"You and Your Imperious Kiss"

Disclaimer : J. K. Rowling ©


Summary:

Rose Weasley memulai tahun keenamnya di Hogwarts sebagai peraih nilai tertinggi OWL asrama Gryffindor. Tapi tahun ini entah mengapa membuatnya jauh lebih gugup bahkan daripada tahun pertamanya di Hogwarts. Tapi sepertinya dia tahu alasannya. Ya, ciuman saat pesta semalam suntuk sehabis OWL penyebabnya, ciuman pertamanya dari pewaris tahta pangeran Slytherin: Scorpius Malfoy.


Rose's Point of View.

Musim gugur rasanya datang mendadak tahun itu. Pagi pertama bulan September segar dan kering dan keemasan seperti apel, dan di sepanjang stasiun besar berjelaga King's Cross, asap knalpot dan napas para pejalan kaki berkilauan seperti jaring laba-laba di udara dingin.

"Hugo, bisakah kau menyuruh Carroll diam?" teriakku akhirnya setelah tidak tahan lagi dengan suara uhu-uhu burung hantu adikku itu. Aku sudah mendengarnya sejak di rumah dan di sepajang perjalanan kami dari Upper Fragley sampai London.

"Selama tidak menyakitimu, berhentilah mengeluh," balas Hugo.

Kami bergerak cepat dengan dua troli menuju ke peron 9 ¾ yang istimewa itu.

"Aku duluan," kata Hugo, mengambil alih trolinya dari Dad dan bergerak ke arah palang rintangan di antara peron sembilan dan sepuluh.

Aku lalu mengikuti dengan Mom yang mengiringi di sebelahku. Walaupun sudah berkali-kali melewatinya, namun aku selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak berjengit ketika tiba di palang rintangan, dan selalu, selama enam tahun terakhir ini, alih-alih tabrakan, asap putih yang membumbung dari Hogwarts Express yang berwarna merah tua-lah yang menyapaku.

"Rosie.." panggil Dad pelan.

"Ya, Dad?"

"Ini hanya perasaanku saja, atau memang si kecil Malfoy itu sedang memperhatikanku?" Dad memicingkan matanya. Aku mengikuti pandangannya dan menemukan Scorpius Malfoy sedang memandang dingin ke arah kami, namun Scorpius langsung mengalihkan pandangannya begitu menangkap tatapanku.

Dan seketika jantungku mulai berdetak tak beraturan. Sambil mengutuk kebodohanku sendiri, aku berpaling ke Dad dan tersenyum. "Hanya perasaanmu saja, Dad."

"Oh, baguslah. Dasar Malfoy," kata Dad sambil lalu.

"Ron.." Mom memperingatkan. Namun Dad tidak menggubrisnya dan menghampiri Uncle Harry, yang berjalan ke arah kami seorang diri.

"Apa sih, 'Mione?"

"Wow, ada apa ini?" tanya Uncle Harry.

"Ron, dia mulai memprovokasi Rose untuk meneruskan permusuhannya dengan Malfoy," kata Mom.

Uncle Harry tertawa. Dan Mom mulai berdebat dengan Dad soal mencontohkan bagaimana harus bersikap dengan baik dan lain sebagainya.

Aku hanya menyunggingkan sebuah senyum tipis. Menerka-nerka apakah yang akan dikatakan Dad jika dia tahu bahwa anak perempuannya ini telah mencium putra tunggal Draco Malfoy itu.

"Rose, kau tahu kabar terbaru?" Lily menghampiriku terlebih dahulu, sementara Potter-Potter lainnya masih bercakap-cakap dengan Uncle George.

"Apa yang kali ini kau beritakan, Lil?" tanyaku.

Lily tersenyum sarkas sebelum memulai, "Jaqueline Smith menemui Hugo diam-diam dan memberinya sekotak cokelat."

"Si pirang strawberry itu?"

"Ya, tipe adik ipar yang cocok buatmu, eh?" Lily tertawa.

Aku hanya mengangkat bahu. "Dan bagaimana gaun pesta dansamu?"

"Bagus. Mom membelikanku sebuah gaun cantik buatan Madam Malkins. Sayangnya Dad bersikeras tidak mau membelikanku sepatu tumit tinggi yang akan sangat cocok dengan gaunku gara-gara detensiku dengan Profesor Longbottom tahun lalu, jadi aku akan memakai sepatu Mom."

"Hey, kalian! Bagaimana liburanmu, Rose? Dan Lil, Mom mencarimu," Albus baru datang, headphone putih masih terpasang di telinganya. Mungkin Al akan membawanya ke Hogwarts sekalian dan menggunakannya di kelas Profesor Binns, pikirku geli

"Ada apa Mom mencariku?"

Al mengerdikan bahu. "Entah, dia mengoceh soal alat penata rambut Muggle yang ada di kopermu."

"Oh, Demi Celana Merlin! Mom sudah setuju aku membawanya.." desis Lily.

"Dan bagaimana kau menggunakannya? Kau perlu listrik, kan?" tanyaku.

"Teddy memberitahu kami bagaimana cara membuat listrik dari tongkat sihir," jelas Al.

"Jadi, kalian dalam misi melakukan invasi barang-barang Muggle ke dalam Hogwarts, begitu?"

"Benda Muggle tidak termasuk benda terlarang dan kurasa jauh lebih baik dari barang-barang Weasley's Wizard Wheezes, Mantan Prefek Gryffindor yang terhormat," dalih Al sambil tertawa. Sementara Lily sudah kehilangan mood-nya ketika berbalik untuk mencari Aunt Ginny.

"Rose, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Al setelah Lily menghilang.

Aku mengangguk.

"Kau dan.. er.. kau tahu, Scorp, apakah kalian sedang berkencan?"

Aku membuka mulutku. Lalu menutupnya lagi. Oh, tidak. Bagaimana Al bisa berpikir begitu? Aku hanya mencium Scorpius sekali dan bagaimana dia berpikir kalau aku berkencan dengan temannya itu.

"Ya, aku mencoba bertanya pada Scorp tapi dia tidak mau membicarakannya…"

"Kami tidak berkencan, Al."

"Oh, baguslah. Aku memang temannya. Tapi aku tahu seperti apa dia. Scorpius baik, hanya saja, kau akan kewalahan untuk menghadapi suasana hatinya. Terlalu banyak cewek yang dikencaninya dalam sebulan, Rose."

Aku merasakan sesuatu mendingin di dalam sana. Namun aku berusaha mengabaikannya. Dan akhirnya aku menatap Al dan berkata, "Aku tahu persis."


Scorpius's Point of View

Hogwarts Express sudah penuh oleh semua murid yang berdesakan ketika Mom menciumku. Dia mengoceh soal mengikuti tata tertib dan tidak menerima detensi lebih banyak tahun ini. Aku hanya memutar bola mata. Astaga aku sudah enam belas tahun dan Mom masih saja memperlakukanku selayaknya aku murid baru Hogwarts.

"Sudahlah, Astoria, Scorpius sudah mendengar semua itu sejak dia turun dari kereta awal musim panas lalu," kata Dad ketika Mom masih saja menceramahiku soal makan teratur dan tidak terlambat datang ke kelas.

"Baik, aku akan berhenti. Tapi berjanjilah kau harus membalas setiap suratku, Scorp," kata Mom lagi. Dia memelukku erat dan menatapku dengan tatapan mautnya, itu dilakukannya agar aku mau menuruti semua omongannya, sebelum melepaskanku. Aku lalu memberi Dad pelukan singkat, sangat singkat, hampir hanya seperti tepukan di punggung dan bahu. Lalu aku mengangguk dan melompat ke kereta. "Bye!" aku melambai pada mereka berdua dan berjalan ke kompartemenku.

Aku baru saja akan menggeser pintu kompartemen ketika seorang gadis berambut merah melewatiku. Aku menatap mata cokelat-madunya, dan dia menatapku. Namun dia tidak melakukan apapun. Dia hanya menatapku dan berjalan melewatiku begitu saja. Seolah tidak ada yang pernah terjadi.

"Scorp?"

Aku hampir saja tersentak ketika pintu kompartemen dibuka dari dalam. "Ya, Al?" tanyaku, berusaha tidak terlihat aneh.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak masuk?"

"Aku baru saja akan melakukannya," balasku saat melewatinya masuk. Irish Zabini menyapaku ketika aku duduk di sampingnya.

"Liburanmu oke, eh?" tanyanya.

Aku mengangguk tapi tidak menjelaskannya. Dan Zabini kembali sibuk membaca Daily Prophet-nya. Menteri Sihir Kingsley Shacklebolt melambai dari halaman depan dengan latar institut penelitian hewan-hewan sihir yang baru saja diresmikan atas usul seorang naturalis terkenal, Rolf Scamander.

Al baru kembali entah darimana dan dia melempar sekotak cokelat kepadaku. Dia lalu duduk di depanku dan kembali memasangkan benda putih Muggle di telinganya.

"Cokelat dari Vanessa Vane. Dia titip salam dan kecup untukmu juga," katanya saat mengerlingku. Aku tidak mengubah ekspresiku saat memeriksa kotak cokelat itu. Dan karena Dad pernah bilang soal ramuan cinta yang dicampur ke dalam cokelat, aku melempar cokelat itu ke rak di atas.

"Kau membuangnya?" tanya Zabini, menatapku.

Aku mengangguk.

"Itulah yang selalu dilakukan Malfoy, bukan? Melakukan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya dan menyingkirkan segalanya yang tidak diinginkannya?" sambar Albus sambil menyeringai menyebalkan.

Zabini tertawa. Dan dia mengambil cokelat itu dan memeriksanya. "Tapi ini terlihat oke, Scorp."

"Oke kalau kau berniat mengejar-ejar si Vane itu," jawabku.

"Aku tidak mengerti."

"Mungkin ada ramuan cinta di dalam cokelat itu, Zab. Entahlah, hanya untuk jaga-jaga," jelasku sambil mengangkat bahu.

"Mungkinkah?" Zabini terbelalak.

Al melepas benda Muggle itu dari telinganya. "Kenapa tidak? Itu pernah terjadi pada Uncle Ron. Dia makan cokelat dari Romilda Vane yang sebenarnya ditujukan kepada Dad dan yah, dia bersikap seperti orang sinting sampai Profesor Slughorn memberikan ramuan kontranya kata Dad."

"Wow, aku tidak bisa membayangkanmu berlarian di sepanjang lorong kastil, bernyanyi bersama Peeves dan memanggil-manggil nama Vanessa sepanjang waktu," kata Zabini, nyengir kepadaku.

Aku tidak menanggapi gagasan menjijikan itu. Itu semua tidak lebih penting dari satu hal. Tidak, seseorang. Seseorang yang mengabaikanku begitu saja padahal kami telah bertukar sesuatu yang belum pernah kuberikan kepada orang lain dengan emosi yang juga ikut bermain.

Biasanya para gadis itu yang membiarkan emosi dan perasaan mereka ikut bermain, bukan aku. Dan mereka akan berebut untuk mendapatkan, bukan hanya ciuman, tapi juga satu sesi panas denganku. Dan setelahnya mereka bisa dipastikan akan terus menerus berharap padaku. Melemparkan pandangan manis yang tersipu saat aku menatap mereka, mengirimiku berbagai macam hadiah sambil terus berharap aku akan menemui mereka kembali.

Tapi mengapa gadis ini berbeda? Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Tidak ada seorang pun yang boleh mengabaikan seorang Malfoy.


Rose's Point of View.

Aku duduk di sebelah Dominique di meja panjang Ravenclaw ketika acara penyeleksian asrama selesai murid baru. Sejak runtuhnya masa kegelapan, ketika Uncle Harry mengalahkan Lord Voldemort, Hogwarts benar-benar berubah. Kini tidak ada kesenjangan dan perbedaan mencolok antarasrama. Kami, Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, bahkan Slytherin, berbagi meja bersama dan sebagainya. Poin asrama, Pertandingan Quidditch, dan bahkan Hogwarts Cup tidak terasa sebagai persaingan lagi.

"Oh, aku sungguh menantikan Hogsmeade, aku butuh pena bulu isap," kata Domie saat menyuapkan sesendok salad jagung ke mulutnya.

"Aku juga rindu Butterbeer," balasku. Terakhir kali aku minum Butterbeer adalah saat valentine, dimana aku kencan dengan Aaron Macmillan seorang seeker Hufflepuff yang seangkatan dengan James.

Aku dan Domie tidak banyak bicara malam itu, karena seorang murid kelas tujuh datang untuk merayu Domie agar mau pergi ke pesta Profesor Slughorn besok malam dengannya. Padahal aku sangat ingin cerita kepada Domie soal… yah, Scorpius dan apa yang dikatakan Al saat di King's Cross.

Aku berjalan ke Menara Gryffindor sendirian. Masih ada acara penyambutan untuk murid-murid baru dari para Ketua Murid, namun aku sudah terlalu lelah mengikutinya. Aku baru tiba di depan Lukisan Nyonya Gemuk dan akan mengucapkan kata kunci ketika seseorang menarik tanganku dan meyentakku untuk menghadapnya.

"Kau…" aku menelan ludahku. Rambut pirang platinanya yang berkilauan tertimpa cahaya membuatku lupa cara berbicara.

"Mengapa kau menghindariku?" tanyanya dingin.

Aku berusaha membentengi diriku kembali. Menolak pesonanya yang memabukkan. "A-aku tidak menghindarimu," jawabku, masih tergagap. "Lagipula untuk apa aku menghindarimu, memangnya siapa kau?" tambahku lantang, ketika sudah berhasil menguasai diriku kembali.

Scorpius memamerkan senyum separo khasnya. Demi Celan Merlin yang Paling Gombrong, apa sih yang dilakukannya?!

"Pergilah sana, aku mau masuk," kataku lagi.

Scorpius tidak menggubrisku. Dia masih menatapku dingin. Aku menatapnya lama. Berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Bagaimana sebenarnya perasaannya. Namun dia Malfoy, sangat sulit untuk membaca raut wajahnya yang datar dan penuh dengan arogansi yang khas itu.

"Baik, apa yang kau inginkan?" tanyaku, mulai marah.

"Temui aku di depan Kamar Kebutuhan sehabis pesta Slughorn besok malam," katanya.

Aku menarik tanganku dari tangannya dan menyilangkan keduanya di depan dadaku. "Bagaimana kalau aku tidak mau?"

"Maka, aku akan memaksamu," jawab Scorpius.

Sungguh, tidak ada gunanya berdebat dengan pemuda ini. Dan Scorpius sepertinya tahu kalau dia sudah menang, karena dia kembali tersenyum timpang dan berbalik. Namun sebelum dia melangkah pergi aku menarik lengannya.

"Kenapa sih kau selalu mendapatkan apa yang kau mau?" tanyaku tajam.

"Karena begitulah seorang Malfoy dibesarkan."


Scorpius's Point of View.

Pusat kehebohan masih berada di Aula Besar. Namun aku tidak berniat untuk ke sana. Siapa juga yang peduli dengan murid-murid kelas satu yang disambut oleh senior-senior asrama mereka. Dan ngomong-ngomong soal murid baru, asrama dan topi seleksi, semoga saja tahun ini Slytherin tidak mendapat yang lebih buruk dari Karren Parkinson. Oh, memang ada yang bisa lebih buruk dari dia…

Maka aku berjalan ke arah asrama Slytherin. Aku baru saja akan mengatakan kata kunci ketika Vanessa Vane berlari ke arahku. Oh, astaga bagaimana seorang Gryffindor bisa tahu letak asrama Slytherin?

"Scorpius? Aku mencarimu kemana-mana. Aku bertanya pada Albus dan dia bilang kau sudah menyelinap keluar dari Aula Besar. Maka, aku menunggumu di sini. Kau darimana saja?" dia langsung berhambur memelukku dan memberondongku dengan serangkaian pertanyaan yang membuatku mual.

Aku berusaha mendorongnya menjauh dariku. Namun Vanessa malah menggamit lenganku setelah melepaskan pelukannya.

"Kau makan cokelat yang kutitipkan pada Al? Kuharap kau suka karena aku sengaja meminta kepada sepupuku yang tinggal di Perancis untuk mengirimiku cokelat itu."

"Ya."

"Kau suka?"

Aku tidak menjawabnya. "Sudahlah, kembali sana ke asramamu. Aku butuh istirahat."

Vanessa menatapku curiga. Tapi akhirnya dia mengangguk dan melepaskan lenganku. "Baiklah. Selamat malam. Kuharap kau memimpikanku," katanya, dia lalu mengecup pipiku dan berjalan menjauh.

Setelah memastikannya benar-benar pergi aku baru mengucapkan kata kunci dan dinding batu di depanku berubah jadi pintu masuk asrama Slytherin. Cahaya hijau langsung menyapaku begitu aku memasuki Ruang Rekreasi.

Ruang Rekreasi kosong dan hanya ada Baron Berdarah yang merenung tidak jelas. Aku sepertinya ketiduran karena aku tidak ingat apa-apa sampai aku merasakan kegaduhan ketika semua orang berjubelan masuk dan pergi ke kamar mereka masing-masing. Albus dan Zabini baru masuk ketika sudah cukup sepi.

"Benarkan kubilang kalau dia pasti tidur di sini," kata Al saat duduk di sampingku.

"Itu karena kau melihatnya di peta sialanmu itu," balas Zabini.

"Aku bersamamu sejak turun dari kereta. Dan Peta Perampokku juga masih ada di koperku," bantah Al sambil merobek bungkus cokelat kodok. Dia langsung melahap cokelatnya sebelum itu melompat ke segala arah. Dia lalu melempar kartunya ke lantai setelah sebelumnya bergumam, "Dad lagi."

"Oh, ya... apa kalian datang ke pesta Slughorn besok?" tanya Zabini.

"Lily memaksaku untuk datang karena ini pertama kalinya dia akan datang ke pesta Slughorn. Tapi entahlah, kurasa aku akan meminta James saja untuk menemaninya," jawab Al.

"Bagaimana denganmu, Scorpie?"

Aku mengangkat bahuku. "Kurasa aku hanya akan menampakkan wajahku di depannya lalu menyelinap pergi."

"Baguslah. Karena dari kita bertiga hanya aku yang tidak diundang. Dan jika kalian memutuskan untuk tidak datang itu lebih baik. Karena aku tidak harus bercengkrama dengan Nott. Entahlah, aku benci dia. Dan dia baru akan menjauhiku saat aku bersama kalian," kata Zabini.

Al tertawa. "Kurasa dia suka padamu."

"Sayang sekali aku masih suka cewek," Zabini tersenyum masam.

"Tapi aku tidak pernah melihatmu berkencan dengan seorang cewek selama ini," balas Al.

"Itu karena semua cewek yang kusukai selalu menyukai Scorpius. Dan satu-satunya cewek yang kusukai tapi tidak menyukai Scorp, menyukaimu sobat," Zabini meninju lengan Al.

Aku ikut tertawa kali ini. Terkadang lucu juga saat melihat Zabini berusaha mengajak seorang gadis berkencan tapi gadis itu malah memaksanya mengajakku atau Al.


Rose's Point of View.

Aku tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Bayang-bayang Scorpius dan apa yang akan disampaikannya besok malam membuatku ingin mencopot kepalaku. Oh, Rose, tidak bisakah kau berhenti memikirkannya? Kau sudah memikirkannya selama liburan musim panas kemarin, apakah itu tidak cukup?

Aku berguling di ranjang yang tertutup seprai beludru merah. Dan kembali memikirkan soal pesta semalam suntuk sehabis ujian OWL tahun lalu. Aku masih ingat, malam itu aku berbincang dengan Al saat mengamati James berlomba makan sekuali bolu kuali dengan para anggota tim Quidditch Gryffindor lainnya.

Lalu kemudian Pevita Wood seorang chaser Gryffindor yang tidak berpartisipasi dalam lomba makan itu datang dan mereka akhirnya turun ke lantai dansa. Aku kemudian berjalan seorang diri ke sudut ruangan sambil berusaha menghindari Hans McLaggen yang sepertinya terobsesi untuk mengajakku kencan sejak aku putus dari Aaron Macmillan setelah liburan paskah lalu.

Sampai kemudian aku melihatnya. Angkuh dan arogan. Berjalan di tengah kerumunan seakan-akan semua itu tidak mempengaruhinya. Dan dia menawariku segelas Wiski Api ketika dia tiba di sampingku. Aku tersihir pesonanya dan tidak ada yang bisa kulakukan selain membakar kerongkonganku dengan minuman itu. Dan aku lupa bagaimana awalnya, tapi yang kutahu setelah aku menegak habis isi gelasku. Aku sudah menautkan bibirku pada bibirnya.

Tidak, ini tidak benar. Aku turun dari tempat tidurku dan mencapai rak buku. Menarik Sejarah Sihir dari sana dan mulai membacanya. Aku membaca setiap kata dan menjejalkan setiap hal yang kutahu tentang bacaanku ke dalam otakku, untuk menggantikan setiap jengkal Scorpius Malfoy dan rasa ciumannya yang berusaha kusingkirkan.


Scorpius's Point of View.

Aku menarik tubuhku menjauh. Sial, gadis Ravenclaw ini sungguh tangguh. Bagaimana bisa dia masih menggodaku, dengan menjambaki rambutku dan menjilati leherku saat aku sudah kelelahan. Aku menggulingkan punggung telajangku ke atas meja. Membiarkan sensasi dingin menjalari punggungku. Gadis ini juga ikut bangkit dan mulai mengenakan rok lipitnya kembali. Lalu aku berguling sekali lagi dan turun. Aku mengambil kemejaku dan kembali mengenakan celanaku.

"Scorpius?" panggilnya saat menarik lenganku. "Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanyanya lembut.

"Secepat yang kubisa," jawabku lalu berjalan keluar ruangan. Secepat yang kubisa. Memangnya aku bisa? pikirku geli. Kukira Ravenclaw cukup cerdas, tapi tetap saja gadis-gadis itu akan berubah menjadi sangat bodoh kalau sudah berurusan dengan perasaannya.

Memangnya selama ini sudah berapa cerita sih yang mereka dengar soal seberapa 'nakal'nya diriku? Tidakkah mereka belajar bahwa yang kuinginkan hanya sebuah adegan seks panas tanpa emosi dan perasaan. Bukan salahku kalau mereka tetap melibatkan perasaan ketika mereka sudah tahu tentangku dan konsekuensinya. Jika mereka jatuh dalam perangkapku, itu bukan salahku, bukan? Siapa yang menyuruh mereka mempercayaiku? Tidak ada. Siapa yang menyuruh mereka melibatkan perasaan? Juga tidak ada.

Aku masih mengancingkan kemejaku ketika berjalan melewati koridor yang sepi karena kelas efektif belum dimulai karena jadwal yang masih harus diatur sehubung dengan adanya mata pelajaran baru untuk murid tingkat tiga, yaitu Mitologi dan Legenda Makhluk Sihir yang akan 'cukup berguna' itu. Aku berbelok ke arah koridor yang akan menuntutku ke asrama saat sepupuku, Daphne Greengrass Jr berjalan dari arah yang berlawanan denganku.

"Scorp!" sapanya alih-alih mengucapkan 'Hai'.

Aku menggangguk singkat. Lalu dia menunjuk kerahku.

"Mulai nakal kau rupanya," katanya.

Aku memeriksa kerahku. Dan menemukan bekas lipstik di sana. Brengsek, makiku.

"Siapa kali ini yang kaudapatkan, Scorp?"

"Bukan siapa-siapa," jawabku. Aku lalu merapalkan mantra untuk menghilangkan noda gincu itu—walaupun mantra kulayangkan kurang efektif karena masih ada bekas kemerahan yang tertinggal—dan berjalan melewati Daphne. "Aku duluan," ujarku sambil menghilang di balik koridor.

Well, sekarang aku perlu kembali ke kamar, mandi, berganti pakaian—pasti mana mungkin aku menemuinya dan datang ke pesta Slughorn dengan kemeja lecek dan berbekas noda gincu—dan bergegas datang ke pesta bodoh itu. Kurasa aku akan terlambat.

Semoga saja Al tidak di kamar. Dia akan bersikap seperti santo dan menceramahiku sampai paskah tahun depan kalau tahu aku baru saja menghabiskan satu sesi panas lagi dengan entah-siapa-yang-bisa-kudapatkan. Entahlah, aku hanya sedang malas mendengarkannya saat ini.


To Be Continued...