya. Tatapan bersimpati ia layangkan kepada Naruto.

"Jujur, aku baru tahu berita itu tadi pagi, aku turut berduka." Sakura menyandang ranselnya dan mulai menarik koper merah muda itu dengan tangan kanannya. Ia pergi meninggalkan Naruto. Beberapa langkah kemudian gadis itu berhenti, pergelangan tangannya tengah dicengkram Naruto.

"Apa maksudmu berduka Sakura?" tanya Naruto, Sakura membulatkan matanya seakan tak percaya.

"Kau, tidak tahu bagaimana keadaan Hinata?" Naruto menggeleng pelan, disaat Sakura akan menjelaskan berita duka itu terdengar sebuah informasi bahwa kereta yang akan ditumpanginya telah tiba.

"Naruto, aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Kau bisa minta tolong kepada Gaara atau yang lain untuk memberitahu segalanya!" Sakura kini benar-benar pergi, derap kakinya terdengar dua kali lebih cepat dibanding sebelumnya. Kini Naruto sendiri, bahkan tak ada ucapan selamat tinggal layaknya perpisahan normal.

҉҉҉҉ ҉ ҉

Bel pulang berbunyi nyaring, semua pelajar kasak-kusuk merapikan meja dan memasukkan buku pelajaran ke dalam ransel masing-masing. Naruto yang pulang lebih awal menunggu kekasihnya itu di ambang pintu kelas, ia ingin agar Hinata berkenan melihatnya latihan basket. Matanya melirik bangku Hinata, sang pujaan hati. Tapi, apa yang Naruto dapatkan? Ia hanya melihat kursi kosong tak berpenghuni, lengkap dengan meja yang bersih dari segala alat tulis. Semua murid yang berada di kelas itu menatap Naruto dengan iba, Naruto semakin merasa aneh dengan perlakuan ini.

Satu persatu murid keluar dari kelas, tapi mereka hendak singgah di meja Hinata dan meletakkan rangkaian bunga sebagai tanda berkabung. Tak peduli itu perempuan atau pria, semuanya meninggalkan seikat bunga. Bahkan beberapa dari temannya mengucapkan kata "Yang sabar ya." atau "Kami turut berduka cita.". Hanya tinggal satu murid lagi disana, siswa itu meletakkan setangkai bunga di atas meja Hinata dengan tatapan kosong, Naruto yang telah naik pitam itu langsung memukul siswa tersebut hingga terjatuh ke lantai.

"Apa maksud semua ini? Kenapa kau memberikan Hinata bunga? Apa kau mulai menyukainya? Apa kau tak sadar jika Hinata itu sepupumu, Hah!" bentak Naruto dengan deru napas yang tak beraturan. Lee menyeka darah yang mencuat di sudut bibirnya, dengan perlahan siswa itu berdiri tegak dan menatap Naruto dengan tajam. Tapi, Lee tidak melakukan pembalasan, ia melangkahkan kakinya ke luar kelas.

"Hei pengecut! Jawab aku!" sambung Naruto, Lee menoleh dan langsung menghadiahkan satu bogem mentah ke pipi Naruto.

"Kau bilang aku pengecut? Kau yang pengecut Naruto!" emosi Lee mulai naik, ia memukul perut Naruto dengan perasaan kesal.

"Kenapa malaikat baik seperti Hinata harus tersiksa karena seonggok iblis sepertimu!" satu pukulan melayang ke dada Naruto.

"Kau tahu, ibuku menangis karena ulah yang kau lakukan Naruto!" tulang kering Naruto ditendang keras oleh Lee.

"Ke…"

"Cukup Lee!"

Suara berat itu menggema di kelas Hinata, Lee dan Naruto menatap pria yang tengah berdiri tegap di ambang pintu, tatapan pria itu datar. Ia tak menatap sendu atau iba seperti teman-teman yang lain lakukan. Pria itu berjalan pelan menuju meja Hinata dan meletakkan seikat bunga disana.

"Ke… kenapa kalian ja… jahat kepadaku? Ke… kenapa kalian semua… menginginkan Hinata?" ucap Naruto lirih, luka di ujung bibirnya membuat pria bersurai kuning itu susah berbicara.

"Jahat? Kau yang jahat Naruto!" Lee yang telah bersiap-siap memberikan pukulan jitu kepada Naruto ditahan oleh Kiba.

"Cukup Lee! Cukup!" perintah Kiba, Lee melemahkan otot-ototnya dan menatap Naruto dengan jijik. Kiba terdiam dan menatap Naruto dengan datar, sungguh Kiba tengah menahan emosinya untuk tidak memukul Naruto yang tak berdaya menghadapi jurus-jurus Lee. Tangannya ia kepalkan kuat-kuat agat tak memukul siswa yang tengah tersungkur di lantai, toh jika ia melampiaskan emosinya Hinata tak akan kembali.

"Naruto, terima kasih telah menjadi kekasih Hinata selama ini. Terima kasih telah berbagi duka dengan Hinata, dan terima kasih akan perhatianmu kepada Hinata." Kiba berjalan mendekat ke arah Naruto, lidahnya terasa gatal mengucapkan "Terima kasih." kepada orang yang sangat ia benci.

"Kau tahu Naruto, kau terlalu baik untuk Hinata! Oleh karena itu, Hinata menyuruhku untuk mengatakan jika ia ingin memutuskan hubungannya denganmu, Naruto." Naruto diam tak bergeming, kenapa Hinata ingin putus dengannya? Rasa sakit akan pukulan Lee semakin sakit setelah mendengar perkataan Kiba barusan.

"A… aku tidak mau pu… putus dengan Hinata! Izinkan aku be… bertemu dengannya!" sahut Naruto.

"Kau ingin bertemu dengannya? Dengan senang hati akan kukabulkan Naruto!" balas Lee dan memberikan sebuah kepalan ke pelipis Naruto.

"Lee! Kuharap kau keluar sekarang!" Lee terdiam, ia berjalan keluar kelas dengan gontai. Ia masih ingin memukuli Naruto dengan tangannya. Kiba mendecak kesal, apalagi yang harus ia bela dari Naruto?

"Naruto, ini surat yang diberikan Hinata untukmu, kuharap kau bisa mengerti dengan apa yang terjadi. Jika kau tetap ingin bertemu Hinata, dibawah surat itu aku telah tulis alamat terakhir Hinata." Kiba menyerahkan secarik kertas kepada Naruto lalu pergi menjauh dari kelas itu. Ia tak peduli dengan keadaan Naruto yang babak belur, ia biarkan Naruto tergeletak bersimbah darah di lantai.

҉ ҉ ҉҉҉҉

"Kiba, apakah kau telah membunuhnya?"

"Apa kau telah menyayat wajahnya?"

"Apa kau telah menggorok lehernya?"

Pertanyaan bodoh itu dilontarkan Lee berulang-ulang, Kiba yang merasa bosan tak menanggapi pertanyaan itu dan menatap langit malam yang ditemani salju. Tangannya terangkat ke atas mencoba menggapai langit hitam.

"Hei Kiba, jawab pertanyaanku!"

"Ssst… diamlah Lee! Aku sedang mengingat kejadian itu."

"Kejadian itu? Kejadian apa?"

Flashback on

Langit legam itu tak lagi gelap, ratusan bintang berusaha menyinarinya hingga malam itu sedikit terang. Tiga bocah yang tertawa kecil sibuk menunjuk bintang-bintang yang berada jauh dari mereka. Sesekali mereka menari bahagia dan kembali menunjuk bintang yang tersekat di langit.

"Berhentilah menari Lee! Itu sangat buruk!" kesal Kiba sambil menarik ujung kaus Lee agar temannya itu berhenti menari.

"Aku tidak mau! Wuee!" Lee menjulurkan lidahnya dan kembali menari. Hinata tertawa kecil, manik lavender itu menatap langit malam dengan terkejut.

"Kiba, Lee! Bintang jatuh! Ayo buat permohonan!" ketiga bocah itu langsung mengucapkan doa dan saling menggenggam tangan, setelah selesai mereka melepaskan genggaman itu dan kembali berbincang.

"Apa keinginanmu Kiba?" tanya Lee dengan antusias.

"Aku ingin Akamaru mempunyai anak yang banyak! Dengan begitu, Akamaru tak lagi sendirian di rumah!" jawab Kiba sambil memperlihatkan gigi susunya.

"Kalau aku ingin menjadi kuat! Lebih kuat dari Power Ranger!" sambung Lee sambil membusungkan dada.

"Hinata, kau meminta apa?" tanya Kiba penasaran. Gadis bersurai hitam itu tersenyum.

"Aku ingin disaat salju pertama turun, aku bisa menyampaikan perasaanku kepada orang yang kusukai." jawab Hinata malu-malu. Mendengar penuturan Hinata, Lee dan Kiba manggut-manggut mengerti.

"Aku yakin, permohonanmu pasti terkabul!" sahut Lee.

"Aku juga yakin, kau hanya perlu menunggu Hinata!" sambung Kiba.

"Benarkah?" kedua bocah lelaki itu mengangguk mantap, Lee kembali mengulangi ritual tarian anehnya dan Kiba menahan Lee untuk tidak mempermalukan diri sendiri, sedangkan Hinata kecil kembali menatap langit malam diiringi sebuah senyuman.

`Kumohon panjangkan umurku, Kami-sama…`

.

.

.

~END~

Fic ini berakhir dengan tidak elitnya! Gomen kalau fic ini alurnya kecepetan/GJ/typo(s)/OOC/etc. gomen kalau endingnya jelek/kentang. Ini efek karena bentar lagi ada ujian! Makasih buat yang udah read/review/follow/fav!