Summary : aku tidak pernah mengagumi gadis lain seperti aku mengaguminya… dengan segala kelebihannya… dia mampu melakukan apapun… ya, apapun itu termasuk memikat hatiku. Ah…aku seperti punguk merindukan rembulan, dia terlalu sempurna untukku..

.

.

.

Author: Juzie chan

Disclaimer : seperti biasa…Kubo-chan #plakk# Kubo-san maksudku *sambil cengengesan.

Pairing : IchiRuki, slight IchiCand, IchiHime, RenRuki, GrimmRuki, IshiRuki (bener ga ni?)

Warning! : banyak Typo, AU, OOC, EYD tidak sesuai, Gaje, Jayus, Abal, penuh kenistaan, membosankan, tidak masuk di akal, hina, menjijikkan, menjemukan, membuat mual, bete, bibir pecah-pecah dan susah buang air besar dan segala kekurangan-kekurangan yang lainnya.

.

.

.

paragraph bertulisan miring yang disertai keterangan waktu di paragraph sebelumnya adalah flashback ya guys!

.

.

.

CH 29

.

.

.

Wajah Ichigo tampak menggeram dan kakinya melangkah lebar-lebar ketika memasuki kediaman Unohana yang berada di Garganta. Bisa ditebak seberapa emosinya ia saat ia membuka dan menutup pintu di sana, ia seperti membantingnya. Matanya berkilat-kilat mencari sosok pria berambut blonde yang ikut bersamanya.

BRAKK

Urahara yang tadinya asyik berbaring santai sembari melihat-lihat daftar tempat wisata di Garganta melalui laptop-nya yang terhubung internet, langsung terlonjak kaget. Ia menoleh ke arah pintu, Ichigo berdiri di sana dengan emosi yang berapi-api.

"…ada masalah?" tanya Urahara.

"Besok kita akan pulang!" teriak Ichigo menyahut, "jadi segera kemasi barang-barangmu!"

"Ha?" Urahara memperlihatkan tampang bingungnya yang tampak bodoh. "Bukannya kita baru saja sampai tadi pagi, aku bahkan belum keluar dari rumah i…"

"Aku bilang besok kita akan kembali ke Karakura!"

Ichigo lalu berbalik dan berlalu dengan cepat. Sementara Urahara diam termangu, heran sendiri di sana. Begitu sadar, ia lantas menggaruk-garuk pipinya. "Kenapa lagi anak itu, jauh-jauh ke mari eh… malah mau pulang." Ia lalu melirik koper yang masih utuh, masih berdiri tegak di depan lemari. "…dia menyuruhku segera mengemas barang, memangnya apa yang mau dikemas?" Urahara menepuk sendiri jidatnya.


oOo


Setelah pertemuan terakhir dengan Ichigo, wajah murunglah yang tampak di wajah Rukia. ia tidak bisa melupakan ekspresi Ichigo kala pria itu menanyakan perihal kebohongannya. Ia bisa melihat ada luka di wajah penuh kekecewaan itu, dan karena itu rasa bersalah seakan menghujamnya.

"Kalau dipiki-pikir lagi… ternyata aku tidak terlalu menyukaimu…"

Rukia merasa ada yang amat perih di hatinya tiap kali kalimat itu menggema di pikirannya. Ada rasa tak rela dan juga takut jika itu benar-benar terjadi, tapi ia pun merasa ia pantas menerimanya, karena memang itu tujuan awalnya.

Kini ia hanya bisa meringkuk di atas ranjang, ditemani oleh remang sinar rembulan dan juga agenda Ichigo yang selalu ia peluk saat tertidur. Rukia menatap sendu agenda milik Ichigo yang kini berada di pangkuannya, mengusapnya dengan lembut. "Maafkan aku, Ichigo…" air matanya pun menetes.

Ia tahu hatinya masih sangat mengharapkan Ichigo, namun keadaan selalu saja menghalangi kebersamaan itu dan akhirnya ia harus memaksakan dirinya untuk pergi jauh dari Ichigo. Dan sekarang, tujuannya pun tercapai, Ichigo kini sudah tak lagi menginginkannya, dan karena itu hatinya semakin sakit…

Tiba-tiba ponsel Rukia berbunyi. Dengan mata yang berkaca-kaca ia melirik ponselnya yang tergeletak di atas nakas lalu tangan mungilnya yang pucat meraihnya. Melihat siapa gerangan yang menghubunginya, segera ia mengusap pipinya yang basah.

"Halo…" sapa Rukia berusaha agar tidak terisak.

"Kuchiki-san, maaf, aku menelfonmu malam-malam begini. Kau sudah mau tidur, ya?"

"Tidak apa-apa, Unohana-san, aku juga belum mau tidur."

"Oh, syukurlah kalau begitu, aku menelfonmu karena sangat penasaran. Aku cuma ingin bertanya, apa Kurosaki menemuimu tadi?"

Rukia diam sejenak. "Ya… dia menemuiku tadi."

"Wah… ternyata hubungan kalian semakin dekat saja," goda Unohana.

Rukia hanya bisa tersenyum miris.

"Sayangnya, besok pagi jam sepuluh Kurosaki sudah mau pulang, padahal aku sudah berusahan menahannya."

Rukia diam. Ia cukup tahu bahwa dialah yang membuat Ichigo tak betah berada di Garganta.

"Kau harus menemuinya besok, mungkin… kau bisa mengantarnya hingga di bandara."

mengantarnya? Rukia rasa itu adalah ide yang buruk. Ichigo tak akan suka melihatnya lagi.

"Bagaimana kalau kau mendatanginya, aku yakin Ichigo pasti senang kau menemuinya sebelum ia pulang ke Karakura, ini alamatnya ya…"

Rukia tak pernah berniat untuk menemui Ichigo besok pagi, tapi tangannya tetap beranjak dan menarik laci nakas utnuk mencari pulpen dan menulis alamat Ichigo di buku agenda Ichigo.

"Sudah ya, Kuchiki-san. aku sudah banyak mengganggumu."

"Tidak apa-apa, Unohana-san."

"Kalau begitu, cepatlah tidur agar besok kau terlihat segar di depan Kurosaki-kun."

Rukia tidak merespon ucapan teakhir Unohana. Tapi, setelah ia menutup ponselnya, Rukia terus menatap alamat salah satu kediaman Unohana di Garganta, ia belum pernah berkunjung ke sana sekalipun, tapi alamat itu tak sulit ditemukan, tapi…. Ah, Ichigo tak akan senang melihatnya.


Ichigo merasakan tubuhnya begitu lemas ketika meletakkan kopernya di bagasi mobil. Terasa begitu berat bergerak untuk meninggalkan Garganta. Urahara yang terus mengoceh, mengeluh karena tak sempat bersenang-senang menikmati kota itu, tak dihiraukannya. Pikirannya telah melayang hingga mengunci segala indranya, ia menghela napas panjang, ini bukanlah keinginannya, begitu berat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kemauan hati.

Apa yang ia lakukan kemarin pada Rukia benar-benar membuatnya menyesal. Tak seharusnya ia bersikap dan berbicara cukup kasar pada gadis itu, mengingat apa yang telah Rukia lakukan untuk dirinya, di luar konteks percintaan. Bagaimanapun, Rukia telah memberinya banyak semangat dan membuatnya menjadi seseorang yang lebih baik. Tapi, hatinya masih terlalu sakit.

Cinta memang masih mengental, tapi luka pun terasa mengekal. Ia sudah banyak merenungkan segalanya, ia harus berusaha untuk bisa benar-benar melupakan perasaannya pada Rukia. Ia harus sembuh dari kelarutan luka, untuk itu, memang perlu waktu yang sangat lama, ia butuh merangkak seorang diri, meminum pil kenyataan yang begitu pahit dan menyadarkan bahwa satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah menerima. Ya… hanya menerima, dan kini ia mengeraskan hatinya untuk mengundurkan diri dari segala rasa

"Ichigo…"

Sementara pikirannya bergelut pada Rukia, tiba-tiba suara gadis itu terdengar menegurnya. Ichigo terkesiap dan cepat-cepat menoleh ke belakang, memastikan apa yang ia dengar benar-benar suara Rukia.

Benar saja Rukia kini berdiri hanya dua meter di belakangnya, mengenakan jaket kulit berwarna coklat yang sangat kebesaran untuknya. Ichgo tahu jaket itu, itu adalah miliknya dan ia belum lupa kapan jaket itu ada di tangan Rukia.

Melihat gadis mungil di sana, rasanya ichigo ingin sekali memeluk dan membawa gadis itu ikut ke Karakura, tapi tentu ia harus bertahan, ia tak boleh luluh lagi pada gadis itu dan kembali mengejarnya. Cukup sudah pengalaman pahit yang lalu-lalu, hanya akan membuatnya kembali sengsara.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ichigo dengan bersikap dingin.

Rukia mencoba tersenyum walau sulit karena sikap Ichigo yang seolah tak menginginkan kehadirannya. Ia lalu melepaskan jaket kulit coklat.

"Aku ingin mengembalikan ini…" sahutnya sambil menyerahkan buku agenda dan jaket kulit itu.

Ichigo hanya melirik tak berselera ke arah dua benda miliknya. "Terlalu banyak kenangan buruk di barang itu, kau ambil saja!" ucapnya berusaha acuh tak acuh, lalu pria itu berpaling membelakangi Rukia dan menutup bagasi mobilnya. "Hanya itu saja, kan? Pulanglah!" tambahnya lalu ia bergerak membuka pintu belakang mobilnya, Urahara yang tak enak menyaksikan sikap putra sahabatnya juga mulai bergegas untuk memasuki mobil bersama sopir.

"Maafkan aku, Ichigo," kata Rukia begitu lirih.

Ichigo yang tadinya sudah ingin memasuki mobil tiba-tiba hanya bisa bergeming. Ia bimbang, antara segera meninggalkan gadis itu atau tetap berbicara padanya. Tubuhnya semakin berat meninggalkan tempat itu. Lagipula, jika Rukia memutuskan untuk tak bersamanya, itu adalah haknya, Ichigo sudah memikirkannya semalam bahwa ia tak seharusnya menyalahkan Rukia.

"Kau seharusnya tak usah meminta maaf, Rukia… aku yang sudah keterlaluan."

Rukia diam dan menatap pilu punggung Ichigo.

"… maaf juga kalau perasaanku sudah banyak menyusahkanmu, kau pasti sangat terganggu oleh kehadiranku. Tapi tenang saja, mulai sekarang… kau bisa tidak menganggapku, anggap saja kau tidak pernah mengenalku… tidak apa-apa…" Ichigo menunduk dengan wajah sendunya, berusaha menabahkan hatinya, "aku pun akan mencobanya juga…"

"Ichigo…" Mata Rukia mulai berkaca, ia menggeleng pelan memahami maksud Ichigo. Ia tak ingin semuanya berakhir menjadi seorang yang asing satu sama lain.

"Oh, ya, ada satu hal yang harus kusampaikan setelah kita benar-benar tak saling kenal." Ichigo tersenyum getir mengingat saat-saat ia pertama kali bekerja di Kotowari Fashion, melihat Rukia kemudian harus menjalani suatu proyek bersamanya. Saat-saat yang membawanya untuk memiliki perasaan cinta yang tulus kepada seorang gadis untuk pertama kalinya. Namun, setelah pertemuan ini ia harus menyadarkan dirinya bahwa ia tak akan lagi mendapat kesempatan untuk bersama gadis yang ia cintai, rasanya begitu sakit.

"Terima kasih, Rukia… karena kehadiranmu… hidupku berubah menjadi lebih baik… aku tak pernah menyesalinya, sungguh…. Aku akan selalu berdoa yang terbaik untukmu, semoga kau bahagia karena kau pantas untuk itu."

Ichigo lalu masuk ke dalam mobilnya dan Rukia tersentak ketika pintu mobil telah tertutup rapat. Rukia terpaku di sana. Ichigo sudah benar-benar ingin merelakannya, menghentikan segala perjuangannya. Memang itulah tujuan awal Rukia, saat ia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan menetap di Garganta. Tapi… itu bukanlah keinginan hatinya. Air matanya menetes tatkala mesin mobil mulai dihidupkan. Hatinya menjerit tak ingin Ichigo meninggalkannya, tapi ia tak bisa memohon agar Ichigo tak pergi.

Sementara Ichigo bersikap acuh tak acuh di dalam mobil, berusaha tak peduli dengan tetap menatap ke depan, ia sadar, jika ia menoleh sedikit saja, maka runtuhlah segala pertahanannya.

Air mata Rukia semakin menderas ketika mobil itu bergerak menjauh darinya. Dia yang seperti orang yang tak bisa melakukan apapun untuk Ichigo yang telah banyak berjuang untuknya, hanya bisa berdiri sambil menangisi kepergian Ichigo. Hatinya mengumpatnya bahwa ia memang tak pantas untuk mendapatkan cinta Ichigo, karena sebenarnya ia tak pernah mengorbankan apapun…

Rukia menghapus air matanya yang tak jua redam. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, bahwa sebenarnya pena ceritanya masih membisu, masih mengambang di genggamannya, menggantungkan kisah cinta yang belum usai. Ia berusaha keras menguatkan hatinya untuk mulai menggoreskan tinta-tinta itu, memberanikan dirinya tuk merangkaikan kembali cerita yang sempat terhenti, walau ia tak tahu pasti bagaimana ujung dari cerita itu. Dialah yang harus menyelesaikannya… berjuang untuk cinta sejatinya, inilah waktunya.

Ia menggerakkan sepasang kaki kecilnya, melangkah cepat dan kemudian berlari mengejar mobil Ichigo, mengejar pria yang ia cintai, tak peduli berapa kecepatan mobil yang mulai mlaju kencang darinya. Air matanya berlinang, hatinya terus memanggil nama Ichigo.

Urahara yang duduk di depan bersama sopir, menurunkan jendela samping sehingga tampaklah Rukia yang sedang berusaha mengejar mobil mereka dari kaca spion samping.

"Wew, Kuchiki-san mengejar mobil ini, Ichigo!" serunya, "apa kau tidak kasihan sama sekali?"

Ichigo refleks memajukan punggungnya, matanya terbuka lebar-lebar, menatap ke arah kaca spion untuk membuktikan ucapan Urahara. Tubuhnya bergeming kaku melihat Rukia yang benar-benar mengejarnya, saking tercengangnya, ia sampai tak bisa menguasai dirinya dari rasa ketidakmenyangkaan. Rukia benar-benar mengejarnya… dengan linangan air mata.

Urahara mendesah, "kasihan sekali Kuchiki-san, aku saja tidak sampai hati melihat dia seperti itu!" ia menggeleng tak tahan lalu menutup kembali kaca mobilnya.

Ichigo masih saja terdiam sambil memandang ke arah spion kaca dengan mulut sedikit menganga, keterkejutan masih menguasainya. Namun, ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Rukia berhenti dan duduk jongkok mendekap kedua kakinya seraya menangis sejadi-jadinya. Sungguh, tak pernah Ichigo melihat gadis itu menangis sedemikian, dan yang membuat gadis itu menangis, adalah diri Ichigo sendiri.

"Berhenti!" perintah Ichigo pada sang sopir dengan lantangnya, "berhenti cepat!" Namun, mobil itu tak bisa segera berhenti, memuat Ichigo langsung naik darah. Ia mengetok keras kepala si sopir. "Sudah kubilang berhenti! Kau tidak punya telinga, apa?!" bentaknya.

"Aduh, Tuan… ini juga sudah mau menepi."

Perlahan-lahan mobil menepi dan Ichigo langsung buru-buru turun dari mobil. Dia balik melihat Rukia yang masih duduk di aspal sambil menangis, Ichigo berlari kencang menghampiri Rukia.

Begitu sampai, Ichigo langsung memeluk Rukia, memeluk penuh sayang meluapkan segala perasaannya lewat pelukan itu.

"Tidak bisa… aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini, Rukia…aku tidak kuat, kau menangis karenaku. Maafkan aku, Rukia…"

Beberapa menit mereka tak mengatakan apapun, yang terdengar hanya suara isakan tangis Rukia yang membuat Ichigo semakin luluh dan menyesali sikapnya.

"Ichigo… aku mencintaimu…"

Ichigo terkesiap, matanya melebar kaget. "Katakan lagi, Rukia!" pintanya.

"Aku mencintaimu, Ichigo…"

Pria itu tersenyum bahagia, dieratkan pelukannya seakan gadis yang kini tenggelam dalam dekapannya adalah benar-benar miliknya, begitu bahagianya ia. Jika dulu Rukia menyatakan cintanya secara tak langsung, kini gadis itu menyatakannya secara jelas.

Beberapa menit kemudian Ichigo melonggarkan pelukannya, ditatapnya lekat-lekat wajah Rukia. Ia menangkup lembut wajah itu, mengusap bawah mata yang basah itu dengan jempolnya. "Aku mencintaimu, Rukia… sangat dan akan terus seperti itu…"

Rukia mengangguk kecil, "aku tahu, aku tahu," gumamnya.

Ichigo lalu menempelkan wajahnya dengan sayang ke wajah Rukia hingga ujung hidungnya menyentuh pipi gadis itu. Kedua mata mereka terpejam, menikmati cinta yang akhirnya benar-benar tersampaikan.

.

.

.

Siang itu, Byakuya dan Hisana dikejutkan oleh kepulangan adiknya. Awalnya, begitu mendengar pelayan memberitahunya bahwa Rukia kembali ke mansion besar itu, kedua pasangan Kuchiki itu begitu senang dan buru-buru menuju ruang tamu untuk menemui adik tercinta mereka. Namun, apa yang mereka temukan, bukan hanya adiknya seorang, melainkan pria berambut orange mencolok juga berada di sana, sedang menatap kepala keluarga Kuchiki itu dengan tatapan menantang.

Byakuya sangat tidak menyukai kehadiran pria itu, ia belum lupa apa yang sudah pria itu lakukan pada adiknya. Siapa yang bisa memaafkan seseorang yang telah membawa kabur adiknya saat sang adik sedang sakit?

Tapi, Byakuya sampai tak bisa berkata apa-apa, begitupun dengan Hisana. Dua muda sejoli itu kini berdiri di hadapan mereka, saling berpegangan dengan jari-jari saling bertaut, dan Byakuya benci melihat wajah tak gentar Ichigo.

"Kurasa kau pasti sudah tahu kedatanganku bersama Rukia," ucap Ichigo agak lantang, "aku membawa Rukia ke sini untuk melamarnya."

Alis Byakuya mengerut dalam. Bukan karena niat Ichigo yang datang untuk melamar adik angkatnya yang membuatnya tak senang, tapi cara pria itu menyampaikan tujuannya. Begitukah sikap seseorang pada orang yang mungkin akan menjadi iparnya, benar-benar tak ada tata krama.

"Dulu kau sendiri yang bilang, kau akan menerimaku setelah aku menjadi seorang pria yang pantas untuk Rukia? Sekarang, aku menangih janjimu!"

Rukia menoleh menatap Ichigo sambil tersenyum bahagia, tapi Byakuya tak senang melihat adiknya menatap Ichigo seperti itu.

"Rukia, masuk ke dalam!" perintah Byakuya, namun yang disuruh pun masih berada di sana, berdiri di samping Ichigo, "Rukia…!"

"Tidak mau," sahut Rukia melawan, "aku ingin menemani Ichigo…"

Byakuya geram. Apa tidak salah? Adik angkatnya yang begitu patuh sekarang mulai melawan?

"Walaupun Nii-sama tidak menerima Ichigo, aku tetap akan menikah dengannya… karena aku mencintai Ichigo."

Kali ini giliran Ichigo yang menoleh tersenyum bahagia menatap Rukia. Tak peduli orang lain menolak dan tak menerima hubungan mereka, asalkan, yang terpenting adalah Rukia bersedia dan memilihnya dengan tegas.

Byakuya mendengus marah, ia ingin sekali memanggil satpam dan mengusir pria berambut orange itu, tapi baru kali ini ia melihat sinar mata adiknya yang memancarkan kebahagiaan. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu tampak kelam jika ia mengunjunginya di Garganta.

Byakuya menghela napas. Walaupun sepenuhnya ia belum bisa menerima keputusan Rukia, tapi ia juga tak ingin menghalangi kebahagiaannya.

"Jika itu keputusanmu… aku pun tak bisa berbuat apa-apa," lirih Byakuya mengalah, berusaha bersikap bijak, terdengar terpaksa memang.

Ichigo tercengang, tapi ia sangat senang. Akhirnya, si wajah dingin itu mau menerimanya walau terkesan tak ikhlas.

"Tapi…"

Mendadak perasaan Ichigo dan Rukia tak enak.

"Aku tak mau melihat kau menatap Rukia seperti tadi sebelum kau benar-benar menjadi suaminya!" Byakuya memperingatkan dengan penuh penekanan.

Kening ichigo mengerut. Memangnya apa yang salah dengan caranya menatap Rukia? Ichigo tak merasa ia sedang menatap mesum atau melecehkan, tapi tak mengapa karena Byakuya sudah menerimanya.

"Sebelum kau menikahi Rukia, aku tidak mau lihat kau terlalu dekat dengan Rukia!" tambah Byakuya, "dan kau Rukia, jaga dirimu dari pria itu sebelum kau menjadi istrinya!"

Senyum sumringah langsung merekah di wajah manis Rukia. "Terima kasih, Nii-sama…"

"Masuklah!" perintah Byakuya pada Rukia, lalu Rukia melangkah ke belakang Byakuya. "Dan kau," ia menunjuk wajah Ichigo, "cepat pulang dan ceritakan pada ayahmu, aku ingin kau melamar adikku tidak dengan cara seperti ini!"

"Baiklah!" sahut Ichigo sambil tersenyum penuh semangat dan percaya diri, ia menoleh menatap dalam Rukia.

Byakuya sebenarnya ingin protes karena lagi-lagi Ichigo menatap Rukia dengan tatapan yang entah menurut Byakuya tatapan itu adalah tatapan tak pantas.

"Aku pulang dulu, Rukia," pamit Ichigo dan dibalas dengan anggukan pelan Rukia lalu pria itu berbalik dan pergi dari sana.

Byakuya geram melihat Ichigo yang kini melenggang dengan santainya dari kediaman itu, sama sekali tak pamit padanya yang sebenarnya adalah tuan rumah. Benar-benar orang yang tak tahu tata krama dan bisa-bisanya pria semacam itu yang akan menjadi adik iparnya…

.

.

.


To be Continue/ The End (yang mana aja deh #LOL#)


sorry ya temanzz. juzie hampir aja lupa buat apdet fic ini #plakk# hihihihihi... biassa... dunia nyata lg banyak masalah #padahal authornya lg sibuk pacaran#LOL

Sebenarnya ini adalah chap terakhir tapi… tapi… tapi… aku kok merasa ga afdol ya klo mereka beloom nikah #LOL#

Hehehe… jadi chap selanjutnya cuma tentang pernikahan mereka aja kok #author lagi senyum-senyum gaje#

Guest. Hihihihi… nih endingnya, ga menderita lagi kok, hihihihihi… Semoga kamu seneng. Ini udah apdet, tengkyu udah ripiu :)

Yuki chan. Salam kenal Yuki-chan. Hehehe… iya novel, novel gaje… #LOL# ini udah apdet, tengkyu udah ripiu :)

Yang log in lewat pm seperti biasa ya cyint… :*

oh ya. sorry ya klo typo nya banyak bgt (kayaknya) T.T. habis bener-bener waktu buat apdetnya pendek banget T.T