Sumbangan saya untuk NHTD #5

Sebenarnya banyak ide berseliweran, dan sungguh… itu menyebalkan. Jadi, saya memutuskan untuk menulis satu cerita yang tiba-tiba muncul tepat ketika saya siap menyelam ke dalam mimpi. Semoga tidak mengecewakan.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Author: Aiko Fusui

Prompt(s): Hidden (Tersembunyi)

Warning: AU, OOC, typo(s), karena ini untuk NHTD, maka diusahakan berakhir nyesek, Naruto's POV. Jika nggak suka, sebaiknya tidak menyakiti diri sendiri. Terima kasih ^^

Aishiteru

-Side: Naruto Uzumaki-

.

-.-

.

Dikatakan atau tidak, ini tetap sama

Dari dulu hingga nanti,

Aku mencintaimu

(Naruto Uzumaki – Hinata Hyuuga)

.

.

"Halo, aku Hinata Hyuuga, yoroshiku onegaishimasu."

Mungkin akan terdengar bahwa aku adalah manusia yang sangat bodoh karena hanya dengan senyuman sederhana, aku menjadi sulit melupakan dirinya.

"Wah, kita sekelas dan duduk bersebelahan lagi, Naruto-kun."

Banyak kembang api, harapan yang bergemelantung, dan perasaan bahwa masa depanku akan secerah bintang sirius.

"Hai', yo-yoroshikuttebayo." Aku kehilangan kemampuan bicara. Tergagap tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah berhenti hanya karena dirinya yang selalu begitu indah di mataku.

Dia membungkuk sekejap dan kembali memasang wajah yang selalu kurindukan. Bersemu merah dengan bibir yang melengkungkan senyum bidadari, yang bersuara lembut dengan efek sehebat madu. Aku tidak pernah menyangka akan mengalami hal seperti ini dalam hidupku. Fantasiku sungguh aneh dan apa-apaan dengan semua kata puitis yang terperangkap dalam benak ini?

"Nee, Naruto-kun, apa ada yang aneh dengan wajahku?" dia kemudian menjadi kikuk karena menyadari tatapanku yang tidak bisa berhenti memandangnya. Menyelipkan rambut panjangnya di belakang telinga dengan canggung.

"Iie, ah… gomen." Dan baru kusadari bahwa diri ini menjadi begitu lunak di depannya. Ikut canggung dan buru-buru mengalihkan perhatian meski tujuan kedua lingkar biru mataku selalu berada padanya.

Ia kemudian pamit untuk bergabung dengan teman-teman perempuannya yang berada di depan kelas. Mereka mungkin mengobrolkan gosip terhangat tentang Sasuke yang ternyata bukan gay atau Anko sensei yang diketahui telah memiliki dua anak balita, aku tidak cukup peduli dengan semua itu.

Hanya dirinya, gadis yang kutemui di kelas kedua di masa remajaku yang labil, yang sanggup menyita semua kewarasan yang kumiliki. Seperti yang pernah ia katakan pada awal pertemuan kami, namanya Hinata Hyuuga, tempat yang diliputi cahaya. Seperti aku yang selalu memandangnya dengan baik, ia memiliki cahaya yang tidak aku temukan pada orang lain.

Aku Naruto Uzumaki. Yatim dan sekarang rasanya aku sedikit gila. Ya, rasanya aku tidak menjadi diriku sendiri akhir-akhir ini.

Mungkin karena akhir-akhir ini aku sering mendapatkan mimpi indah? Mungkin karena pertumbuhan hormonku yang sedang bagus-bagusnya? Atau mungkin… karena hatiku tertambat dan tidak bisa lari kemana pun lagi?

~Aiko Fusui-Aishiteru~

Rasanya waktu dua tahun begitu singkat, tidak adil! Aku ingin lebih lama lagi!

Ini hari kelulusan, aku ikut berjejer di barisan depan bersama teman-teman sekelasku yang lain, berdiri dan menyanyikan lagu perpisahan yang telah kami gladi kemarin malam. Semuanya menyanyi dengan baik, memandang ke depan seolah ada portal ajaib yang siap membawa mereka kepada kebahagiaan di masa mendatang.

Lagu selesai dalam dua menit dan kami dipersilakan untuk duduk kembali. Mataku melirik ke barisan tengah, menemukan dirinya yang sesenggukan di bahu temannya. Kugigir bibir bawahku karena merasa bersalah telah berpikir bahwa bagaimanapun rupa tangisannya, dia tetap saja membuatku terpesona.

Disampingnya, teman-teman yang lain pun dalam keadaan sama. Yah, semua tahu bahwa perpisahan bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dialami, eh?

Namaku kemudian dipanggil untuk menerima ijazah dan penghargaan karena nilai-nilaiku membuat namaku masuk ke dalam peringkat lima besar nasional. Ketika menaiki panggung, tidak susah menemukan senyum kebanggaan ibuku yang mengembang. Kedua matanya yang sendu berkaca-kaca, tapi raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan yang tidak bisa kulukiskan dalam kata-kata.

Aku selalu menyayangi wanita hebat itu.

Kemudian, nama lain dipanggil dan saatnya aku turun dari sisi panggung yang lain. Aku baik-baik saja saat mataku masih terfokus pada jalan yang akan kutapaki, namun detik berikutnya, entah kejahilan tangan takdir atau tuhan yang sedang iseng, mataku yang biru bersirobok dengan dua bulatan perak yang lurus memandangi diriku.

Tangannya terangkat, melambai-lambai padaku dengan senyumannya yang lebar dan manis. Mulutnya membentuk suku-suku kata tanpa suara. Aku bisa membacanya dengan baik karena namaku ada disana, "O-me-de-tou-Na-ru-to-kun." Seperti itu.

Dan karena sudah kubilang bahwa aku akhir-akhir ini menjadi gila, semua waktu seolah berhenti di depan mataku. Duniaku tenggelam, dan yang kurasakan hanya hamparan putih lembut yang menopang kami berdua.

Aku kehilangan fokus, dan berjalan begitu saja dengan mata kami yang masih berpandangan. Harusnya aku melangkah dengan baik pada anak tangga terakhir, namun kakiku berbelok, membuatku tersandung dan oleng.

Aku jatuh, berdebam, di depan panggung yang masih mengharu biru. Sesegera mungkin aku menjadi pusat perhatian. Ditertawakan meskipun ada juga yang memasang kecemasan.

Tidak perlu ditanya lagi bagaimana keadaan diriku. Kakiku memang nyeri, pinggul dan tangan kiriku juga, tapi aku lebih dibebani oleh rasa malu yang membuncahkan warna merah rata sampai telingaku. Warna merah sama telah meluncur dari hidungku, darah. Ugh, sekarang aku terlihat seperti seorang pervert.

Rasanya aku bisa mendengar suaranya yang memanggilku, cemas dan khawatir. Tapi aku sangat malu. Ingin menggali lubang dan mengubur diri kedalamnya saat itu juga. Aku bangkit sendiri karena banyak orang masih tertawa dan hanya bisa berbingung diri tanpa menghampiri untuk menolong. Berlari menuju kursiku dengan tangan yang berusaha menghentikan mimisan, dan terus menyembunyikan wajah sampai akhir acara.

Hari itu, aku tidak lagi dikenang sebagai Naruto yang masuk peringkat lima besar nasional, tapi aku adalah Naruto yang terjatuh dan mimisan karena terlalu lama memandangi seorang Hyuuga.

.

.

.

Upacara kelulusan berakhir sore hari. Aku keluar dan segera mendapatkan damai karena aku tidak populer untuk dimintai cindera mata. Kupalingkan pandanganku dan segera menghampiri ibuku.

"Kau membuat Ibu bangga, anakku." Lalu beliau berjinjit untuk memberikan kecupan di kedua pipi dan keningku. Air matanya mengalir dan baru pertama kali aku melihat Ibu tidak berusaha mengusapnya. Jadi, aku yang mengambil inisiatif itu.

Tapi ibuku menghindar, "Jangan dihapus, ini air mata bahagia." Lalu senyumnya yang kusayangi mengembang. "Ibu tidak bisa berlama-lama disini, Ibu harus kembali bekerja." Dan pelukannya mendatangiku.

"Jangan melamun jika berjalan, Naruto! Lihat sekarang hidungmu jadi jelek begini?"

Aku tertawa, semburat merah muncul lagi, "Maaf, Ibu. Lain kali aku akan lebih hati-hati."

Ibuku yang cantik kemudian masuk ke dalam taksi, "Makan malam ini, Ibu janji akan memberikan kesukaanmu, ramen!" dan kemudian, dalam hitungan menit, sosoknya yang lembut lagi periang hilang bersama taksi yang berbelok di ujung tikungan.

Aku memutuskan kembali ke kelasku, merasakan nostalgia dari semua memori yang berhasil terkumpul selama tiga tahun ini. Gedung sekolah mulai sepi karena kegiatan terkonsentrasi pada acara farewell party yang diadakan di aula selepas upacara kelulusan. Jendela-jendela kaca di koridor menyebarkan cahaya matahari sore, berwarna jingga dan sendu. Aku akan ingat untuk merindukan betapa banyaknya hal-hal yang terjadi di koridor ini.

Tentang aku yang selalu berpapasan dengan Hinata. Tentang lirikan pertama yang aku lancarkan pada Hinata. Tentang keramahannya yang istimewa karena dia Hinata.

Pintu kelas bergeser dengan mudah olehku.

"Oh!"

Dan aku tercekat, bergeming dan lurus-lurus menatap pada arah yang juga memandangku kaget.

"Naruto-kun." Senyumnya datang kembali. "Kenapa kemari?"

Aku dengan mudah menjadi kikuk, menggaruk belakang kepala yang tidak gatal dan tertawa-tawa canggung, "Hehehe, ya~ entahlah. Aku hanya ingin kesini."

Keberanian yang entah datang dari mana, mendorongku untuk berjalan mendekat. Kutarik sebuah kursi untuk duduk di sampingnya yang kosong. Karena semuanya mendadak hening, aku mengajukan pertanyaan sama; "Hinata-san sendiri, kenapa kemari?"

Hinata lalu mengalihkan pandangannya ke depan, seolah mencari-cari sesuatu, "Ti-tidak ada yang khusus kok…" hening kembali dan sikapnya yang terlihat tidak nyaman sampai pada penawaran tak terduga darinya, "Kau punya e-mail kan? Ayo bertukar kontak denganku."

Aku ingin sujud syukur, tapi sangat malu karena dirinya yang jauh lebih berani dibandingkan lelaki sepertiku. Anggukan kepalaku mengawali semuanya. Ponsel kami berhadapan pada bagian infra red dan bersiap bertukar e-mail.

Pembicaraan kami entah kenapa berjalan sangat lancar selanjutnya. Mengenang semua hal-hal yang pernah terjadi, tertawa bersama, dan ajaib… semua kekikukanku hilang tak berbekas hanya karena berada di dekatnya membuatku merasakan hangat yang berarti.

"Ngomong-ngomong, apa Kau baik-baik saja, Naruto-kun? Hidungmu tadi berdarah kan?" tangannya kemudian merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan antiseptik dan tisu, "Apa ini masih dibutuhkan?"

Mimisanku sudah berhenti dari tadi, tapi mana sanggup aku menolak pemberiannya? "Ah-haha… hahaha, iya. Kurasa aku tambah jelek karena hal itu, tapi aku baik-baik saja, Terima kasih untuk ini ya." Menggoyangkan antiseptik dan tisu yang berpindah tempat ke genggamanku.

"Sama-sama… syukurlah. Aku lega mendengarnya." Ekspresinya kemudian terlihat seperti menemukan sesuatu yang ingin ia tanyakan. "Ah, apa wanita cantik berambut merah itu ibumu?"

"Ya. Dia Ibuku, wajah kami mirip kan?"

"Sangat! Aku bertaruh jika Naruto-kun adalah perempuan, Kau akan menjadi idola satu sekolah, hahaha."

"Ahahaha, untungnya aku bukan perempuan."

Dia kemudian menghembuskan nafas dan berdesis lirih. Aku tidak bisa mendengarnya, jadi kutanyakan padanya.

"Eh? B-bukan apa-apa kok." Kepalanya kembali menoleh pada jendela yang ia buka, menerima banyak angin musim semi yang membelai rambutnya yang gelap. "Aku salut padamu, Naruto-kun."

Dia memujiku! Tuhan…

"K-kenapa?"

"Kau begitu menyayangi ibumu. Yah, maksudku… tidak semua anak cowok mau dicium ibunya di tempat umum, kan? Mereka bilang mereka akan terlihat lemah dan manja jika seperti itu, tapi…" dia kemudian kembali menatapku, senyumnya masih sama; selalu manis. "… rasanya dirimu berbeda."

Jika ini adalah sebuah scene film romantis, ini adalah saat yang tepat untukku mengutarakan segalanya. Timingnya, suasananya, semuanya sungguh sempurna.

Hanya ada kami berdua, dia selesai mengatakan kalimatnya dan disambut dengan guguran bunga sakura yang beberapa berhasil masuk melewati jendela. Diterbangkan angin, sunyi… namun memikat. Dari arah aula yang berseberangan dengan kelas yang kami tempati sekarang, terdengar sebuah band yang bernyanyi. Lagu manis tentang cinta dan perpisahan, tentang keberanian dan kepercayaan.

Bukankah ini kesempatan yang bagus?

"A-ku…" sebuah space besar menyerang kerongkonganku. Ada barisan kalimat indah yang siap kukatakan padanya, tapi ujung lidahku kelu. Untuk menelan ludah saja aku kesulitan. Tidak tahu, apa aku memang harus mengatakan ini dan merusak keheningan manis yang sejujurnya sulit kudapatkan hanya berdua dengannya?

Namun, bukankah ini selalu ada? Dikatakan atau tidak, perasaanku padanya adalah murni dan tulus. Sekarang dan untuk seterusnya, aku menyukai keberadaanya.

Jadi, setelah menghela nafas, kuputuskan untuk menyerahkan semuanya mengalir dalam diam. Membiarkan kalimatku menggantung tanpa ada penuntutan darinya. Kututup mulutku, dan bibirku melengkungkan senyuman karena merasa kami begitu dekat dan berbahasa hanya dengan dua pasang mata yang bertatapan.

"Oh, Naruto-kun."

"Ya?"

"Boleh kuminta?"

"Boleh, tapi apa?"

Wajahnya mendadak memerah begitu manis saat dengan canggung dia menunjuk kancing seragam keduaku, hatiku berdetak dengan irama yang dipercepat. Dia meminta kancing keduaku! Tuhan… apa yang Kau lakukan padaku?

"T-tentu." Dan tanpa aba-aba, kutarik keras kancing itu. Benangnya putus, tapi tidak masalah. Kuberikan padanya dengan tangan yang bergetar, kancing keduaku, berikut hati ini.

"Terima kasih." Senyumnya yang seperti malaikat muncul kembali, memancing keluar rasa bahagiaku dari alam paling dasar dalam diriku.

"S-sama-sama."

Hari itu, adalah perbincangan terpanjang yang kulakukan dengan Hinata selama dua tahun berada di Gokaku gakuen. Perbincangan terpanjang, paling berarti, sekaligus yang terakhir.

~Aiko Fusui-Aishiteru~

Setahun berselang, semester ketiga di kampus berada di hadapan. Aku masih aktif bertukar pesan dengan Hinata, meskipun terkadang yang kutanyakan hanya kabar dan apa kesulitan yang bisa kubantu di perkuliahannya. Tapi dia selalu menolaknya dengan halus. Yah, mau bagaimana lagi, bidang yang kami tekuni amat berbeda.

Tidak pernah lebih dari sepuluh ballon chat, tapi aku bahagia. Aku sadar, dia sedang berusaha keras untuk menjadi desainer di Paris. Hinata pasti sangat sibuk dan kelelahan. Tugasku juga tidak mau menungguku selesai beralay ria.

Hari-hari berjalan seperti biasanya, setidaknya begitulah yang terlihat.

Sampai pada suatu hari, aku kehilangan ponselku. Butuh lebih dari dua bulan bekerja sambilan untuk mendapatkan uang senilai ponsel yang kuinginkan. Aku bekerja keras, termotivasi oleh kerinduanku pada Hinata yang terlalu jauh untuk kugapai. Otakku hapal mati dengan alamat e-mailnya, jadi aku tidak terlalu ambil pusing dengan semua kontak yang ada di ponsel lamaku.

Lagipula, yang paling penting adalah telepon rumah-Ibuku-dan Hinata, kan? Hehehe.

Melewati tiga bulan dengan perasaan aneh yang sulit dijabarkan, akhirnya aku bisa membeli ponsel baru dengan fitur yang lebih canggih. Yah, Hinata memiliki ponsel dengan video call, jika aku punya satu yang seperti itu, pasti akan lebih menyenangkan.

Halo, Hinata-san

Bagaimana kabar Paris? Juga Hinata-san?

Rasanya sudah lama sekali…

To: Hinata Hyuuga

Send: Wednesday,14.38 p.m

Hatiku berdebar-debar karena menunggu balasannya. Per menit, aku mengecek ke dalam ponsel yang hanya berisi pesan-pesan dari operator dan beberapa temanku. Seharian itu aku seperti orang yang kecanduan virus alay anak SMP. Dan sampai dini hari, aku tidak menemukan layar ponselku bercahaya karena namanya.

Jujur, aku mulai putus asa. Aku mengiriminya lagi pesan sama, berpikir bahwa mungkin saja jaringan sinyal Jepang-Prancis sedikit bermasalah karena harus melewati banyak negara lainnya. Tiap dini hari selama seminggu lebih, aku tetap mengirimkan pesan tersebut. Tanpa balasan, tanpa sambutan berarti pada rasa rinduku yang menggebu.

Rasa sedih yang jahat menyelinap bersama dengan banyak asumsi negatif yang diperkuat oleh suasana hatiku yang kelabu. Beberapa kemungkinan datang dalam benak dan menjadi menyebalkan karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Aku frustasi, tapi merindukan sosoknya.

Pada hari kesebelas, aku berhenti mengiriminya e-mail. Menerima penawaran seorang gadis yang ingin menjadi teman dekat dan mulai membuka diri pada indahnya pertemanan masa muda. Aku mendapatkan lingkaran menyenangkan di sekelilingku, hal yang tidak pernah kudapatkan di masa-masa sekolahku yang sepi.

Aku (berusaha) melupakannya, namun tidak (berusaha) mengharapkannya. Kebencian datang bersama rasa cemas yang asing dan menusuk perih, aku lemah, sungguh. Terkadang, di malam hari aku masih berharap tiba-tiba dia datang dalam bentuk pesan e-mail yang kunanti. Meminta maaf karena ia lupa membalas, atau tidak apa-apa jika hanya sapaan berbunyi; Hei, dengan singkat.

Sampai akhirnya, beberapa bulan terlewati dan penantianku hanya sampai pada ruang kosong yang begitu dalam.

"Naruto, bagaimana kalau kita pacaran saja?"

Pertanyaan tiba-tiba dari seorang teman perempuan yang siang ini mentraktirku makan siang di kantin kampus.

"Eh? Kenapa tiba-tiba?"

"Yah~ aku menyukaimu, dan… kau juga suka padaku, kan? Jadi kenapa tidak pacaran saja?" gadis itu tersenyum dalam ekspresi kemerahan yang manis. Dia begitu percaya diri dan sebenarnya aku tidak bisa menyakiti hatinya yang selalu ceria.

Kualihkan pandangan, pada luar kantin yang begitu sibuk dengan orang-orang yang berjalan dalam lintasan masing-masing. Aku teringat Hinata, selalu mengingatnya malah. Penasaran dengan apa yang ia lakukan, penasaran dengan siapa dia makan, penasaran dengan hatinya yang kujamin belum bisa kutinggalkan.

"Ne, Naruto… tidak baik menggantungkan seorang gadis lho." Tangan kananku mendapatkan kehangatan dari genggamannya yang tiba-tiba. Aku merasakan keringat dan getaran rasa gugup darinya. Dia sudah berusaha keras untuk mengatakan ini padaku.

Kalau dibilang aku menyukainya, tentu aku menyukainya. Dia teman yang baik dan menyenangkan. Dia juga banyak membantu keuanganku jika aku tidak mendapatkan jatah bulanan dan belum mendapatkan pekerjaan sampingan. Tapi, untuk menempatkan namanya sebagai orang yang benar-benar spesial dalam hatiku… entahlah, aku sedikit sangsi.

"…" kupanggil namanya dalam lirih, mata kami bertemu. Kubalikkan tangan kananku dan balas menggenggam tangannya. Hinata datang pada awang-awang terindahku, tapi menunggunya tanpa kepastian seperti ini, dengan adanya seorang gadis yang mau menyukaiku seperti ini, aku harus menatap ke dalam realita yang sebenarnya.

Realita, bukan awang-awang.

Kubulatkan tekadku, tidak ada yang perlu diragukan-setidaknya aku mencoba bersyukur dengan apa yang ada di hadapanku sekarang. Menghela nafas, dan memberikan senyumanku pada kedua mata yang menunggu kalimatku dengan harap-harap cemas.

"Baiklah, mari kita coba mengubah pertemanan kita jadi pacaran. Yoroshiku."

Kedua matanya berkaca-kaca, mulutnya menganga polos, dan detik berikutnya dia berdiri dan memeluk leherku erat.

Kami tertawa, sedikit banyak mencuri perhatian orang-orang yang sedang menikmati makanan mereka. Tapi seolah tidak peduli, gadis itu melepaskan pelukannya dan meloncat-loncat girang di atas kursinya.

Sama sekali tidak mencoba membuatnya diam, aku masih tertawa. Melemparkan diriku pada ikatan lain yang sebenarnya ingin kujalani dengan Hinata. Sudahlah, tidak ada yang bisa membawanya tiba-tiba di hadapanku, e-mailku saja tidak pernah dibalas kan? Jadi, biarkan aku merasakan kesenangan sejenak, melupakan dirinya, dan membagi tawaku pada seseorang yang menyukaiku.

Meski jauh di lubuk hatiku, pada Hinata, aku tidak pernah bisa berpaling darinya.

~Aiko Fusui-Aishiteru~

…Tujuh tahun kemudian…

Di bandara, dekat dengan pintu keberangkatan, aku memeluk ibuku.

"Jangan telat makan, makan yang banyak-tidak perlu pilih-pilih, asal kenyang… cuci bajumu sendiri, lalu…" ocehan yang sama semenjak lima hari lalu, datang dalam suara serak beliau. Ada sisi lembut yang terasa menekan keberadaanku agar berada di sisinya, perasaan wajar seorang ibu yang enggan melepas anaknya.

Kedua matanya yang sendu berkaca-kaca, tapi menolak untuk menyerah mengeluarkan air mata. Pelukannya terasa berat, tidak pernah aku mendapatkan perasaan yang seolah memukulku ke dalam harapan dan rasa bersalah dalam waktu bersamaan seperti ini.

Kurengkuh ibuku erat, "Terima kasih, Bu…" dan kurasakan basah di bahuku.

Suara pemberitahuan akhirnya memutus pelukan kami, bergegas namun masih tidak ingin berbalik memunggungi beliau sampai di pintu masuk. Aku melambaikan tanganku tinggi-tinggi, berusaha tetap terlihat di antara banyak orang asing yang berjalan masuk. Mata kami bertemu, dan sekali lagi, air mata ibuku turun membasahi pipinya, tapi beliau tersenyum.

"Jaga diri baik-baik!" teriaknya.

"Ibu juga!" balasku.

Kami bertatapan lama, sampai seorang petugas cantik menegurku dengan halus dan elegan bahwa pesawat tidak akan memberikan tenggat waktu. Aku mengangguk dengan kikuk, meminta maaf dan sekali lagi melambaikan tangan pada Ibuku yang masih berdiri disana.

Ah~ aku pasti akan merindukan sosoknya.

~Aiko Fusui-Aishiteru~

Apa kalian bertanya tentang Hinata?

Bagaimana dengan dirinya sekarang? Entahlah, aku tidak tahu. Sebagian dari diriku ingin melupakannya, tapi ada ruang dalam hatiku yang kosong… pergi dalam kehampaan karena aku tidak sanggup melepaskannya dari diriku.

Aku hanya satu kali berpacaran, waktu masih kuliah. Dia gadis yang baik, namun sedikit posesif dan manja. Ia lebih kuperlakukan sebagai seorang adik perempuan daripada seorang pacar yang spesial. Suatu hari di musim semi, dia menanyaiku, bagaimana perasaanku yang sebenarnya, aku menjawab dengan jujur. Kami bertengkar, dan aku tidak bisa melihatnya menderita karena hatiku yang tidak bisa mengalah untuknya.

Tiga tahun kami berpacaran, dan akhirnya putus. Kami tidak menyesal sama sekali dengan keputusan yang telah kami buat, bersama berjanji untuk tidak saling membenci dan mengubah kembali hubungan kami menjadi pertemanan yang menyenangkan.

Setelah itu, aku tidak lagi banyak berhubungan dengan wanita-dalam arti khusus. Mungkin aku jatuh cinta terlalu dalam pada Hinata, atau karena ada secuil dari hatiku masih berharap dia mengingatku sebagai masa lalunya yang memberinya kancing seragam keduaku.

Kekanakan? Bodoh? Mungkin aku memang begitu.

Aku memutuskan mandi air hangat karena suhu musim gugur di London mengucapkan selamat pagi padaku dengan angin yang terasa dingin. Hari ini aku ingin berjalan-jalan sebelum besok mulai bekerja di perusahaan yang menerimaku.

Aku selesai dengan cepat, membuka pintu dan udara pagi milik musim gugur London menyapa hidungku dengan aroma manis kenari bakar. Aku membeli sandwich dan segelas kopi hangat, membawanya duduk di sebuah taman dan dengan tenang menyantapnya. Banyak orang lalu lalang dengan coat yang terus saja dipererat, berkabut dari nafas mereka dalam langkah yang tergesa.

Lalu aku penasaran pada banyak orang yang melaju begitu cepat di zebra cross yang luas. Bertukar sisi, seperti Tokyo, namun tetap mengundang rasa penasaranku. Yosh! Kopi dan sandwich sudah habis, kenapa tidak menjadikan rasa ingin tahu ini sebagai pembuka jalan lain?

Bersama dengan yang lain yang asing, aku menunggu di trotoar jalan sampai lampu pejalan kaki menyala. Sangat ramai, dan membuatku merasakan hawa Tokyo disini. Detik berikutnya, semua mobil berhenti dan kami mulai berjalan, berselang-seling dan berpapasan dengan banyak manusia dari trotoar seberang.

"Sorry…" bahuku menabrak sesuatu dan suara buku dan tas terjatuh di sampingku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita yang sibuk meminta maaf sambil memunguti barangnya. Kepalanya menunduk sibuk mencari.

"Biar kubantu." Tanganku terulur pada beberapa buku, mengambilnya dan berdiri diikuti olehnya.

Dia kemudian mendongak, dan mata kami bertemu, "Terima ka-" suaranya menggantung di udara hampa.

Aku kehilangan suaraku, sistem motorikku sama sekali tidak bisa melakukan apapun. Aku tercekat, diam dengan hati yang begitu sesak karena orang di hadapanku adalah penyebab yang nyata. Seperti ada ribuan air yang memasuki dadaku, aku menjadi sulit bernafas.

"U-uso!" dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, barang-barangnya jatuh lagi. Dua mata perak yang selalu kurindukan, memerah dan berair.

Satu kedipan, dan air matanya mengatakan segalanya. Satu kedipan, dan aku merasa kebas. Satu kedipan, lutut dan sikuku melemas, buku-buku yang kupegang kembali kepada aspal jalan.

Wanita di hadapanku terisak dalam diam. Rambutnya yang gelap disanggul rapi, pun pakaiannya yang jauh lebih 'London' daripada milikku. Dia sudah berubah banyak, tapi hatiku masih tetap berada di tempat yang penuh akan namanya.

Semua ujung sarafku menjadi nyeri, jantungku berdegup linu. Aku mungkin akan terjatuh, tapi nyatanya memang dari dulu aku sudah jatuh, padanya.

Kami berdua berdiri lama, sama sekali tidak mengacuhkan bunyi alarm lampu pejalan kaki yang berubah merah, membiarkan mobil-mobil dan klakson mereka berteriak protes, membiarkan para sopir taksi memaki kami yang bergeming di tengah jalan.

Aku menuli dari semua itu. Pun dirinya yang masih menangis memandangi kedua mata biruku.

Duniaku tiba-tiba terasa seperti padang bunga, di musim semi, dan semua angin mendadak membentuk simfoni. Indah, indah sekali.

.

.

.

Bagaimana mengatakannya? Perasaan ini benar-benar bisa membuatku mati.

"Apa kabar, Naruto-kun?" suaranya lebih indah daripada yang terakhir kuingat. Aku menoleh dan dengan cepat dirinya mengalihkan pandangan kepada lattenya yang mengepul hangat.

Aku menelan ludah, menyeruput sedikit kopiku sebelum menjawab, "Baik, Hinata-san sendiri?"

"Aku juga baik."

"Sekarang di London ya? Paris bagaimana?"

"Tidak, aku ke London hanya untuk mengikuti Autumn Fashion Week." Dia tertawa kecil.

Aku mengangguk meski tidak tahu apapun tentang Fashion Week itu, "Oh…"

Dia kemudian menatapku lagi, "Naruto-kun sendiri?"

"Aku bekerja disini."

Mulutnya membulat, "Oh…"

Lalu musik kafe terdengar begitu jelas. Aku tidak bisa lagi menemukan pemicu percakapan yang tepat meskipun dalam kepalaku berseliweran banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padanya. Awalnya aku merasa marah, tapi juga merindu dalam waktu bersamaan. Lalu kelegaan besar datang hanya karena dia berkata bahwa dirinya selama ini baik-baik saja.

Tangannya berada di pangkuan, memilin jari-jari karena aku tahu kegugupan sama telah menyerangku.

Teringat kembali bagaimana kami bertemu dan berakhir pada keheningan pada sore hari. Semuanya, seolah kenangan manis timbul bagai gelembung soda yang terus menerus bermunculan. Aku memandang padanya, wajah manis sama yang semakin cantik, rona merah sama dan tundukannya yang selalu merebut hatiku.

"Hinata-san." Aku tiba-tiba memanggilnya, "Bagaimana kabarmu?"

Dia mendongak dan tertawa, suaranya lucu dan riang. Seolah terhapus semua sisa tangis yang ada di wajahnya beberapa menit lalu. "Tadi kan sudah bicara itu, Naruto-kun?" katanya masih dengan tawa.

Aku memerah, merasa begitu bodoh dan buru-buru mengedarkan pandangan selain padanya. Rasanya aku hanya ingin terus bicara dengannya, mendengarnya bersuara, tertawa, dan terus mengobrol denganku. Aku sadar aku merindukannya, begitu rindu sampai rasanya aku nyaris gila jika semua ini ternyata hanya mimpi.

Bunyi ponselnya terdengar dan dia segera mengangkatnya. "Chotto matte, ne." lalu menyingkir dariku menuju toilet wanita yang sepi. Kepergiannya meninggalkan udara di sekitarku dengan perasaan yang menekan. Aku terus menatapnya sampai menghilang, lalu memandang latte yang belum ia sentuh, memeriksa bahwa tempat duduk di sampingku terasa hangat karena kehadirannya bukan suatu delusi.

Pintu kafe terbuka membunyikan bel 'kling' dengan jernih saat aku kembali ke tempat dudukku sendiri. Seorang lelaki tegap yang terlihat bisa diandalkan masuk sendirian dengan ponsel yang menempel di telinganya. Ia berjalan ke bar menu dan memesan sesuatu sebelum mengambil tempat duduk di meja sampingku.

Ah~ pasti sedang menunggu pacarnya.

Kembali aku menyeruput kopiku, tersenyum sendiri dan mulai mengatur bajuku yang hanya kaos tebal dengan jaket murahan. Aku menyesal tidak menyemprotkan minyak wangi tadi pagi, rasanya aku sangat menyedihkan untuk menjadi seorang pria yang (setidaknya) terlihat keren. Aku melirik ke samping, lelaki itu duduk memunggungiku tapi wanginya menyebar dengan maskulin.

Aku iri, sekaligus merasa rendah diri karena tidak bisa menjadi seperti itu di depan Hinata yang kusukai.

Dan tiba-tiba saja,"My Sweety…" aku mengikuti tujuan suara itu ditujukan, lelaki itu berdiri, merentangkan tangan kepada seorang gadis yang tersenyum malu-malu di dekat koridor menuju toilet.

Hatiku sesak dalam hitungan detik. Aku mengenal dengan begitu baik gadis yang mata peraknya kini tidak fokus menatap ke depan. Aku begitu kenal dengan suara lembutnya yang adiktif jika malu-malu. Aku begitu kenal pada rambut yang terurai karena sanggulnya digerai oleh sang lelaki yang mencium keningnya.

Hinata, di balik pelukan lelaki itu, menatapku sekilas sebelum memejamkan erat-erat matanya. Keningnya berkerut, seolah mengatakan suatu kesedihan yang gagal kumengerti. Aku terlalu hancur untuk memahami bahasanya yang tanpa verbal. Rasanya aku kehilangan detak jantungku hanya karena tahu bahwa senyumannya tidak lagi tertujukan padaku. Dan rasanya darahku berhenti mengalir, saat mataku tidak sengaja terpaku pada kilauan berlian yang melingkari jari manisnya.

"Kenapa kesini?" gadis itu bertanya.

"Karena sayangku ada disini."

Aku mengalihkan pandangan, berharap buta dan tuli dalam waktu bersamaan. Sendi-sendiku terasa dilucuti satu persatu, ototku tidak lagi punya alasan untuk berdiri. Kesedihan besar menyergapku dan tidak mau lepas. Aku hancur, hatiku pun demikian.

Lelaki itu kemudian membalikkan pandangannya padaku saat Hinata terus saja kehilangan fokusnya di depan pemuda tersebut. Kami bertatapan, dan aku mendapatkan intimidasi hanya dari dua matanya yang tajam.

"Dia siapa?" suaranya berubah ketus, tangannya masih enggan meninggalkan pinggang Hinata yang bergetar. Hinata menggigit bibir bawahnya, lirih ia berucap, "Temanku." Memberanikan mata kami beradu hanya untuk menemukan banyak permintaan maaf yang perih terpampang di dua mata serupa rembulan.

Tidak ada lagi yang mampu menahanku untuk tetap berada disana. Dengan segenap tenaga yang masih kupunya, aku membawa diriku membungkuk hormat di depan mereka, "Sayonara." Dan langkah cepatku yang perih membantuku menyembunyikan air mata ini darinya.

Tanpa tujuan, dan terus saja berjalan. Menabrak orang-orang dan aku menjadi sulit untuk bersikap sopan dengan meminta maaf secara santun. Tenggorokanku tercekat, dan aku menjamin jika suara yang keluar akan terdengar serak dan menyeramkan.

"Naruto-kun! Tunggu!"

Jantungku seolah berhenti berdegup kala kudengar derapnya yang memburu. Aku berhenti sejenak dan memutuskan berbalik setelah berjanji pada diri sendiri untuk tidak terlihat menyedihkan di matanya.

Ia sampai pada jangkauan tanganku, mengatur nafasnya yang begitu kacau. Kabut nafas keluar tiap tarikan udara, keluar bersama sesak dadanya yang mengalirkan air mata.

"G-gomen… gomen. Gomenasai." Telapak tangan dengan cincin manis yang melingkari jarinya terangkat, menutupi wajahnya yang menangis. Ia sesenggukan, rasanya luar biasa sesak dan begitu perih kala mendengar semua permintaan maaf yang tidak pernah kutahu alasannya.

Hatiku mencelos hebat, seperti dijatuhkan dari tebing dan menghantam ribuan kaktus dengan duri ukuran besar. Dalam diriku, aku roboh… terdampar pada lautan tanpa tepi dan tanpa kepastian yang menyelamatkanku. Aku terombang-ambing karena Hinata tidak berhenti meminta maaf, dan aku tidak bisa menghentikan hatiku yang terus merasa marah untuk merasa bersalah.

"Hentikan, Hinata-san." Tapi dia tetap meminta maaf.

"Hinata-san, onegai…" dia tidak menatapku, terus membungkuk dan terisak. Mengatakan bahwa dia begitu menyesal.

Aku menggeram, kesal dengan semua yang tidak kumengerti. Kusentak bahunya, berteriak di depan wajahnya, "Hinata-san, HENTIKAN!"

Dengan cepat, tekanan lain datang menyergap kami. Atmosfer sekeliling terasa begitu berat dan menjemukan dalam siksa yang begitu perih. Aku melepaskan bahunya, menunduk untuk mengambil nafas besar sebelum mengeluarkannya perlahan. Kulakukan beberapa kali sampai rasa sesak dalam dadaku berkurang meski amarah dan rasa sedih yang begitu banyak ini masih belum berkurang.

"Maafkan aku, tapi aku tidak ingin dirimu meminta maaf. Tidak ada yang-" kalimatku tidak selesai saat dia menyela dengan segera, "Aku perlu meminta maaf, Naruto-kun!"

Untuk apa? Mataku berkata demikian, tapi dia menghindar. Membungkam mulutnya dengan telapak tangan yang masih menyakitiku karena kilau itu tak mau pergi.

"Tidak ada apapun, Hinata-san…" aku menguatkan hati, mati-matian berusaha menempuh garis normal yang masih bisa kuraih. "Dari dulu, kita hanya teman." Aku tidak bisa berdusta bahwa mengatakan 'teman' kepadanya benar-benar terasa sakit.

"Tidak ada yang terjadi, kita hanya berteman, dari dulu sampai…" jeda sejenak, kuhela nafas karena sakit itu tak mau hilang. "…sekarang, kan?" kuyakinkan diri sendiri dengan suara yang sama sekali tidak layak.

Kami berpandangan, dan disana matanya terlihat begitu sedih. Air mata kembali mengalir meski wajahnya memaksakan senyum, "T-teman ya… Ya, hanya teman."

Batas kami sudah berada di depan, aku mengangguk ketika dia pamit untuk pergi dari hadapanku. "Jaa… Naruto-kun. Jaga diri baik-baik." tangannya meraih pundakku, menepuk-nepuknya canggung seolah kami adalah teman lama yang baru bertemu oleh suatu ketidaksengajaan terduga.

Ia berbalik, berjalan pelan tanpa menoleh lagi ke belakang. Badannya yang mungil limbung, hampir terjatuh karena heels yang ia pakai mendadak menjadi tidak nyaman. Tanpa memandangku, masih dengan punggung yang terasa hampa, ia mengangkat tangan, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya.

"I'm oke." Dan kembali berjalan. Dari kejauhan, lelaki yang memakai cincin sama berlari menghampirinya. Bertanya apa yang terjadi dan kemudian menatapku dengan begitu tajam sebelum membawa Hinata dalam rengkuhannya dan menghilang dari pandanganku.

"Hh…" aku tidak bisa melepas semua rasa sesak yang masih bercokol, jatuh berlutut di trotoar yang dingin, memegang jantungku yang terasa begitu perih. Luapan rasa sedih itu kemudian mengubah diri menjadi rasa sesal yang tidak kumengerti.

Kenapa merasa menyesal? Hinata sudah berada di tangan yang tepat.

Kenapa merasa menyesal? Aku-setidaknya-sudah bertemu dengannya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Kenapa merasa menyesal? Kenapa terasa begitu menyebalkan? Kenapa aku begitu pengecut dan bodoh untuk tidak mengatakan saja tentang hatiku yang masih merindukannya?

Aku bodoh? Memang. Tidak pantas menangisi orang bodoh sepertiku, tapi air mataku jatuh begitu saja.

Tanganku terasa hampa meski aroma tubuh Hinata masih melekat disana. Kukepalkan erat-erat, dan yang kudapatkan adalah kekosongan yang berat lagi keras. Jika saja aku bisa mengatakannya, jika saja aku bisa meraihnya…

"D-aisuki…" lirih kucapkan, sama sekali tidak menyentuh tujuan seujung jari pun.

"Daisuki-ttebayo…" lagi, memilin banyak nyeri yang terus bertambah tanpa henti.

Aku menangis, menatap pada bayangannya yang tidak lagi mampu kembali padaku. Kembali, kuucapkan kata yang tak mampu kuutarakan di hadapannya, kata yang begitu ingin kuberikan sedari SMA hanya padanya…

"Aishiteru, Hinata-san."

-.-

Kiseki ga moshimo okoru nara ima sugu kimi ni misetai

Seandainya ada keajaiban, aku ingin menunjukkan padamu sekarang juga

Atarashii asa kore kara no boku

Pagi yang baru, akan jadi seperti apa diriku mulai sekarang

Ienakatta "suki" to iuu kotoba mo

dan kata-kata yang tidak pernah kuucapkan: "Aku cinta kamu"

One More Time, One More Chance - Masayoshi Yamazaki

-.-

~Aiko Fusui-Aishiteru~

'Side: Naruto Uzumaki' is Finish

Chapter berikutnya menceritakan 'Aishiteru' dari Side: Hinata Hyuuga

Review?

Salam

Aiko Fusui