Title: Eyes, Nose, Lips

.

Author: Ira Putri

.

Rating: T

.

Disclaimer: SM Entertainment had the cast, but this story is mine.

.

All the cast are in the story.

.


.

.

.

Eyes, Nose, Lips

.

.

.

Kebisingan kecil terjadi di sebuah kamar rumah komplek tengah kota ini. Si penghuni sedang berlari mengambil handuk dan memasukkan dirinya ke dalam kamar mandi. Air gemericik membasuh tubuh si penghuni. Sekitar 15 menit berlalu, akhirnya si penghuni itu keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit di dadanya. Rambut blonde miliknya dibiarkan basah. Dengan cekatan, perempuan penghuni rumah ini memakai kemeja hitam polos, rok ketat, dan blazer. Ia menatap dirinya di kaca.

"Kim Junmyeon. Hari ini kau akan menjalani level permainan yang bernama 'melamar kerja'. Ini semacam di permainan GTA, mungkin sedikit beda," ucap perempuan bernama Junmyeon itu di pantulan dirinya sendiri.

Junmyeon menyisir rambut blonde terangnya, kemudian menguncirnya. Setelah itu bergegas ke dapur untuk sarapan. Roti panggang telah tergantung di mulutnya dan ia kembali ke kamar. Ia kembali mengecek isi map yang ada di tasnya. CV, ijazah tingkatan sekolah, daftar pengalaman kerja yang telah ia print dengan rapi, dan beberapa lembar uang di dompetnya. Setelah dirasa cukup, ia menenteng tasnya lalu keluar kamar.

Saat ia sedang memakai sepatu, ia menatap sebuah foto yang ada di dinding. Sambil mengunyah sisa roti panggangnya, ia bergumam. "Junmyeon di masa lalu, ia tidak berhasil mempertahankan dirinya sebagai laki-laki. Tapi dengan berubahnya Junmyeon yang sekarang menjadi perempuan, aku yakin sebuah keberuntungan, hasil kerja, dan cinta akan tercapai! Yo, semangat!"

Setelah Junmyeon berkata demikian, ia bergegas pergi dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Foto yang tadi di dinding adalah foto Junmyeon pada saat kelulusan sekolah menengah atas. Bisa dikatakan dari penampilan foto itu adalah seorang laki-laki.

.

?

.

"Beri saya kesempatan, Nyonya! Sa-saya akan kerja dengan baik!" Junmyeon sedang memohon-mohon pada seorang atasan kantor.

"Mohon maaf, Junmyeon...agasshi? Tapi direktur Lee bilang, kalau kami tidak bisa menerima Anda. Kami memang masih ada lowongan untuk desainer, tapi..." Perempuan yang sedang berhadapan dengan Junmyeon itu menggantungkan kata-katanya.

BRAK! Meja yang di hadapan mereka terguncang. Junmyeon mengambil kembali berkas-berkas yang berisi ijazah, pengalaman kerja dan CV miliknya itu dengan kasar. Ia membetulkan letak poni yang sedari tadi menutup sebagian mata kuacinya. "Ternyata disini masih ada rasisme. Aku jadi tak tertarik lagi untuk melamar kerja disini. Semoga kalian mendapatkan desainer yang lebih baik dari aku! Permisi!"

Junmyeon pergi begitu saja dari marketing sebuah butik itu. Semua orang memandangnya dengan heran. Terlihat ada air mata yang turun dari matanya. Setelah ia berjalan cukup jauh dari butik itu, ia menyeka air matanya dengan kasar. Ia membuka kembali berkas-berkas miliknya.

"Aku harus cari lagi! Ini untuk diriku sendiri! Fighting!" Junmyeon menyemangati dirinya sendiri. Ia melihat ada mobil antik yang terparkir tepat di sebelahnya. Ia menghampiri kaca spion dan merapikan rambut blonde terangnya. Menyeka kembali air matanya, dan membetulkan flat shoes-nya. Ia kembali berjalan menerobos keramaian ibukota itu.

"Memangnya yang mereka perhatikan itu apa? Belum tahu saja isi otakku itu apa, heh?"

.

?

.

Malam telah tiba. Cahaya matahari terganti dengan kilauan lampu-lampu berkilauan yang mampu menyipitkan mata. Langkah kaki Junmyeon melambat. Penampilannya sudah kusut. Rambutnya yang tadi pagi rapi terkuncir seperti ekor kuda pun melonggar. Blazer putihnya basah di bagian punggung. Flat shoes-nya hampir rusak karena dipaksa untuk berjalan dari ujung kota, tengah kota, sampai ujung kota lagi.

"Aku tak akan memaafkan atasan yang begitu kejam itu! Berani-beraninya dia mempermalukanku yang baru saja melamar kerja di depan semua bawahannya! Sialan!" Junmyeon mengumpat atas kejadian tadi.

Langkah kaki Junmyeon semakin cepat. Ia ingin cepat-cepat pulang dan mengistirahatkan tubuh lelahnya. Tapi ia menghentikan langkahnya saat ia menoleh ke arah sebuah diskotik. Ia kenal dengan tempat diskotik itu. Entah kenapa langkah kakinya menuntunnya ke pintu masuk diskotik itu.

Tempat diskotik itu masih terlihat sepi. Beberapa pelayan bar dan penari erotis saja yang terlihat disana, namun penari erotis itu belum menunjukkan tarian sensualnya karena masih sepi. Junmyeon duduk di kursi bar.

"Mau pesan apa, agasshi?" Pelayan bar tampak datang melayani Junmyeon.

"Arak saja. Beri aku satu botol!" Junmyeon menopangkan dagunya dengan kasar.

Pelayan itu pergi mengambil botol, bersamaan dengan ditepuknya pundak Junmyeon oleh seseorang. Junmyeon menoleh dengan malas.

"Myeonie? Apa yang kau lakukan disini?" Pemuda yang menepuk pundak Junmyeon tadi bertanya.

"Sudahlah, Byun. Aku sedang stres sekarang," Junmyeon menempelkan wajahnya ke meja bar.

Pemuda yang dipanggil 'Byun' oleh Junmyeon itu duduk di sebelah Junmyeon. "Mencari pekerjaan lagi?"

"Did you think so?"

"I think so, Mr.. eh, Mrs. Kim, hehe"

"Geez, mentang-mentang! Kelihatannya kau betah dengan pekerjaanmu itu," ujar Junmyeon pada 'Byun'.

"Ini mata pencaharian tetapku, Myeon," jawab pemuda yang bertagname Baekhyun itu.

"Tetap? Menjadi gay? Dalam bentuk... ma-maksudku.." Junmyeon terbata-bata. "Dandanan laki-laki.."

Baekhyun tertawa. Tertawa keras sampai terdengar ke ujung diskotik. "Myeon. Kau lupa apa yang telah kau lakukan?"

Junmyeon membelalakkan matanya. Baekhyun memelankan suaranya. "Kau malah mengubah penampilanmu seperti perempuan tulen. Kau memanjangkan rambutmu, mengubah warnanya menjadi kuning begini. Hahaha,"

Junmyeon memalingkan mukanya. Bertepatan dengan datangnya arak yang ia minta dari pelayan bar tadi. Junmyeon mengambil gelas dan menuangkan isinya ke dalam gelas itu sampai penuh. "Kurasa kau benar. Aku tetap aneh seperti dulu. Sampai dipermalukan di tempatku melamar kerja terakhir sebelum aku ke sini. Hanya gara-gara..."

"Itu pilihanmu, bro!" Baekhyun menepuk pundak Junmyeon. "Kau sudah 95% seperti perempuan, kok! Hahaha! Tunggu, apa ini busa atau kau menanam silikon di dalam sana?" Baekhyun menunjuk-nunjuk 'buah dada' milik Junmyeon.

Merasa tersinggung, Junmyeon menjitak sahabatnya itu dan menutupi 'buah dada' miliknya dengan blazer. "Ada silikon padat yang kutanam disana. Dan aku juga mulai sekarang terbiasa dengan...bra,"

"Hanya saja tonjolan di lehermu itu tak bisa dikecilkan, ya? Hahaha!"

"Kata dokter kalau tonjolan jakun itu dikecilkan atau dihilangkan, pita suaraku akan putus. Mana berani. Lagipula suaraku juga tidak sama seperti laki-laki lagi, kan?" Junmyeon meminum araknya.

"Terserah kau saja, Myeon. Itu pilihan hidupmu. Kalau kau masih menganggap hidup ini seperti permainan. Video game mungkin, atau permainan anak kecil yang sekarang hampir punah," Baekhyun mengambil botol arak itu lalu menuangkannya ke dalam gelas. Awalnya Junmyeon melotot tanpa mengeluarkan ucapan 'itu botol arakku!'. Baekhyun menjawab. "Kutraktir. Lagipula arak ini tidak sampai menghilangkan separuh penghasilanku,"

Junmyeon menatap sahabatnya itu. Kemudian tersenyum penuh arti. "Terima kasih, Baekhyun,"

"Apa yang tidak untukmu, Nona Junmyeon?"

Mereka tertawa. Junmyeon merasa dirinya sudah lebih baik dari sebelum ia datang ke bar tempat Baekhyun bekerja. Junmyeon sudah sedikit kebal dengan arak ataupun minuman keras lainnya. Tubuh Junmyeon pun jadi ringan kembali. Namun seseringnya Junmyeon mengunjungi diskotik ini, ia tidak mau bekerja di tempat yang buka setiap malam itu. Alasannya singkat. Tidak mau kerja malam, dan menjadi penari erotis ataupun penjaga bar itu bukan stylenya. Ia mungkin masih bisa berpikir jernih untuk mencari pekerjaan. Sayang sekali kalau kemampuannya mendesain pakaian tertutup dengan pekerjaan menjadi penari erotis, pikirnya demikian.

"Mau kuantar, Myeon? Kau masih tinggal di komplek lamamu itu kan?" Baekhyun menawarkan.

"Tidak usah. Aku bisa langsung jalan saja. Bukannya kau tadi bilang akan dijemput 'pacar barumu' itu?" Junmyeon tersenyum mengejek dan menegaskan kata 'pacar barumu' pada Baekhyun.

"Biar saja! Dia menyebalkan! Dasar virus sok narsis," umpat Baekhyun.

"Sudahlah. Aku mau pulang saja. Sudah larut begini. Salam buat virusmu itu ya!" Junmyeon mulai melangkahkan kakinya menjauh dari Baekhyun. Mereka berdua melambaikan tangan.

Junmyeon menarik nafas panjang lalu menghembuskannya lagi. "Masih ada jalan lain, Nona Kim. Impianmu jadi desainer akan terwujud!"

.

?

.

"Aneh sekali. Malam ini lebih dingin dari biasanya,"

Junmyeon mengeratkan blazernya untuk menghangatkan tubuhnya. Diliriknya jam tangan merk Gucci itu. Masih jam 11 malam. Belum terlalu larut dan hanya berjarak satu setengah jam dari saat ia mengunjungi diskotik tadi. Junmyeon kembali berjalan menuju rumahnya.

Pandangannya teralihkan menuju lapangan basket dekat komplek. Tangannya ia gesekkan di pagar pembatas di sela-sela langkahnya menimbulkan suara 'krincing krincing' seperti lonceng. Junmyeon mendapati orang asing sedang bermain dengan bola basket. Bukan satu bola, melainkan satu keranjang dorong bola basket.

Di keranjang itu masih tersisa tiga bola basket. Sementara yang lainnya sudah tercecer di lapangan itu. Orang asing yang memainkan basket itu tampak kelelahan. Keringat bercucuran di pelipisnya, begitu penglihatan Junmyeon. Orang asing itu tinggi menjulang, kurus ideal seperti layaknya model majalah fashion, dan berambut dark chocolate. Orang asing itu mengambil bola basket dari keranjang lalu melemparnya dan sayangnya tidak masuk ke dalam ring basket.

"Hah... hah.. hah.. hahh..." Nafas orang asing itu tersengal.

"Kenapa dia memaksakan dirinya untuk tetap melempar bola basket itu, ya?" Junmyeon bergumam. "Apa...aku harus menolongnya?"

Orang asing itu mengambil bola basket lagi dari keranjang dan menyisakan satu bola di dalamnya. Ia melemparnya lagi. Kali ini bola itu masuk ke dalam ring.

"Tapi... aku tidak punya hak untuk menolongnya. Bisa-bisa... aku bukannya dapat terima kasih, melainkan..." Junmyeon menggantungkan kata-katanya.

Orang asing itu mengambil bola terakhir. Saat ia akan melemparnya, ia tiba-tiba jatuh tersungkur di tengah lapangan basket itu. Junmyeon tiba-tiba gelagapan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Junmyeon malah kabur begitu saja membiarkan orang asing itu kelelahan.

.

?

.

"Bagaimana akhir cerita dari orang tadi malam, ya?"

Junmyeon berjalan santai menuju apartemennya. Ia baru pulang dari rumah seniornya, Xiumin. Hari ini hari Sabtu. Pantas ia bersantai seperti ini dengan kaos lengan panjang yang terlihat lebih besar dari ukuran tubuhnya. Kedua tangannya ia tempelkan ke belakang kepala sebagai penopang. Helai-helai rambutnya yang ia urai begitu saja terdorong oleh angin. Ia pun sampai di lapangan basket kemarin.

Junmyeon mendapati orang asing kemarin dengan pakaian yang sama seperti tadi malam di lapangan. Penampilan orang itu lebih acak-acakan dari tadi malam. Keranjang dorong yang ada di dekat orang asing itu kosong, bahkan sampai terguling dengan tidak elitnya. Orang asing itu mengambil satu-persatu bola basket yang tercecer itu dan melemparnya kembali ke ring basket. Keringat bercucuran lebih banyak dari yang dilihat Junmyeon tadi malam.

"Kasihan sekali orang itu..." Junmyeon memandangnya dari pagar pembatas. Ia berpikir sejenak, kemudian pergi dari sana.

Junmyeon mengunjungi minimarket komplek dan membeli minuman isotonik. Kemudian ia berjalan menuju lapangan basket lagi. Ia memandang orang asing itu dari pagar pembatas (lagi). Junmyeon terlalu malu walau hanya memberikan sekedar minuman isotonik. Kelihatannya orang asing itu hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.

Junmyeon pun memberanikan diri untuk mendekati orang asing itu. Junmyeon membuka pintu pagar pembatas lapangan basket itu. Orang asing itu tampak tidak tahu akan kedatangan Junmyeon, atau tidak menghiraukan? Junmyeon tak tahu.

Orang asing itu hendak melempar bola basketnya, namun tiba-tiba ia jatuh terduduk. "Aahh.. hah.. hah.."

"M-maaf. Apa kau penghuni baru di komplek ini? A-aku tak sengaja melihatmu tadi malam. A-aku hanya menawarkan minuman ini untukmu," Junmyeon memberanikan diri menyapa walaupun jadinya benar-benar absurd.

Orang asing itu diam. Hanya terdengar nafasnya yang tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran.

Junmyeon masih berdiri tegak di sampingnya. Tangannya bergetar, gugup mungkin. Entah kenapa ia malah meletakkan botol minuman isotonik itu di dekat kakinya. "A-aku letakkan disini. M-maaf mengganggu. Aku hanya ingin membantu,"

Orang asing yang sedari tadi diam tanpa kata itu, tiba-tiba menoleh ke arah Junmyeon. Wajahnya tampan, dagunya lancip tapi tegas, bibirnya kemerahan walau sedikit pucat, dan matanya senada dengan warna rambutnya. Dari wajahnya saja sepertinya ia bukan asli Korea. Mungkin China atau luar benua Asia, pikir Junmyeon. Ekspresi wajahnya sekarang dingin sedingin es.

"Aku... tidak butuh bantuanmu..." ucapnya.

"A-apa...?" Junmyeon terkejut.

"Aku tidak butuh bantuanmu, Nona," ucap orang asing itu dengan bahasa Korea yang fasih.

Orang itu bangkit. Mengambil satu bola basket dan melemparnya menuju ring. Bola itu masuk ke dalamnya. "Aku masih bisa bermain. Jangan ganggu aku..."

"Tapi.. aku melihatmu dari kemarin melempar sekeranjang bola ini ke dalam sana. Apa kau tidak kelelahan?"

"Aku tidak merasa lelah.."

"Jangan bohong! Aku tahu semua!"

"Kau tahu apa tentangku?" Orang asing itu membentak kepada Junmyeon. Junmyeon sedikit bergidik. "Kau tidak tahu apa-apa jadi untuk apa kau bilang kau tahu semua tentangku?"

Junmyeon diam. Tatapannya tajam menuju orang itu. Ia kembali berujar dengan nada yang ketus. "Aku tahu. Kau melempar semua bola itu ke dalam ring. Jika di keranjang sudah habis, kau mengambilnya lagi dan melemparnya lagi. Kau lakukan itu dari tadi malam, Tuan Sok Kuat!"

Orang asing itu terdiam. Junmyeon sudah berbalik badan dan hendak pergi menjauh. Ia sudah menduga akan seperti ini jadinya. Kepalanya berputar kembali menatap pemuda itu. "Kalau kau masih ingin hidup, kau bisa minum minuman itu. Aku hanya berniat membantumu,"

Junmyeon kembali terdiam. Lalu ia pergi begitu saja dari lapangan basket, meninggalkan orang asing itu. Orang asing itu mengambil bola basket lagi dan melemparnya. Matanya berkaca-kaca.

"Mungkin... memang lebih baik aku mati..."

.

.

.

Eyes, Nose, Lips

.

.

.

"Kelihatannya kau kusut sekali, Myeon," ujar seorang lelaki sambil menyeruput kopinya.

Junmyeon mengacak-acak rambutnya. Kemudian ia menempelkan dagunya ke meja cafe. "Ditolak semua perusahaan, aku tidak dapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku, kembali dihina... rasanya seperti daging yang dibumbui dengan asam kemudian dibakar..."

"Tunggu! Kembali dihina? Apa maksudmu?" Lelaki itu kembali bertanya.

"Harusnya kau tahu, Luhan oppa," Junmyeon menyilangkan tangannya.

"Jangan panggil aku oppa! Menjijikkan untuk orang sepertimu," Lelaki bernama Luhan itu mengkerut.

"Terus aku harus memanggilmu apa?"

"Hyung,"

"Aku bukan Junmyeon yang dulu!"

"Tapi kau tak mengubah 'punyamu' kan? Kau masih bisa memanggilku hyung. Harus malah!"

"Tidak mau!"

"Apa kau bilang?"

"Tidak ada panggilan lain apa selain hyung? Aku perempuan!"

"Gege? Itu artinya kakak dalam bahasa China,"

"Kakak laki-laki?"

"Terlalu formal,"

"Big brother?"

"Seperti acara televisi saja,"

"Big bro?"

"Kau kira aku berlebihan apa?"

"Kakak laki-laki yang bukan hyung melainkan oppa?"

"Junmyeon!"

Luhan menjitak kepala Junmyeon dengan gulungan koran. Junmyeon terkekeh lalu menaikkan bahunya. "Oppa sepertinya tidak berubah. Masih bisa kukerjai,"

"Sifat laki-lakimu itu masih ada ternyata," Luhan memasang 'poker face' di wajahnya.

"Wanita juga cari hiburan,"

"Terserah sajalah,"

"Ayolah oppa! Apa di kantormu tidak ada lowongan pekerjaan? Desainer busana? Pria atau wanita terserah.." Junmyeon kembali ke topik pembicaraan awalnya dengan Luhan.

"Aku bekerja di perusahaan kecil, Myeon. Tidak sebesar yang kau kira. Memangnya kau mau merancang busana untuk pernikahan?" Luhan menopang dagunya.

"Tidak masalah! Tidak masalah! Aku akan bekerja sebaik-baiknya!" Junmyeon terlihat bersemangat.

"Tapi Myeon... hanya saja..." Luhan memainkan jari-jarinya.

Junmyeon merengut. "Tidak menerima pegawai transgender sepertiku?"

"Bukan.. bukan seperti itu," Luhan mengelaknya.

"Cih..." Junmyeon memalingkan wajahnya menatap jendela. "Sepertinya transgender itu hina dimata orang-orang,"

"Transgender bukan penghinaan. Itu pilihan," Luhan menenangkan Junmyeon.

"Ini pilihanku. Kenapa orang lain tidak menerimanya?"

"Kau masih ingat apa yang orang tuamu lakukan setelah kau mengubah dirimu menjadi perempuan?"

Bagaikan di skakmat di permainan catur, Junmyeon kembali terdiam. Luhan memang pintar menyudutkan orang. Junmyeon mengacuhkan Luhan dan tetap memandang ke luar cafe. Hujan turun rintik-rintik. Untuk kesekian kalinya Junmyeon teringat akan masa lalunya.

"Mama dan Papa tidak terima akan keputusanku. Aku kabur dengan membawa setengah milyar won uang milik Papa. Seperempatnya untuk operasi plastik membesarkan dada dan menyuntikkan hormon kewanitaan. Sisanya untuk... membeli rumah dan kehidupan sehari-hari. Masih ada sisa uang, tapi aku baru tahu kalau Mama diam-diam mengirimku uang untukku setiap bulannya..." tutur Junmyeon.

"Bagaimana kau bisa memanjangkan rambut, dan perawatan kulit...? Yah... kau tahu, urusan wanita?" Luhan bertanya walau sedikit tidak enak pada Junmyeon.

Junmyeon tersenyum tipis. "Xiumin sunbae membantuku. Ia memberiku herbal penumbuh rambut. Setiap dua bulan sekali kami ke salon. Tidak sampai setengah juta won kok.."

"Baju-baju itu? D-darimana kau dapatkan baju-baju itu? Jujur, setelah kau jadi wanita kau jadi nampak lebih modis,"

"Waktu aku kuliah, aku berlangganan Lotte Fashion. Bukan hanya baju, aku juga beli aksesoris. Aku membeli itu semua dengan uangku sendiri, sebelum kartu kreditku diblokir Papa. Terpaksa aku membuka tabungan baru dengan nama lain. Baju-baju lamaku kuganti ukurannya dengan ukuranku saat ini. Kujahit dan kupotong sendiri. Kalau tidak kulakukan itu, aku memakai baju apa?"

"Daun pepaya mungkin? Hahaha," Luhan mencairkan suasana, membuat Junmyeon ikut tertawa. "Kalau kau benar-benar lulusan fashion, kau pasti bisa mengubah daun pepaya itu menjadi pakaian. Hahaha,"

Junmyeon menyeruput Americano miliknya. "Aku masih amatiran, Gege.."

"Akhirnya... kau memanggilku dengan panggilan yang pas!" Luhan berseru senang.

"Dasar.."

.

?

.

"Kau yakin akan pulang, Myeon? Sudah malam dan sebentar lagi hujan deras," Luhan berseru dari dalam mobilnya.

"Aku bisa jalan sendiri, Ge! Komplek rumahku tidak jauh!" Junmyeon menjawab.

"Tapi kau tidak bawa payung!"

"Aku suka hujan, Ge!"

"Baiklah.." Luhan memutar balik mobilnya, kemudian berjalan keluar dari parkiran cafe.

Junmyeon mulai berjalan menembus hujan. 200 meter dari pintu keluar parkir cafe terdapat gerbang masuk komplek rumah Junmyeon. Jalanan mulai becek dan menampakkan genangan air setinggi setengah tebalnya kaki Junmyeon. Junmyeon melindungi kepalanya hoodie jaketnya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket. Setelah sampai di perempatan komplek, Junmyeon berhenti. Arah rumahnya bisa dilalui dari dua arah, yaitu lurus dan belok kiri. Jika lurus, ia akan melewati minimarket komplek dan sekitar 150 meter dari minimarket itu ia sampai ke rumah. Tapi jika ia belok kiri, ia akan melewati lapangan basket dan kemungkinan ia sampai ke rumahnya 500 meter dari lapangan basket itu. Entah kenapa kakinya menuntun untuk berbelok ke kiri, melewati lapangan basket.

Hujan semakin deras. Menuntut Junmyeon untuk mencari tempat berlindung. Ia cepat-cepat berlari untuk melindungi dirinya dahulu. Ia sampai di pos penjagaan tepat di depan lapangan basket. Junmyeon mengeringkan rambutnya dari air dan menggosok-gosokkan tangannya agar tetap hangat. Pos penjagaan itu kosong dan tertutup, entah kemana orang yang menjaganya. Mata Junmyeon beralih ke lapangan basket. Matanya hampir tak berkedip saat ia melihat orang asing tadi pagi masih berdiri di lapangan basket. Orang asing itu hanya berdiri, tak melakukan apa-apa.

"Orang itu memang berniat bunuh diri ternyata..." gumam Junmyeon seakan mencibir. "Tidak... tidak bisa kubiarkan.."

Junmyeon menarik hoodie jaketnya kemudian berlari menuju lapangan basket. Membuka pagar pembatas lalu menghampiri orang asing itu. Tak sengaja ia menyandung botol minuman isotonik yang tadi ia berikan untuk orang itu. Junmyeon mengambilnya. Ternyata botol itu masih utuh dan tersegel. Minuman itu tidak disentuh sama sekali oleh orang itu.

Merasa (kembali) terhina, Junmyeon memarahi orang itu. "Kau ini benar-benar tak tahu berterima kasih ya, dasar Tuan Sok Kuat!"

"..."

Orang itu tidak menjawab Junmyeon. Kepalanya tertunduk.

"Bodoh! Sudah kubelikan minuman untukmu, kau malah tidak meminumnya! Aku tahu kita tidak saling kenal, tapi apa aku salah jika aku membantumu? Bodoh!"

"..."

"Dan sekarang, kau malah hujan-hujanan. Aku heran, sudah berapa hari kau melakukan hal ini di lapangan basket, hah? Apa kau memang berniat mati, Tuan Sok Kuat?"

"..."

Junmyeon sudah tak dapat mengendalikan emosinya. Junmyeon kembali marah-marah kepada orang itu sesekali mengguncang tubuhnya yang basah kuyup. Saat Junmyeon mengguncang tubuh orang asing itu sedikit keras, tiba-tiba tubuh orang itu jatuh ke samping. Junmyeon terkejut. Ia menghampiri orang itu, berharap orang itu masih hidup.

"H-hey kau..."

Junmyeon berjongkok, menggulingkan tubuh orang itu agar terlentang. Nafas orang itu terputus-putus, seperti sedang mencari pasokan oksigen. Dadanya naik turun tak karuan. Tangan kanan orang itu memegang kuat dada bagian kirinya.

"Hah... hah.. ha.. ahh.. aa...hh.."

Junmyeon tercengang. "Oh tidak..."

Junmyeon mencoba mengangkat tubuh orang asing itu. Berat, pikir Junmyeon. Rumah sakit jauh dari komplek. Berarti terpaksa ia harus bawa orang itu ke rumahnya. Langit semakin lama semakin tidak menurunkan airnya lagi. Junmyeon mengaitkan tangan kiri orang asing itu ke pundaknya. Tangan kanan Junmyeon menopang pinggang orang asing itu. Kemudian berjalan menuju rumah.

"Tenang saja. Aku akan merawatmu sampai sembuh, Tuan Sok Kuat,"

.

?

.

"Hahh... aa... ahh... hah... hhh.."

Pemuda yang ditolong Junmyeon itu kini terbaring lemah di kasur kamar Junmyeon. Sementara Junmyeon baru saja kembali ke kamar dengan sebotol oksigen semprot beserta alat bantunya. Junmyeon memasangkan alat bantu bernafas itu pada botol oksigen, lalu menempelkannya ke hidung dan mulut pemuda itu.

"Semoga ini membantumu.." gumam Junmyeon tulus, lalu menyemprotkan oksigen itu.

Nafas pemuda itu berangsur-angsur teratur seperti semula setelah menghirup oksigen bantuan itu. Junmyeon dibuat lega olehnya. Perlahan, Junmyeon menjauhkan alat bantu bernafas dari hidung dan mulut pemuda itu. Wajah pemuda itu tampak tenang. Ia bisa bernafas seperti biasa. Junmyeon menempelkan telinganya ke dada bagian kiri pemuda itu, tepat ke jantungnya. Detaknya teratur. Junmyeon kembali bernafas lega.

Junmyeon menyelimuti tubuh lemah pemuda itu. "Takdirmu untuk mati belum sekarang, Tuan Sok Kuat. Istirahatlah. Cepat sadar..."

Junmyeon berjalan keluar kamar. Berganti pakaian dan membuatkan bubur dan minuman hangat pada pemuda itu. Tangan-tangan kecilnya cekatan untuk memotong daun bawang dan sayuran lainnya sebagai tambahan dalam bubur buatannya. Setelah masakan itu siap, ia menaruhnya di mangkuk besar. Minuman coklat panas buatannya juga sudah jadi. Keduanya ia letakkan di nampan dan membawanya kembali ke kamar.

Junmyeon meletakkan nampan itu di meja nakas dan mengambil kursi kecil untuk duduk di samping pemuda itu. Junmyeon menatap pemuda itu.

"Kasihan sekali kau... Sepertinya kau bukan asli dari Korea.. Tapi.. pelafalan Hangulmu fasih sekali..."

Junmyeon berbicara sendiri, seakan pemuda yang tengah terlelap itu mendengarnya. Junmyeon menopangkan dagunya.

"Aku jadi penasaran siapa namamu. Kelihatannya kau lebih tua dariku. Tapi tingkahmu seperti anak-anak. Memaksakan dirimu melempar semua bola basket itu ke ring. Stres berat, atau... berlatih mati-matian? Hah... hanya kau dan Tuhan yang tahu..."

Cukup lama Junmyeon memperhatikan pemuda yang terlelap itu. Ada perasaan aneh menjalar di hatinya. Tapi mungkin Junmyeon dengan cepat menyangkalnya.

"Sebenarnya kau tampan. Tapi... apa iya aku langsung menyukaimu? Bahkan aku saja tidak mengenal siapa dirimu. Dan... kalau kau tahu aku yang sebenarnya... kau dan aku akan menjadi gay. Cih.. memang aku mengubah penampilanku seperti perempuan. Pasti kau mengira aku memang perempuan tulen..."

Junmyeon terus bergumam sampai terkantuk-kantuk. Tak sadar ia tertidur dan wajahnya tertutup rambut blonde terangnya.

Junmyeon terbangun saat matahari menyinari kamarnya. Ia mengangkat wajahnya dan mengucek-ucek matanya. Ia menoleh ke kiri dan kanannya. Seolah-olah dia lupa kejadian semalam. Mata kuacinya terbuka lebar saat di kasurnya tidak ada siapa-siapa.

"Semalam bukannya aku menyelamatkan Tuan Sok Kuat...?" gumam Junmyeon. Matanya terbuka lagi. "Jangan-jangan..."

Junmyeon menoleh cepat ke meja nakasnya. Ia terkejut saat mangkuk bubur sudah kosong dan coklat panasnya juga sudah habis. Disana juga ada botol minuman isotonik tadi pagi. Botol itu juga sudah kosong. Junmyeon mengambil botol isotonik itu dan menatapnya. Yang menarik perhatiannya adalah sebuah kertas yang menyembul di bawah gelas coklat panasnya itu. Kertas itu bergoyang terbawa angin dan menimbulkan suara. Junmyeon pun mengambilnya dan membuka lipatan kertasnya.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona Angel Kim. Ternyata masih ada orang yang mementingkan keselamatan orang lain sepertimu. Terima kasih juga atas minuman isotonik yang tadi pagi. Maaf merepotkanmu,"

Junmyeon merengut membaca isi surat itu. "Dia bahkan tidak meninggalkan namanya di surat ini. Dan... kenapa dia tahu namaku waktu aku tinggal di Amerika, ya?"

Sedetik kemudian ia tersenyum. "Ah tidak penting. Aku senang dia selamat..."

Junmyeon membereskan nampan makanan itu sambil bergumam. "Aku berharap bisa bertemu dengan orang itu lagi..."

.

.

.

Eyes, Nose, Lips

.

.

.

"Gula dua sendok makan... lalu..."

Junmyeon menatap kembali buku resep, lalu menuangkan dua sendok makan gula ke dalam adonan. Junmyeon meletakkan buku resep itu lalu mengambil handmixer. Ia mencampur-adukkan adonan berwarna kecoklatan itu. Tak lama menuangkannya sedikit demi sedikit ke cetakan.

Di belakangnya ada seorang perempuan yang baru saja mengangkat kue dari oven. Kue tradisional Korea. Perempuan itu meletakkan loyang kue itu ke meja dengan tidak elitnya. Ia berseru. "Aah! Panas sekali!"

Junmyeon yang menyadari perempuan itu di belakangnya langsung menoleh. "Xiumin sunbae? Wah, kuenya sudah jadi!"

"Hampir gosong lebih tepatnya. Untung saja tidak apa-apa," Perempuan bernama Xiumin itu menyeka keringat dari pelipisnya.

Junmyeon mengambil kue itu. Ia meniupnya lalu memakannya. Merasakan rasa kue itu. "Enak kok, Sunbae,"

"Myeon, sudah berapa kali jangan memanggilku Sunbae. Terlalu formal!" Xiumin membereskan loyang-loyang yang kosong dan ia letakkan di wastafel cuci piring.

"Aku harus memanggilmu unnie begitu?" Junmyeon terkekeh sambil menata cetakan yang dingin ke dalam loyang.

"Tapi melihatmu yang transgender itu rasanya aneh. Biasanya kau memanggilku nuna,"

"Transgender disalahkan lagi~~ Transgender disalahkan lagi~~" Junmyeon bersenandung seakan menyindir.

"Tidak Junmyeonie.." Xiumin duduk di sebelah Junmyeon. "Aku merasa tidak enak saja padamu. Lagipula aku sudah memberikan semuanya padamu,"

"Aku merasa belum sempurna jadi perempuan, unnie,"

"Memangnya perempuan tulen tidak bisa berpikiran begitu?"

Junmyeon menatap Xiumin kaget. "Apa maksudmu?"

"Aku perempuan tulen. Aku juga bisa bertingkah layaknya laki-laki, walaupun presentasinya lebih kecil. Hanya sebatas bela diri,"

"Bela diri memang dibutuhkan untuk semua jenis kelamin untuk melindungi diri, unnie," Junmyeon bangkit dari kursi dan menaruh loyang adonan kue di oven. Menutup oven itu dan memutar tingkat panas dan waktu memanggang.

"Aku yakin sifat kewanitaanmu juga lebih besar dari sifat maskulinmu. Bukankah kau sudah disuntikkan hormon kewanitaan oleh dokter?" Xiumin memasukkan kue itu ke dalam toples.

"Em.. unniya? Bolehkah aku bertanya?" Junmyeon menatap Xiumin.

"Apapun sayang. Bertanyalah,"

"Apa... aku bisa... menyukai pria?"

Xiumin menghentikan aktivitasnya menata kue di toples. Kepalanya ia tolehkan ke arah Junmyeon. "Kenapa... kau bertanya seperti itu?"

"Aku hanya tanya," Junmyeon menaikkan bahunya. "Sepertinya dari matamu, kau ragu akan pertanyaanku,"

"Myeonie-ya," Xiumin bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di hadapan Junmyeon yang lebih tinggi darinya. "Cinta tak mengenal jenis kelamin. Cinta datang tiba-tiba. Datang tak diundang. Dan ada dua akhir, bahagia dan sakit..."

"Yang kumaksudkan bukan itu, unnie," Junmyeon melipat kedua tangannya di dada. "Jika kami saling mencintai, bagaimana... kalau ia tahu kalau aku laki-laki?"

"Baekhyun bekerja sebagai gay. Apa yang salah? Choi Hanbit juga transgender sepertimu. Apa yang salah?" Xiumin mencondongkan wajahnya ke hadapan Junmyeon.

"U-unnie..."

Xiumin mengacuhkan Junmyeon. Ia mengambil setoples kue dan memberikannya pada Junmyeon. "Untuk cemilan di rumah. Jangan ragu untuk bercinta, Myeonie. Kau sudah memilih level permainan hidupmu,"

Junmyeon terpaku. Tak lama kemudian ia tersenyum. "Kau sudah banyak membantuku... Unnie.. Terima kasih"

"Apapun untukmu, Nona Kim," Xiumin tersenyum.

"Kalau begitu.. aku boleh pulang? Sepertinya aku belum mengunci pagar rumah," Junmyeon menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jangan-jangan rumahmu juga tidak kau kunci?" Xiumin menatap intens Junmyeon.

"Tidak. Aku bawa kuncinya, kok. Haha" Junmyeon terkekeh.

"Pulanglah. Biar aku yang mengurus kuemu," Xiumin kembali tersenyum.

"Baiklah, Unnie. Aku pulang," pamit Junmyeon, lalu berbalik badan meninggalkan Xiumin di dapur.

Xiumin menatap kepergian Junmyeon. Kemudian dia menepuk dahinya. "Astaga... aku lupa bilang padanya kalau ada tepung yang menempel di pipinya,"

.

?

.

Junmyeon membuka pagar rumahnya yang memang lupa ia kunci. Ia terkejut ketika ada pemuda sedang duduk di kursi teras rumahnya. Postur tubuh yang sepertinya ia kenal. Kebetulan saat Junmyeon ingin mendekatinya, pemuda itu bangkit dan menyapa Junmyeon.

"Hey, Angel Kim!" Pemuda itu menyapa Junmyeon. Ia membuka kacamata hitamnya. "Kau masih mengingatku?"

"Tuan Sok Kuat? Tentu saja. Aku masih mengingatmu setelah kejadian seminggu lalu," jawab Junmyeon percaya diri.

"Jangan memanggilku begitu. Aku manusia, ada kalanya aku lemah. Hahaha," Pemuda itu terkekeh.

"Dan darimana kau tahu namaku waktu aku di Amerika?" Junmyeon mengedipkan matanya polos.

"Itu bukan urusanmu, Angel. Baiklah, to the point saja..." Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Apa kau ada waktu kosong? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Sebagai tanda terima kasihku padamu. Bisakah?"

Junmyeon kembali mengedipkan matanya berkali-kali. "A-aku bisa. Aku bisa. Kapan?"

"Malam ini. Kuharap kau tak keberatan,"

"Boleh saja. Itu tidak menggangguku. Eh, ngomong-ngomong. Jangan panggil aku Angel. Nama asliku Junmyeon. Kim Junmyeon," jawab Junmyeon menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Pemuda itu tersenyum tipis. Kepalanya mendekat ke wajah Junmyeon. Mendekat dan semakin mendekat. Hingga Junmyeon harus memundurkan wajahnya untuk menghindar. Rona merah di pipi Junmyeon tak dapat disamarkan lagi. Akhirnya hidung mereka bersentuhan. Ibu jari tangan kiri pemuda itu bergerak ke pipi kanan Junmyeon. Mengelusnya dengan lembut. Rona merah di pipi Junmyeon semakin menampakkan warnanya. Sedangkan jari-jari tangan kanannya merapikan rambut Junmyeon dan menggantungkannya di belakang telinga kiri Junmyeon.

Ia berbisik ke telinga Junmyeon. "Just call me Kris. I'll wait you at 7pm, girl,"

Tiba-tiba pemuda itu menjauhkan wajahnya dari Junmyeon. "Oh iya ngomong-ngomong tadi ada bekas tepung di pipimu. Baiklah. Sampai jumpa nanti malam!"

Pemuda itu pergi begitu saja dari rumah Junmyeon. Membuat Junmyeon harus menahan malu telah dibuat merona olehnya. Wajah Junmyeon merengut.

"Sialan! Dia menggodaku! Apa tadi dia bilang? Namanya... Kris? Hm... baiklah. Lagipula ini caranya berterima kasih karena menyelamatkan nyawanya,"

Junmyeon masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Sedetik kemudian ia menepuk dahinya. "Aish! Kenapa aku lupa tidak meminta nomor teleponnya?"

.

.

.

.

To Be Continued


Nyahaha! Ira kembali dengan FF baru! Maaf buat All I Want For Christmas Is You belom kelar. Antara takut dan nggak berani/? buat selesain. Malah bikin FF baru. Jangan marahin Ira plis'3' ini FF terlintas di otak Ira.-.

Kalo mau bayangin Junmyeon yang ini, pinjem wajahnya ullzang Jung Sohee aja. Kan kembar tuh, wkwk. Tapi Ira tetep bayanginnya pake wajah Junmyeon yang asli. Ira masih mengusung boys love disini. Tapi kan Ira anti mainstream. Kalo dibuat cewek beneran, malah jadinya nggak bagus. Kalo tetep jadi laki, mainstream dah jadinya.

Doain buat chapter selanjutnya oke?

.

.

Review?