Apabila kau seorang laki-laki, pasti kau akan melihat seorang gadis dari wajahnya terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan kaki. Dan menurut tebakkanku, dada. Lalu, bagian mana yang akan kau sukai?

.


Senin


.

Aku menghela nafas dan memainkan bolpoin di tanganku. Tangan kananku menopang kepalaku dengan malas, sedangkan mataku menatap ke arah luar jendela. Tanpa sengaja aku melihat sekumpulan perempuan yang sedang mengadahkan kepala ke atas, sedangkan mata mereka menatap ke arah jendela. Aku sadar mereka sedang memperhatikanku, sehingga aku melambaikan tangan dan tersenyum. Telingaku dapat mendengarkan jeritan khas perempuan dengan jelas.

"Dia sangat lucu!~"

Aku kembali menopang kepalaku dan menatap ke arah luar jendela dengan malas. Sekumpulan perempuan itu sudah pergi entah kemana, namun aku masih bisa mendengar jeritan mereka secara samar.

Memang sudah merupakan sifat alami manusia untuk melihat seseorang dari fisik saja. Bukan karena aku berpikir dangkal, namun memang jarang atau hampir tidak ada orang yang peduli sesuatu yang tidak terlihat.

Seperti perasaan, contohnya.


.

.

.

Seven Days
cast: hunhan
lenght: chaptered
genre: romance, drama
rating: t

DISCLAIMER: Remake dari manga berjudul sama karya Tachibana Benio dan takarai Rihito

warning: Boys Love, Typos.

.

.

.


Aku kembali menghela nafas, hanya sedikit lebih panjang dari yang pertama. Setelah itu aku menguap dengan lebar, tanpa memperdulikan murid-murid yang mulai memperhatikanku. Kumpulan perempuan itu tidak pernah menyukaiku sebagai "diriku". Yang mereka sukai hanyalah wajahku.

BAK!

"Ah!" aku tersentak ketika seseorang memukul kepalaku dengan keras. Aku meringis dan mengelus kepalaku yang terasa ngilu, lalu mencari orang yang sudah dengan sembarangan memukul kepalaku. "Sakit.. Astaga, ada apa–"

"–Krystal?"

Perempuan di depanku berambut panjang dengan raut wajah yang tegas. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan menatapku dengan tatapan tajam.

"Kenapa kau memukulku?"

"Luhan," ia berbicara dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. "Kau–"

"Astaga, kau memukulku dengan sangat keras," entah mengapa aku malah memotong kalimatnya. Aku menatapnya dengan tatapan bosan. "Kau yang melakukannya kan? Sungguh mengerikan."

Aku pikir Krystal akan kembali memukulku dan memarahiku karena telah memotong kalimatnya, namun ia malah mengangkat daguku dengan bolpoin, membuat mataku bertemu dengan mata tajamnya.

"Luhan," ia kembali berbicara dengan nada rendah. Namun ia malah menghela nafas dan menjauhkan tubuhnya, lalu melemparkan bolpoin yang tadi ia gunakan. "Kau menguap sangat lebar dengan wajah cantikmu itu. Dan kurasa itu salah satu alasan kekasihmu selalu meninggalkanmu. Hanya butuh waktu sampai kekasihmu menyadari itu dan mungkin ia akan melakukan sesuatu."

Aku menghela nafas, lagi. Tangan kananku kembali menopang kepalaku, namun kini aku tidak menatap ke arah jendela. Tetapi aku menatap ke bawah, memperhatikan mejaku yang terbuat dari kayu itu, "Ya, ya. Aku mengerti."

"Ini sungguh mengganggu," gumamku lagi. Aku meletakkan kepalaku di atas meja, seolah kepalaku terasa sangat berat. Sedangkan Krystal yang kembali menyilangkan lengan di depan dada menggelengkan kepala.

"Kau tidak pernah mendengarkan nasehatku dengan sungguh-sungguh."

Krystal merubah posisinya, kini ia duduk di atas meja, membuatku terpaksa mengangkat kepala. Ia memamerkan seulas senyum yang membuat wajah dinginnya terlihat lebih hangat, "Bila kau terus-terusan bersikap tidak perduli seperti itu, kekasihmu akan segera meninggalkanmu. Mungkin hari ini."

Aku ikut tersenyum, namun senyumku lebih terlihat seperti senyum yang pahit. Aku menundukkan kepala, "Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku sudah diputuskan oleh kekasihku."

"..Kapan?"

"Kemarin."

Setelah itu, Krystal tidak lagi bersuara. Sedangkan aku sibuk mencorat-coret buku tulisku dengan asal. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk memecahkan keheningan, dan mencoba berbicara dengan nada yang sedikit lebih gembira.

"Ia berkata.. Kalau aku tidak seperti orang yang ia pikirkan."

Krystal mengerutkan kening, lalu menggelengkan kepala, "Percis seperti yang tadi kukatakan."

"Itu salahnya untuk berasumsi sendiri," aku mendengus dan memainkan bolpoin ditanganku. Itu memang kebiasaanku sejak dulu, "Mereka yang memulai dengan menyatakan perasaan mereka padaku, dan mereka semua akan merasa kecewa karena aku tidak seperti yang mereka bayangkan."

"Yah, mereka juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya," Krystal berbicara seolah-olah ia sangat mengerti perasaan gadis-gadis yang pernah menjadi kekasihku. "Untuk masalahmu, memang ada perbedaan yang sangat besar antara wajah dan sifatmu, dan itu sangat disayangkan."

Aku memutar kedua bola mataku.

Krystal tidak berkata apa-apa dan melanjutkan, "Lu, ketika kau sedang menarik panah dalam permainan busur, kau terlihat sangat memukau. Walaupun aku sudah tahu sifat aslimu, namun tetap saja aku berpikiran seperti itu. Bagaimana ya? Aku merasa ada aura tersendiri ketika kau sedang menarik panah."

"Belum lagi dengan wajahmu yang sempurna itu. Kau membuat dirimu terlihat seperti pangeran yang selalu diimpikan oleh para gadis naif di sekolah ini. Well, memang tidak sulit dimengerti kenapa mereka seperti itu."

Aku mengusap wajahku kasar, "Dan sepertinya hal ini akan terus mengikutiku sampai aku berhenti dari klub memanah."

Aku memasuki sekolah ini melalui beasiswa memanah. Sekolah ini dibangun di daerah yang elite dan terkenal. Sebenarnya ini merupakan sekolah khusus perempuan yang memiliki banyak uang, hingga akhirnya diubah menjadi sekolah campuran sekitar tiga tahun yang lalu.

Namun tetap saja, populasi laki-laki masih terbilang rendah. Sekolah ini memiliki jumlah murid perempuan yang lebih banyak dibanding jumlah murid laki-laki. Dan sepertinya itu semua karena di sekolah menengah pertama masih merupakan sekolah khusus perempuan.

Hampir seluruh murid perempuan di sini merupakan murid yang hidup bahagia, sehingga mereka tidak tahu arti dunia luar yang sebenarnya. Bila dibandingkan dengan sekolah campuran yang lain, murid perempuan di sekolah ini memiliki kesan yang tidak biasa pada murid laki-laki.

Mereka menginginkan laki-laki yang benar-benar sempurna, dan itu merupakan hal yang sangat mustahil.

"Seharusnya mereka sadar bila laki-laki yang sempurna seperti di buku atau drama sama sekali tidak ada," keluhku. Aku mengangkat kepala, lalu tersenyum jahil pada Krystal yang menatapku datar. "Dan sepertinya aku akan sangat beruntung bila memiliki kekasih yang realistis seperti kau, Krys."

Krystal membalas senyum jahilku dengan senyum yang tidak kalah jahil, "Oh ya? Bagaimana kalau begitu? Kau mau menjadi kekasihku?"

"Tentu saja, kenapa tidak?"

Wajah Krystal tiba-tiba menggelap. Aku dapat merasakan aura yang tidak menyenangkan dari dirinya, namun aku mencoba untuk tetap berwajah polos.

"..Kau menerimanya terlalu mudah."

Aku sedikit memiringkan kepala, dan menatapnya masih dengan tatapan yang innocent, "Jadi kau hanya bercanda?"

Krystal segera bangkit dari mejaku, dan kini ia berdiri di sebelah mejaku sambil menghela nafas, "Tentu saja!"

"Oke!" aku tersenyum lebar dan tertawa kecil, "Dari awal, aku tahu kau tidak serius."

Ia mendengus, lalu menyilangkan kedua lengan di depan dadanya, lagi. Sepertinya itu merupakan pose favoritnya hari ini.

"Hal seperti jatuh cinta," aku menyandarkan punggungku pada sandara kursi, "Kita tidak pernah tahu kapan itu terjadi."

"…"

"Hei! Apa kalian mau pizza?"

Suara nyaring dan familiar itu membuatku dan Krystal menoleh bersamaan. Jongin membawa sebuah buku menu dengan gambar pizza di depannya, dan ia berjalan santai ke arahku dan Krystal.

Aku tersenyum dan menganggukkan kepala semangat, "Ya kami mau!"

Jongin tersenyum kecil, lalu meletakkan buku menu tersebut di atas mejaku. Suasana kelas sangat ribut, namun aku sudah terbiasa dengan suasana ini.

"Aku ingin yang banyak telur dan daging," kataku senang. Krystal ikut membolak-balikkan menu, sedangkan Jongin masih setia berdiri di depan mejaku.

"Aku ingin yang banyak daging kepiting."

"Hei, bukankah itu terlalu banyak lemak?"

Krystal membuka mulut, hendak memarahi Jongin yang baru saja meledeknya. Namun suara dia tertahan ketika ada dua orang gadis yang berada tidak jauh dari kami sedang menatap keluar jendela.

"Sehunnie masih belum datang."

"Kurasa Sehunnie tidak akan datang lagi hari ini."

Aku menatap punggung dua gadis yang sibuk mengobrol itu. Entah kenapa tiba-tiba aku tertarik dengan percakapan mereka.

"Mungkin dia masih sakit flu."

"Ya, aku juga khawatir bila seperti itu."

"Kelihatannya Sehun memang belum muncul hari ini."

Aku mengalihkan pandangan dari dua gadis itu. Kini aku menatap Jongin yang sedang tersenyum lebar ke arahku. Aku mengangkat alis, menatapnya heran.

"Maksudmu Oh Sehun yang anak kelas satu itu?"

"Ah, benar," Jongin mencondongkan tubuhnya, seolah terkejut karena aku mengenal anak yang tadi dibicarakan oleh dua gadis itu. "Dia juga anggota klub memanah, kan? Apa kalian akrab?"

"Tidak," aku menggelengkan kepala malas. "Tidak sama sekali. Kami hanya.. seperti saling kenal. Lagipula ia juga sangat jarang datang untuk latihan."

"Oh, begitu," sahut Jongin masih dengan senyumannya. Ia kembali menegakkan tubuhnya, "Ngomong-ngomong ini hari Senin, kan? Ia pasti akan berkata 'ya' hari ini."

Aku kembali menatap Jongin penuh tanya. Aku memang tidak terlalu akrab pemuda bernama Sehun itu, sehingga aku tidak tahu banyak tentang dirinya.

"Dan setelah seminggu berlalu, ia pasti akan berkata seperti ini," suara rendah Krystal membuatku sedikit terkejut. Aku segera menoleh ke arahnya, mendapati ia sedang melihat kea rah lantai dengan tatapan kosong, " 'Aku tidak bisa jatuh cinta padamu. Lebih baik kita putus saja.' "

Aku dan Jongin sama-sama memperhatikan Krystal yang seolah tidak sadar bila ia sedang diperhatikan. Hingga akhirnya Jongin tersenyum dengan canggung dan memecahkan keheningan, "Ah.. Ini mengingatkanku.. Krystal, kau –"

"Yep," Krystal mengangkat kepalanya dan ia sudah tersenyum lebar. Auranya benar-benar berubah, bahkan kini ia sudah membuat lambang 'peace', "Aku pernah menjadi kekasihnya selama seminggu pada bulan Mei."

Aku menatapnya dengan tatapan aneh, "Kenapa kau sepertinya sangat bangga dengan hal itu?"

"Karena aku merasa sudah mendapatkan jackpot saat itu terjadi," sahutnya dengan nada riang. Aku menggelengkan kepala.

"Kau baru saja menasihatiku karena sering mengganti kekasih," cibirku. Krystal malah membuang wajahnya, seolah tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan.

"Ngomong-ngomong," Jongin kini duduk di kursinya yang berada di sampingku. "Laki-laki biasa sepertiku memang tidak pernah mengerti perasaan orang popular. Memangnya Oh Sehun itu sebenarnya seperti apa?"

Aku tersenyum, dan bangkit dari kursiku. Dengan mudah aku menjawab pertanyaannya yang aneh itu, "Hmm.. Tampan."

"Untuk masalah itu.. Tanpa kau beritahupun aku sudah tahu. Oh, hei, Luhan!"

Jongin menyerukan namaku dengan suara lantang, padahal aku baru berjalan beberapa langkah.. Aku tersenyum, lalu mengangkat bolpoinku dan melemparkannya pada Jongin, "Kita memesan pizza, kan? Aku sudah berkata pada pengantar pizza kalau aku akan mengambil pizza-nya di gerbang sekolah."

Refleks Jongin mengambil bolpoin itu, lalu menatapku yang sedang tersenyum dengan tatapan datar. "Baiklah."

.

.

Kepalaku mengadah ke atas, memperhatikan langit yang berwarna biru dan putih. Aku duduk di tanah dengan punggung bersandar pada dinding sekolah, sedangkan kedua kakiku ditekuk sehingga aku bisa meletakkan tangan kananku di atas lutut.

Entah mengapa, kalimat Jongin terus terngiang di telingaku. 'Laki-laki biasa sepertiku memang tidak pernah mengerti perasaan orang populer'. Rasanya, ada seseorang yang pernah mengatakan kalimat seperti itu padaku. Hanya saja mungkin saat itu situasinya berbeda dengan sekarang.

Dan aku yang dulu tidak pernah tertarik dengan Oh Sehun, kini mulai berpikir seperti apakah orang itu. Aku juga mulai berpikir kalau aku sepertinya lebih baik disbanding anak kelas satu itu.

Suara deru kendaraan membuatku sedikit tersentak. Aku hamper bangkit dari tanah karena mengira itu adalah pengantar pizza, namun aku segera berhenti ketika melihat yang datang merupakan mobil.

"Woah, pengantar pizza dengan mobil Porsche?"

Tentu saja itu bukan pengantar pizza. Karena yang keluar dari mobil itu adalah pemuda bertubuh tinggi yang menggunakan seragam sekolah yang sama denganku. Aku menghela nafas ketika menyadari siapa pemuda itu.

Oh Sehun nampak berbincang sebentar dengan siapapun yang ada di dalam mobil itu. Tanpa sengaja ia melirik ke arahku, membuatku segera membuang wajah kea rah lain. Tak lama kemudian terdengar lagi suara deru kendaraan, dan ketika kusadari Sehun sudah berjalan ke arahku.

"Selamat pagi," ia membawa tasnya dengan malas. Aku tersenyum, walaupun sedikit terkejut karena ia menyapaku.

"Yo," aku melambaikan tanganku sambil tersenyum lebar. "Lama tidak berjumpa, Sehun. Kau datang lebih pagi hari ini," sapaku dengan nada yang mencoba ramah. Sehun tersenyum.

Saat itu juga aku mengerti kenapa Sehun selalu membuat keributan dengan wajah tampannya itu.

Alih-alih masuk ke dalam sekolah, Sehun malah menyenderkan punggungnya pada tembok dan berdiri di sampingku. Aku mengangkat kepala, memperhatikan wajahnya yang berkulit putih. "Apakah perempuan di mobil itu kekasihmu minggu ini?"

Pertanyaan itu hanya basa-basi.

"Ia terlihat lebih tua dari 20 tahun," gumamku pelan.

Sejak pertama kali Sehun menginjakkan kakinya di sekolah ini, ia langsung populer diantara gadis-gadis. Maka aku tidak heran apabila dia juga memiliki kekasih dari luar sekolah.

"Kau tidak pandai dalam observasi, sunbae. Kedua tebakkanmu salah," katanya sambil terkekeh. Aku hanya menatapnya dengan tatapan innocent. "Jadi, apa yang sedang kau lakukan, sunbae? Memangnya pelajaran belum dimulai?"

"Aku sedang menunggu pizza. Hari ini kelas kami mendapat jam kosong," jawabku santai. Ia menganggukkan kepala, lalu menyenderkan kepalanya pada tembok. Lalu kepalanya mengadah ke atas, memperhatikan langit yang memang sangat cerah hari ini.

Kami berdua sama-sama diam, sampai akhirnya aku teringat dengan kalimat Jongin dan Krystal tadi. Sehun selalu menerima penyataan orang yang pertama kali menembaknya di hari senin, dan mereka akan berkencan selama seminggu. Dan kabarnya, alasan kenapa ia tetap populer walau kebiasaannya itu buruk adalah, ia pasti selalu melakukan apapun yang diinginkan kekasihnya selama seminggu itu.

"Kurasa, seminggu itu sudah cukup untuk bermimpi," aku teringat Krystal pernah berkata seperti itu. "Sehun itu sebenarnya cukup setia."

Dan aku yakin para gadis di sekolah kini sedang menunggu kehadiran Oh Sehun,

"Jadi kau belum menerima pernyataan apapun hari ini?" tanyaku santai. Sehun segera menolehkan kepala, lalu menatapku kaget.

"Eh? Belum," jawabnya. Aku dapat mendengar dia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku tidak tahu bila anak kelas tiga juga tahu tentang itu.."

"Hmm," aku masih menatap ke bawah, memperhatikan sepatuku yang sudah lusuh dan sama sekali tidak menarik. "Jadi baru akan segera dimulai ya.. Oh."

Aku mengangkat kepala, sehingga mata kami bertemu saat itu. "Apakah kau benar-benar menerima siapapun asalkan dia merupakan orang yang pertama kali menyatakan perasaannya?"

"Sekalipun ia bukan tipemu?" aku menambahkan.

"Tipeku?" Sehun sedikit membulatkan matanya. Namun tiba-tiba ia tersenyum, "Kau tidak akan tahu apakah dia tipemu atau bukan bila kau hanya melihat wajahnya."

Aku mengerutkan kening, "Maksudku, apakah ada wajah atau bentuk tubuh tertentu yang kau sukai?"

"Hmm, yang seperti itu ya?" Ia kembali mengangkat kepalanya ke atas. "Aku juga tidak terlalu tahu.. Mau dia lembut atau sexy atau gabungan keduanyapun tidak apa. Ah!"

Aku menatapnya dengan penasaran. Ia menolehkan kepalanya ke arahku, lalu tersenyum dan berbicara dengan nada datar, "Tapi aku suka dengan wajahmu, sunbae."

Saat itu juga, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Mataku tidak bisa berhenti memperhatikan wajahnya, sedangkan Sehun sendiri nampak sangat tenang. Ia mengangkat tangannya dan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Akupun mulai merasa penasaran. Bagaimana reaksinya kalau aku yang menyatakan perasaan padanya?

"Begitu.. Bagaimana kalau kau menjadi kekasihku saja?"

Sehun Nampak terkejut dengan pernyataan atau pertanyaan itu. Ia membuka mulut, hingga suara deru kendaraan yang sepertinya motor mengejutkan kita berdua. Aku segera bangkit dari tanah, dan mendekati seorang pria yang membawa pake pizza.

"Ah, apakah salah satu dari kalian bernama Luhan?"

"Itu saya," aku segera berjalan ke arah pria itu. Namun langkahku terhenti ketika mendengar pria itu kembali berbicara.

"Totalnya 3,000 won belum ditambah pajak."

Aku sibuk meraba tubuhku sendiri, mencari dompet yang berisi uang murid-murid kelasku. Aku baru ingat kalau aku meninggalkan dompetku di tas, sedangkan tasku masih ada di kelas.

Baru saja aku ingin meminta maaf, aku baru sadar bila pizza itu sudah berada di tangan Sehun, dan pengantar pizza itu sudah pergi entah kemana.

"Se-Sehun!" aku sedikit berseru dan mendekatinya. Ia menatapku dengan tatapan datar, "Maaf, dompetku ketinggalan. Aku akan segera mengembalikan uangmu."

Bukannya menjawab, Sehun malah menyodorkan pizza itu padaku, "Tidak apa-apa. Lebih baik cepat kau ke kelas sebelum pizza-mu dingin."

Saat kami sudah berada dalam gedung sekolah yang sepi, Sehun kembali tersenyum. Ia menunjuk ke arah kanan, arah yang berbeda denganku. "Aku harus pergi sekarang. Sampai berjumpa nanti."

Aku membuka mulut, namun Sehun sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkanku. Aku mendengus, lalu memperhatikan pizza yang masih hangat di tanganku.

Mungkin aku bisa menanyakan kelas Sehun pada salah satu anak perempuan di kelasku.

.

.

"Hey, Lu. Kau mau pergi ke tempat karaoke pulang sekolah nanti?"

"Boleh."

Aku tersenyum kea rah Jongin yang kini sudah sibuk menginformasikan pada anak-anak lain kalau aku akan ikut pergi. Namun tiba-tiba sesuatu menghantamku, membuatku mengerutkan kening. "Hei, sepertinya aku melupakan sesuatu."

"Apa?" tanya Jongin heran. "Kau sudah tidak ada kegiatan klub lagi, kan?"

"Memang, tapi–"

Kalimatku terpotong ketika aku menoleh dan mendapati Sehun sedang berdiri di depan kelasku sambil melambaikan tangan. Aku segera mengambil uangku dan mendepati anak kelas satu itu, lalu menyodorkan uang yang berjumlah sama.

"Maaf, Sehun. Ini, terimakasih atas bantuanmu tadi."

Sehun memperhatikan uang yang ditanganku, lalu mulutnya tiba-tiba membentuk huruf 'o'. "Jadi kau di kelas 3-4. Aku juga, aku di kelas 1-4."

"Oh, benarkah?"

Sehun tersenyum dan mengambil uang yang ditanganku. Namun bukannya menyimpan uang itu, ia malah memasukkan uang tersebut ke saku kemejaku. Belum sempat aku memprotes, ia sudah tersenyum dan berbicara terlebih dahulu.

"Aku sedang berpikir, apa kau bisa pulang bersamaku hari ini?"

Aku menatapnya bingung, lalu mengerutkan kening. "Uh.."

"Ada apa? Kau ada urusan setelah ini?"

"Tidak, tidak," aku menggelengkan kepalaku. "Tapi bukannya kau yang ada urusan setelah ini?"

Giliran Sehun yang menatapku heran. "Tidak, aku tidak ada urusan setelah ini."

Aku mendengus, lalu mencondongkan tubuhku, membuat ia agak tersentak ke belakang. Aku menyipitkan mataku, "Kau ada kegiatan klub setelah ini, kan?!"

"Eh–"

"Kau ada bakat dalam memanah," aku segera membalikkan tubuhku dan menyilangkan kedua lengan di depan dada. Namun Sehun tidak bisa melihatnya, karena aku sedang memunggunginya saat ini. "Dan sangat disayangkan karena kau sering bolos latihan."

"Oh, ngomong-ngomong –"

"Hei, jangan mengalihkan topik," aku kembali membalikkan tubuh, membuat wajahku kini kembali berhadapan dengan wajah Sehun. Ia tertawa kecil.

"Tidak, tidak. Tapi apakah sunbae memiliki ponsel?"

"Eh? Tentu saja."

"Oke," Sehun tersenyum dan mengambil ponselnya. "Boleh aku minta nomormu?"

Aku terdiam sebentar. Apakah ini salah satu caranya mendapatkan teman? Bertukar nomor ponsel?

"Uh, baiklah."

Aku ikut mengeluarkan ponselku, lalu menyebutkan nomorku. Ia tersenyum, namun senyumnya pudar ketika ia mengalihkan pandangannya dari ponselnya itu padaku, "Oh, apa nama lengkap sunbae?"

"Lu Han," jawabku singkat. "Hanya Lu Han."

"Jadi, boleh aku hanya memanggilmu Luhan?" tanyanya. Aku menganggukkan kepala pelan. Ia kembali tersenyum dan mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Dulu, ada perempuan yang mengakhiri hubungannya denganku. Dan nama depannya juga 'Lu'."

Aku tidak berkata apa-apa, sedikit terkejut karena bukan ia yang mengakhiri hubungannya. Aku sedikit tidak menyangka kalau ia dulu pernah menjalin hubungan yang serius dengan seorang perempuan.

"Sehun!"

Seorang gadis berambut pendek dari kejauhan berlari kea rah kami. Nafasnya tidak teratur, namun ia menyempatkan diri untuk membungkuk karena melihat ada aku yang merupakan anak kelas tiga. Ia segera mengalihkan perhatiannya pada Sehun, "Kau dicari oleh Lee songsaenim."

"Oh, benarkah? Baiklah, terima kasih. Aku akan segera menemuinya."

Aku tidak berkata apa-apa, dan memperhatikan gadis itu kembali berlari menjauhi kami. Namun tiba-tiba Sehun mengembalikan ponselku yang sempat ia pegang. "Ini. Aku sudah memasukkan nomorku di sini."

"Eh? Baiklah."

Sehun tersenyum, hingga matanya menyipit. "Sampai berjumpa besok."

Ia berjalan memunggungiku. Aku tidak ingin berkata apa-apa pada awalnya, namun entah mengapa aku malah kembali menyerukan namanya, "Sehun! Jangan lupa untuk datang latihan!"

Sehun membalikkan badan, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum. Setelah itu, ia kembali berjalan menjauh, hingga aku tidak bisa melihatnya lagi.

.

.

Aku melirik saku kemejaku, lalu menghela nafas. Ini pertama kalinya aku dibayari oleh seorang junior, dan aku cukup malu karena hal ini.

Hari ini merupakan pertama kalinya aku berbicara dengan Sehun. Dan cukup mengejutkan karena ia lebih aneh dari yang aku perkirakan selama ini. Tiba-tiba saja ia mengajak pulang bersama, bahkan sampai bertukar nomor ponsel.

Aku berjalan dengan malas, menyusuri jalanan yang sepi. Rasanya kami menjadi akrab terlalu cepat, dan rasanya aneh.

Tiba-tiba saja, mataku membulat. Aku teringat dengan percakapanku tadi pagi dengan Sehun. Saat itupula, langkah kakiku berhenti.

"Tidak mungkin ia menganggapku serius tadi pagi.. Tidak mungkin, kan?"

.

.


a/n: halo! maaf ini belum di edit karena aku males banget buat edit ; ; btw, aku bawa ff hunhan! yeay! aku tahu banyak banget ff aku yang belum dilanjut.. tapi aku janji bakal aku lanjut kok! dan ini buat buru-buru banget, jadi maaf kalau banyak typo ; ; ohya, tiap chapter punya pov yang beda. kalau hari ini luhan, chap 2 itu sehun, lalu chap 3 itu luhan, chap 4 itu sehun, dst. last, mind to review? c: