Warn : BoyxBoy/AU/Alay/Jayus/OOCmampus/Kasar/Typos/MPreg/Kayaknya makin kasar aja =3= maafkan dakuh
Ganre : Romance/Humor/Parodymaybe
Standard Disclaimer Applied
Folk Tale: Tsunderella
Last Chapter
Sejak saat itu Shintarō mengambil inisiatif demi keselamatan jiwa dan raganya saat diperintah oleh baik Ryōta, Tetsuya apalagi Seijūrō untuk pijat memijat. Equipment yang dia perlukan untuk berjaga-jaga adalah sebuah gas mask dan kacamata snorkling. You know what his mean and it stuff for. Tak elak dia mendapat pertanyaan aneh atau kecaman dari Seijūrō untuk melepas amunisinya dengan dalih bahwa mereka bertiga tidak memiliki penyakit menular baik dari kulit ataupun udara.
Untungnya semua itu tidak berlangsung lama. Sejak soft collar ditanggalkan dari leher ibu dan saudara tirinya, Shintarō bisa bernafas lega—setidaknya untuk kasus ini. Ada satu masalah yang masih berlanjut. Perebutan hak atas diri Shintarō tak juga padam bahkan Seijūrō ikut andil dalam perang. Demi apa itu lebih menyeramkan daripada melihat ayah Atsushi yang sedang berlatih balet lengkap dengan tutu polkadot dan legging super ketat. Oh, man.
Sempat Shintarō menanyakan perihal perubahan hal tersebut kepada mereka, tapi bukan berarti Shintarō peduli, ini hanya menyangkut kelangsungan hidupnya. Setidaknya dia tahu apa penyebab dibalik tingkah horor keluarganya (bagian ini Shintarō harus nabok (nahan boker, red)).
"Bisakah kalian tidak menatapku seperti itu? Sebenarnya aku tidak sudi memedulikan kalian, tapi situ berdua sungguh annoying nanodayo." omel Shintarō sambil terus mengaduk sup ayam pada duo Nijimura teme, yang langsung menggaruk kepada dan berhehehe, itu Ryōta, Tetsuya sih keep calm and stay tatap Midorima-kun.
Huh bantuin apa kek gitu. Ikutan hehehe-lah minimal.
"Ahh, jangan begitu, Midorimacchi. Kau hanya mengelak, kan? Bilang saja kalau daritadi kau tidak fokus memasak karena terpesona dengan ketampanan kami. Iya, kan, Tetsuyacchi?"
Yang disangkutpautkan mengangguk setelah lengannya disodok siku oleh Ryōta.
[Bruushh..]
Kuah sup ayam yang dicicipi Shintarō buyar.
"Njir. Darimana kalian mendapatkan kepercayaan diri yang sungguh over itu nanodayo?"
"Dariku."
Crap. Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya.
Emaknya dateng.
Shintarō kicep.
Suara itu, suara ratu kegelapan dasar neraka meski rambutnya merah menyala dan kulitnya putih—Akashi Seijūrō. Saking horornya nada kalem itu, leher Shintarō sampai tak dapat digerakkan dan merinding karena ada hembusan angin yang lewat. Usut punya usut ternyata itu kerjaan Ryōta yang memegangi kepalanya dan Tetsuya (dengan susah payah) meniupkan udara ke lehernya. Modus mereka—
("Biar terlihat kayak di film-film thriller gitu ssu."
"Kau mabuk, Ryota-kun.")
Dia menoleh patah-patah dimana Seijūrō mejeng di pintu dapur.
"Ma-madam?"
"Ya. Ada masalah, Shintarō?"
Nada Seijūrō memang kalem, tapi mistis mampus. Apalagi ditambah senyuman itu. Senyum yang mampu membuat Shintarō panas-dingin saking memesonanya (dalam majas ironi).
"Ti-tidak, Madam." Sebisa mungkin Shintarō tetap ganteng. Dia menaikkan kacamatanya basa-basi.
Seijūrō tersenyum, dia mengerling ke kedua anaknya yang daritadi mengo sejak kedatangannya.
"Apa yang kalian lakukan disini, baby?"
Sok manis dih amit-amit.
"Aku tidak sok manis, Shintarō. Aku memang manis."
Duh. Bikin iritasi saja =3=
Shintarō gelagapan. Dia membenarkan kacamatanya (yang kali ini benar-benar merosot). Gila, sejak kapan ibu tirinya jadi seorang mind reader? Apa dia saja yang tidak peka selama ini?
"Aku tidak membaca pikiran,Shintarō. Semua terbaca jelas di wajahmu."
Ndak. Ndak. Bujug itu.
Lagi-lagi Shintarō dibuat gelagapan. Menyerah sajalah, tidak usah berghibah tentang ibu tirinya dalam hati. Malu kalau ketahuan. Lihat wajah Shintarō sudah merah.
("Kyaaaa! Midorimacchi imut ssu!"
"Midorima-kun, kau manis."
"U-URUSAI NODAYO!")
Lebih baik bicara langsung tepat di depan wajahnya saja. Pasti langsung tidak punya kepala, ditebas gunting rumput.
Hiks. Sedih. Shintarō serba salah.
Lebih baik diam. Diam memang emas disaat-saat seperti ini.
Dia kembali konsentrasi pada sup ayamnya sementara tiga orang itu duduk manis menunggu di meja makan. Sungguh demi apa tone bunga-bunga di belakang Ryōta sangat menganggu.
Tunggu!
Sebenarnya tujuan awal Shintarō hanya satu. Bertanya. Kenapa sampai lupa elah.
Kemudian, didahului dengan deheman lalu membenarkan kacamata, Shintarō mulai buka suara. "Bu-bukannya aku peduli atau apa, tapi tingkah kalian bertiga sangat aneh sejak pulang dari pesta dansa dan itu menakutkan nodayo."
"..."
"Bukan berarti aku takut nanodayo."
Suara om-om Shintarō dan kuah sup ayam yang mendidih mendominasi. Tiga orang itu diam menatapnya.
Shintarō lanjut. "Apa yang membuat kalian seperti ini?"
Satu jawaban penuh passion dari Ryōta mewakili dua orang lainnya sukses membuat Shintarō geblak.
"KAU SANGAT MIRIP DENGAN LAKI-LAKI MISTERIUS SUPER TAMPAN DAN KEREN BERSUARA OM-OM SAAT DI PESTA DANSA MIDORIMACCHI!"
Fix.
Shintarō pingsan cantik dan tiga makhluk warna-warni itu berebut untuk membopongnya ke kamar. Dimenangkan oleh Ryōta karena dia yang paling berkemungkinan mengangkat raksasa hijau. Mustahil emak atau saudara birunya.
Pagi di Negeri Shutoku selalu damai, cerah, ceria. Hal itu membuat seluruh rakyat kerajaan menyambut hari terus berganti dengan penuh semangat. Tidak hanya rakyat, pangeran tampan kerajaan Shutoku turut bersemangat hari ini. Pasalnya dia akan memulai perburuan Tsun-channya lagi. Kenapa lagi? Dia dan gerombolan prajurit yang menemaninya sudah mencari ke seluruh negeri mulai tempo hari. Satu per satu rumah disinggahi namun tak kunjung ditemukan pemilik dari sepatu berkilau itu.
Ada satu rumah di ujung sana yang belum sempat ter-notice karena saking jauhnya dari jangkauan mata Rajawali sang pangeran. Berbekal pantofel, sejumput cinta, dan kerinduan di hati, Kazunari bergegas turun ke lapangan.
"Sudah siap, Pangeran?"
Pengawal Kimura membungkuk hormat menyambut majikannya. Kazunari mengangguk mantap. Dia mengibaskan jubah lalu menatap matahari terbit.
"Apapun untuk Tsun-chanku tersayang."
Di sisi lain negeri, rumah yang tak terjamah pangeran nampak damai. Mari kita lihat lebih dekat.
Dua orang remaja laki-laki—yang satu berambut biru dan yang satunya lagi berambut kuning—tengah bermain dakon di teras rumah. Laki-laki paruh baya berambut merah tengah mengikir kuku di ruang tamu. Sementara di samping rumah, tepatnya sebuah kandang nampak remaja berambut hijau tengah asyik berjongkok sambil meremas-remas puting unta.
Ya. Midorima Shintarō, remaja berambut hijau tersebut tengah memerah susu unta di bawah perintah ibu tirinya.
Dengan sebuah ember, kain penutup kepala, dan sarung tangan karet, dia melaksanakan tugas dengan sangat baik dan cekatan. Sesekali menyeka keringat, membetulkan kacatamanya—
"Capek nanodayo."
—dan sesekali mengeluh.
Setelah ember terisi penuh dia membawanya ke rumah untuk diisi ke dalam botol berlabel "Susu Unta Etawa Mamih Sei" beserta list bermacam khasiat.
Sejak pisah dengan Nijimura Shūzō lalu menikah dengan Midorima Atsushi, Seijūrō memang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa. Jadi, berhubung dia punya unta yang menghasilkan susu, dia inisiatif membuat usaha kecil-kecilan dengan tenaga kerja yang sangat murah. Seijūrō paham prinsip ekonomi; mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Entah mengapa kalau Seijūrō yang memakai prinsip itu terdengar sangat egois dan arogan, tapi cocok aja sama sifat dasarnya manusia yang karepe dewe. Seijūrō juga manusia saudara.
Shintarō, siapa lagi kalau bukan dia tenaga kerjanya. Ryōta dan Tetsuya? Bisa apa mereka? Merah susu saja jadi adegan ambigay yang sialan Seijūrō ingat betul kejadian itu.
Mengatasnamakan perikehewanan pun tak mau anaknya menjadi zoophilia, Seijūrō tak pernah lagi melibatkan dua putranya itu. Walhasil Shintarōlah yang menangani semuanya. Memang dia itu pria idaman pria maupun wanita.
("Tou-chan memang sugoi desu!"
"Tou-sanmu memang sugoi dalam segala hal, Shinka."
"Pantas saja kaa-chan mau sama tou-chan, ya?"
"Yup ^o^"
"Tapi kok tou-chan mau sama kaa-chan, ya?"
"...").
Shintarō menyeka keringat di keningnya. Helaian poni hijau itu nampak basah dan butiran asin yang tak sempat ter-notice jatuh dari dagu runcingnya memberi kesan seksi dibayangan saya dan di mata dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dapur.
Kepala kuning dan biru itu melongok ke dalam dapur dimana makhluk hijau tengah berjongkok mengisi botol-botol susu di depannya.
"Midorimacchi perlu bantuan ssu." Ryōta buka suara.
Di bawahnya Tetsuya menggeleng pelan. "Tidak. Midorima-kun tidak membutuhkanmu, Ryōta-kun."
"HIDOI SSU!"
Buru-buru Tetsuya mengangkat tangan untuk membekap mulut besar dan berisik saudaranya. "Diam, Ryōta-kun. Nanti Midorima-kun terganggu."
Sedikit jengkel, Ryōta menepis tangan bau Tetsuya (dia garuk-garuk pantat waktu main dakon tadi) dari mulutnya.
"Bilang saja kalau kau takut ketahuan, pendek!"
"Apa pendek-pendek?"
[Glek]
Pelan tapi mantap Ryōta dan Tetsuya menoleh ke belakang. Seijūrō berdiri menjulang dengan tangan terlipat plus senyum manis di wajah.
"Ma-mamih? Hehehe." Ryōta mulai keringat dingin, saking takutnya adrenalin mendorong keringat yang dihasilkan melampaui batas normal terus netes-netes dan masuk ke mulut Tetsuya yang menguap. Walhasil anak itu tersedak lalu tewas.
Tapi bohong.
"Ya, ini mamih, Ryōta. Kenapa?" Like always he do berkata-kata sambil tersenyum yandere.
"It is okay, mamih. No what-what."
"Apa yang kalian lakukan disini? Dan tolong jangan pakai bahasa inggris."
"Sedang melihat Midorima-kun, Mih." Tetsuya menyahut setelah sadar dari koma(?).
"Em.. memangnya kenapa kalau aku pakai bahasa inggris, Mih?"
"Mamih nggak ngerti." Lagi. Seijūrō buka kipas bulu angsa.
=3=
Ryōta facepalm. Tetsuya datar.
Heran dia dengan mamihnya yang (katanya dulu waktu di sekolah) paling pintar dan sering membuat guru-guru menangis lalu mengajukan surat pengunduran diri kepada kepala sekolah bisa tidak paham dengan bahasa inggrisnya yang (dia akui) sangat ancur. Siapa yang bodoh dan tidak berpendidikan disini?
Paham situasi awkward, Seijūrō berdehem keras lalu terbatuk. Kesal juga dia ditatap seperti itu oleh anaknya. Berasa dia berada di dunia anomali saja.
"Sudah sana pergi. Untuk apa pula kalian melihat anak itu bekerja? Mau aku jadikan babu juga?"
Ryōta merengut. "Tapi, Mih.."
"Membantu saja tidak." Seijūrō kipas-kipas. Ryōta mulai mewek dan ditenangkan oleh Tetsuya. Meski begitu, ucapan mamihnya tetaplah absolut.
("Kaa-chan, absolut kan merek sabun anunya cewek."
"!? SHINKA, TAHU DARIMANA KAMU!?"
"Paman Aomine."
"..."
"Kaa-chan, buat apa pisau daging itu? Sini duduk dulu lanjutkan ceritanya.")
Berhubung Ryōta dan Tetsuya anak penurut, mereka pergi dari sana.
Seijūrō melirik anaknya yang berjalan menjauh dari sudut mata. Ryōta yang menunduk dan Tetsuya yang menepuk-nepuk punggung berusaha menenangkan saudaranya kemudian kena kemplang. Entahlah apa yang dikatakan Tetsuya sampai Ryōta tega melakukan itu.
Setelah dirasa sudah menghilang Seijūrō beralih pada makhluk paling bongsor di rumahnya yang nampak masih berkonsentrasi pada pekerjaan (perintah, red)nya.
"Shintarō."
"Ayam ayam ayam!"
Kayak pernah tahu macam latah seperti itu, tapi kapan, siapa, dan dimana, ya =,= ?
Seijūrō ngales cantik dari botol susu yang terbang terlempar dari tangan Shintarō.
[Pyaaar]
Botolnya pecah.
Seijūrō maupun Shintarō menatap pecahan botol yang tergeletak mengenaskan bersimbah susu.
[Jiiit]
Mereka saling tatap.
Tatap.
Tatap.
Tatap.
Matanya mulai kuning.
Shintarō merinding.
Matanya makin kuning.
Shintarō panas-dingin dan pening.
Matanya jadi oranye.
Shintarō kebelet.
Matanya balik lagi jadi merah. (Itu cuma permainan warna saja XD).
Shintarō lega. Ngompol dianya.
"Kamu.."
Mampus. Bakal kena azab, nih. Batin Shintarō.
"Kamu.."
Jari panjang terbalut perban Shintarō mendorong kacamata. Meski dalam nyawa terancam sekalipun harus tetap keren, dong.
"Ya, Madam?"
Seijūrō melangkah mendekat. Mau tak mau dia mundur. Terus mendekat dan terus mundur sampai akhirnya dia di-block Seijūrō dan tak ada teman satu tim yang tak bisa ia beri pass. Apakah dia harus melakukan shoot sekarang? Tapi orang di depannya ini pasti—ehem, maaf. Salah setting.
Apa lagi ini? Orang-orang makin hari makin nyeremin ih ngeri c*eg.
"Ma-Madam, bisakah anda mundur sedikit? Bu-bukannya saya memerintah anda, tapi—"
[Jiiit]
Shintarō kicep ditatap Seijūrō.
"Tapi yang aku dengar kau memerintahku."
Ih, kupingnya udah soak kali, ya? Ah, maklumi sajalah mungkin karena faktor usia juga.
Gatal rasanya tangan Shintarō, pengin mendorong. Mendorong kacamatanya, bukan orang ini. Bisa gundul dia berani-berani menyentuh apalagi mendorong si kepala merah ini. Minimal kepalanya lepas dari leher lah.
"Su-sudah saya bilang bukan berarti saya memerintah anda, Madam."
Alis Seijūrō terangkat satu, senyum meremehkan.
"Hmm. Seperti itu?"
"I-iya, Madam."
Mampus lu. Shintarō blushing. Nggak epic banget masa blushing cuma karena emak-emak? Gara-gara anaknya mah masih mending—eh, tapi nggak deh makasih. Lebih mending lagi kalau blushing gara-gara Pangeran Kazunari. E?
E? Siapa itu Pangeran Kazunari? Tukang jualan cireng di pujasera sebelah POM bensin? Ah, entahlah. Memang benar fakta bahwa kebanyakan orang yang dalam situasi mendesak susah berfikir kritis. Boro-boro berfikir kritis, mikir mau kentut apa enggak aja masih kontroversi apalagi mengingat seseorang. Rasanya otak ini seperti terjangkit worm atau bug.
"Oh, ya. Btw, Shintarō..."
Shintarō menunduk. Biasanya kan mendongak, ya? Tapi berhubung saat ini yang mengajak bicara orang pendek jadi menunduk. Kan nggak sopan juga kalo mendongak. Ntar salah paham.
"Ya, Madam?"
"Soal botol pecah itu, aku ganti dengan jatah makanmu kupotong ¾ dari biasanya."
"JANGAN, MADAM. AKU MASIH MEMPUNYAI SEORANG ISTRI DAN DUA ORANG ANAK NANODAYO!"
"Shi-Shintarō? Kau.."
Suara sepatu kuda samar-samar terdengar yang makin lama makin jelas terdengar dari kejauhan. Segerombol massa kerajaan nampak dengan kuda mereka. Yang aneh adalah kondisi mereka saat ini yang biasanya nampak gagah jadi sangat memprihatinkan. Mereka terlihat seperti para musafir yang menjelajah gurun pasir dan berkali-kali terkena fatamorgana. Ada yang kipas-kipas, ada yang mengharapkan tetes terakhir dari botol tupperware mereka, bahkan juga ada yang tertidur. Sang kuda dengan keibuannya menjaga sang majikan dengan hati-hati takut terjatuh. Sesekali membetulkan posisi kepala majikannya lalu tersenyum.
=o=
Ada satu orang yang jauh dari kata memprihatinkan. Tidak seperti mereka, sang pangeran justru sebaliknya. Dia masih segar bugar meski keringatnya sudah mengucur seperti talang air yang bocor karena kena sambit jagung oleh anak-anak nakal yang berebut layangan putus.
Pangeran Kazunari, didasari dengan cinta terpendam dan keinginan yang gigih, dia tak kenal dengan matahari yang dengan biadab dan tertawa-tawa jahat memberikan sengatan terbaiknya. Itu semua ia lakukan demi seseorang yang entah dimana keberadaannya saat ini.
"Semoga kita bertemu, Tsun-chan."
Mata Kazunari berkaca-kaca penuh pengharapan.
"Pa-pangeran..hah..hah.." Pengawal Kimura berusaha mengeluarkan suara dengan sisa napasnya yang tinggal udara residu saja di paru-paru.
Kazunari tak bergeming. Dia masih menatap lurus ke depan. Pikirannya masih terpaut ke Tsun-chan.
"Bagaimana kalau kita hentikan dulu pencarian hari ini. Mataharinya tidak bersahabat, pangeran. Kami tak kuat."
Dia menoleh ke anak buahnya yang satu per satu tumbang. "Lagipula persediaan nanas yang kubawa sudah habis."
"Aku kan sudah menyuruhmu membawa sekalian sama kebunnya?" sahut Kazunari ngaco tanpa menoleh.
Pengawal Kimura facepalm. "Itu mustahil, pangeran. Kasihan prajurit kita. Mereka sudah seperti terkena zombie apocalypse."
Kazunari menarik setir(?) hingga kudanya mengikik untuk berhenti. Dia menoleh ke belakang lalu menghela napas. "Kita sudah ¾ perjalanan. Mau balik ke kerajaan juga keburu nanggung, Paman."
Dia mengeluarkan peta dari ransel ajaib. "Ini juga tinggal beberapa kilometer lagi. Dari sini kita tinggal lurus terus nanti ada jembatan gantung. Dua kilometer lagi ada masjid berkubah emas lalu belok kiri. Sebelah pos kamling kita masuk ke gang bercat merah polkadot yang ada plang pro tape lalu—"
"Persetan dengan peta itu, pangeran! Lebih baik kita jalan saja. Melihat peta hanya akan membuat semakin lama." Pengawal Kimura merebut peta dari tangan Kazunari yang langsung kedip-kedip dan membuangnya dengan kejam.
"Oh. Oke."
Mereka lanjut.
Kini Shintarō sedang terduduk di pojokan loteng. Dia dihukum Seijūrō karena mengatakan kalimat ambigu yang membuat ibu tirinya itu kecewa. Padahal Shintarō merasa okeh-okeh saja dengan itu. Toh dia asal ngomong juga. Tapi asal-asalan yang berujung penyesalan.
"Hahhh.."
Dia mendesah lelah. Lelah hati dan pikiran. Tubuhnya juga, ding.
Shintarō mendongak menatap atap loteng yang bolong. Sinar matahari menerobos di sela-selanya. Ia teringat akan Peri Daiki yang tiba-tiba jatuh dari sana.
"Peri Daiki, kapan kau akan membantuku lag—eh, bukan berarti aku mengharapkanmu kembali. Kau mesum nanodayo." Shintarō ngoceh sambil membetulkan kacamata.
Tapi memang benar. Saat-saat dimana hidupnya disabotase oleh keluarga tirinya itu, dia benar-benar mengharapkan bantuan Peri Daiki. Lebih tepatnya bantuan tongkat ajaibnya. Andai saja tongkat sebesar tusuk gigi itu bisa bekerja meski digunakan oleh orang lain. Shintarō akan rela mencuri tongkat itu dari Peri Daiki meski pada akhirnya dia akan dinikahi oleh Peri Daiki.
Duh, jiwa klepto Shintarō muncul lagi.
"Tou-san. Kapan kau kembali? Tsk!" Shintarō mengacak-acak rambutnya frustasi sambil menggeram kesal. "Pasti dia keasyikan makan sampai lupa pulang nodayo."
Kemungkinan seperti itu sangat besar.
"Ah, sudahlah. Aku harus menghadapi ini lebih sabar. Aku akan berusaha keras pasti Tuhan akan mengabulkan apa yang aku inginkan nanodayo. Menendang bokong madam, misalnya. Iya." Dia mendengus licik kemudian tertidur.
"Bang, alamat ini dimana?"
Kazunari menunduk sambil menyodorkan selembar kertas kepada abang-abang penjual serabi.
Abang penjual serabinya menghentikan aktivitasnya menuang adonan serabi lalu mendongak. Berkedip-kedip menatap wajah bingung Kazunari. "Kamu darimana?"
"Dari Hongkong."
"WAAAH~ DARI HONGKONG NIH~"
Tiba-tiba ada massa yang datang yang disinyalir adalah crew iklan mie gelas yang terbuat dari styrofoam.
"Buruan, bang. Saya tidak punya waktu."
Abang penjual serabinya berdehem. Dia memperhatikan orang asing di depannya sekali lagi sambil mengusap dagu berjenggotnya. "Tunggu, bukankah anda Pangeran Kazunari?"
"Tahu darimana?"
"Poni."
"Terserah." Baru saja Kazunari akan kembali ke kudanya yang diparkir di dekat pohon asem, abang penjual serabi menyahut. "Saya, tahu."
Kazunari berbalik dengan wajah cerah secerah kulit wanita Jepang. "Benarkah?"
Abang penjual serabi mengangguk. "Benar. Itu rumah mas-mas berambut merah yang suka utang serabi di saya, pangeran."
Bingo! Meski Kazunari tak mengerti siapa mas-mas berambut merah yang dimaksud abang serabi ini, Kazunari merasa jodohnya semakin dekat. Jantungnya makin dokidoki tak karuan. Nafasnya tak beraturan dan mulai mules saking senangnya.
"Cephat beri tahu!"
"Pangeran tinggal lurus saja dari sini. Nanti di pertigaan indomaret ada pengkolan ojek, nah sebelah pengkolan ojek ada gang, masuk saja."
Kazunari ngupil. "Kok kamu tahu banget seluk beluk rumahnya mas-mas berambut merah itu?"
Abang serabinya garuk-garuk ketek. "Iya, pangeran. Saya sering kesana untuk menagih hutang serabi."
"Oh. Lanjut."
Abang serabinya mengangguk. "Setelah masuk gang lurus ikutin jalan paving sampai mentok, pangeran akan disuguhi pemandang yang sedap di mata."
"Apa itu?"
"Nini-nini mandi di sungai cuma pakai sewek doang."
Kazunari mengangguk mantap. "Oke. Terus?"
"Dari situ pangeran akan langsung dapat melihat sebuah rumah. Cuma satu rumah itu saja yang ada di sana, pangeran."
Sekali lagi Kazunari mengangguk.
"—ran? Pangeran?"
"..."
"Woy, pangeran! Sudah cukup ngangguknya sekali dua kali saja." Abang serabinya nepok-nepok pantat Kazunari berharap sang pangeran sadar.
"Sunnah Rosul, tiga kali." Sahut Kazunari sambil menyingkirkan tangan abang serabi yang malah usil di pantatnya. Masa ada pangeran kerajaan yang terhormat dilecehkan rakjel? Ya ada. Ini contohnya. Entah dasarnya Kazunari yang polos, bego, murahan, atau dasarnya yang bikin cerita slehor.
"Ya, sudah. Informasimu kurasa cukup. Terima kasih."
Dengan langkah cepat tapi tetap wibawa(?), Kazunari menuju kudanya dan para budak. Radius tiga meter dia ambil kuda-kuda, jongkok, lalu—
HAP!
Lompat ke atas tunggangan dengan cantik diiringi sayup-sayup kekaguman penonton.
"Whooo~"
Nggak penting bingits sumpah =,=
Untuk mempersingkat waktu, Kazunaripun segera memacu kudanya diikuti pengawal dan prajurit lain dengan wajah bersinar. Mata abu-abunya nampak berkaca diterpa sinar mentari senja. Rumah itu adalah harapan terakhirnya. Tsunderella di depan mata.
Sepertinya hari sudah mulai sore. Mata Shintarō yang belekan terbuka sedikit saat cahaya oranye masuk mengganggu.
"Eungh.." Dia menggeliat meregangkan badan besarnya. "Sepertinya aku tertidur cukup lama." Lalu menguap lebar-lebar sambil ngucek mata.
"Cih, siapa peduli. Tidak ada yang melihatku nanodayo." Lalu beranjak sambil menggaruk-garuk bokong.
Dia salah. Ada dua pasang mata yang memperhatikannya daritadi. Mata biru dan kuning dari balik pintu kayu loteng mengikuti gerak-gerik Shintarō di dalam sana.
"Ternyata Midorimacchi seperti itu, ya?"
"Mulut Midorima-kun lebar."
Tiba-tiba Shintarō terpeleset, terjengkang dengan sangat epic.
"Itte. Ada yang membicarakanku nanodayo." Katanya penuh selidik dibarengi dengan suara berisik dari tangga loteng.
"Kalian sudah membangunkan Shintarō, anak-anakku?"
Seijūrō bertanya sambil membolak-balik majalah bobo yang tengah dibacanya sedari tadi. Sesekali membetulkan letak duduknya saat Ryōta dan Tetsuya kembali menghampirinya.
"Tidak perlu dibangunkan, mamih. Midorimacchi sudah bangun. Dia rajin sekali ssu." Jawab Ryōta. Dia mengambil duduk di samping Seijūrō lalu ndusel ke mamihnya manja. Seijūrō hanya tersenyum melihat tingkah imut (=,=?) anak pertamanya.
"Menurutku bukan seperti itu, Ryōta-kun." Tetsuya duduk di seberang Seijūrō dan Ryōta dengan wibawa sambil memegang secangkir kopi. Menyeruput kopinya pelan. "Midorima-kun merasakan suatu yang tidak nyaman sehingga dia terbangun."
Ucapannya Tetsuya sepertinya menarik perhatian Seijūrō. Laki-laki pendek itu menutup majalah bobonya. "Apa itu Tetsuya?"
Tetsuya baru saja menghabiskan tetes terakhir kopi dari cangkirnya dengan mata terpejam. Bukan karena menghayaiti seperti di drama-drama dengan tokoh antagonis penuh prospek masa depan dan tampan, tetapi dia menahan pahit kopi di lidahnya.
"Ryōta-kun mengeluarkan bau-bauan dari tubuhnya, mih."
"…"
"!"
[Ting tong. Ting tong.]
Tiba-tiba Shintarō menghentikan aktivitasnya. Matanya melebar. Keringat dingin mengucur dari keningnya. Jantung berdegup kencang dan otot kaki melemas seketika. Dengan sisa kekuatan di leher, dia menoleh ke belakang.
Seijūrō berkacang pinggang.
"Budek? Tidak mendengar bel pintu? Ada tamu. Bukain!"
Sungguh aura yang dikeluarkan Akashi Seijūrō tinggi gila!
Dengan sigap Shintarō segera ngacir dari tempatnya berada—kamar mandi. Dia sedang memandikan duo Nijimura teme rupanya.
Sepeninggal babunya, Seijūrō melirik dua anaknya yang tengah main bebek karet di bathup.
"Sekarang mamih yang memandikan kalian." Lalu tertawa jahat setelahnya. Entah apa rencana yang dimiliki Seijūrō terhadap dua anaknya itu. Sekarang dia terlihat seperti om-om psycho-pedo.
Lupakan mereka.
Kembali ke tokoh utama.
Shintarō berjalan dengan langkah dihentak-hentakkan. Mengeringkan tangannya dengan celemek sambil bersumpah serapah.
"Menyusahkan nanodayo. Kapan penderitaan ini akan berak—"
Pintu terbuka. Kalimat Shintarō menggantung di udara. Poni belah tengah ada di depan mata.
"—hir?"
"Selamat sore."
[TRIIIING~]
Senyum matahari orang di depannya, binar-binar terang, bokeh yang berkilauan, dan bunga bermekaran membuat mata Shintarō makin minus..
"S-sore…nanodayo."
Aduh sialan kenapa Pangeran Kazunari datang di saat yang tidak tepat dan aku tak siap nodayo. Mana baju ini sungguh menyedihkan—ahh andai saja ada Peri Daiki disini, tap-tapi—AAAARGH!
Batin Shintaro bergolak.
Kazunari tersenyum. Melangkah maju mendekati Shintarō yang mengo di depannya. "Kau pemilik rumah ini?"
Suara renyah Kazunari menarik Shintarō kembali dari kemengoannya. Dengan gerakan khas dia mendorong kacamata. "Benar nanodayo. Kau siap—"
"—pa yang datang, Shintarō?" Belum selesai Shintarō bicara setan merah sudah muncul lagi.
Shintarō menggeser badannya yang hampir menutupi seluruh tampilan Kazunari dari mata Seijūrō. "Ma-madam? Sepertinya mereka dari—"
"Kami dari kerajaan, nyonya." Pengawal Kimura memotong. Dia membungkuk hormat kepada Seijūrō.
Sambil kipas-kipas dengan gaya yang dibuat seelegan mungkin, Seijūrō mengangguk wibawa. Berusaha menutupi ke-excited-annya mengetahui ada pihak kerajaan yang bertandang lagi ke gubuknya yang kumuh ini. (Cih, sok rendah diri)
"Aku tahu." Mata awesome Seijūrō beralih ke Kazunari. Dilihatnya laki-laki terhormat itu tengah senyam-senyum sendiri. Dia mengikuti arah pandangan Kazunari dan berakhir pada—
"Shintarō."
Kaget. Kacamata Shintarō melorot sampai ke kaki. "I-iya, madam?"
"Ma-suk." Ucap Seijūrō dengan penekanan mantap.
Seperti gadis pingitan yang tak berdaya, Shintarō berbalik masuk dengan langkah lunglai. Sedih, lah. Baru juga ketemu sang pujaan hati, eh disuruh masuk sama mama. Tak pernah muda kali, ya? Hidup di jaman apa dia?
Setelah tak ada lagi kepala hijau disana, Seijūrō kembali pada pangeran.
"Ada apa gerangan yang membuat pangeranku sudi berkunjung ke gubuk kami yang kumuh ini?"
Cih. Lagi-lagi sok manis.
Kazunari yang bengong pun sadar. Ia menatap Seijūrō setelah menghilangnya Shintarō dari jarak pandangnya. "Itu… yang tadi siapa?"
"Pembantu. Sudah lupakan saja dia, pangeran." Seijūrō menggeser tubuhnya menutupi pandangan Kazunari. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Hhh~" Kazunari mendesah lelah. Kecewa juga laki-laki setampan itu jadi pembantu. Hidup memang keras. Saking kerasnya laki-laki setampan itu jadi babu. Hidup memang keras. Iya, tapi kata-katanya jangan dibolak-balik, kampret!
Dengan malas dia melangkah mundur. "Paman, jelaskan pada tante ini."
[DZING]
Tante?
Telinga Seijūrō bergerak-gerak.
Tante?
Perempatan muncul di keningnya.
Tante?
Tante?
Tante?
"Jadi begini. Kami telah berkelana keliling negeri Shutoku hanya untuk menemukan pemilik dari sepatu ini nyonya."
Pengawal Kimura melakukan yang terbaik. Dia menyodorkan sepatu pantofel mengkilap yang tertengger di atas bantal merah dengan rumbai kuning keemasan ditiap sudutnya kepada Seijūrō. Tepat ke wajahnya.
Seijūrō ambil jarak. "Ah, saya tahu. Jadi harapan kalian ada di rumah ini, begitu?"
Pengawal Kimura mengangguk. "Kira-kira seperti itu."
Kazunari diam memperhatikan raut wajah Seijūrō. Detail. Saking detailnya bahkan keriput di bawah mata Seijūrō yang tersamarkan dengan cream anti-aging pun bisa Kazunari hitung. Jangan remehkan mukjizat mata elang Takao Kazunari.
"Hahahaha…"
Tiba-tiba Seijūrō tertawa laknat. Kipasnya makin gencar bergerak. "Kalian semua tidak salah pilih. Pilihan kalian tepat. Rumah ini akan membongkar siapa pemilik sepatu itu. Kalian akan segera menemukan jawabannya."
Semua pihak kerajaan cengo mendengar ocehan Seijūrō. Bukan karena salah pilih atau tidak. Emang tinggal satu-satunya ini rumah yang belum disatroni, haaa~ dasar tuan sok mengatur baka!
"Jadi. Apa anda punya seorang anak laki-laki? Karena tidak mungkin seorang gadis memakai sepatu seperti ini." Tambah Pengawal Kimura. Seijūrō mengangguk.
"Bahkan aku punya dua." Dia mengangkat dua jarinya yang membentuk V.
"Kau punya tiga." Kazunari menyela. Matanya sungguh sensitif ternyata.
Senyum Seijūrō pudar. Dia menatap Kazunari tajam. Mata kuningnya mulai berpendar. "Tidak. Saya hanya punya dua."
Dia pamer V ke wajah Kazunari.
"Terserah." Kazunari mengedikkan bahu. Males debat.
"Kalau begitu. Bisa panggil anak-anak anda, nyonya?"
"Tentu."
Seijūrō berbalik dengan gemulai. "Ryōta, Tetsuya, keluarlah sayang. Tunjukkan pesona kalian kepada Pangeran Kazunari yang berponi belah tengah ini."
Ih. Apa-apaan itu?
Kazunari hanya bisa mendecih jijik. Apa pula poninya yang tak bersalah selalu dibawa-bawa. Kalau dia ganti style nanti tidak mirip dengan Pangeran Levi dari kerajaan sebelah. Gagal kece dong dianya.
Tak lama Ryōta dan Tetsuya datang sambil berlari kecil dengan efek angin mengibarkan rambut mereka yang wangi shampo didi rasa anggur. Mata Kazunari melotot melihat siapa yang sedang menebar kiss-kiss di udara ke arahnya.
"Crap! Orang udik! Beruang Grizzly!" Dia langsung sembunyi di belakang Pengawal Kimura.
"Tenang saja, pangeran. Mereka tidak gigit. Hanya menyengat." Elusan Pengawal Kimura di kepalanya menenangkan Kazunari meski kata-katanya tidak membantu sama sekali. Bagai magic dia menemukan kembali keberanian dan wibawanya sebagai seorang pangeran.
"Kami siap. Kami siap. Kami siap."
Seijūrō mengelus kepala anak-anaknya. "Ini dia. Mereka yang akan menjadi jawaban atas segala pencarianmu, pangeran."
Otomatis Ryōta tersenyum lebar dan sekali lagi menebar kiss-kiss di udara sementara saudaranya tetap pada pendirian—datar.
Kazunari terserang ebola.
"Baiklah. Sekarang mari kita coba." Pengawal Kimura berlutut dihadapan Ryōta dan Tetsuya. "Siapa dulu?"
"Tetsuyacchi, jan ken pon!"
Ryōta kalah.
"Biarkan saya mencobanya, pengawal." Tetsuya melepas sneakers biru yang dipakainya. Meregangkan otot-otot kaki lalu perlahan memasukkan kakinya ke sepatu yang dilihat mata saja sudah kebesaran untuknya =,=
"Kebesaran, pengawal." katanya. Dengan pasrah melepas sepatu itu lalu mundur.
Dengan percaya diri saudaranya maju setelah melepas bakiak yang dia pakai.
"Sekarang giliranku ssu. Kalau Tetsuyacchi kebesaran, pasti muat di aku." Sambil cengengesan dia mencoba sepatu itu.
Masih kebesaran.
"HUWEEEE! KENAPA SSU!?"
Ssu-ssu-ssu-mu bikin pusing saja. Batin Kazunari jijik.
"Sial. Tidak ada yang cocok!"
Frustasi. Kazunari menggaruk-garuk kepala sampai mahkotanya miring. "Mana tanggung jawab atas ucapanmu, nyonya merah?"
Seijūrō berdehem setelah mengo melihat fakta yang terjadi. "Ano.. boleh saya mencoba?"
"TIDAK!"
Kazunari mulai kalap. "EMAK-EMAK TIDAK MASUK HITUNGAN, BAKA!"
Ditengah-tengah keributan yang terjadi, sebuah suara menginterupsi.
"Bolehkah saya mencobanya nanodayo?"
Semua menoleh ke asal suara. Kepala hijau tengah melongok dari balik lemari buffet. "Bu-bukannya aku menginginkan sepatu itu nanodayo." Tersipu malu sambil mendorong kacamatanya.
'KA-KAWAII!'
Kazunari langsung sehat. Dia berdehem lalu membetulkan jubah yang nyaris merosot dan mahkotanya. "Tentu saja boleh. Silahkan."
Tanpa banyak bicara dan dengan langkah tegap Shintarō menghampiri kerumunan orang. Kazunari terpana. Ya salam, bahkan meskipun dalam balutan kain kumal laki-laki ini terlihat begitu gagah, tampan dan penuh prospek masa depan.
Shintarō melirik Seijūrō meminta restu yang malah dibalas dengan delikan jahat. Buru-buru dia buang muka.
Sandal jepitnya dilepas. Hati-hati…
Kazunari dan Pengawal Kimura menahan nafas.
Seijūrō berdoa semoga tidak pas.
Ryōta ngupil, tapi langsung berhenti begitu sadar kamera menyorotnya lalu pasang wajah sok H2C.
Tetsuya nyedot milkshake kalem.
...perlahan memakai sepatu(—nya yang sudah lama hilang).
Sangat disayangkan bagi Akashi Seijūrō.
Menangislah Nijimura Ryōta dan Nijimura Tetsuya.
Berbahagialah Takao Kazunari.
Sepatunya pas.
Berbanggalah kau Midorima Shintarō—tapi nggak bangga-bangga amat, sih. Toh itu kan memang sepatunya dia sendiri. Ngok!
"Mataku… mataku tidak salah lihat, kan?" Kazunari mengucek-ngucek mata.
"Ini tidak mungkin!" Seijūrō mendelik tak percaya sambil meremas dadanya biar makin terlihat dramatis.
"Hah? Bagaimana bisa pas ssu?" Ryōta selesai ngupil dan segera meyentil upilnya ketika melihat kamera mulai berputar ke arahnya.
"Sroooooot~ mungkin memang punya Midorima-kun." Tetsuya tak acuh. Dia lebih mementingkan milkshake-nya yang terlihat sudah mulai habis. Lalu pamit sebentar untuk membeli yang baru—("Bikin sendiri, Tetsuya! Jangan jajan-jajan yang tidak perlu! Hemat! Jajanan di luar tidak higienis.")—tapi tidak jadi.
"HA..HA..HA.." Shintarō tertawa jahat. Hijau matanya yang semula memancarkan kesejukan, seketika berubah menjadi mata hitam dengan pupil merah disertai urat-urat senada yang menjalar disekitar matanya.
Tapi bohong.
Dia membusungkan dada. Sambil membetulkan letak kacamata yang melorot setelah menunduk (sok merendahkan diri) tadi dia tersenyum meremehkan. Dia melirik keluarga tirinya satu persatu dan secara otomatis mereka mengecil di mata Shintarō.
"Lihat?"
Dia menunjuk sepatu yang sedang ia pakai. "Kaki ini memang suci nanodayo. Beda dengan kaki kalian yang berlumur dosa."
Kaki saja berlumur dosa, apalagi full version-nya.
Lalu dia menatap Tetsuya. "Benar, Tetsuya. Ini memang sepatuku nanodayo. Sepatu yang hilang waktu aku terburu-buru pulang dari pes—"
Wajah Shintarō memucat, basah, dan menggoda. Hm.. *licking tongue*
'CRAP! KELEPASAN NANODAYO! O_O'
"Hm? Pulang darimana, Shintarō?" Seijūrō mulai kipas-kipas lagi. Sepertinya dia menemukan sesuatu yang ganjil.
Dengan canggung dia melirik Kazunari yang mengo sejak dia tertawa tadi.
'Bawa aku pergi dari sini cepat nanodayo.'
Seperti itulah arti tersirat dari tatapan Shintarō. Kazunari yang memang peka (setelah I'tikaf 40 hari di Masjid Akbar) langsung tanggap.
"Ah, sepertinya jawaban sudah ditemukan."
Dia berjalan mendekati Shintarō. "Orang ini yang aku cari." Tersenyum sambil mengeluskan jemarinya ke pipi Shintarō yang langsung ditepis dengan alasan—("Bukan muhrim nanodayo.")
"Tap-tapi, pangeran? Bagaimana bisa? Dia hanya pembantuku. Bukan anakku. Dia tidak berhak." Seijūrō menarik Ryōta dan Tetsuya yang nampaknya sudah tidak peduli dengan sepatu dan tetek bengeknya. Emang dasar emaknya aja yang maniak.
"Mau itu pembantu kek, peramban kek, terserah yang penting aku sudah menemukan pujaan hatiku yang telah lama hilang dan tak kembali pulang. Tak akan kubiarkan dia terbang hilang bersama bintang. Bahkan bintangpun tak pantas memilikinya. Hanya aku—" Kazunari menghentikan kalimatnya. Dia menggaet lengan Shintarō.
"—hanya aku yang pantas memilikimu, Tsun-chanku."
Dan Shintarō yang iritasi mendengar gombalan Kazunari segera melepas pelukan si belah tengah yang mulai memonyongkan bibirnya.
"Jangan cium-cium nanodayo. Sudah kukatakan bukan muhrim." Dia mendorong wajah Kazunari menjauh.
"Mou~ Tsun-chan ja—"
"TUNGGU, KUDASAI!"
Lovey dovey Midotaka terhenti oleh teriakan Seijūrō.
"Saya masih belum bisa menerima semua ini. Apa maksudnya pujaan hati yang telah lama hilang? Pangeran udah pernah bertemu dengannya?"
Kazunari mengurut keningnya. Pusing.
"Dengar, ya cebol. Aku dan dia sudah ditakdirkan untuk bertemu, bersatu, dan bersama."
Seijūrō naik pitam. Marah dia dipanggil cebol sama orang cebol (tentu saja dengan Shintarō sebagai pembanding).
"Kami memang sudah bertemu." Kazunari melirik Shintarō. "Kami bertemu di malam indah pesta dansa."
Tiba-tiba raut wajah Kazunari menyendung. Jiwa melankolis (alay, red)nya kambuh.
"Dia yang tiba-tiba hadir di depan mataku. Datang kepadaku saat aku hancur dan rapuh saat itu. Ah~" Dia meremas dada dengan ekspresi terluka.
"Dengan latar cahaya rembulan kala itu. Sinar mata hijau yang membelai kalbu." Kazunari mulai berputar-putar. "Ah~ doki~"
Tiba-tiba Kazunari berhenti. Sadar diri kalau dia mulai alay.
"Ehem. Intinya aku dan Tsun-chan adalah satu."
Mangap.
Akashi's family mangap bersama mendengar penjelasan Kazunari. Bersamaan pula mereka menoleh ke Shintarō yang masih stay cool sambil sesekali mendorong kacamatanya biar makin okeh.
"D-dia—?"
"Benar." Sahut Kazunari cepat dan tak kalah cepatnya dia melompat ke gendongan Shintarō. Mengelus pipi pemuda yang telah mengambil hatinya dengan lembut. "Dia laki-laki misterius di pesta dansa. Dia Tsunderellaku."
[CUP]
EEEEEEEEEEEHHH!?
Gagak-gagak berkoak terbang menjauhi pepohonan.
Shintarō membeku. Bola matanya bergerak menatap wajah yang sangat dekat dengannya.
Apa ini mimpi? Ya ampun ini bukan mimpi. Rasanya seperti cherry dan—lembut. Astaga lembut sekali ini seperti jelly dan—kenyal. Astaga tidak bisa dipercaya. Di depan Seijūrō. Di depan Seijūrō pangeran menciumnya. Astaga dia tak bisa berhenti berkata astaga. Tolong hapuskan kata astaga dari kosakata dunia!
"Hiks.. hiks.."
Sebuah isakan menyadarkan Shintarō dan Kazunari melepaskan kecupannya.
'Sialan! Padahal aku masih kurang'
=3=
"HUWEEEE MAMIH! MIDORIMACCHI.. HIKS.. MIDORIMACCHI DICIUM SSU...!"
Seijūrō merangkul pundak anaknya dengan susah payah (ingat tinggi badan). Sementara Tetsuya yang memang dasarnya baik mengangkat kaosnya dan menyuruh Ryōta buang ingus disana.
=3= baik apa jorok?
"Sudah, sudah. Kau juga mau dicium? Sini mamih cium."
Akashi Seijūrō, 36 tahun, terdeteksi incest.
"NGGAK MAUUUUUUU!"
.
.
.
"Maa.. sepertinya kita harus segera pergi dari sini." Kazunari melirik Pengawal Kimura yang langsung diangguki oleh yang bersangkutan.
"Ano.. pangeran?"
Merasa dipanggil, Kazunari menoleh ke asal suara—Shintaro. "Hm?"
"Bisakah anda turun? Berat nanodayo."
Bukannya sadar diri, dia malah memeluk leher Shintarō dan melesakkan wajahnya disana. "Kau harus berlatih, Tsun-cha—"
"Shintarō." Potong Shintarō.
"Ah, ya. Kau harus berlatih, Shin-chan."
Kelopak mata Shintarō berkedut. Iritasi. "Panggilan macam apa itu?"
"Panggilan sayang."
[CUP]
Sekali lagi Shintarō merasakan indahnya dunia dalam ke-tsundere-annya.
"YOSH! KITA PULANG DAN MENIKAH SHIN-CHAAAAAAN~!"
Walhasil Shintarō terus menggendong Kazunari sampai ke istana—kecuali waktu menunggang kuda. Gila apa?
Bertemu dengan raja Shutoku yang tampan dan tinggi beserta keluarganya—nenek, kakek, sepupu, keponakan, pakdhe, budhe, tante, om, dan keluarga besar lainnya. Shintarō disambut hangat oleh keluarga kerajaan. Mereka memuji-muji Kazunari. Kenapa Kazunari? Karena katanya—
"Yosh! Kau pintar, anakku. Begini kalau cari pasangan hidup. Yang ganteng, tinggi, dan seksi. Kau bisa memperbaiki keturunan menjadi yang lebih baik." —alasan yang masuk akal.
"Benar, Kazu. Tidak sia-sia kami membesarkanmu. Kalau sampai kau gagal dalam mencari pasangan hidup ideal, kami tidak akan segan-segan membuangmu ke hutan dan membiarkanmu dirawat oleh nenek sihir yang memelihara serigala." —kejam.
"Hebat juga kau, Kazu. Bisa mendapatkan calon seperti ini harus diperlukan ketelitian dan keterampilan(?). Aku tak menyangka orang payah sepertimu bisa dapat juga." —eeer.
"Padahal kamu jelek, kok dapet yang ganteng, sih? Nggak adil." —sungguh kejam.
"Ironi." —mereka benar-benar membencimu, Kazunari.
Tidak perlu membutuhkan waktu lama. Sehari setelahnya kerajaan Shutoku diramaikan oleh hajatan terbesar mereka—
Pernikahan Pangeran Kazunari dan Midorima Shintarō.
Hari ini Kazunari yang biasanya memakai pakaian sok keren dengan jubah di pundak berubah menjadi pangeran super tampan dengan balutan tuksedo putih, sepatu putih, dan kain perca(?) putih sebagai penutup kepala. Sedangkan Shintarō yang biasanya memakai baju kumal, kusam, dan tak layak dipandang berubah menjadi laki-laki super tampan bersuara om-om dengan balutan tuksedo yang sama seperti yang dia pakai di malam pesta dansa—berkat bantuan Peri Daiki yang khusus dipanggil dari Kerajaan Tōō hanya untuk mendandani Shintarō. Tentu saja dia senang karena Shintarō ganteng(?). Bahkan dia berencana memakaikan gaun V-neck super rendah namun langsung mendapat tepukan nyamuk dari yang bersangkutan. Dan berakhir dengan seperti ini setelah sayapnya kembali utuh akibat tepukan nyamuk maut Shintarō.
Seluruh rakyat kerajaan diundang tak terkecuali para hewan yang membantu Shintarō diubah wujudnya oleh Peri Daiki supaya bisa menikmati acara dengan lebih manusiawi. Lihat mereka datang dengan rapih bertuksedo dan dadah-dadah ke Shintaro dan Kazunari dari dalam sangkar raksasa.
APANYA YANG MANUSIAWIIIIIIII!? :"(
Akashi's family juga datang. Kini Ryōta bisa menerima kenyataan cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia memakai pakaian serba hitam dan kacamata hitam. Berkabung atas kematian hatinya.
"A-aku senang Midorimacchi bahagia ssu. Hikss.. b-bukannya kau akan bahagia jika orang yang kau cintai bahagia ssu? Benar, kan, Tetsuyacchi?"
Yang diajak bicara hanya menatap saudaranya dengan tatapan datar namun kali ini datar yang bermakna. Kasihan juga melihat saudara yang biasanya ceria, bahagia, dan cerah kini seperti bunga yang layu. Ckckck. Tetsuya geleng-geleng.
Kazunari dan Shintarō menuruni tangga diiringi tebaran bunga lili put—salah, kenapa malah bunga kematian? Diiringi bunga mawar berwana-warni bagaikan hujan dan teriakan para handai taulan. Kazunari merangkul lengan Shintarō dengan manjanya sambil cengengesan dadah-dadah seolah ingin pamer ke dunia betapa bahagianya dia. Sedangkan Shintarō tetap ganteng seperti biasa. Tanpa banyak kata dia hanya tersenyum (tipis) mengimbangi apa yang dilakukan Kazunari.
Saat matanya beredar, dia menemukan sesosok yang paling dia rindukan.
"Tou-san?!"
Refleks Shintarō melepas rangkulan Kazunari. Berlari dengan dramatis ke sosok ungu di bawah sana yang tengah merentangkan tangan menunggu dirinya.
"Shinta-chin!"
"TOU-SAAAAAAAN!"
"Shinta-chin!"
"TOU-SAAAAAAAN!"
"Shinta—"
[BRUK]
Shintarō mendarat dengan tidak santai. Mereka terjengkang bersama.
"Tou-san.. hiks.."
Shintarō mengangkat wajahnya menatap raut wajah yang sudah lama tak ia lihat. Sementara Atsushi tersenyum (meski masih dengan wajah malas) sambil mengelus kepala sang anak.
"Shinta-chin bahagia?"
Mengangguk. Shintarō mengangguk mantap. "Tidak akan bahagia kalau tou-san tidak datang nanodayo."
Dalam hati Atsushi bersyukur dengan jawaban sang anak.
'Yokatta ne. Shinta-chin sudah tidak tsun—'
"Bukannya selama ini aku bahagia jika ada tou-san."
TETAP TSUNDEREEEEEE!
Yah, maklum sajalah. Atsushi mengajak Shintarō bangkit. Dia menghapus lelehan air mata di pipi anaknya yang tsundere itu. "Maafkan tou-san, ne? Tou-san sibuk (makan) sampai lupa pulang. Tou-san harap Shinta-chin bahagia bersama mereka."
Shintarō menoleh ke belakang.
'CIH, AKASHI'S FAMILY.'
Ibu tirinya melangkah maju. Menepuk pundaknya pelan.
"Maafkan kami jika selama ini kau tidak bahagia hidup bersama kami, Shintarō." Seijūrō berkata sok imut dan sok menyesal.
Mendengar itu, alergi Shintarō nyaris kambuh. Dia mulai gatal-gatal.
'Memang tidak bahagia, kampret!'
Ryōta maju, sambil memainkan telunjuk dan wajah menunduk tersipu sekaligus menutupi bekas air mata dia berkata. "Iya. Maafkan kami, Midorimacchi. Kami tidak pernah membantumu selama ini."
'Andaikan saja aku menyadarinya dengan cepat dan mendapat keberanian, aku akan menyatakannya ssu :"('—isi hati yang tak pernah tersampaikan. Ohh, that feels.
"Maafkan kami, Midorima-kun."
O_O !?
"Hiiii!"
Anak ini =,=
Shintarō nyaris tidak keren karena Tetsuya yang tiba-tiba berkata di sampingnya. Dia memperhatikan wajah keluarga tirinya satu per satu. Rasa iba menggelayuti lalu menghela nafas.
Dia mendorong kacamata. "Bukannya aku mau memaafkan kalian nanodayo, tapi kita sebagai manusia memang harus saling memaafkan dan mengasihi. Dan berhubung aku orang baik jadi kumaafkan kalian semua."
Kalimat Shintarō mengundang tone bunga-bunga Marsh Marigold di belakang mereka bertiga. Bahkan Kazunari yang melihatnya makin jatuh cinta. Ahh~ betapa dia tidak salah pilih pasangan hidup. Berbagai ungkapan kagum atas kebaikan Shintarō terlontar dari mulut para undangan dan keluarga kerajaan.
Shintarō menunduk. "Tapi dengan satu syarat."
Buyar semua.
Dia mengangkat wajah perlahan dengan efek hitam dibagian mata yang sorotnya tajam dan terlihat begitu kejam. "Jadilah budakku—"
Freeze.
"—selamanya."
Akhirnya, keluarga kecil Shintarō dan Pangeran Kazunari hidup bahagia dengan tiga pelayan pribadi di rumah mungil mereka yang jauh dari pemukiman warga, tapi masih bisa terjangkau wi-fi. Ayah Atsushi diajak tinggal bersama keluarga kerajaan. Disana dia menikmati sisa hidup dengan makanan yang tak pernah ada habisnya.
"Tou-san bangga pada, Shinta-chin."
.
.
.
The End.
"Ha?"
Shinka mangap.
Dia menatap ibu dan buku ceritanya bergantian. Sementara Takao tersenyum bangga dengan cerita (busuk) yang barusan dia ceritakan.
"Bukannya Tsunderella itu berhati baik, ya, kaa-chan?"
Takao menggeleng. "Itu Cinderella. Ini Tsunderella. Beda jauh, Shinka."
"Ta-tapi—"
"Tadaima."
Wajah cruel Shinka berubah cerah mendengar suara dari luar. Dia segera melompat dari ranjangnya meninggalkan Takao yang kini justru berubah pucat.
'Crap. Shin-chan datang disaat yang tidak tepat. Shinka pasti mengatakan hal yang tidak-ti—'
"TADAIMA, TSUN-CHAN!"
KAMPRET, SHINKAAA! Batin Takao menjerit pilu.
Dia makin pucat mendengar teriakan sang anak yang bernada kelewat bahagia. Dia gugup sendiri. Melirik Tōri yang terlelap pulas di keranjang bayi sambil ngempeng jempol. Pikiran-pikiran kacau berputar di kepala Takao.
'Haruskah aku mengakhirinya sekarang? Aku akan terlepas dari semua ini. Aku akan mengajak Tori juga.'
Ibu edan =3=
[BRAK]
Pintu kamar terbuka. Sosok Midorima yang sedang menggendong Shinka dengan satu tangan muncul.
"Kaa-chan yang cerita. Kaa-chan bilang kalau Tsun-tou-chan itu laki-laki yang okeh." Shinka pamer jempol di depan wajah ayahnya. "Tsun-tou-chan memerah susu unta dengan sangat baik, lalu memandikan Paman Ryōta dan Paman Tetsuya, intinya Tsun-tou-chan itu tsundere ganteng yang okeh."
Anak berusia 5 tahun itu terus berceloteh tak peduli dengan raut wajah dan aura buruk yang menguar dari ayahnya. Dengan nada ceria dia menceritakan bagian-bagian yang (menurutnya) keren.
"Ta..ka..o.."
Satu tangan Midorima yang bebas mendorong kacamatanya.
"He..he..he.. Shin-chan? Kau sudah pu—"
"Apa yang kau ceritakan pada anak ini, baka yarou!?"
Midorima melempar Shinka dan untungnya Takao (dulunya) adalah rekan sejawat yang terbiasa dengan pass tiba-tiba. Jadi dengan lihai dan akurat dia menangkap anaknya yang kini mengo. ("Kenapa aku yang dilempar?")
"A-aku tidak menceritakan apa-apa, Shin-chan."
"Bohong. Kaa-chan menceritakan cerita dongeng yang bombastis." Kalau saja anak ini bukan anak kandungnya, sudah dipastikan Takao lempar keluar jendela.
Takao menatap wajah anaknya yang membalas menatapnya dengan pandangan polos tanpa dosa. Ibunyalah yang berdosa.
Shinka tidak membantu sama sekali. Takao menangis di tengah hujan dalam hati.
Midorima berjalan mendekati Takao dan Shinka. "Begitukah?"
Shinka mengangguk semangat. Dia melompat dari gendongan ibunya ke ranjang. "Uhum. Tsun-tou-chan mau dengar?"
Tersenyum kebapakan, Midorima melewati Takao dan duduk di ranjang Shinka. Menarik pelan tangan mungil anaknya untuk duduk. "Ya. Tou-san ingin mendengarnya, tapi nanti nanodayo. Sekarang Shinka tidur."
Sang anak nyengir lebar. Dasarnya Shinka anak penurut dia mengangguk dan segera memposisikan diri di bawah selimut. " Oyasumi, Tsunderellaku."
Crap.
Kelopak mata Midorima berkedut. Takao makin panas dingin.
"Hm. Oyasumi." Midorima membetulkan letak selimut Shinka lalu mengecup kening sang anak yang mulai terlelap. Dia tersenyum. Melihat raut polos sang anak yang tertidur membuat penat seharian ini seketika menghilang. Dia bangkit lalu berjalan menuju keranjang bayi Tōri.
("Oi, Shin-chan, aku disini! Oi!")
Mengelus pipi gembil bayi yang nampak mirip dengannya itu lalu senyum kebapakan—lagi saat melihat reaksi yang diberikan, Tori makin mengenyot jempol mungilnya dengan ganas.
'K-KAWAII!'
Midorima tersipu.
"Oi, Shin-chan."
Takao yang kesal diabaikan daritadi mulai bersuara. Dia menghentak-hentakkan kakinya. "Kau mengabaikan—"
"Takao."
E?
"Na-nani?"
Midorima berbalik. "Aku ingin mendengarkannya."
H-HEEEEEEEEE O_O !?
Gawat. Ini gawat. Pasti gawat kalau sampai Midorima tahu apa yang dia ceritakan pada Shinka. Mendengar spoiler(?)nya dari Shinka saja membuat Midorima melempar anaknya. Apalagi mendengar cerita asli darinya sendiri. Bisa-bisa dia yang dilempar ke ring.
"B-benarkah? Hahaha…" Takao tertawa garing sambil garuk-garuk pantat. Dia melirik ke arah lain. Kemana saja asal jangan mata Shin-channya. Sungguh nggak kuwat mama!
"Shin-chan kau seperti anak ke—"
"Aku ingin mendengarkannya nodayo."
Dengan jahat Midorima menarik tangan Takao keluar. Menutup pintu kamar anaknya dengan kejam lalu beberapa menit setelahnya ada suara syur yang berasal dari kamar lantai bawah.
Sepertinya yang ingin didengarkan Midorima bukan cerita dongeng, tetapi mendengarkan yang lain. Mumpung dia lagi on setelah mendapat semangat dari anaknya tadi. Dan Takao, kau tak akan terlempar ke ring, tapi terlempar ke ranjang.
Hahahaha oyasumi, Midorima Kazunari.
.
.
.
The End.
YATTAAAAAAAAA!
Perjuangan yang tak akan pernah kulupakan. Aku harus segera mencatatnya dalam prasasti semen, kawan-kawan.
Ah, ya. Terimakasih buat yang sudah me-notice cerita busuk Takao ini.
Selamat membaca dan muntah.