Prologue

.

(*)(*)(*)

.

"Apa-apaan itu, Eren?"

Eren mendongakkan kepala sesaat setelah seseorang memanggil namanya dengan nada monoton. Mata yang nyaris sama gelapnya dengan awan mendung itu melirik setengah hati pada sebuah onggokan di samping tubuh Eren. Keberhasilannya menyelinap tanpa menimbulkan banyak wajah curiga di sekitarnya saja sudah merupakan usaha bagus, namun Eren tidak yakin bakal selamat dari saudaranya ketika tiba di rumah.

"Dia prajurit yang bertahan terakhir di sana. Aku—"

"Dia manusia."

Eren mendapati bibirnya bungkam seribu kata setelah ucapan dingin Levi meluncur secepat kilat, memotong kalimatnya saat itu juga. Tubuh pingsan perempuan di sayap kanannya itu dingin, nyaris seolah-olah dia baru kembali dari permukaan kolam es. Ada banyak bercak darah kering di sekujur tubuhnya, termasuk pipinya yang putih seperti beras.

Sekuat mungkin pemuda itu memasang selaput defensif pada dirinya. "Aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Jangan bersilat lidah denganku. Kau tahu apa yang akan Penjaga lakukan saat ia tahu ada Penghuni Luar yang menyusup ke sini," ujarnya, melayangkan lengan seperti baru menyabet serangga menyebalkan yang beterbangan di sekitar kepalanya, mendelik jijik kembali kepada manusia itu. "Kita sudah melewatinya bertahun-tahun, kau tahu itu, dan bahkan saat Carla mati karenanya."

Eren menoleh, kali ini tatapannya tidak mengendur seperti bocah di malam yang beku. "Levi, sudah kukatakan untuk jangan pernah membawa nama ibuku, apalagi menyangkut soal kematiannya. Kalau ini adalah salah satu caramu untuk berkata tidak suka dengan apa yang kulakukan, maka aku tidak bisa menganggapnya lucu." Pemuda bersurai kecokelatan itu mengencangkan kepalan tangannya sampai memutih. Mencoba untuk membiarkannya tetap di samping tubuh sebelum secara tidak sadar melayangkannya terhadap wajah tirus Levi yang kini semakin mengeras. Ada hal yang tidak bersahabat dalam sorot matanya. Eren sudah melihatnya hampir ratusan kali, sampai-sampai rasanya memuakkan.

Dia paham betul pada saat pertama kali memandangnya kalau itu adalah tatapan demon yang marah.

"Apa salahnya menyelamatkan… perempuan yang hampir mati ini?" tanya Eren, masih mencoba memenangkan kemungkinan sekecil apa pun, iris sehijau zamrudnya memandang saudara seayahnya yang tengah merengut—seakan wajahnya baru ditampar. Jika tidak salah lihat, sepasang iris kelabu itu berkilat menjadi cahaya perak laksana guntur.

"Kau tidak mengerti, Eren. Tidak seharusnya manusia itu berada di sini karena ini bukan tempatnya," jawab Levi atas pertanyaan itu, melirik kemudian menimbang-nimbang seberapa tajam pedang kembar yang tersampir di kedua sisi pinggul perempuan itu. Pedang yang hanya khusus dibuat untuk melumpuhkan seorang demon.

Dan, dari caranya mengucapkan manusia seolah-olah pemuda bersurai hitam itu baru saja meludah pada kumpulan orang kusta. Eren melirih untuk kesekian kalinya. "Hanya… berikanlah kesempatan."

Komentar pedas sudah melejit ke ujung lidah, hanya saat perempuan dengan tubuh lemahnya itu mulai bergerak, Eren dan Levi bersamaan menoleh. Matanya setengah terbuka perlahan, menampilkan dua buah permata hitam agak temaram miliknya. Sebelum gadis itu mendongak meneliti sekitar, Levi sudah menancapkan jemari di sekeliling leher dan menghantamkan punggungnya pada dinding keramik rumah mereka—keras. Eren melotot kala napas gadis itu menyeruak dari mulutnya. Kedua kakinya yang dilapisi bot cokelat hanya mampu menendang udara tak berbahaya.

Lantas, Eren bangkit dari tempatnya. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan dia!" Dia berusaha menyambar lengan saudaranya dalam siraman kemurkaan, namun yang dapat dilakukannya saat itu hanya berdiri membeku. Kendati mencoba berlari, hasilnya hanya seperti dia berjalan di air payau.

Apalagi saat Levi berbicara lewat bibirnya yang kebas, "Ingat tentang apa yang pernah kukatakan kepadamu dua hari yang lalu," dia melemparnya rentetan kata tajam yang seolah-olah membuat kaki Eren terpaku pada lantai marmer. Gadis itu masih mencoba bergelut dalam cengkeramannya. "Kau akan bertemu dengan seorang manusia. Dan, dia adalah penyebab kematianmu, entah dengan cara apa."

Eren tidak membalasnya satu kata pun. Ini adalah kali kedua Levi menyuarakan keras-keras apa yang mampu dilihatnya pada masa yang akan tiba. Entah itu adalah berita baik atau berita buruk dalam kasus ini. Dan, selama 18 tahun yang dia tempuh tanpa orangtua biologis, demon berdarah murni itu tidak pernah salah dengan apa yang baru dilihatnya.

Cepat atau lambat hal itu akan terjadi.

Di tengah-tengah cengkeraman mematikan Levi, Mikasa—prajurit pemusnah demon itu—dengan sekuat tenaga menarik keluar salah satu senjatanya, serta tanpa keraguan berlebih menyayatkannya ke lengan pemuda itu tanpa dia sadari. Walaupun tidak terlalu dalam karena tenaga yang terkuras banyak luar biasa, setidaknya Mikasa dapat melepaskan diri dan jatuh di bawah kedua kaki predatornya. Suara desisan panas menguar dari kulit Levi, membuatnya jadi melepuh terbakar. Demon itu sendiri mengeritkan gigi melihat goresan pada kulitnya.

Pada kesempatan ini otak Eren benar-benar memerintahnya untuk berlari menghampiri sebelum keadaan akan semakin buruk. Tangan Levi sudah terlihat mengawang di atas kepalanya, seakan mencoba untuk menerobos jantung prajurit perempuan tak berdaya itu dengan lapisan kuku-kuku tajamnya.

"Berhenti!" Mikasa menghunuskan pedangnya ke arah Levi, namun mau tidak mau Eren juga berhenti bergegas ketika mata pedang itu tertunjuk ke wajahnya pula. Kentara bahwa mata gadis itu bergelimang—ketakutan dan rasa sakit mulai mengurung diri menjadi satu di sana. Napasnya memburu, cincin kemerahan mulai timbul di sekitar leher pucatnya. Bahkan, dia tetap mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi sembari menahan sekuat tenaga telapak tangannya yang gemetar hebat.

Di saat terakhir, suara Mikasa yang nyaris akan pecah mampu menggapai atap di atas kepala mereka. "Menjauh dariku atau aku akan benar-benar melenyapkan kalian di tempat ini!"

To Be Continued


Hai, hai, saya kembali lagi membawa fic RivaMika(Eren). Di sini Mikasa adalah seorang prajurit demon-hunter gitu (ya, saya tau namanya gak ada yg lebih bagus lagi). Peran Levi dan Eren di sini sebagai kakak beradik yang beda ibu—itu akan dijelaskan nanti di chapter selanjutnya, huehehe. Terus, tampilan para prajurit demon-hunter itu nggak pake 3DMG, mereka cuma pakai pedangnya, termasuk Mikasa sendiri.

Yah, karena ini baru prolog, jadi kayaknya jangan bicara kebanyakan dulu, takutnya nanti malah spoiler, huehehe. Terus, masuk ke bab berikutnya akan saya ceritakan lewat PoV Mikasa.

Oke, jika ada saran, kritik, pertanyaan, bisa langsung ditumpahkan ke kotak Review. Sampai jumpa di chapter berikutnya! Terima kasih buat yang sudah menyempatkan waktu untuk baca :D