Summary: Hasil tes yang dibagikan hari ini sudah cukup buruk, ditambah lagi sang Sensei yang tiba-tiba memanggilnya ke ruang guru. Jadi, siapa lagi pemuda yang tingginya bagai tiang listrik ini?/ "Hinata-kun, ini Tsukishima Kei. Dan dialah yang akan menjadi tutor barumu."/ "HAH?!"
Warning: Alternative universe. OOC (saya usahakan sebisa mungkin in character, tapi mohon dimaklumi jika tetap terasa out of character). Shounen-ai.
Don't like, Don't read
Rate: T
Genre: Romance
Disclaimer:
Haikyuu! (c) Haruichi Furudate-Sensei
Fanfic: Tutor (c) Hanabi Kaori
Cover Picture (c) 勘 ついった
Main Pair:
Tsukishima Kei x Hinata Shoyo
.
.
.
Keringat dingin untuk yang kesekian kalinya kembali mengalir dari kening Hinata, sebuah wujud kecil dari perasaan takut yang kini tengah ia rasakan. Dalam ketakutannya, ia tetap bisa mendengar satu persatu nama teman-temannya dipanggil. Detak jantungnya serasa makin tak beraturan.
"Hinata Shoyo."
DEG!
Tubuh mungil Hinata mendadak kaku. Lupakan segala getaran ketakutan yang dirasakan olehnya sedari tadi, kini ia hanya bisa diam membatu.
"Hinata-kun, tolong segera maju ke depan."
Meneguhkan hatinya, dengan gerakan kaku bagaikan robot Hinata mulai bangkit dari tempat duduk. Sekilas menelah ludah paksa, Hinata yakin perhatian seluruh penghuni kelas kini tengah tertuju ke arahnya seorang. Langkahnya berat, kedua kakinya seperti ditahan oleh beban yang beratus-ratus ton beratnya. Berlebihan... itu hanyalah delusimu semata Shoyo.
Dengan langkah beratnya Hinata berhasil tiba di depan kelas, tepat di hadapan meja guru. Kembali berusaha untuk menguatkan hatinya, bersiap menghadapi apapun yang akan ia lihat nanti. Dan detik berikutnya, sang Sensei menyodorkan sesuatu ke hadapannya. Kedua iris coklatnya langsung mengecil seketika, dan pikirannya mendadak kosong ketika menatap benda tersebut.
"Hinata-kun, harus belajar lebih giat lagi ya."
Selembar kertas putih yang dihiasi coretan merah hampir di segala bagiannya.
Senyuman penuh rasa keprihatinan sang Sensei pun sepertinya tak membantu sama sekali. Angka 5 yang kesepian tanpa pasangan itu terpampang jelas di kotak nilainya.
Hinata Shoyo, kelas 1-1. Yakin sepenuh hati bahwa sang Ibu akan menjadikannya daging cincang sebagai santap malam keluarga hari ini.
.
— Tutor —
.
Pemuda dengan rambut orange cerah itu kembali membuang nafas berat, lalu menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan di atas meja. Lelah. Secara batin ia sungguh sangat lelah. Hinata tak peduli lagi bahwa bel istirahat makan siang sudah berbunyi sejak semenit yang lalu, Hinata juga tak peduli pada perutnya yang mulai berisik minta diisi. Ia juga tak peduli pada sang sahabat yang sejak tadi memandangnya dengan wajah khawatir. Wajar kalau khawatir, karena Hinata yang biasanya lompat ke sana kemari layaknya monyet liar itu tiba-tiba saja berdiam diri tanpa suara.
"Oi Hinata, kau masih hidup kan?" Kageyama —sahabat Hinata— bertanya sambil sesekali menyentuh gumpalan orange kepala Hinata dengan ujung jari telunjuknya, takut-takut kalau si anak justru sudah tidak bernapas. Tak juga menerima jawaban, pemuda tinggi bersurai hitam itu memutar posisi duduk sepenuhnya untuk menghadap ke arah Hinata. "Berhentilah depresi seperti itu! Memangnya sejelek apa sih hasil tesmu?"
Hinata mengangkat sedikit wajahnya, menunjukkan pada Kageyama sepasang iris coklatnya yang nampak berkaca-kaca. Shit... Kageyama baru tahu kalau Hinata bisa memajang tampang moe macam itu. Masih tak juga bersuara, Hinata hanya menyerahkan lembar hasil tesnya pada sang sahabat. Dahi Kageyama mengernyit ketika menatap lembaran tersebut. Dia tahu kalau Hinata itu memang bodoh, tapi masa' iya sampai separah ini? Bukan bermaksud sombong... Kageyama juga tidak pintar, tapi setidaknya nilai yang ia dapat tak separah Hinata.
"Memang kau dapat berapa?" sang surai orange akhirnya kembali bersuara.
"Empat puluh. Sama jeleknya kan?" jawaban santai Kageyama entah mengapa membuat Hinata marah. Dengan gerakan yang cepat, ia bangkit dan langsung menggebrak meja dengan keras.
"Empat puluh kau bilang jelek?! Paling tidak nilaimu itu dua digit tahu! Coba lihat saja nilaiku! Hanya ada satu digit! Satu digit, Kageyama!" Hinata meledak, meluapkan segala emosinya yang terpendam sedari tadi. Di sisi lain Kageyama hanya bisa terdiam kaget, berusaha mentelaah keadaan tanpa tahu harus membalas apa. Sial amat, dia baru saja diamuk oleh seekor monyet liar.
Puas mengamuk, Hinata kembali terduduk lemas di bangkunya. Setidaknya kini perasaannya sudah lebih ringan dari pada sebelumnya. Aaa... tapi sekarang perutnya kembali berbunyi minta diisi. Ternyata mengamuk membuatnya semakin merasa lapar, dan ia sudah terlalu lelah untuk sekedar membeli roti di kantin.
"Ini," mengangkat wajahnya yang tertunduk, Hinata langsung bertemu pandang dengan sekotak susu. "Minum, kalau kau tidak mau mati kelaparan," lanjut Kageyama lagi. Kalimatnya memang agak melebih-lebihkan, Hinata tak akan mati hanya karena melewatkan makan siang sekali. Mengerti bahwa itu adalah wujud perhatian sang sahabat, Hinata perlahan mengambil kotak susu tersebut.
"Terima kasih, Kageyama," dengan senyum cerahnya, Hinata mulai menikmati. Sedangkan yang namanya disebut hanya mengangguk sekilas sebagai jawaban.
"Ah! Hinata-kun!" merasa namanya dipanggil, Hinata menoleh ke arah suara itu berasal. Nampak seorang pria berkacamata tengah melambai ke arahnya dari pintu masuk kelas. Hinata pun bangkit dari kursinya.
"Takeda-sensei, ada apa?"
"Sepulang sekolah nanti, datanglah ke mejaku," Takeda kembali menampilkan senyum andalannya seraya menepuk pelan pundak Hinata, tingkah guru bahasa inggris tersebut semakin membuat Hinata bingung.
"Uhm... memang ada apa, Sensei?"
"Sudahlah. Akan kujelaskan selengkapnya nanti," Tanpa mempedulikan kebingungan sang murid, Takeda berlalu meninggalkan Hinata yang berdiri di ambang pintu kelas. Tanda tanya besar menggantung di kepala Hinata, untuk apa sang guru memintanya datang ke kantor sepulang sekolah nanti? ...eh? jangan-jangan... ini ada sangkut pautnya dengan nilai tes bahasa inggrisnya yang baru dibagikan hari ini. Hinata berjalan kembali ke kursinya sembari mengacak surai orangenya dengan kasar.
"Ada apa?" pertanyaan Kageyama membuatnya melirik ke arah si surai hitam.
"Takeda-sensei ingin aku menemuinya sepulang sekolah nanti," membuang napas berat untuk yang kesekian kalinya hari ini, Hinata kembali menidurkan kepalanya di atas meja.
"Perlu aku temani?"
"Tidak usah, kau duluan saja ke gym," Suara Hinata terdengar aneh, mengingat posisi wajahnya yang masih mencium permukaan meja. Kageyama hanya mengangguk sekilas sebagai tanda mengerti.
"Akan kusampaikan pada Kapten kalau kau terlambat datang latihan," Kageyama lalu menepuk-nepuk kepala pemuda mungil itu, hanya bisa merasa prihatin. Yah... apapun yang terjadi nanti ia terima sajalah.
-.-.-.-
"Takeda-sensei," sesuai perintah, sepulang sekolah Hinata menyempatkan diri untuk mampir ke ruang guru sebelum menuju gym untuk mengikuti kegiatan klub. Bisa dengan jelas dilihatnya sang Sensei yang tengah sibuk dengan beberapa lembar kertas tes siswa di mejanya. Takeda menoleh ke arah Hinata, sekilas menghentikan aktivitasnya bersama lembaran-lembaran kertas tersebut.
"Maaf karena aku tiba-tiba memanggilmu kemari, Hinata-kun. Padahal setelah ini kau masih ada kegiatan klub," guru muda itu tersenyum. Cukup tahu, mengingat dirinya adalah guru pembimbing dari klub yang diikuti oleh Hinata. "Yah... biar aku yang menjelaskannya pada Sawamura-kun, jika kau ditegur nanti. Sekarang ada hal yang lebih penting untung dibahas. Sebenarnya mengenai hasil tes terbarumu—"
"MAAF! AKU PASTI AKAN BELAJAR LEBIH GIAT LAGI!"
Hinata buru-buru memotong sebelum Takeda berhasil menyelesaikan ucapannya. Sembari membungkukkan tubuh sedalam-dalamnya, pemuda itu berteriak. Volume suaranya tak dikira-kira pula. Cukup untuk membuat ruang guru mendadak sunyi senyap, dan seluruh pasang mata dalam ruang itu tertuju pada mereka berdua. Takeda menoleh ke sana-kemari dengan wajah panik, merasa bersalah karena telah membuat kaget semua orang di sana.
Di sisi lain Hinata masih sibuk bergelut dalam pikirannya sendiri, tidak peduli bahwa dirinya hampir saja membuat banyak orang terkena serangan jantung dadakan. Atau setidaknya gangguan pendengaran massal... ketakutannya menjadi nyata. Ternyata Takeda memang memanggilnya untuk membahas nilai tesnya yang hancur lebur itu! Tidak bisa berpikir jernih lagi, hanya minta maaflah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang.
"Uhm... sudahlah, Hinata-kun. Aku mengerti! Sangat bagus jika kau memang berniat untuk belajar lebih giat lagi. Aku memanggilmu kemari bukan untuk mengomelimu!" masih dengan nada panik, Takeda berusaha menjelaskan. Hinata menegakkan tubuhnya lagi, menatap Takeda dengan penuh tanda tanya. Berusaha untuk kembali tenang, Takeda tersenyum seperti biasanya sebelum kembali menjelaskan. "Sebenarnya aku berniat untuk membantumu memperbaiki nilai."
"Eh?"
"Ada salah satu murid di kelas 1-4 yang menurutku kemampuan akademiknya cukup tinggi. Dan kupikir akan lebih mudah bagi Hinata-kun jika materi-materi yang selama ini tidak bisa kau pahami, dijelaskan oleh orang yang sepantaran denganmu. Kalian para remaja punya cara tersendiri untuk berkomunikasi, kan?"
"Huh?"
"Dan aku berhasil membujuk orang itu untuk menjadi guru privatmu sementara ini!"
"Tu—tunggu dulu, Sensei!"
"Permisi."
Baik Takeda maupun Hinata menoleh secara bersamaan, menuju ke arah suara yang memotong pembicaraan mereka tersebut berasal. Coklat yang terang bertemu dengan warna keemasan. Iris coklat Hinata membulat sempurna. Dihadapannya kini berdiri sosok yang sangat tinggi. Mungkinkah tingginya sekitar 190 cm? Pikir Hinata. Dengan tinggi yang hanya 162 cm, Hinata jelas merasa terintimidasi. Selama ini menurutnya Kageyama itu sudah sangat tinggi, ternyata ada yang lebih tinggi lagi ya di sekolah ini?!
"Ah, kau sudah datang. Kemarilah, biar kuperkenalkan," Takeda berdiri, menyuruh pemuda tinggi itu untuk mendekat ke mejanya. Kerutan muncul di antara kedua alis Hinata. Hasil tes yang dibagikan hari ini sudah cukup buruk, ditambah lagi sang Sensei yang tiba-tiba memanggilnya ke ruang guru. Jadi, siapa lagi pemuda yang tingginya bagai tiang listrik ini?
"Hinata-kun, ini Tsukishima Kei. Dan dialah yang akan menjadi tutor barumu."
"HAH?!"
"Dan ini Hinata Shoyo yang kubicarakan tadi. Kuharap kau bisa membantunya, Tsukishima-kun," tidak mempedulikan teriakan kaget yang diserukan Hinata, Takeda melanjutkan acara perkenalannya dengan penuh senyuman. Tsukishima mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Tunggu Sensei, Ini terlalu tiba-tiba!" kini perhatian Takeda dan Tsukishima kembali terarah pada Hinata.
"Aku tahu ini terlalu tiba-tiba untuk kalian, tapi tidak ada pilihan lain lagi Hinata-kun. Bulan depan sudah waktunya ujian akhir semester, setidaknya aku ingin nilai untuk rapormu jauh lebih baik dari pada nilai tes hari ini," Takeda berusaha menjelaskan dengan penuh pengertian.
"Kalau begitu aku bisa minta bantuan Kageyama untuk mengajariku!"
"Hinata-kun... Aku tidak yakin kalau Kageyama-kun bisa membantumu..."
"Ukh..." sungguh tepat sasaran, Sensei. Kageyama juga tak jauh berbeda dengan Hinata, walau sedikit lebih baik sih... karena Kageyama memiliki daya ingat yang terbilang bagus. Namun keduanya sama-sama masuk urutan sepuluh terbaik di kelas. Sepuluh terbaik dari bawah tentunya.
"Meskipun begitu—"
"Bisakah kau berhenti komplain? Bukan hanya kau yang harus dengan berat hati menjalani hal ini, Chibi!" Tsukishima akhirnya ikut bersuara. Hinata berbalik, menatap iris keemasan dari balik lensa kacamata yang dikenakan Tsukishima. Merasa cukup tersinggung dengan panggilan yang di gunakan sang pemuda tinggi untuknya. "Kalau bukan karena Takeda-sensei yang bersusah payah membujuk, aku juga tidak mau buang-buang waktu untuk mengajarimu."
Hinata terdiam, hanya bisa menggigit bibir bawahnya sambil menggeram kesal. Memang benar sih, Takeda sudah bersusah payah agar dirinya bisa memperbaiki nilai. Rasanya tidak pantas juga kalau dia terus-terusan mengeluh seperti ini. Toh ini untuk kebaikannya sendiri.
"Sudahlah kalian berdua," Takeda berusaha menenangkan. "Sisanya kuserahkan pada kalian. Biar kalian yang mengatur jadwal dan cara belajarnya sendiri. Aku yakin kalian sudah bisa melakukan hal itu tanpa pengawasan dariku sekalipun."
"Baiklah, permisi Sensei," keduanya menundukkan badan sekilas sebagai wujud rasa hormat, kemudian berbalik untuk menuju pintu keluar. Takeda hanya bisa menggelengkan kepala melihat kedua muridnya berlalu. Semoga saja dirinya masih punya persediaan obat penyubur rambut di rumah, dengar-dengar stress berlebih bisa membuatnya cepat botak.
"Jadi...?" Hinata berusaha memulai pembicaraan setelah ia dan Tsukishima keluar dari ruang guru. Nampak pemuda tinggi dengan surai rambut berwarna terang itu tengah berpikir, Hinata dapat menebak dari perubahan raut wajahnya walau hanya sekilas.
"Tunjukkan hasil tesmu padaku?" Hinata membuka tasnya, berusaha mencari selembar kertas yang terselip di sana. Begitu menemukan apa yang ia cari, diserahkannya lembaran yang agak kusut itu pada Tsukishima. Wajah datar Tsukishima kembali berubah begitu melihat hasil tes tersebut. Hinata tak bisa menebak itu ekspresi kaget, atau ekspresi ingin menghina yang terpajang di wajah Tsukishima. "Sebenarnya sebodoh apa kau itu?"
Sial... Hinata merasa dirinya seakan-akan tengah ditimpa oleh sebuah batu besar yang sangat berat. Pertanyaan Tsukishima barusan ternyata lurus dan sangat menusuk. Tak juga ada balasan, Tsukishima tahu percuma saja bertanya. Kembali ditatapnya lembar hasil tes Hinata, kemudian berdecak kesal. Wah, kalau sampai separah ini sih, dia juga harus kerja keras. Merepotkan saja.
"Cuma hasil tes bahasa inggris saja? Tidak ada yang lain?"
"Yang lainnya ada di rumah."
"Yakin ada di rumah? Belum kau bakar sampai jadi abu karena malu melihat hasilnya?"
"Hah?! Enak saja kau!" seringai kecil tercipta di wajah Tsukishima, cukup terhibur dengan reaksi yang diberikan oleh Hinata. Mungkin memang merepotkan, tapi sepertinya menjadi tutor sementara untuk anak ini tidak akan membosankan.
"Baiklah, besok kau bawa semua hasil tesmu yang mengerikan itu. Kita mulai pelajarannya besok. Setiap pulang sekolah, di perpustakaan," Hinata hanya bisa menganga. Setiap hari nih? Yang benar saja! Apalagi waktunya setiap pulang sekolah.
"Tunggu dulu! Setiap hari? Kau gila ya! dan setelah pulang sekolah aku ada kegiatan klub!"
"Semakin cepat kau bisa menguasai materinya, berarti semakin cepat juga aku akan terbebas dari tugas yang merepotkan ini. Aku juga tidak peduli soal kegiatan klubmu itu, kau bisa ikut kegiatan klub setelah jam belajar kita selesai! Dan tidak ada tawar menawar lagi!" Tsukishima berbalik sembari menenteng tasnya, kemudian mulai melangkah pergi. Meninggalkan Hinata yang menggerutu kesal dengan tidak jelas.
"Tsukishima! Kau menyebalkaaannnn!"
Iris keemasan pemuda itu berkilat jenaka. Ah, Tsukishima Kei tidak salah. Sepertinya menjadi tutor sementara untuk Hinata Shoyo tidak akan membosankan. Anggap saja sebagai pengisi waktu luang.
-.-.-.-
Setelah mengganti bajunya secepat kilat, Hinata segera pergi menuju gym menyusul anggota klubnya yang lain. Dan sesuai dugaan, latihan memang telah dimulai sedari tadi.
"Kapten, maaf aku terlambat!" Daichi —sang Kapten— menoleh ketika mendengar teriakan Hinata, menatap sang adik kelas yang tengah berdiri di ambang pintu masuk gym dengan napas yang tak beraturan.
"Hinata santailah sedikit, tidak perlu buru-buru seperti itu. Kageyama sudah bilang kalau kau terlambat karena dipanggil oleh Takeda-sensei," Daichi berjalan menghampiri Hinata bersama dengan beberapa anggota klub voli lainnya. Berusaha untuk menormalkan kembali napasnya yang terputus-putus, Hinata meraih botol air mineral yang ditawarkan oleh Sugawara dan meneguknya sampai hanya tinggal setengah.
"Dasar bodoh, untuk apa kau berlari seperti itu?" ujar Kageyama. Pemuda bersurai hitam itu mengelap tetesan air yang mengalir turun ke arah dagu Hinata dengan ibu jarinya. "Minumpun berantakan. Berapa sih usiamu sekarang?"
"Kageyama, jangan menggoda Hinata!" Sugawara memperingatkan, sedangkan Hinata hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal. Inginnya sih dia membalas hinaan Kageyama barusan, tapi ada hal yang lebih penting untuk dia sampaikan kepada rekan-rekan setimnya sekarang.
"Kapten... sebenarnya aku ingin minta izin."
"Minta izin?" Daichi menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Ehm... itu... mungkin untuk sementara waktu aku akan selalu datang terlambat untuk latihan..."
"HAH?" anggota klub voli lainnya berseru secara bersamaan. Hinata sendiri hanya bisa menciut menghadapi reaksi para rekannya. Payah! Gara-gara si Tsukishima itu sih!
"Oi! Apa maksudmu 'akan selalu datang terlambat', huh?" Kageyama mencengkram kerah t-shirt Hinata. Wajar saja kalau Kageyama marah. Diantara para anggota klub lainnya, mereka berdualah yang paling giat latihan!
"Jangan marah dulu, Kageyama! Aku punya alasannya!" secepat mungkin Hinata menjelaskan alasan miliknya pada yang lain.
Mulai dari nilai tesnya hari ini yang amat mengerikan, untungnya ada Tanaka dan Nishinoya yang pengertian —atau senasib sepenanggungan—. Lalu berlanjut dengan panggilan dari Takeda-sensei, dan perkenalannya dengan pemuda menyebalkan bernama Tsukishima Kei. Dan cerita panjang itu diakhiri kesepakatan sepihak yang dibuat oleh Tsukishima berhubungan dengan jadwal belajar mereka.
Daichi dan beberapa anggota lain hanya bisa tersenyum dipaksakan, tidak tega juga jika ingin tertawa. Sugawara menepuk-nepuk pundak Hinata perlahan, berusaha meringankan beban perasaan sang adik kelas. Tanaka dan Nishinoya sudah sibuk tertawa lepas sedari tadi, mengabaikan omelan yang disuarakan oleh sang Kapten. Dan Kageyama hanya diam dengan wajah angker, dalam hati masih menyalahkan kebodohan Hinata hingga harus mengorbankan latihan.
"Yah... kita tidak bisa memaksa kalau ini memang perintah Takeda-sensei," Daichi menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya ragu karena Hinata termasuk spiker andalan mereka.
"Tapi, Kapten—"
"Aku yakin Takeda-sensei tidak mungkin asal mengambil keputusan," Sugawara memotong ucapan protes yang hendak dilontarkan Kageyama. "Lagi pula kita tidak punya pertandingan penting dalam waktu dekat ini kan, Daichi?" yang lainpun diam mendengarkan, merasa bahwa ucapan Sugawara barusan tak salah.
"Masalah ini paling lama hanya sampai ujian akhir semester bulan depan saja, kan? Baiklah Hinata, kau mendapat izinku," Daichi meletakkan tangan kanannya di bahu Hinata, menepuknya pelan. Hinata membuang napas lega, meski detik berikutnya tubuh mungil itu kembali menegang ketika tak sengaja menatap sosok Kageyama yang masih berdiri dengan wajah angker di belakang Sugawara.
Izin dari Kapten klub memang berhasil diurus, tapi izin dari sang sahabat sekaligus patnernya itu masih sulit untuk didapat.
.
— To Be Continued —
.
Hana: Terima kasih telah menyempatkan diri untuk membaca karya saya di fandom Haikyuu ini!
Sebelumnya saya minta maaf jika ada yang tidak berkenan dengan pair Tsuki*Hina. Saya tahu pair ini masih sangat langka di kalangan shipper Haikyuu Indonesia. Namun pair ini sendiri sudah cukup dikenal oleh para pengguna Pixiv dan Tumblr. Meski kali ini saya membuat fanfic dengan pair Tsuki*Hina, OTP saya tetaplah Kage*Hina. (gomen Tsukki...)
Karenanya mungkin dalam fanfic ini nantinya juga akan terselip beberapa hint Kage*Hina. Cukup sekian, dan sebelumnya mohon maaf jika banyak typo, EYD yang salah, Alur terlalu cepat atau tidak jelas! Yang pasti, Hana juga manusia biasa yang bisa salah! Silahkan tinggalkan review ataupun flame sesuka anda! ^w^
.
'Only stupid Author competing to beat fellow pair ...
fic made with the heart... not by hatred...'
By
Hanabi Kaori