Disclaimer : Vocaloid is not mine. They belongs to the creator.
Pairing: Mainly GakuKai... Tapi ini mungkin jadi HaremUke!Kaito. orz
Warning: Yaoi, Shonen-ai, Harem!Uke!Kaito, typo, banyak salahnya, bahasa berantakan, rating may/will change.
Summary: Kaito adalah pemuda bau kencur yang baru memasuki sebuah sekolah ternama di kota Asmodin. Tapi siapa sangka baahwa kehidupannya di sekolah bisa menjadi chaos bagi hidupnya.
.
Chaostic School Life
Part 1
Asmodin High School. Adalah sekolah ternama dengan standar internasional yang menggunakan sistem asrama. Setiap murid yang baru lulus jenjang SMP pasti ingin memasuki sekolah bergengsi ini. Namun sekolah ini hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dengan nilai yang terbilang tinggi, kau bisa langsung memasuki sekolah ini tanpa mengikuti macam-macam tes yang merepotkan.
Oh, perlu diingat, kalau sekolah ini memang bersistem asrama, dan tak boleh meninggalkan asrama ini kecuali liburan musim panas, natal, atau saat ada keperluan langsung dari orang tua. Asrama ini memang seperti karantina, namun sebanding dengan fasilitas dan hasil yang diperoleh.
Dan di hari sabtu yang cerah, seorang pemuda bersurai biru yang mengenakan sebuah syal sedang berdiri di depan gerbang sekolah itu. Matanya menatap sekolah itu dengan berbinar-binar sekaligus khawatir. Ia memang kagum dengan tampak bangunan dari gerbang utama—sangatlah megah. Namun ia khawatir dan takut tak memiliki teman di sekolah barunya. Mengingat dulu ia tak memiliki banyak teman.
Maka dilangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah itu. Dadanya terasa berdebaran. Namun ia mencoba membiasakan dirinya dan segera menuju ruang kepala sekolah.
Dalam perjalanan menuju ruang kepala sekolah, ia melihat banyak laki-laki seumurannya atau lebih memandanginya dengan tatapan yang...eerr...aneh. Namun bukan Kaito namanya jika ia peka akan hal itu. Ia terus saja berjalan tanpa menghiraukan tatapan macam-macam itu.
Sesampainya di ruang kepala sekolah, ia ketuk pintu coklat di hadapannya. Setelah mendapat izin untuk masuk, maka ia buka pintu yang terbilang berat itu. Dia masuk, dan menutup kembali pintu itu. Di dalam ruangan besar itu, terdapat seorang laki-laki paruh baya yang duduk di kursi di balik meja besar. Dan seorang lagi sedang berdiri di depan pria itu. Pemuda itu memiliki rambut ungu panjang yang diikat satu ke belakang.
"Ada perlu apa?" tanya pria paruh baya itu sopan. Matanya menatap pemuda bersurai biru itu dengan mengintimidasi.
"A-anoo.. s-saya ingin m-mendaftarkan diri saya u-untuk masuk di sekolah ini.." jawabnya dengan gugup yang bukan main.
"Begitukah..? Kemarilah, nak." Perintah pria itu. Pemuda manis itu menurut dan berjalan maju. "Kau bawa rapor dan surat kepindahanmu? Boleh saya lihat?"
"A-ada, pak." Dengan tubuh yang masih bergetar gugup, ia menyerahkan kumpulan kertas bermap yang dibawanya. Namun karena gugupnya yang berlebihan, ia tak sengaja menjatuhkan barang bawaannya. "Ah! M-maaf.."
Dan saat ia hendak mengambil kertas-kertas itu, sebuah tangan besar membantunya memungut kertasnya. Pemuda beriris seindah lautan itu terkejut.
"Kau ceroboh sekali." Ujarnya datar.
"M-maaf.."
Pemuda baru itu pun menyerahkan kertas-kertas itu pada pria yang sedang duduk manis itu. Pria itu melihat-lihat tulisan di kertas itu. Ia nampak berfikir keras dan menimbang-nimbang dengan serius. Kemudian matanya melirik pemuda polos di hadapannya dengan mengintimidasi.
"Orang tuamu dimana, nak?"
Yang ditanya seperti itu langsung menundukkan kepalanya sedih. Melihat itu, pria paruh baya itu mengerti betul keadaan yang dialami calon murid di depannya kini. Maka langsung diperoleh keputusan.
"Baiklah. Kau boleh bersekolah disini, nak." Ucap kepala sekolah itu.
"Eh? B-benarkah?" pemuda itu mendongakkan kepalanya terkejut. Sangat..
"Iya. Seragammu akan disiapkan secepatnya. Saat hari efektif mulai, kau sudah dipastikan mengenakan seragammu. Tentang biaya, kamu tidak usah mengkhawatirkan itu. Dan soal kamar—"
"Bagaimana kalau dia sekamar dengan saya, pak?" sahut pemuda berambut ungu dengan tegas.
Baik sang kepala sekolah maupun si pemuda biru di sampingnya menatapnya dengan bingung. Dan akhirnya sang kepala sekolah menyetujui usulan pemuda violet itu. Toh dengan begitu ia tak perlu repot-repot mencarikan kamar kosong baru.
"Baiklah. Kau sekamar dengan Gakupo, Shion-kun."
"B-baiklah, pak. Terima kasih." Ucap pemuda bernama lengkap Kaito Shion itu sambil membungkuk sedikit.
"Kalian boleh keluar sekarang. Semoga beruntung, Shion-kun."
"Baik. Permisi, pak.."
Akhirnya kedua insan itu keluar dari ruang kepala sekolah. Di luar, mereka tak langsung melangkahkan kakinya untuk beranjak. Mereka terdiam sebentar. Pemuda bersurai ungu itu menghela nafas, membuat pemuda biru di sampingnya menoleh bingung.
"Ada apa, senpai?" tanyanya lembut.
"Tak ada." Jawabnya singkat.
"Begitu.. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah memperbolehkanku menempati kamar asrama senpai."
"Tak usah dipikirkan. Sekarang biar kutunjukkan kamar kita."
"Iya!"
Mereka pun berjalan menyusuri koridor-koridor menuju kamar asrama. Jarak antara gedung asrama dan gedung sekolah lumayan jauh. Lapangan yang luas membentang di antara dua gedung utama. Sebuah jalan stapak menggabungkan menjadi satu jalan menuju kedua bangunan.
Kedua insan itu sedang berjalan dengan santai menuju gedung asrama. Dan entah kenapa, suasana di antara keduanya sangatlah canggung. Tak ada yang membuka pembicaraan lagi setelah mereka meninggalkan ruang kepala sekolah. Namun pemuda tinggi berambut ungu itu diam-diam mencuri pandang pada pemuda yang lebih kecil darinya. Ia merasa tertarik akan pemuda serba biru itu.
Namun tanpa disangka-sangka, sang junior akhirnya menolehkan kepalanya menghadap seniornya. Yang ditoleh langsung membuang wajahnya. Ia tak mau ketahuan curi pandang.
"S-senpai, masih jauh kah?" tanyanya dengan wajah polos.
"Begitulah."
Akhirnya ia diam. Pemuda bernama lengkap Gakupo Kamui di sampingnya langsung kembali memandanginya. Dan yang ia lihat adalah seorang pemuda manis yang dahinya penuh keringat. Ia terlihat kelelahan.
"Kau baik-baik saja?" tanya pemuda ungu itu dengan suara husky-nya.
"A-aku tidak apa-apa, senpai."
"Apa kau lelah?"
"T-tidak, senpai."
Meskipun sebenarnya ia memang lelah, tapi ia tak mau terlihat lemah di depan seniornya. Salah sendiri tidak sarapan pagi ini dan langsung menempuh perjalanan sejauh 3 kilometer dengan berjalan kaki.
"Hoi, Shion!"
Mendengar namanya dipanggil, pemuda biru itu menoleh ke belakang. Ternyata seniornya itu sedang berjongkok sambil menatapnya datar. Kaito memiringkan kepalanya tanda bingung.
"Naik!" pemuda Kamui itu menunjuk punggungnya menggunakan ibu jarinya. "Aku tahu kau kelelahan."
"T-tidak kok, senpai! Aku tidak kelelahan sama sekali!" elaknya sambil menggelengkan kepalanya cepat. Wajahnya terlihat merona.
"Kau ingin kugendong di punggung atau bridal style?" tanya sang senior sambil menatapnya bosan. Pemuda di depannya ini gengsi sekali untuk mengakuinya.
"E-eh? T-tidak usah, senpai! Sungguh! A-aku tidak apa-apa."
"Tch!" Dengan itu, pemuda berambut violet itu berdiri, berjalan mendekati si biru Shion, dan merebut tas punggungnya. "Kau cerewet sekali! Sudah, kau diam saja!" kemudian ia mengangkat tubuh pemuda yang lebih kecil darinya itu dengan bridal style.
Tak ayal lagi, wajah pemuda pecinta es krim itu memerah padam. Siapa coba yang tidak malu apabila seorang laki-laki menggendongmu ala bridal style di tempat umum—sesama lelaki pula.
"S-senpai! T-turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!" protes Kaito sedikit memberontak.
"Cerewet! Kau tak usah mengelak, aku tahu." pemuda ungu itu mulai berjalan tanpa memperdulikan protesan Kaito—serta tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
Akhirnya si Shion hanya diam sambil menahan rasa malunya yang luar biasa dengan wajahnya yang layaknya kepiting rebus saus tomat.
'Hancur sudah harga dirimu sebagai laki-laki sejati, Kaito.' Tangisnya dalam hati.
Kau tak bersyukur sekali, Kaito! Enak kan digendong senior ganteng macam Gakupo. Wah, kau ini, nak..
Kurang dari lima menit kemudian, mereka sampai di gedung asrama. Pemuda Kamui itu menurunkan Kaito dari gendongannya. Gakupo menempati kamar asrama nomor 354. Itu artinya mereka harus menggunakan lift untuk mencapai lantai tiga. Ya, asrama ini memiliki fasilitas berupa lift untuk memudahkan siswa menuju lantai kamarnya.
Kaito yang mendengar kata 'lift' itu langsung pucat.
"Ada apa?" tanya pemuda tampan di depannya. "Jangan bilang kau tidak suka menaiki lift?"
Memang itu! Kau pintar sekali menebak suasana hati orang, nak!
"E-etto.. A-aku mudah mual." Jawabnya sambil menundukkan kepalanya malu.
Gakupo menatap juniornya dengan bingung, kemudian menahan tawanya agar tidak meledak-ledak. Ia tak menyangka di dunia ini ada orang yang mudah mual seperti Kaito.
"Maaf..maaf." Ia pun menghentikan tawanya. "Kalau begitu kita lewat tangga saja. Aku akan menggendongmu lagi."
"A-apa!?" wajah Kaito yang pucat kembali memerah. "T-tidak usah!"
"Kau ini cerewet sekali sih!" tanpa ba-bi-bu lagi, Gakupo segera menggendong Kaito dan membawanya menuju tangga.
Satu persatu tangga Gakupo naiki dengan membawa Kaito di tangannya. Kaito tak berani lagi protes. Ia takut seniornya itu akan menjatuhkannya dengan tidak elit dari tangannya.
"Senpai.."
"Hm?"
"A-apa senpai t-tidak lelah m-menggendongku terus? A-aku kan berat." Tanya Kaito sambil mengalihkan pandangannya agar tidak menatap Gakupo langsung.
Gakupo sendiri menatap Kaito dengan sedikit intens sambil tersenyum, "Tidak kok. Kau ini ringan, Shion."
Wajah si biru Shion lagi-lagi memerah. Namun setelah itu, sebuah senyuman tipis terpantri di wajah manisnya. Entah kenapa, ia menyukai berada di dekat seniornya. Dan jika boleh jujur, Kaito merasa senang digendong Gakupo seperti ini.
Jangankan kau, nak. Semua juga pasti senang kalau ada di posisimu.. Bersyukurlah, nak.
"Yo, Gakkun!" sebuah panggilan akrab membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Dan dilihatnya, seorang pemuda semapai berambut merah jambu sedang berjalan menuruni tangga. Mata emeraldnya mengarah pada objek di tangan Gakupo, "Siapa itu, Gakkun?"
"Oh, Roro. Ini murid baru." Jawab Gakupo datar.
"Jangan panggil aku Roro, Gakkun!" protesnya.
"Kau sendiri memanggilku Gakkun." Balasnya tetap datar.
Kaito merasa canggung dalam hatinya. Saat ini ia bagaikan orang ketiga.
"Ngomong-ngomong, kenapa dia bisa kau gendong? Apa dia sakit?" tanya pemuda merah jambu itu sambil menatap Kaito. Kaito yang merasa ditatap langsung menenggelamkan wajahnya dalam syal birunya dan dada Gakupo dengan rona di kedua pipinya.
"Dia tidak sakit. Hanya sedikit kelelahan."
"Kelelahan ya..?" ulangnya sambil meletakkan telunjuknya di dagunya dan masih menatap Kaito.
"Apa yang kau pikirkan, merah jambu?" tanya Gakupo dengan datar.
"Tidak ada kok." Mengabaikan Gakupo, pemuda beriris emerald itu berusaha menatap Kaito. "Hei, namamu siapa?"
Tersentak, Kaito dengan ragu menatap pemuda yang menanyainya. Iris mereka pun bertemu. Pemuda bersurai merah muda itu melebarkan matanya melihat wajah manis nan polos Kaito. Terutama mata blue ocean Kaito yang indah dan bening.
"N-namaku Shion Kaito, senpai. Salam kenal." Kaito berkata sambil tersenyum polos.
"I-iya. Namaku Yuuma. Salam kenal juga, Shion-kun."
Entah apa yang ada pada Kaito, tapi pemuda bernama Yuuma itu terus saja memandanginya. Gakupo merasa tidak enak. Sekarang ialah yang merasa jadi orang ketiga. Dan ia tak suka itu, terlebih menyangkutkan pemuda manis di tangannya kini.
Dan jika kita tinjau lagi, sejak mereka bertemu, sebenarnya Gakupo dan Kaito sama sekali belum berkenalan. Sedikit membuatnya iri dengan Yuuma yang diberi tahu nama lengkap pemuda Shion itu lebih dulu dibandingnya.
Ralat. Bukan 'sedikit', tapi 'sangat' iri. Benar kan, Gakupo?
"Oke, cukup perkenalannya. Aku harus segera membawanya ke kamarku." Ujar Gakupo yang langsung saja berjalan melalui Yuuma.
"Ke kamarmu?" tanya Yuuma sambil mengernyitkan alisnya.
"Iya. Keberatan?"
"Tidak. Silahkan saja, Gakkun." Jawab Yuuma dengan mengibaskan telapak tangannya.
"Terima kasih, Roro."
Gakupo pun buru-buru menaki anak tangga yang tersisa. Membuat Kaito sedikit bingung akan Gakupo. Reaksinya berbeda setelah bertemu pemuda merah jambu, Yuuma.
"Senpai kenapa?"
"Tidak ada."
Kaito pun akhirnya hanya bisa diam. Entah hanya perasaannya saja, atau nada bicara Gakupo barusan sedikit kesal. Kaito merasa sedikit bersalah meski ia tak tahu apa kesalahannya. Tapi ia tak mau memikirkannya lebih jauh.
Tangga menuju lantai tiga cukup banyak. Namun sepertinya Gakupo tak terlihat kelelahan menaiki semuanya dengan Kaito di tangannya. Membuat Kaito kagum akan stamina seniornya ini.
Mereka pun sampai di kamar setelah berjalan di lorong asrama. Pintu berwarna coklat itu memiliki tulisan 354. Dan jika dilihat baik-baik, pintu kamar ini sama sekali tak terlihat seperti pintu asrama sekolah—begitu juga dengan pintu yang lain. Gakupo pun akhirnya menurunkan Kaito dan membuka pintu itu.
Saat Kaito masuk dan lampu dinyalakan, betapa terkejutnya ia. Ini bukan kamar asrama yang ia bayangkan selama ini. Bukan! Bukan lebih buruk, tapi lebih baik. Jauh lebih bagus daripada perkiraan Kaito selama ini.
Di dalam ruangan itu terdapat dua buah tempat tidur, dua buah meja belajar, sebuah lemari, dan sebuah kulkas. Pintu kamar mandi ada di ujung ruangan. Dan tak lupa ruangan kecil seperti dapur beserta tetek bengek peralatan dapurnya. Seluruh sudut tempat itu sangat bersih dan rapi.
"Senpai menempati ruangan ini sendirian?" tanya si Shion tiba-tiba.
"Iya. Sebelumnya si Roro disini bersamaku, tapi ia minta pindah di kamar sebelah. Entah kenapa." Jawab sang senior sambil menyerahkan tas Kaito yang ia bawa. Kaito hanya menerimanya sambil mengangguk-angguk saja.
Kaito segera menuju ranjangnya dan duduk disana. Ia letakkan tas punggungnya dan mengeluarkan isinya—beberapa setel baju dan buku. Melihat itu, Gakupo langsung membuka lemari pakaiannya dan memindahkan beberapa bajunya menjadi satu. Sekarang lemari itu tak hanya untuknya, namun harus dibagi dua.
"Kau bisa letakkan pakaianmu di bagian tengah dan bawah. Kau bawa berapa setel dari rumah?" ujar Gakupo tanpa menoleh pada Kaito.
"Aku hanya membawa... dua setel."
Secepat kilat, pemuda ungu itu menoleh pada Kaito di belakang. Dua setel baju untuk tahun pelajaran yang panjang? Yang benar saja. Dia ini berniat bersekolah asrama tidak sih..
"Kau hanya membawa dua setel baju? Kau serius?" tanya Gakupo kaget.
"I-iya, hanya dua setel, senpai. Memangnya kenapa?" kata Kaito sambil menatap seniornya bingung dan polos.
Ingin rasanya Gakupo facepalm di tempat. Tapi ia urungkan niatnya. Ia juga ingin bertanya alasan adik kelasnya itu kenapa ia bisa disini hanya dengan membawa dua setel baju. Namun mengingat betapa diamnya ia di ruang kepala sekolah tadi saat ditanya tentang keluarga, maka lagi-lagi ia urungkan niatnya. Ia yakin Kaito punya masalah yang serius.
"Tidak apa-apa. Masukkan saja bajumu di lemari!" Perintah Gakupo sambil menghela nafas.
"Baiklah." Dengan cekatan, Kaito memasukkan dua setel bajunya ke dalam lemari. "Ohya, aku lupa bertanya sesuatu."
"Apa?"
"Nama senpai siapa ya?" tanya Kaito sambil tersenyum dan memiringkan kepalanya sedikit. Membuat yang ditanya menjadi gemas.
"Gakupo. Gakupo Kamui." Pemuda beriris violet itu membalas dengan senyum manisnya. "Namamu sendiri siapa?"
"Aku Kaito Shion, senpai." Jawab pemuda bersyal biru itu dengan senang. Senyum lebarnya terukir di wajah putih pucatnya. "Salam kenal, senpai."
Deg!
Dan sesuatu yang aneh pun merasuk ke dalam tubuh Gakupo. Jantungnya berdesir. Ia merasa sangat senang melihat senyuman itu. Dan ia ingin terus melihatnya.
'A-apa yang kau pikirkan sih?' inner Gakupo menjerit.
"B-baiklah. Sekarang sebaiknya kau membersihkan dirimu. Sebentar lagi makan siang di aula akan berlangsung. Kau tentunya lapar kan.."
"I-iya. Baiklah, senpai."
Baru saja pemuda bersurai biru itu melangkah menuju kamar mandi, ia menghentikan langkahnya. Satu hal lagi yang ia lupakan. Ia tak membawa perlengkapan mandi sama sekali kecuali sebatang sikat giginya. Dia bahkan tak membawa handuk.
Sebenarnya ia ingin bilang pada seniornya itu bahwa ia tak membawa apapun. Tapi ia takut dimarahin ini itu. Tapi kalau tidak bilang...
"Kau boleh memakai punyaku jika kau tak membawanya, Shion." Ucap Gakupo tiba-tiba.
Kaito menatap horror pada seniornya yang sedang membaca bukunya. Kenapa ia bisa tahu..
Akhirnya si biru Shion hanya bisa menahan malunya.
.
.
Setelah selesai dengan urusannya, Kaito keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kini dibalut oleh sebuah kaos biru dan sebuah celana pendek selutut. Ia merasa sangat segar setelah mandi.
"Shion, kita harus ce—" Gakupo yang barusan keluar dari dapur menghentikan kalimatnya. Lidahnya tercekat seketika ia melihat Kaito sekarang. Wajah yang manis nan polos, rambut yang masih basah, tetesan air yang menuruni wajah dan lehernya. Sangat menggoda iman..
'Ugh! Ingat, Gakupo! Dia itu laki-laki!'
"Ada apa, senpai?"
"A-ah! Kita harus cepat ke aula makan." Jawab Gakupo dengan pokerface-nya. Ia tak mau terlihat bodoh, utamanya di depan si manis Shion.
"Baiklah, senpai."
.
Dan sepertinya ini akan menjadi hari-hari yang sulit bagi Gakupo Kamui.
.
=To be Continued=
A/N: Hallo~ Daku datang ke FFn lagi setelah sekian lama gak pernah publish cerita. Dan akhirnya saya nimbrung dulu di fandom ini. Yah,, itung-itung buat memenuhi asupan sendiri terhadap OTP. #plak
Well.. Pertama daku ucapkan terima kasih buat yang udah baca. Terima kasih banyak. Daku juga minta maaf kalau masih banyak salah dan typo-nya. Males mau nge-beta soalnya. #dilemparsandal
Kedua, untuk sementara daku masih nimbrung disini, jadi mungkin daku bakal sedikit nyampah tentang pairing ini. Hahahaha.. #dibekap
Ketiga, tolong beri tahu daku pendapat kalian tentang ini cerita. Kalau sekiranya banyak yang suka, ya nanti daku lanjutkan secepatnya. Jika nggak, tinggal delete aja dan ngungsi ke Fandom lain. #dues
Oke, sedikit dari daku, semoga kalian suka.
RoyaChan's out~