Normal POV

Kembali, ia berpikir bahwa semuanya sama sekali tidak masuk akal.

Waktu kian melambat, perputaran bumi seolah tidak pernah ada. Kendaraan yang berguna untuk membawa barang bawaan pun sama sekali tidak ia pedulikan. Kini, pandangannya hanya tertuju pada satu—siluet yang tak kasat mata itu hanya bisa tersenyum.

Miyuzuki Aika sama sekali tidak pernah menyangka hal tersebut.

Dan saat melihat sosok itu menyeringai, barulah ia tersadar.

"MIYUZUKI!"

Bahwa dirinya tengah terlibat dalam suatu permasalahan yang tidak terduga.

CKIIIIT!

Dunia seolah berhenti berputar, tubuh terlempar dan terpelanting dengan sangat keras. Manik hijau membulat tak percaya, rasa sakit di seluruh tubuh langsung terasa. Ia terjatuh, berputar keras di aspal, membuat tubuhnya langsung lecet dalam beberapa detik saja. Semua kian melambat. Teriakan muncul entah darimana. Langit yang ia lirik dari atas berputar-putar seiring dengan tubuhnya yang tidak bisa ia jaga keseimbangannya.

BRAKH!

"—!?"

Ia terbatuk, kepalanya terbentur, rasa sakit semakin menderu. Perlahan namun pasti, Aika kembali menyadari apa yang sudah terjadi. Mata menyipit akibat likuid asing yang mengalir, sel-sel otak semakin tidak berfungsi. Ia merasa ada beberapa organ dalamnya yang hancur, itu berakibat fatal pada otak yang mencoba untuk mengerti dengan situasi.

"Hh... ahk—uhk!"

Rambutnya acak-acakan dan kotor akibat aspal serta udara di kala malam. Batu-batu kerikil kembali menggoresi lengan serta seluruh tubuhnya. Ia mencoba untuk menarik napas, namun penglihatannya langsung buram ketika ia mencoba untuk bertahan. Terbatuk kembali, mata menyipit saat menyadari bahwa kesadaran tak lagi berfungsi.

"Hei! Panggil ambulans! Cepat!"

"A-Apa yang terjadi!?"

"Dia masih muda, kasihan sekali..."

"Tunggu sebentar! Masih ada korban lagi!"

Samar-samar ia dapat mendengar berbagai suara dengan macam-macam nada. Ia dapat merasakan rasa asin akibat darah yang tengah keluar dari mulutnya. Meski begitu, ia mencoba untuk mempertahankan kesadaran sampai bantuan datang.

"T-Tuan, Anda masih belum boleh bergerak—!"

"Singkirkan tangan kotormu itu dariku!"

Mulutnya terbuka dan menutup, mencoba untuk menarik napas selagi ia masih bisa mempertahankan posisinya. Namun ia dapat mendengar satu suara yang tak terasa asing. Dengan segala kekuatan, ia melirik. Manik hijau itu kembali menemukan warna merah di antara warna-warna gelap. Di kala bintang tengah bersinar, ia mendapati Akashi Seijuurou jatuh terduduk dengan wajah panik luar biasa.

Aika dapat merasakan belaian lembut di kepalanya. Ternyata Seijuurou meletakkan kepalanya ke dalam sebuah pangkuan. Tangan besar itu menepuk-nepuk pipinya perlahan, mencoba untuk tetap menyadarkan gadis itu sebelum ia menutup mata.

"A-A-Ak-Aka—"

Seijuurou menahan napas, wajahnya kembali mengeras. "Jangan berbicara, Miyuzuki. Kau sekarat."

Sebuah perintah dijalankan, membuat Aika langsung bungkam. Ia tak berbicara apa-apa, hanya memandangi Seijuurou yang juga berantakan. Wajahnya terluka, ada lebam ringan di sikut dan kepala. Napas pria itu memburu, manik merah-kuningnya terlihat ketakutan. Aika sama sekali tidak mengerti apa yang tengah terjadi saat ini.

"Jangan tutup matamu. Aku sudah menelepon Shintarou untuk membawa bantuan kesini."

Aika tidak tahu siapa itu Shintarou. Yang jelas, ia berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan kesadarannya. Entahlah, ia juga mendapatkan firasat bahwa bila dirinya menutup mata, meski hanya untuk beristirahat sedikit saja, maka hal buruk akan datang dan berdampak untuk kehidupannya.

Gadis itu terdiam beberapa menit. Mereka berdua mengabaikan para penduduk yang terlihat panik. Mereka hanya terduduk disana, menatap satu sama lain, duduk di aspal dingin yang dikelilingi oleh keributan tak berarti. Aika dapat melihat seorang pemuda yang dulu sering ia sumpahi. Ia pun sama sekali tidak menyangka bahwa Akashi Seijuurou-lah yang datang ketika dirinya tengah dalam bahaya.

Untuk pertama kali dalam hidup, Aika sangat bersyukur dengan kemunculan Seijuurou.

.

.

.

UNDERWORLDS II

Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi

World by stillewolfie

Underworlds by stillewolfie

[Akashi S. & Miyuzuki A./OC]

OOC, OC, AU, typos, etc.

.

.

when everything is about to spin...

.

.

CHAPTER XVIII. Anxiety

.

.

Seijuurou dapat merasakan ketakutan.

Ia takut. Ia cemas. Ia khawatir.

Akashi Seijuurou yang dikenal dengan ketenangannya dalam membuat sebuah keputusan, tengah dilanda oleh sebuah kepanikan yang mengerikan. Ia dapat merasakannya—sebuah kecemasan karena suatu hal. Pria itu yakin bila ia tidak mencegah, maka Seijuurou akan dilingkupi oleh rasa bersalah yang luar biasa. Ia tidak mau. Seijuurou sadar ia selalu benar. Maka dari itulah, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia membuang harga dirinya sebagai seorang Akashi dan berlari secara membabi buta—tanpa sadar ia sudah menggunakan stamina basketnya semasa SMA.

Seijuurou tidak tahu bahwa melihat gadis itu melangkah lebih jauh adalah hal yang tepat. Ia dapat merasakan sebuah kekhawatiran samar ketika menatap kepergian Miyuzuki Aika. Sembari memegang kantong belanjaan, ia menunggu di depan toko elektronik, memandangi punggung sang gadis yang melangkah perlahan menuju tempat yang tak ia ketahui.

Untuk sekian detik, tiba-tiba Seijuurou mengernyit heran. Ia dapat melihat langkah Aika yang terhenti. Dari kejauhan saja, ia sadar bahwa gadis itu sama sekali tidak fokus. Tingkahnya semakin membuat pria itu heran kala dirinya mendapati Aika terdiam di persimpangan jalan, mengabaikan para pejalan lain yang melewati dirinya.

Disana, gadis itu terlihat syok. Ia ketakutan.

Seijuurou langsung menyadari ada fakta yang salah.

Otak langsung berjalan, menyadari berbagai kesalahan dan mengamati situasi yang ada. Manik emperor tiba-tiba menyala, wajah diliputi oleh keterkejutan, dan kantong belanjaan langsung terjatuh tanpa alasan. Langkah pemuda itu terlihat nyaring dan lambat. Kaki gemetar kala menyadari ada sebuah kendaraan yang melintas menuju seorang perempuan yang terdiam seperti kehilangan jiwa.

"Hei, awas! Miyuzuki!"

Tidak direspon sama sekali.

"Miyuzuki!"

Ia dapat melihat ada sebuah perubahan.

"MIYUZUKI!"

Seijuurou merasa ada sepercik harapan ketika melihat kepala itu menoleh. Tangan terbentang mencoba untuk menggapai—namun seperti semua sudah disengaja, tubuh ringkih itu terpental dan Seijuurou pun juga terkena imbasan.

Mereka berdua terjatuh. Meski begitu, tetap saja Aika-lah yang merasakan serangan yang lebih fatal. Sedangkan Seijuurou sendiri hanya mempunyai lebam karena benturan ringan, serta kaki kanannya patah akibat terkena langsung permukaan mobil pengangkut.

Dilatarbelakangi oleh kepanikan masyarakat, Seijuurou mencoba untuk berdiri dan memandangi tubuh Aika yang bersimbah darah.

Jantung berpacu cepat, manik mengecil karena merasakan sebuah ketakutan yang amat sangat.

Tidak tidak tidak tidak—

Ucapan menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja langsung terngiang.

Dia terluka parah, apa yang harus kulakukan—

Demi apapun, Seijuurou takut.

Miyuzuki tidak akan mati, 'kan? Oh ayolah, itu tidak mungkin—

Tangannya menggapai ponsel dan menekan satu tombol, dimana peringatan itu ditujukan untuk temannya yang saat ini sangat diandalkan, Midorima Shintarou, yang setahunya merupakan dokter spesialis yang memiliki rumah sakit di pusat kota. Setelah selesai dengan panggilan mendadaknya, mengabaikan rasa sakit tak terkira dari sekujur tubuhnya, Seijuurou bangkit dan berjalan dengan langkah tertatih. Matanya kini hanya tertuju pada satu: gadis yang tergeletak parah dalam keadaan yang tak memungkinkan.

Kehilangan. Aku tidak mau mengalami hal itu—

"T-Tuan, Anda masih belum boleh bergerak—!"

Seijuurou langsung menepis bantuan tersebut. "Singkirkan tangan kotormu itu dariku!"

Yang diinginkannya hanya satu.

Apa dia baik-baik saja?

Sentuhan lembut ia gunakan. Seijuurou hanya terdiam melihat wajah Aika yang bersimbah darah. Layaknya menyentuh benda langka, pria itu menggunakan sentuhan terbaiknya untuk menggapai kepala sang gadis. Ia letakkan tubuh tersebut ke pangkuannya, mengelus puncak kepala Aika sekedar untuk menyakinkan mereka berdua kalau segalanya pasti akan baik-baik saja.

"A-A-Ak-Aka—"

Ada rasa lain yang hinggap di dalam hati. Ingin rasanya ia menangis. Seijuurou menahan napas sekedar untuk mempertahankan harga diri sebagai seorang lelaki. Pria itu menutup rahangnya keras-keras, mencoba untuk tersenyum meski ia yakin Aika tak akan jelas melihatnya. "Jangan berbicara, Miyuzuki. Kau sekarat."

Elusan terus ia lakukan, berharap dengan tingkahnya ini membuat perasaan mereka berdua membaik. Seijuurou terus berfokus pada dirinya, Miyuzuki Aika yang mencoba untuk mempertahankan kesadaran. Ia menghela napas perlahan. Dalam hati, ia merutuk apa saja hal yang membuat kekacauan separah ini.

"Jangan tutup matamu. Aku sudah menelepon Shintarou untuk membawa bantuan kesini."

Aika mengangguk samar. Seijuurou pun kembali terdiam. Ia mengabaikan pertanyaan para petugas keamanan di daerah tersebut. Seperti yang dikatakan dari awal, ia terus berfokus pada perempuan itu. Seorang gadis yang kini menjadi atensinya untuk sementara.

Ada satu hal yang membuat Aika begitu berharga.

Ia menggigit bibir bawahnya, pria itu terus bertahan untuk menumpahkan air mata. Sebersit rasa penyesalan yang ditujukan untuknya seorang. Seijuurou mengutuk dirinya sendiri. Ia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh dan lambat. Kalau saja ia lebih cepat, ada kemungkinan Aika masih selamat dan kerusakan kota tidak akan separah ini.

Seijuurou melirik kearah kanan, ia mendapati pelaku yang kini telah diamankan oleh petugas. Iris heteromatika itu menajam, manik emperor menyala, dan ada sebersit rasa untuk membunuhnya saat ini juga. Seorang pria berumur sekitar empat puluh tahunan itu terlihat ngotot. Di mata seorang Akashi Seijuurou, pelaku yang tak pantas disebutkan namanya itu terlihat membela dirinya dan mengatakan bahwa mereka-lah dalang akibat kecelakaan ini terjadi.

Seijuurou bersumpah ingin membunuhnya, mempermalukannya, menelanjangi pria itu di depan semua orang dan menyiksanya tanpa ampun—sekarang juga.

Dan di detik itu pula, ia merasakan sebuah kehangatan.

Tangan ringkih itu menggenggam tangannya—lemas dan tidak bertenaga. Mereka hanya menyentuh satu sama lain. Seijuurou terhenyak, ia menahan napas ketika melihat lengan Aika terluka seluruhnya. Lecet hingga mengeluarkan darah, tulang tangannya yang retak, serta jari-jarinya gemetar akibat kelumpuhan ringan. Secepat kilat pria itu menghapus air mata yang muncul di kelopak, ia memajukan kepala dan berbisik tepat di telinga seorang perempuan yang amat penting baginya.

"Tak apa. Aku baik-baik saja..."

Aika tidak menjawab, namun matanya hanya berfokus pada Seijuurou seorang.

Suara sirene ambulan membuat pria itu menoleh kearah lain. Segera dia memasang wajah datar andalan kala mendapati seorang pria dewasa mengenakan pakaian formal tengah berlari menuju dirinya, diikuti oleh para bawahan dengan sederet benda-benda rumah sakit yang tak ia tahu.

"AKASHI!" Teriaknya melentang. "A-Apa yang terjadi!?"

Akashi Seijuurou pun menutup kedua mata. Ia mengalihkan Aika pada orang-orang yang lebih ahli. Ketika ia beranjak berdiri, ia membuat seorang Midorima Shintarou terkejut.

Luka-luka itu seharusnya memang wajar karena Seijuurou terlibat dalam sebuah kecelakaan besar. Darah mengucur deras di dahi serta lebam di beberapa tempat membuat Midorima berpikir keras. "Jangan memikirkanku," Seijuurou melangkah terseret-seret, membuat Midorima tersentak dan membeku di tempat. "Selamatkan dia, Shintarou. Aku mengandalkanmu."

Midorima tahu langkah apa yang pertama harus ia gunakan. Hanya saja, ia masih tidak menyangka bahwa Akashi Seijuurou yang itu, mantan kaptennya dulu, yang terkenal dengan segala kelebihan duniawi, tengah berjalan dengan langkah tertatih serta tubuhnya yang hampir kritis. Midorima menggertakkan gigi.

"Tidak," Langkah Seijuurou terhenti. "Kau juga harus ikut dengan kami. Kau korban juga, Akashi. Aku tidak akan membiarkanmu berkeliaran dengan keadaan seperti ini."

Seijuurou membalikkan badan. Ia menatap Midorima tajam. "Kau menentangku?"

Midorima menatapnya dalam diam. "Tentu tidak, Akashi." Ia menghela napas perlahan. Segera saja ia melirik ke belakang, mendapati korban lainnya yang tengah dibawa para perawat menggunakan kasur sementara. "Tapi... kau tidak mau meninggalkannya, 'kan?"

Mengikuti apa yang Midorima maksud, barulah kedua mata Seijuurou terbuka lebar.

Kala itu pula, hatinya tengah menetapkan suatu kemutlakan.

Seijuurou tidak mau pergi dari sisi Miyuzuki Aika.

.

.

~ underworlds ~

.

.

Pukul dua pagi, kegaduhan di rumah sakit pun terjadi. Dengan langkah tergesa para pria dengan berbagai ukuran itu berlari menuju ruangan yang telah ditetapkan. Paling depan, terlihat Kise Ryouta serta Kuroko Tetsuya, sedangkan jauh di belakang terlihat Murasakibara Atsushi dengan remah makanan di tangan. Pria bongsor itu hanya berjalan. Selain tidak bermaksud untuk menyulut keributan, berlari dengan tubuhnya yang besar itu ternyata cukup merepotkan.

Dengan napas terengah, sampailah mereka pada lorong dan menemukan sebuah pintu besi berwarna putih tulang. Sebagai teman yang baik, maka Kise-lah yang memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Membukanya dengan sedikit paksaan tentu merupakan kesalahan, namun mengingat pemilik rumah sakit sudah mengizinkannya, mau tidak mau Kise harus menggunakan seperempat kekuatan untuk sampai di ruangan yang menjadi tujuan mereka.

Kreeek.

"K-Kurokocchi?"

"Mm, aku tahu." Kuroko Tetsuya melongok masuk. Ia melirik Kise yang terdiam di depan pintu. "Biar aku saja, kalian tunggu di luar." Pintanya seraya masuk lebih dalam. Setelah pintu tertutup rapat, barulah ia melongok ke samping kanan. Manik biru mendapati sebuah ruangan persegi yang dilapisi oleh kaca-kaca transparan pada setiap sisi.

Iris sebiru langit itu begitu datar tanpa ekspresi. Namun di dalam hati, ia tak pernah menyangka hal ini akan terjadi.

Di dalam ruangan persegi itu, atau bisa disebut sebagai ruang isolasi, terdapat sebuah kasur yang dilapisi oleh kain-kain transparan. Di dalam kain tersebut terdapat sebuah kasur yang diisi seseorang. Ia berwujud manusia dan berjenis kelamin perempuan. Alat-alat bantuan pernapasan, pengecek detak jantung, serta selang infus yang ditempel di berbagai lokasi tubuh membuat seorang Kuroko Tetsuya membeku. Miyuzuki Aika terbaring di sana, dengan seluruh tubuh diperban—termasuk bagian kepala serta matanya.

Ia seolah melihat seorang mumi terbaring di depan sana.

Suara EKG yang berbunyi menjadi sebuah tanda bahwa sosok tersebut masih hidup. Ada tanda-tanda kehidupan disana, meski jauh di dalam lubuk hatinya, Kuroko menyakini bahwa semua alat itu tak lagi berguna. Dalam sekali pandang, Aika benar-benar jauh dari kata selamat. Bahkan ia sama sekali tidak menyangka kalau gadis itu masih memiliki nyawa meski dalam keadaan mengerikan.

Tekad hati serta keinginan untuk hidupnya benar-benar luar biasa.

Kuroko mendekat ke ruangan tersebut, hanya sebatas bagian sisi kaca, namun manik biru bisa melihat dengan jelas dibalik kain transparan. Miyuzuki Aika, seorang gadis yang dahulu pernah ia temui di perpustakaan kota, serta pernah ia ajak mengobrol banyak hal. Ia masih mengingatnya dengan jelas. Manik birunya meredup seketika. Meski terdengar samar, ia dapat merasakan giginya bergemeletuk, rasa kecewa di dada langsung terasa, serta penyesalan akan dunia kembali dia kenang.

Ini sangat di luar akal sehat.

Entah bagaimana caranya, pemikiran tersebut langsung terlintas di otak.

Menurutnya, untuk kecelakaan lalu lintas, keadaan Aika amat sangat di luar dugaan seorang Kuroko Tetsuya. Ia sudah mendengar kronologisnya secara menyeluruh dari Midorima. Namun, ia sama sekali tidak menyangka kalau kerusakan yang dibuat sangat parah sekali. Sungguh, ini di luar ekspetasinya, ekspresinya langsung mengeras serta helaan napas langsung membuat dirinya terdengar lelah.

Aika tengah divonis tidak sadar semenjak memasuki rumah sakit. Gadis itu benar-benar terkena masa-masa kritis. Jantung melemah, alirah darah melambat, serta darah yang mengucur dari kulitnya yang terbuka membuat para perawat langsung berlari dan mengadakan operasi sementara. Tujuannya hanya satu: menutup luka-luka yang terletak di bagian vital Aika. Hingga saat itu, Midorima memutuskan untuk membawanya ke ruangan khusus—sebuah ruang isolasi yang hanya diperuntukkan oleh orang-orang yang penyakitnya sangat serius.

Kuroko menghela napas.

"Miyuzuki-san... kau mendengarku?" Ia bersuara. "Kau masih mengingatku? Kalau tidak, perkenalkan, namaku Kuroko Tetsuya, teman tim basket dari Akashi-kun."

Suara EKG masih berbunyi.

"Kita memang tidak terlalu mengenal, tapi," Kata Kuroko. "Setidaknya selain Akashi-kun, akulah yang lebih mengenalmu dibanding yang lain. Karena itulah, aku kesini karena ingin menyampaikan suatu hal..."

Kuroko Tetsuya terdiam sejenak, ekspresinya langsung berubah keras dan kecewa.

"Akashi-kun... dia membutuhkanmu. Di sampingnya, Miyuzuki-san."

Ia menutup mata.

"Jadi, cepatlah sembuh..."

Perasaan kasihan langsung melanda. Kekecewaan terhadap keadaan membuat dirinya menelan ludah ketakutan. Ia takut bahwa gadis yang dianggap sebagai 'hal yang berharga' oleh salah satu temannya akan meninggalkan mereka semua. Ia tidak mau. Kuroko dapat melihat dengan jelas bahwa Akashi Seijuurou, mantan kaptennya dahulu, tengah dilanda kegelisahan yang luar biasa. Seijuurou terguncang. Ia butuh pertolongan. Dan saat ini yang paling diinginkannya hanya satu: mengetahui bahwa Aika masih hidup.

.

.

~ underworlds ~

.

.

Midorima Shintarou hanya bisa menahan kekesalan ketika melihat salah satu pasiennya, Akashi Seijuurou, tengah mengabaikan dirinya yang berdiri tepat di depan ranjang. Mata Seijuurou terus memandang ke samping, melirik langit yang menampilkan bulan tanpa bintang. Midorima gerah dibuatnya.

"Akashi, kau tidak perlu cemas begitu." Ia menghela napas. "Dia pasti baik-baik saja. Aku sudah mengirimkan tenaga medis terbaik—nodayo."

Seijuurou menutup kedua mata. Ada kalanya perkataan Midorima memang benar. Ia tidak perlu cemas, ia memiliki seorang teman yang dapat dipercayakan olehnya. Hingga akhirnya pria itu menghela napas dan merilekskan tubuhnya. Rambut yang kian panjang hampir menutupi kedua mata belang.

Tubuh yang kini penuh otot itu tengah diperban di salah satu sisi. Kepala pun termasuk salah satunya. Rasa pusing melanda, tubuh ingin dibaringkan, tapi entah kenapa Seijuurou tak mau melakukannya. Ada sesuatu yang terusik di pikiran. Ini membuatnya tak bisa beristirahat meski hanya sebentar saja.

"Shintarou..."

"Hm?" Midorima menaikkan kacamatanya. "Ada apa—nodayo?"

Jujur saja, Seijuurou sama sekali tidak mengerti. Ia sama sekali tidak bisa menjelaskan kecemasan apa yang ada di dalam diri. Ia tahu ia selalu benar, namun kali ini, logika serta akal sehat mengabutkan segalanya. Pria itu tak bisa berpikir, otaknya seolah buntu. Tidak ada jalan keluar, tidak ada yang di dalam nalar. Segalanya terlihat buram di sepasang mata emperor-nya.

Sebersit masa lalu yang dulu mengusik tiba-tiba terlintas. Ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

Gelap.

Tak terlihat.

Tidak terlintas apa-apa.

Yang ada di pikiran pemuda itu sekarang hanya satu: sebuah nyawa.

Di balik kebingungannya, hati serta pikirannya mempunyai satu permintaan.

Nyawa gadis itu memang sangat berharga.

.

.

~ underworlds ~

.

.

Aika's POV

Ah.

Apa ini?

Aku tidak bisa menjelaskannya. Namun pada kenyataannya, aku berada di suatu tempat. Aku terombang-ambing tak jelas disini. Seperti air—ah, benar, aku berada di suatu tempat yang ada airnya. Laut, kah? Oh, benar. Sekarang aku tenggelam di samudera luas yang entah mengapa membuatku nyaman.

Aku sudah mati, ya?

Tersenyum karena pemikiran itu terlintas di pikiran, membuatku menghela napas lega. Kalau benar aku sudah mati, aku tidak menyesal. Semua sudah kuselesaikan meski aku tak berpamitan. Kepada Ayah dan teman-teman, maaf karena pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.

Tapi seperti yang kubilang, aku sama sekali tidak menyesal. Aku sudah melakukan apa yang kuinginkan. Bekerja, kuliah, dan merasakan sebuah gejolak dari kehidupan. Seumur-umur aku belum pernah merasakannya. Karena itulah, bertemu dengan Akashi Seijuurou benar-benar merupakan sebuah keajaiban.

Terima kasih atas segalanya, Akashi-san.

Cinta itu memang tidak mudah ditebak, ya? Aku ini memang bodoh. Dari awal, aku sudah bertekad untuk tidak mengganggunya, mencampuri kehidupan seorang Akashi, dan kini, aku berkata pada hati serta dunia bahwa aku mengakuinya, menyukainya sebagai seorang pria. Tak apa. Aku tidak kecewa, kok. Kalau adanya begini, apa yang harus kulakukan? Menolak takdir? Ah, tidak. Aku tidak mau menghancurkan apa yang sudah menjadi garis hidupku. Bila aku mati setelah menyatakan cinta padanya, tak apa. Hati ini tidak menyesal karena aku sudah bertemu dengannya di detik-detik sebelum kematianku.

Kematian, ya?

Mataku menyipit saat tiba-tiba aku menerima sebuah cahaya dari permukaan. Sinar itu berwarna putih dan menyilaukan.

"—!?"

Tiba-tiba saja, aku dapat merasakan dorongan kuat di punggungku. Aku terkejut. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dorongan yang membuat kepalaku pusing tak karuan. Hingga saatnya aku terlempar ke permukaan secara tidak pantas oleh peristiwa aneh yang sempat membuatku jantungan.

Apa yang terjadi?

"Gh... a-ah..."

Dadaku sesak. Aku terbatuk. Hei, padahal aku tadi baik-baik saja, lalu mengapa efeknya baru terasa ketika aku tidak lagi di lautan? Air langsung merembes dari hidung dan mulutku, terbatuk, dan aku memukul dadaku sekuat tenaga agar simpanan air di paru-paru keluar hingga akses pernapasanku tak terganggu.

Dan saat itu aku mulai sadar, bukan di laut lagi kakiku berpijak.

Gumpalan hangat berwarna putih dapat kurasakan di permukaan kaki. Angin berhembus begitu pelannya, rambutku yang basah tiba-tiba menjadi kering dalam waktu singkat. Kesejukan dapat kurasakan di seluruh tubuhku, mataku hampir saja menutup kalau saja sosok lain muncul tanpa kusadari kalau dia sudah ada disitu.

Katakan aku ini sudah gila. Tapi aku bersumpah kalau gambaran yang ada di mataku ini mewujudkan suatu kehidupan di atas langit dunia.

Aku terduduk di atas awan, dengan keadaan yang cukup mengenaskan.

Dan disanalah ia terdiam, berdiri dengan senyum palsu yang membuatku waspada.

"Hai," Ia berkata begitu mudahnya. Aku tahu bahwa dialah yang membuatku terjebak di tempat seperti ini. Manik hijau berbinar cerah, bibir merah muda langsung merekah. "Benar kata orang. Kau memang cantik, Aika-chan."

"Berhenti bertingkah manis di depanku." Membulatkan tekad, menarik napas, dan berdiri perlahan-lahan. "Aku tak tahu dan tidak mau tahu siapa kau, yang jelas... ini ulahmu, benar 'kan?" Aku tidak bodoh. Aku bisa membaca raut wajah seseorang—meski aku tak tahu wujud perempuan ini adalah manusia. "Aku ingat jelas wajahmu, kau tahu? Kau adalah gadis yang melambaikan tangan padaku waktu itu."

Ia tertawa, aku diam saja. Aku tidak peduli alasan aku berada disini, bertemu dengannya. Tapi sejujurnya, aku sadar... dia berbahaya.

"Tak kusangka kau pintar juga," Aku tak termakan pujianmu. "Mm... kau benar-benar berbeda. Begitu hebat dan sempurna. Kau kuat dan, yah... luar biasa." Lihatlah, dia terkekeh lagi. Benar-benar aneh. "Aku jadi ingin cepat-cepat menyiksamu sampai mati, Aika-chan."

Perempuan ini tidak masuk akal. Ia datang dan tertawa tidak jelas. Tapi, aku sadar, kalau ada sesuatu yang membuatku harus waspada. Ini bukan tempatku, dan aku sadar kalau dunia yang saat ini kupijak merupakan dunianya. Gadis itu, dia, si putih pucat dengan mata berbahaya—ia terlihat bahagia ketika dirinya menatapku dengan pandangan yang sama.

Ini sebenarnya ada apa?

Bunyi lonceng terdengar. Aku tidak bisa menebak sudah berapa jam aku berada di tempat seperti ini. Akhirnya, aku pun sadar, kalau tempat tersebut tidak memiliki lonceng atau pun benda yang berbunyi keras seperti itu. Lantas, dimana keberadaannya? Apa tak terlihat atau diriku saja yang terlalu normal di tempat yang tak seharusnya?

"Kau dengar itu?" Gadis itu terkikik. "Menurutmu, mengapa lonceng itu berbunyi?"

Oh, ternyata benar-benar lonceng ya?

"Aku tidak tahu."

Jelas. Tapi, aku sadar itu pertanda buruk.

"Itu suara penanda," Teng teng teng, kembali—benda tak terlihat menampakkan sebuah atensi. "Kira-kira apa? Apa itu lonceng pernikahan, lonceng kehidupan, atau kematian?"

Angin kembali hinggap di tempat ini. Meski kami dibatasi oleh jarak, aku tahu kalau sekali mendekat, kemungkinan nyawaku akan menghilang begitu saja. Bukan aku melebih-lebihkan, tapi memang benar kalau yang kukatakan adalah sebuah pendapat yang bisa menjadi fakta. Perempuan dengan paras dewasa di depanku ini bukan gadis biasa. Dia bukan manusia.

Katakan kalau itu benar.

"Apa kau manusia?"

Sudah sepantasnya aku bertanya seperti itu. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa membawaku kemari, ke tempat indah dengan nuansa awan seperti ini. Kalau dia manusia biasa sepertiku, tidak mungkin rambut dan pakaiannya seperti itu—seperti orang mati.

Huh?

Seperti orang mati?

"Haha... HAHAHAHAHA!"

Sejujurnya, bulu kudukku langsung berdiri.

Tawaan seorang gadis bukanlah seperti itu. Aku yakin.

"Manusia?" Katanya di sela-sela tawa. "Kau kira aku manusia!?" Ia pun tertawa lagi.

Aku hanya diam, menunggu dirinya untuk menyelesaikan tawanya itu.

"Ha... pfft. Lucu sekali. Candaan yang luar biasa, Aika-chan." Ia berkacak pinggang. Layaknya seorang putri kerajaan, ia melebarkan rok gaunnya dan berputar-putar seperti seorang bocah. "Apa yang terlintas dipikiranmu hanya itu? Bahwa aku adalah seorang manusia?"

"...kenapa kau seantusias itu?"

"Antusias? Huh." Ia mendengus. "Aku bukan manusia, Aika-chan. Aku bukan salah satu dari kalian, Para Ciptaan Dewa yang menjijikkan."

Aku terdiam.

Para Ciptaan Dewa?

"Perkenalkan," Hawa langit yang awalnya tentram langsung terasa berat. Suara perempuan itu bukan lagi seperti anak kecil, melainkan seperti seseorang yang berkuasa di dunia ini. "Aku malaikat. Tangan Kanan Dewa. Pencabut nyawa manusia—"

Isi perutku langsung naik begitu saja. Kepalaku pusing mendadak.

"—fallen angel, Araqiel."

.

.

~ underworlds ~

.

.

Pagi menjelang, langit yang mulanya berwarna gelap perlahan menjadi kerlipan cerah. Dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, menciptakan warna jingga serta kebiruan khas langit-langit pada umumnya. Rumah sakit terbesar di Tokyo itu terlihat lenggang, hanya para suster yang mendapat jadwal tugas malam sajalah yang terlihat. Sepi. Tidak ada pasien yang berlalu-lalang maupun berjalan-jalan, hanya ada lorong panjang tanpa terisi apapun kecuali pintu-pintu berisikan tempat istirahat para korban penyakit ataupun kecelakaan.

Akashi Seijuurou melihat semuanya. Dari ia masuk rumah sakit sampai menjelang pagi, pemuda itu sama sekali tidak menutup mata barang sekian detik. Ia terus melirik ke jendela, melamun dan menatap proses perubahan alam yang cukup istimewa. Bintang-bintang yang menghiasi malam itu akan menghilang, seiring dengan kerlipan cahaya yang berasal dari seberang mulai terlihat. Matahari terbit, bulan pun pamit. Semuanya ia lihat tanpa ditunda dengan apapun.

Seijuurou hanya terduduk di kasurnya, tanpa melakukan apa-apa. Sungguh.

Ia masih ingat beberapa jam yang lalu, ketika Kuroko Tetsuya menawarkan diri sebagai tempat mengobrol untuknya. Namun, Seijuurou langsung menolaknya dengan halus dan memerintah temannya itu untuk beristirahat saja di rumah.

Midorima pun tidak bisa menemani Seijuurou selamanya. Masih ada ratusan pasien di luar sana yang masih membutuhkan kehadirannya.

Jadilah dia hanya di sana, terduduk sendirian tanpa ditemani oleh adanya eksistensi si kerabat terdekat.

Manik beda warna itu terlihat sayu. Seijuurou lelah. Ia ingin tidur dan beristirahat. Ia ingin bermimpi indah dan membayangkan kalau semua yang terjadi kemarin hanya candaan biasa. Ia tidak kecelakaan. Ia tidak bertemu dengan siapa-siapa. Ia tidak mengalami syok berat. Ia tidak melihat gadis itu hampir sekarat—

Oh, tentu saja. Bagaimana keadaannya?

Apa dia baik-baik saja?

Dalam kesunyian, sebuah tongkat penyangga itu mulai bergerak. Seijuurou mengambilnya dan membuat dirinya berdiri menggunakan benda tersebut. Kaki kanannya patah, jadilah ia belum bisa berjalan dengan normal. Rasa sakit berdenyut dari pangkal paha hingga menuju betis, namun Seijuurou sama sekali tidak peduli. Ia berjalan perlahan, membuka pintu kamar, dan melangkah ke tempat seseorang yang terisolasi.

Berjalan dan melangkah, tidak berpikir namun terpusat pada satu orang, Seijuurou terus berjalan dengan penuh perjuangan. Rasa sakit yang menjalar di kaki membuatnya tak bisa berpikir jernih. Ia hampir pingsan kalau dinding rumah sakit yang terbuat dari marmer itu tidak menjadi penopang tubuh. Dengan sedikit tekad dan keterpaksaan, ia terus melangkah hingga mendapati satu pintu yang bentuknya berbeda dari pintu-pintu lainnya.

Manik Seijuurou menyayu, ia menghela napas dalam-dalam.

"Kau ingin bertemu dengannya, 'kan?"

"...ya."

"Kalau begitu, lakukanlah."

Seijuurou membuka pintunya, agak berat memang, tapi ia berhasil membukanya. Tempat itu kecil. Hanya ruangan persegi yang terdapat ruang lain di dalamnya. Di depan ruang kecil itu, terdapat bangku panjang yang menjadi tempat untuk bertamu. Perlahan, Seijuurou kembali melangkah, ia berhenti dan melirik ruang kecil yang dilapisi oleh kaca kedap suara.

Dan di saat itu pula, Seijuurou terkejut luar biasa.

Perempuan itu terbaring dengan tubuh yang diperban di sana-sini. Semuanya tak terlihat. Mata pun ditutupi oleh perban tak terlihat. Mulut serta hidungnya dilapisi oleh alat bantu pernapasan. Badannya kaku, perut rata gadis itu tidak bergerak—seperti sudah mati.

Seijuurou ingin berteriak kalau saja otaknya tidak memerintahkan untuk diam.

Ia sedikit bersyukur kala layar monitor di samping kasur menyatakan kalau di dalam sana masih terdapat tanda kehidupan.

Bermaksud menenangkan pikiran, Seijuurou terduduk di bangku panjang dan mengusap wajahnya menggunakan kedua tangan. Tongkat penyangga sudah ia sandarkan di dinding sebelahnya. Di balik kecemasan itu, ada secuil harapan yang entah datang darimana.

Sungguh, jantung pemuda itu sekarang sedang berdegup cepat.

Ia tidak mau kembali ditinggalkan.

Pikiran Seijuurou terlihat kacau. Suara EKG yang berbunyi tidak mengubah apapun. Ia terlalu panik. Pemuda itu tampak frustasi. Dalam ketenangan di sebuah ruangan sunyi, seorang sesempurna Akashi Seijuurou tak pernah mengerti mengapa semua ini terjadi.

Segalanya bagaikan teka-teki. Seperti puzzle rumit yang sangat sulit untuk disusun, bahkan untuk seorang Akashi sekali pun.

Memang semuanya terlihat wajar. Setiap manusia pasti akan terkena masa kekelaman. Tapi sayangnya, logika Seijuurou terus bergerak dan menemukan fakta lain yang tak bisa ia pahami. Seijuurou tidak mengerti. Ia tidak menyangka kalau di dunia ini masih ada sesuatu yang belum ia ketahui—

—seperti bukan logika yang patut menyusun itu semua. Melainkan sesuatu yang tidak masuk akal.

Jadilah, dengan mengabaikan segala kesakitan yang ia derita, Seijuurou kembali berdiri. Tidak seimbang memang, tapi ia masih bisa mengendalikannya. Seijuurou melangkah dan berdiri tepat di depan pembatas kaca, menatap dalam-dalam sosok gadis yang masih terbaring kritis di dalam sana.

Karena itulah, pemuda itu menyandarkan kening pada kaca dingin yang ada di hadapannya.

Seijuurou tidak pernah takut pada apapun. Namun, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bisa merasakan ketakutan menjalar ke seluruh organ tubuh. Sebuah kecemasan yang membuat jantungnya berdetak tidak normal. Bayang-bayang mengerikan yang membuat sulit untuk bernapas. Semua itu diakibatkan oleh perempuan bernama Miyuzuki Aika.

Kenangan-kenangan dengan gadis itu kembali terungkap dalam kepingan memorinya. Dari pertemuan di tempat perempuan tersebut bekerja, sebuah hinaan yang lantas membuat Aika marah terhadap dirinya, serta beberapa peristiwa tak masuk akal pun hinggap di dalam otaknya, seolah melilit dirinya dari dalam dan menelannya tanpa sisa.

"Aku menyukaimu, Akashi-san. Terima kasih."

Ia menggertakkan gigi.

Apa itu adalah sebuah akhir?

Seijuurou menyesal. Ia sungguh menyesal.

Kenapa harus Aika? Kenapa tidak dia saja?

Seijuurou menutup kedua matanya. Rasa kekhawatiran, penyesalan, dan harapan itu bercampur aduk dan membuat batinnya tersiksa. Ia ingin, sekali saja, gadis itu membuka mata, menatap dirinya dan memberikan senyum tipis seperti biasa. Meski terdengar mustahil, Seijuurou ingin Aika pulih. Ia ingin melihat perempuan itu melewati masa-masa kritis dan istirahat tanpa ditemani oleh selang-selang atau apalah namanya untuk membuatnya bertahan hidup.

Sepercik air mata mengalir dari kedua mata, turun ke dagu, dan jatuh ke lantai keramik yang dingin.

Semenjak ibunya tewas sepuluh tahun lalu, Seijuurou belum pernah menangis.

Dan hari ini, untuk kedua kalinya selama ia hidup di dunia ini, Akashi Seijuurou yang selalu sempurna itu tengah rapuh, jatuh di bawah pengharapan dan menangis terisak di depan kaca pembatas antara dirinya dan sang perempuan.

Untuk kedua kalinya, ia menangis.

.

.

~ underworlds ~

.

.

Di sebuah tempat lain, yang jauh dari kehidupan, terdapat sebuah dimensi yang bisa dilangkahi oleh orang-orang pilihan. Tempat tersebut berwarna putih cemerlang dan begitu indah. Dan jauh dari itu, terdapat sebuah hutan yang dilindungi oleh pohon-pohon lebat yang disertai oleh aroma khas dari pepohonan rindang. Suara percikan air menandakan adanya kehidupan di sana, dan tetesannya menjadi eksistensi dari gadis lain berambut jingga.

"Kau masih di sini?"

Merasakan ada yang menegur, ia berbalik. Mendapati sosok cantik berwarna merah—entah mengapa, ia mengingatkan dirinya akan seseorang.

"Mm..." Ia menjawabnya dengan senyum kecil. "Anda sendiri, sedang apa di sini?"

Perempuan itu lebih dewasa, sederhana, namun cantik rupanya. Rambutnya panjang dan lebat, berwarna merah menyala disertai dengan manik yang serupa. Mereka duduk berdampingan, di depan danau kecil yang terus bergerak, meriak-riak kecil tanpa adanya gangguan.

"Aku merasa terpanggil," Shiori, nama wanita dewasa itu, tersenyum kecil. "Aku merasa ada yang rindu padaku."

"Benarkah?" Gadis yang satu lagi membalas, senyum penuh arti langsung tersungging di bibirnya. "Saya juga. Ada yang memanggil."

Kedua perempuan itu saling berpandangan. Tak lama, Shiori mengelus puncak kepala Hikari dengan penuh sukacita. "Aku awalnya tak menyangka kita berbeda," Wanita itu terkekeh. "Tapi sekarang kita telah sama."

"Anda benar... saya pun senang berada di sini." Hikari memeluk kedua lutut. "Entahlah. Saya sebenarnya tidak tahu apa jalan yang saya ambil ini benar atau tidak, tapi—"

"Apa kau tahu?" Hikari terdiam, Shiori tersenyum lebar. "Aku bangga anakku dicintai oleh gadis sepertimu."

Wajah Hikari mendadak memerah, ia mengalihkan pandangan dan langsung menenggelamkan wajahnya. "A-Anda terlalu berlebihan..."

"Tapi itu kenyataan, 'kan? Kalau saja ingatannya tak terhapus, mungkin dia sudah sangat merindukanmu saat ini." Shiori mendongak, menatap langit cerah yang menjadi tempatnya sekarang. "Situasinya memang berbeda. Sudah ada gadis lain di hatinya. Tapi kau tak perlu berputus asa 'kan, sayang?" Shiori menepuk bahu Hikari pelan. "Kau yang memutuskan untuk merelakannya pada perempuan itu."

Hikari terdiam sejenak. Wajahnya terlihat pucat beberapa saat, namun ia langsung tersenyum pelan, mengangguk mengiyakan. "Anda benar. Dan Aika-san memang bukan pilihan yang salah..."

"Oh ya, Miyuzuki Aika. Nama yang bagus." Hikari mengangguk lagi. "Meski tidak sebaik dirimu, dia pasti sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Seijuurou."

Hikari mendengus pelan. Ia berdiri. "Sudah saatnya saya pergi," Katanya, ia mengangguk sebagai tanda sampai jumpa pada Shiori. "Ada satu hal lagi yang masih harus saya lakukan, Akashi-san."

Shiori sudah tahu. Jadilah ia hanya tersenyum, mengangguk perlahan. "Berjuanglah. Kalau sudah selesai, datanglah lagi. Aku menunggumu."

"Tentu," Hikari melangkah, menjauhi Shiori. "Aku akan pulang dengan cepat."

.

.

"Ingat janjiku kalau semuanya akan baik-baik saja—"

"—tetaplah di sana. Aku yang akan bergerak."

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

a little notes:

tamatnya fanfik ini akan diundur dalam waktu dua atau satu chapter mendatang. saya gak bakal ngomong banyak. tapi saya harap masih ada yang ingat fanfik ini ya.

.

.

super thanks:

kuroi uso, Michishige Michiyo, Naomi Kimiko, Yuzu Nishikawa, Akane Miyahara, kuroizayoi, forbeingaselfish, Mayu Tachibana, Laysief, ai-chan, nurifadhillah03, Emerarudori, ryinitaputri, Pujitari A.

.

.

asking:

Saya lebih suka karakter pertama dibanding kedua. Iya, sama. Yang nge-PM lucu ya. Saya juga males ngurusin itu lagi sih. Lama nunggunya, tapi kok bagus? Entah. Ga rela tamat. Tenang, masih ada dua chapter lagi kok. Maaf ya php haha. Kalau Hikari hidup lagi pasti seru. Dan beban fanfik saya pun makin banyak. Ini lagi mau masuk konflik atau lagi konflik? Klimaks. Korbannya Shiro ada dua, ya? Tiga, tambah Akashi. Shiro dipecat aja jadi malaikat. Udah dipecat kok, dia 'kan 'malaikat yang jatuh'. Yang belum tahu arti fallen angel, silahkan lihat di om gugel yak. Aku lebih senang Akashi sama Hikari. Ah, Aika sama Hikari toh sama aja.

.

.

Terima kasih sudah membaca!

Mind to Review? :)