"Apa kau mau jadi kekasihku?"


Scar

-Chapter 7-

Author's note: Typo(s), AU, harsh word, Rated T+

Shingeki no kyojin © Ishiyama hajime


.

.

Mikasa sekilas menatap langit, berharap ada malaikat jatuh yang sudah membuat Levi mengeluarkan kalimat mistik itu.

Yah sekilas menatap ke bawah, lebih berharap—yakin—mungkin akan ada iblis yang keluar dari bawah tanah. Mungkin menyeret Levi masuk ke dunianya yang sebenarnya

"Oi Mikasa."

Mikasa kembali menatap seniornya tersebut, lelaki itu tampak seperti biasa.

Pendek seperti biasa, wajah stoic seperti biasa, rambut hitam membelah di samping seperti biasa, jas seragam rapi seperti biasa, bola mata hitam mengkilat, tulang rahang yang menonjol. Tunggu sejak kapan Mikasa memperhatikannya se-detail itu?

Oke, lupakan.

Satu hal yang beda dari Levi ada pada sorot matanya. Tatapannya lurus pada Mikasa, bukan tatapan tajam atau dingin yang biasa ia lontarkan, melainkan sorot mata yang lebih lembut, lebih serius dan… hangat?

Mikasa masih berdiam di tepat, belum satu kata pun ia keluarkan untuk menjawab pernyataan Levi. Yah, gadis itu sendiri tidak yakin apa ia bisa bicara sekarang. Lidahnya kelu.

Konyol sekali perasaan bodoh yang berkecamuk di hatinya sekarang, mulutnya dibuat membeku, ia tidak bisa menatap Levi terlalu lama dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.

Sekarang, bisa saja Mikasa pingsan karena malu.

Levi masih menatapi Mikasa, gadis itu lagi-lagi membuang muka ke sisi yang lain.

Levi mengambil satu langkah mendekati Mikasa, gadis itu mengambil satu langkah mundur menjauhinya.

Itu saja yang terjadi untuk lima menit ke depan.

Levi yang mulai kehilangan kesabarannya mendengus, menghimpit tubuh Mikasa di antara kedua lengannya dan batang pohon di belakangnya. Yap, akhirnya adegan maju-mundur mereka berhenti karena sebuah pohon berdiri dibelakang mereka. Persis seperti adegan drama-drama komersil yang ada di televisi jaman sekarang.

Siapa sangka Levi menggunakan salah satu pose mutakhir abad ini.

"Stop!"

Telapak tangan Mikasa menahan badan lelaki yang lebih pendek itu.

"Kenapa?" sahut Levi.

"Karena kau terlalu dekat!"

"Memangnya kenapa kalau aku terlalu dekat?" Levi mengambil satu langkah kedepan lagi.

"Stoop!"

"Kenapa huh?" ujar Levi, bibirnya menghampiri telinga kanan Mikasa, "kau malu suara detak jantungmu itu kedengaran?" bisiknya. Oh ayolah perkataan barusan hanya formalitas, Levi sudah mendengar suara debaran jantung gadis itu sejak ia menyatakan cintanya.

Lucu rasanya berpikir kalau Levi dapat membuat gadis itu berdebar-debar. Ah, Levi berpikir itu adalah salah satu hal lucu yang baru untuk seorang Mikasa. Hal yang lainnya….Levi masih mencoba mengingatnya lagi.

"Apa salahnya memiliki detak jantung, kau kira aku sudah mati?" kata Mikasa ketus.

"Benarkah? Kalau begitu jelaskan mengapa milikmu berdetak sangat cepat?"

"I-itu karena—"

Memangnya berdetak secepat itukah?

"Kedinginan! Itu karena aku kedinginan!"

"Hah omong kosong, kalau kau kedinginan kenapa telapak tanganmu keringatan seperti itu?" Levi menarik tangan kiri Mikasa yang agak basah. Dengan sigap Mikasa menariknya kembali, ia mengutuk dirinya sendiri.

"Buang basa-basimu Mikasa, jadi apa jawabanmu?"

Lelaki ini benar-benar tidak punya sopan santun dan selera romantis. Lagi-lagi Mikasa menggigit bibir bawahnya.

Mudah saja.

Jawaban dari pertanyaan tersebut seharusnya mudah bagi Mikasa. Yah, satu kata singkat.

Tidak.

Seharusnya satu kata itu sudah cukup. Seharusnya satu kata itu sudah dapat membuat Mikasa pergi dari tempat itu. Seharusnya satu kata itu cukup membuat Levi benar-benar menjauhinya.

Tapi mulut Mikasa enggan terbuka, tidak, melainkan menolak mengatakan kata tersebut.

Bodoh, Mikasa kau memang bodoh, rutuk gadis itu dalam hati.

Ia kembali mengingat saat-saat pahit ketika Levi memberinya pekerjaan yang bisa dibilang tidak logis seperti berlari ke kantin untuk membeli sebotol air mineral, mencuci motor atau membersihkan dojo. Hal merepotkan seperti membuatkan bekal setiap hari atau sekedar menemani lelaki itu makan siang di atap. Hal memalukan seperti dijemput tiap pagi atau digendong keluar sekolah seperti karung beras.

Tapi ketika memori saat Levi bermain piano dengannya di ruang musik, saat Levi meminjamkan bahunya sebagai sandaran ketika ia anemianya kambuh, saat Levi menunggunya di depan rumah dengan wajah temboknya, saat Levi mentraktirnya cheese cake yang sangat enak, saat Levi menenangkannya malam itu dan mengusir mimpi buruknya selama ini.

Mikasa benci untuk mengakui perasaan yang diam-diam muncul tersebut.

Semua perasaan benci pada lelaki tersebut luntur.

Apa benar kalau benci bisa berubah jadi cinta?

"Levi aku—"

"Hei! Apa yang kalian lakukan di sini?!"

Sontak kedua Ackerman yang mematung itu langsung menoleh ke arah suara makian tersebut. Yang benar saja, Shadis sang guru BK memergoki mereka berdua dalam posisi yang sangat ambigu.

"Sebaiknya kalian punya penjelasan mengapa kalian bisa berada di tempat ini. Berduaan," tanya Shadis, walau nada pertanyaannya lebih seperti makian.

"Aku sedang menyatakan cin—" Mulut Levi dibekap sebuah tangan, tangan Mikasa.

"Dia tadi sedang mengambil kotoran daun yang jatuh di rambutku, kami tidak sengaja bertemu di sini," ujar Mikasa penuh kebohongan, tentu saja ia tidak mau ada guru yang tahu hal memalukan yang barusan Levi lakukan.

"Benarkah? Menurut penglihatanku tidak seperti itu." Shadis memelototi pegangan tangan Levi pada tangan Mikasa yang belum lepas.

Mikasa cepat-cepat menyentakkan tangannya, "Pokoknya ini tidak seperti yang bapak pikirkan! Kami hanya—"

"Apa salahnya sepasang kekasih sedang pacaran?" sela Levi.

Mata Mikasa melotot seakan ingin keluar, ia memandang Levi tidak percaya.

"Sudah kuduga, remaja zaman sekarang," kata Shadis ketus.

"Jika kalian segitunya ingin selalu bersama, kalian kuhukum untuk membersihkan semua sampah dedaunan di sini setelah pulang sekolah, sekarang cepat kembali ke kelas, waktu istirahat akan segera habis."

"Tapi sensei aku—" seru Mikasa tapi kembali disela oleh Shadis.

"Tidak ada bantahan Mikasa Ackerman!" bentak Shadis.

"Karena kalian berdua adalah siswa teladan, kali ini aku tidak akan melaporkan. Tapi hukuman tetaplah hukuman."

"Jadi catatanku tetap bersih?" tanya Mikasa.

"Tch…" Levi mendengus membalikkan badannya, ia menarik tangan Mikasa dan membawa gadis tersebut bersamanya masuk kembali ke gedung. Mikasa hanya menurut mengikuti lelaki yang seenaknya menyeret tubuhnya itu.

Shadis menggeleng-geleng memandangi mereka, "Benar-benar anak zaman sekarang."

"Senpai! Lepaskan!" seru Mikasa, ia menarik-narik pergelangan tangannya.

Tidak dihiraukan, Levi masih saja menariknya—menyeretnya—menyusuri koridor yang dipenuhi murid-murid yang masih berkeliaran di jam istirahat ini. Beberapa berbisik-bisik melihat mereka, beberapa sudah biasa dengan tingkah mereka dan beberapa berpura-pura tidak lihat untuk menjauhi masalah.

"Senpai!" pekik Mikasa, "Senpai! Tanganku sakit!"

Levi melepaskan tangannya dibelokan koridor menuju tangga darurat. Mikasa yang akhirnya memiliki hak atas tangannya lagi langsung mengusap-usap pergelangan tangannya yang memerah.

"Apa kau sudah gila?! Kau mau membuat tanganku putus?!"

Levi lagi-lagi mengunci tubuhnya dengan kedua tangannya itu, menyudutkannya pada tembok yang ada di belakang Mikasa.

"Jangan lupa pertanyaanku tadi, aku masih menginginkan jawabanku," ujarnya tegas, "dan—"

Mikasa menatapnya jengkel, "Apa?"

"Sampai jumpa sepulang sekolah," bisik Levi tepat di kuping Mikasa kemudian pergi menuju kelasnya.

Muka gadis itu lagi-lagi memerah dan terasa panas.

Kalau dia tidak punya perasaaan apa-apa terhadap Levi seharusnya ia tidak merasakan hal itu kan?

Kenapa ia harus begitu berdebar-debar mendengar Levi?

.

.

Wanita tua itu merebahkan kepalanya pada bantal empuk yang menjadi sandarannya. Ia istirahatkan kedua kakinya yang sudah melemah tersebut di atas kasur miliknya. Matanya berat, tetapi enggan untuk menutup.

Mungkin karena sinar matahari yang terlalu terang dibalik jendelanya.

Mungkin karena bising suara kendaraan yang melintas di depan rumahnya.

Mungkin karena kasur tuanya yang sudah tidak lagi terlalu nyaman.

Atau mungkin karena pikiran yang terus menghantuinya.

Ia memiringkan tubuhnya ke samping, menghadap ke arah meja kecil yang menopang sebuah lampu jamur. Pikirannya melayang begitu jauh, membuka memori lama yang terkubur dalam di benaknya.

"Farlan.. apa yang harus ibu lakukan sekarang?" gumamnya.

.

.

Mikasa menghela nafas panjang, ia usap-usapkan kedua tangannya di depan mulut sambil menghangatkannya, kemudian kembali ia ambil gagang sapu yang ia sandarkan di batang pohon yang ada di sampingnya.

Belum ada setengah jam ia menyapu sampah daun di halaman tersebut, kedua tangannya sudah hampir membeku, dan ia yakin bibirnya juga hampir membiru.

Jika dipikir-pikir lucu juga, Mikasa yang bisa menjatuhkan lawan sekuat Levi dapat ditundukkan dengan udara dingin.

Sesekali Mikasa melirik lelaki 160 senti yang juga sedang menyapu tak jauh darinya.

Sepulang sekolah ketika Mikasa bergegas menjalankan hukumannya, Levi sudah berada di sana sedang menyapu dedaunan.

Canggung itu pasti, tapi Mikasa berusaha untuk tidak menatap mata Levi. Ia juga menghindari Levi sebisa mungkin, dan Levi sendiri tidak berusaha untuk mendekatinya. Atau mungkin karena Mikasa terus mengambil jarak yang cukup jauh darinya.

Ada getaran-getaran yang muncul di dadanya saat ia menatap Levi. Penyakit sekarang memang aneh.

Gadis itu mengambil pengki bambu untuk mengangkat daun yang sudah ia kumpulkan menuju tempat pembakaran. Ia melihat Levi melakukan hal yang sama, lelaki itu juga sedang berjalan menghampirinya membawa dedaunan kering yang sudah ia kumpulkan.

Sampah musim gugur tersebut terkumpul sangat banyak, dedaunan itu membentuk gunung setinggi bahu Levi di sebelah tempat perapian.

Seniornya itu tampak tenggelam di balik sampah.

"Pfft."

Levi mendengus, ia mengibaskan tangannya pada puncak sampah tersebut. Sebagian dedaunan itu tertiup ke wajah Mikasa dan menyangkut di rambutnya.

"Brengsek," umpat Mikasa.

Tak mau dikalahkan, gadis itu melemparkan daun yang ada di pengkinya pada Levi. Kali ini wajah, kepala dan seragam Levi yang tertutupi daun kering, kening lelaki itu berkerut.

"Kau yang mulai," ujar Mikasa.

Levi dengan pelan menepuk kepalanya yang penuh dengan daun kering, membersihkan debu yang menempel di wajahnya dan mengibas-ngibaskan bahunya yang juga kotor. Mikasa tahu Levi menahan amarahnya, seniornya itu terkenal sebagai lelaki yang sangat gila kebersihan.

Ia melihat Levi sudah mengangkat tangannya, ia sepertinya akan mengubur gadis itu dengan dedaunan tersebut. Mikasa sudah memejamkan mata.

Tapi yang ia rasakan malah cubitan keras di pipi. "Kau ini, untung saja kau orang spesial atau tidak—" Levi menambahkan tangan kirinya dan mencubit kedua pipi Mikasa. Gadis itu meringis kesakitan dan menginjak kaki Levi.

"Akh! Senpai! Sakit!" seru Mikasa, ia menarik-narik kedua tangan Levi hingga lelaki itu melepaskannya.

Pipi gadis itu memerah, "Dasar gila," umpat Mikasa.

"Pipi merah itu cocok untukmu."

"Senpai, lakukan saja hukuman ini agar aku bisa pulang cepat," kata gadis itu canggung, ia acuhkan perkataan Levi barusan.

Mikasa membereskan lagi dedaunan yang berterbangan karena permainan yang mereka lakukan tadi. Sekilas Levi melihat sesuatu yang mengkilat saat syal Mikasa tak sengaja terbuka dan memperlihatkan lehernya.

"Kau memakai bandul itu."

Mikasa menatap Levi dan menatap bandul hijau yang ada di lehernya.

"Mmm, terima kasih untuk bandul ini Levi senpai," ujar Mikasa.

"Kau sudah berterima kasih tadi siang."

"Aku hanya merasa harus mengatakannya lagi."

"Kalau begitu mengapa tidak jawab pertanyaanku tadi."

Mikasa bergeming.

"Err… kalau itu… aku…"

Levi mendengus, lelaki itu menghiraukan Mikasa dan mengambil dedaunan yang sudah mereka kumpulkan kemudian melemparkannya ke pembakaran.

Hati Mikasa tercekat, apa barusan Levi mengacuhkannya?

Gadis itu perlahan ikut membantu seniornya melemparkan dedaunan itu ke pembakaran. Levi menjadi pendiam, ia sama sekali tidak bicara. Semuanya berlalu begitu cepat, hingga Mikasa tak menyadari bahwa semua daun sudah bersih dihadapannya.

Levi masih menutup mulutnya, ia pergi meninggalkan Mikasa begitu saja, meninggalkan berjuta pertanyaan pada gadis tersebut. Harus diakui, walau Levi lebih tua dua tahun darinya, ia kadang bisa jadi sangat kekanakan. Seperti sekarang.

Mikasa menarik nafas, haruskah ia melakukannya?

"Levi senpai!"

Levi berhenti tepat sebelum ia menghilang dari belokan gedung.

"Boleh aku bertanya satu hal?"

"Apa?" sahut Levi tanpa menatapnya.

"Sebenarnya... cinta itu apa?"

Levi menoleh padanya, ia menatap Mikasa, alisnya berkerut, "Kalau kau masih bertanya, itu berarti kau belum mengerti," jawab Levi.

"Huh?"

"Satu hal yang kupelajari sejak bertemu denganmu Mikasa. Cinta itu bukan 'apa' tetapi 'bagaimana'—"

"—Bagaimana kau melihat seseorang, bagaimana kau memperlakukan seseorang, bagaimana kau memikirkan seseorang," ujar Levi.

"Seperti perasaanmu terhadap Farlan, terhadap ibumu," lanjut lelaki itu.

"Benarkah?" Mikasa menghampiri Levi, lelaki itu masih menatapnya kedua matanya."Kalau begitu bagaimana kau mencintaiku, senpai?" tanya Mikasa.

Mikasa mengepalkan tangannya, ia tahu bagaimana perasaannya terhadap Levi. Tapi cinta atau bukan, itu yang ia pertanyakan.

Dicintai seseorang selain keluarganya pernah Mikasa rasakan, seperti beberapa lelaki yang menjadi penggemar rahasianya ketika ia duduk di bangku SMP. Tapi mencintai? Kecuali Eren dan Armin karena ia menganggap mereka sebagai keluarganya sendiri, itu hal baru bagi gadis tersebut. Sekaligus hal yang menakutkan.

Levi merengkuh wajah Mikasa, gadis itu hampir menolak tapi ia urungkan niatnya ketika melihat tatapan Levi, "Kau tahu kenapa aku mengacuhkanmu barusan?"

Dahi Mikasa mengkerut, ia menggeleng.

"Karena aku tahu kau akan memanggilku seperti sekarang. Karena aku tahu jalan pikiranmu, dan aku tahu kau tidak akan tinggal diam melihatku seperti itu."

"Percaya diri sekali."

"Tapi aku benar kan."

"Lalu? Itu belum menjawab pertanyaanku!"

Levi tertawa kecil, "Bodoh."

"Mikasa, semua hal yang kulakukan selama ini tidak mungkin kulakukan pada gadis lain," ujar Levi, ia menarik tangan Mikasa,"hanya tangan ini yang ingin kugenggam, hanya wajah ini yang ingin kusentuh."

Kali ini suara Levi bergetar, Mikasa tahu lelaki itu benar-benar serius, "Kenapa aku?" pinta Mikasa lirih.

"Karena aku mencintaimu? Karena kau berharga bagiku? Keduanya?" pinta Levi sedikit berseru, ia mulai merasa muak dengan pertanyaan Mikasa yang berputar-putar. "Apa yang kaurasakan dariku Mikasa? Aku hanya perlu tahu bagaimana perasaanmu. Dari tadi kau hanya memutar-mutarkan pertanyaanmu saja! Kau—"

"Aku tidak tahu!" seru Mikasa kencang.

"Kepalaku sakit memikirkan ini," ujar Mikasa ia menghindari tatapan Levi.

"Kalau begitu keluarkan apa yang ada di kepalamu."

Mikasa menatap kembali kedua mata Levi.

"Hatiku berdebar tidak karuan dan nafasku menderu setiap kali kau menyentuhku seperti ini."

Kali ini Levi menaikkan alisnya, ia bergeming.

"Ketika aku membuat bekal untukmu aku selalu memikirkan bagaimana reaksimu saat memakannya. Setiap kali kau menjemputku aku sangat kesal tapi entah mengapa aku juga merasa lega, waktu kau tiba-tiba menjauhiku jujur aku merasa sangat hancur, wajahmu tidak pernah lepas dari benakku." Mikasa menarik nafas. "Saat aku menangis malam itu aku tidak hanya menangisi Farlan, sekedar kau tahu, aku juga menangis karena rindu," ujar Mikasa bertubi-tubi, nafasnya memburu, dadanya naik turun, ia lontarkan semua yang ada di dalam pikirannya.

Levi memeluk gadis tersebut, tanpa pikir panjang. Mikasa sedikit terkejut tapi ia bersyukur Levi tidak melihat wajahnya yang sangat kacau sekarang.

"Tapi aku masih tidak tahu kalau itu semua cinta atau tidak…" ujar Mikasa lirih.

"Apa kau membenciku?" tanya Levi, ia masih memeluk Mikasa.

"Sebenarnya… tidak."

"Maukah kau membalas pelukanku ini?" Levi makin mengeratkan lengannya, ia meletakkan dahinya pada pundak Mikasa. Terdengar seperti permohonan.

Gadis itu perlahan melingkarkan lengannya pada tubuh Levi, "Ada apa?"

"Lihatlah," Levi mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Mikasa, "Kau tidak menolak untuk memelukku sekarang."

Wajah Mikasa kembali memerah, hampir seperti saat Levi mencubit kedua pipinya. Ia segera melepaskan tangannya tapi Levi menahannya.

"Tubuhmu ternyata lebih jujur terhadap perasaanmu huh?" ujar Levi.

"Berisik."

"Akui saja Mikasa."

"aku tidak mengerti maksudmu."

Oh, sebenarnya Mikasa tahu betul apa itu.

"Kalau kau itu—"

Mikasa menutup mulut Levi dengan cepat.

Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Pikirannya sudah melayang terlalu jauh dan hatinya sudah tenggelam terlalu dalam pada lelaki yang ada di hadapannya.

Mungkin Levi benar… mungkin Mikasa memang…

"Aku mencintaimu Levi senpai."

Secepat kilat Mikasa keluar dari pelukan Levi, mengambil tasnya kemudian berlari keluar sekolah. Wajahnya ia sembunyikan dibalik poni rambut dan syalnya.

Levi masih mematung, memperhatikan Mikasa berlari menjauh.

Lelaki itu mendengus, ujung bibirnya tertarik ke atas, "Aku dengar jawabanmu itu Mikasa."

.

.

Hanji melongo melihat tulisan yang tertera di ponselnya. Satu pesan singkat dari Levi. Yah, hampir tidak pernah lelaki datar itu mengirim pesan padanya. Tapi kali ini Hanji seperti bisa mengira-ngira apa yang ada di dalamnya.

Dari : Levi-kyun

Ingatkan aku, aku berhutang padamu sebuah mantel baru.

Gigi Hanji muncul dibalik senyumannya.

"Yay!"

"Apa itu temanmu?"

Hanji menoleh ke depan, Erwin sedang memegang gelas kacanya yang setengah penuh.

"Oh, Levi baru saja mengirimiku pesan," jawab Hanji.

"Hmm, kukira Levi bukan orang yang suka berkirim pesan," kata Erwin, ia menegak isi gelasnya lagi, sesekali tersenyum pada orang yang lewat di depannya.

"Well, dia bukan Levi yang sama lagi kau tahu." Hanji tertawa kecil, "sejak bertemu anak kelas satu itu ia mulai berubah, aku kadang dibuat tak bisa berkata-kata dengan tingkah barunya."

Alis Erwin terangkat, "Oh, apakah murid itu Mikasa Ackerman?"

"Waw paman, kau ternyata kepala sekolah yang cukup gaul juga."

"Aku terlalu sering mendengar nama mereka berdua di ruang guru, mereka sudah jadi perbincangan sehari-hari."

"Apa yang guru-guru bicarakan tentang mereka?"

"Yah, mereka sering membanding-bandingkan kedua murid itu, kadang ada guru yang membuat taruhan tentang siapa yang akan mendapatkan nilai lebih tinggi di ujian."

"Ternyata guru-guru itu konyol juga." Hanji tertawa, ia ikut meneguk isi gelasnya yang masih penuh.

Malam itu keluarga besar mereka berkumpul di rumah Hanji, menggelar pesta di penghujung musim gugur. Pemilihan waktu yang aneh mungkin, tapi hal tersebut sudah jadi tradisi untuk keluarga ini.

"Lalu? Sebenarnya apa yang terjadi antara mereka berdua?" tanya Erwin.

Hanji sedikit terkekeh, "kukira kau sudah bisa menebaknya Erwin, tentu saja mereka menjadi pasangan sekarang."

"Eh?"

"Sebuah couple, kau tahulah."

"Ah, mereka pacaran?"

Hanji mengangguk, "Ini pertama kalinya Levi Ackerman menyukai seorang perempuan, selama ini kukira dia itu gay," kata Hanji sambil tertawa.

"Hmm, mengenai nama Ackerman, marga mereka sama bukan?"

Hanji memakan pudding coklat dari atas meja, "Ya, aku merasa itu seperti takdir saja."

"Sejak aku melihat nama Mikasa sebagai perwakilan murid baru aku selalu merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya."

"Tentu saja, itu nama belakang Levi juga kan?" Hanji kembali mengunyah.

Kepala sekolah berambut pirang tersebut meletakkan gelasnya yang sudah kosong, "Bukan, tapi nama depannya."

"Hmm?" Hanji berhenti mengangkat sendoknya, "Mikasa? Kenapa dengannya?"

"Entahlah, hanya firasat." Erwin tersenyum, ia berdiri dari sofa.

"Kurasa aku akan pulang lebih cepat, ada sesuatu yang ingin kukerjakan di rumah," ujar Erwin sebelum berpamitan dengan semua sanak saudaranya.

.

.

ErenHunters : KAU BERPACARAN DENGANNYA?

Mikasa840 : Eren kau tidak perlu menggunakan caps seperti itu.

ArminArmout : Wah Mikasa, aku turut senang mendengarnya.

ErenHunters : Yah aku hanya terkejut mengetahui fakta barusan…

ArminArmout : Aku tahu Levi menyimpan perasaan itu padamu, tapi aku tidak menyangka kalau kau juga, hahaha Selamat sekali lagi Mikasa!

Mikasa840 : aku juga tidak menyangka kalau aku akan menerimanya…

ErenHunters : HAHAHAHA Aku tidak sabar melihat wajah Jean ketika tahu kabar ini

Mikasa840 : ?

ArminArmout : Eren….

ErenHunters : Yah, maafkan aku hehe. Ah aku lupa mengucapkan Selamat. Selamat Mikasa untuk pacar pertamamu! Kau harus mentraktir kami untuk ini!

Mikasa840 : Hmm… Ah… kumohon rahasiakan ini dari semuanya. Aku bisa mati karena malu jika semua tahu aku menjadi pacar dari orang yang selalu menyiksaku.

ArminArmout : Lho? DIa memang sering menyuruh2mu Mikasa. Tapi menurutku dia sangat baik padamu

ErenHunters : Yap, dia menjemputmu tiap pagi bukan? Ah… aku juga mau jika ada yang menjemputku seperti itu….

Mikasa840 : Bukannya kau suka pergi sekolah bersama Jean? Yah… dia memang kadang baik… kadang…

ErenHunters : HAH, Jean tidak masuk hitungan! Muka kuda itu memang tinggal sekomplek denganku jadi aku sering ketemu di jalan.

ArminArmout : Percaya saja padanya Mikasa. Aku yakin Levi bukan tipe lelaki brengsek, kalau ia melukaimu katakan saja padaku dan Eren.

Mikasa840 : Terima kasih Armin.

ArminArmout : Yah ini sudah tengah malam aku tidur duluan ya.

ArminArmout Signout.

ErenHunters : Aku juga percaya pada Levi senpai. Ia pasti bisa membuatmu bahagia, hehe. Aku senang sekali kau akhirnya menemukan lelaki yang kau sukai.

Mikasa840 : Eren…

ErenHunters : Sejak malam natal tahun itu, kau hanya bergaul dengan aku dan Armin. Aku senang Levi senpai dapat membuka hatimu. Semoga kau bahagia dengannya Mikasa.

Mikasa840 : Kalian tetap menjadi orang penting bagiku dibanding Levi senpai… kalian sahabat yang tidak tergantikan.

ErenHunters : Aku tahu, aku tahu hahaha. Katakan saja kalau Levi melakukan hal yang buruk padamu oke? Aku akan menghajarnya!

Mikasa840 : Eren… kau pernah dirobohkan olehnya dengan sekali tinju…

ErenHunters : Yah… aku akan berusaha hehe. Kalau begitu sampai jumpa besok di sekolah! Aku akan tidur juga. Selamat malam Mikasa.

ErenHunters Signout.

Mikasa840 : Selamat Malam Eren.


Gadis berambut hitam itu menghela nafas, ia masih memperhatikan layar ponselnya dan membaca kembali percakapan barusan dengan kedua sahabatnya itu. Ia memperhatikan langit-langit kamarnya.

Sesekali Mikasa pejamkan matanya. Ia tidak bisa tidur, rasanya ada sesuatu yang meluap-luap di hati yang memaksanya untuk terus terjaga. Sesekali juga wajah Levi muncul di benaknya dan wajah Mikasa memerah.

Ia menatap boneka panda yang ada di sampingnya.

"Kau…" bisik Mikasa, "Dasar pencuri hati."

Aneh rasanya. Yah, aneh bagi seorang Mikasa.

Menjalin sebuah ikatan percintaan dengan seseorang adalah kali pertama dalam hidupnya. Dan orang itu adalah Levi Ackerman. Orang yang sejak beberapa bulan lalu merupakan orang paling menyebalkan dalam hidup Mikasa.

"Aku pasti sudah gila juga… menerima pernyataan lelaki itu," gumam Mikasa, "Arggh!" Gadis itu berguling ke arah dinding, menutup wajahnya dengan bantal. Mengingat kembali kejadian sore tadi di halaman belakang sekolah.

"Aku mencintaimu Levi senpai."

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya, membuat Mikasa ingin mencakar-cakar tembok kamarnya. Mau bagaimana lagi, itu pernyataan cinta pertamanya.

Ponsel gadis itu bergetar, Mikasa mengangkat wajahnya, meraba-raba benda tersebut di atas kasurnya dan melihat layarnya.

Nama Levi tertera di sana.

Aneh memang. Tapi malam ini memang malam yang aneh. Mikasa merasa panik begitu tahu Levi sedang menelponnya. Ia menekan tombol untuk menerima pada akhinya, walau cukup lama.

"Kau tahu ini sudah tengah malam," gerutu Mikasa begitu ia angkat telponnya.

"Ya, dan aku tahu kau sedang memikirkanku di sana," jawab suara di sebrang.

Bingo, hal tersebut tepat mengenai Mikasa.

"Teruslah berkhayal senpai… aku sedang mencoba untuk tidur di sini."

"Kukira bukan hanya aku yang tidak bisa tidur karena memikirkanmu, ternyata aku salah huh?"

Mikasa menggigit bibirnya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Apa kau sedang menggodaku?"

"Apa salahnya menggoda pacar sendiri."

"Terserah."

"Minggu ini kau punya waktu luang?"

"Hmm, ada apa?"

Levi terdengar mendengus di sana, "Tentu saja aku mengajakmu kencan, bodoh."

"Kau bilang kau mencintaiku tapi kau tetap memanggilku bodoh."

"Kau bilang kau mencintaiku tapi kau masih menggunakan bahasa kasar padaku." Levi tidak mau kalah.

"Hiss..."

"Baiklah," ujar Levi, "Aku tidak akan memanggilmu bodoh lagi, tapi kau harus berhenti memanggilku senpai."

"Huh? Memangnya kenapa?"

"Levi saja."

"Aku memang memanggilmu Levi kok."

"Ya, tapi lebih sering dengan imbuhan senpai. Sore tadi saja kau me—"

"Ah! Ah! Berhenti! Baiklah aku akan memanggilmu Levi saja," sela Mikasa, ia tidak mau Levi membicarakan hal sore tadi.

Mikasa bisa mendengar Levi tertawa kecil di sebrang sana, "Tch… kau menikmati sekali sepertinya," gumam Mikasa.

"Aku hanya suka mendengarmu terdengar panik," kata Levi, "baiklah kembali ke masalah kencan, kau mau kemana?"

Mikasa terdiam sesaat.

"Kau suka buku Levi?"

"Yah, aku punya banyak buku," jawab Levi.

"Perpustakaan di balai kota bukanlah tempat yang buruk."

Levi tersenyum, "Perpustakaan untuk tempat kencan pertama. Kau memang bukan gadis normal."

"Apa maksudmu huh?" ujar Mikasa ketus.

"Tidak—Err… Baiklah, akhir minggu ini, awal musim dingin kita habiskan bersama."

"Err…" gigi Mikasa beradu.

"Tch, apa maksud nada suaramu barusan."

"Kata-kata romantismu memuakkan Levi."

"Berisik."

"Levi kau sebenarnya bukan orang yang canggung dengan hal romantis bukan?" goda Mikasa, ia merasa telah memegang kelemahan Levi. Sesekali ia pernah melihat muka Levi terlihat memerah kemarin.

"Tahu apa kau."

"Hanya intuisi wanita."

"Tidurlah Mikasa, aku tidak mau kau melupakan bekalku besok."

"Hahaha. Baiklah, baiklah." Mikasa tersenyum menahan tawa, ia merasa wajah Levi sedang terlihat malu di sana.

"Tunggu," panggil Levi, Mikasa menempelkan kembali ponselnya yang belum ditutup pada telinganya, "Kenapa?" sahut Mikasa.

"Selamat tidur Mikasa."

Wajah Mikasa memerah.

Sejujurnya wajah Levi juga memerah di sebrang sana.

"Se—selamat tidur juga—Levi," jawab Mikasa pelan, ia segera menutup telponnya setelah itu.

"Uh… dasar bodoh…" gumam Mikasa sambil membenamkan wajahnya pada bantal.

Di sisi yang lain Levi memejamkan matanya di atas kasur, berharap alam tidur mendatanginya tapi nyatanya senyum Mikasa yang menghampirinya.

Lelaki itu membuka matanya, dan membanting bantal pada wajahnya.

Sepertinya kedua Ackerman itu akan sulit tidur malam ini.

.

.

"Ibu."

"Farlan? Kenapa?"

"Mikasa baru saja pergi tidur." Farlan memasuki kamar ibunya yang sedang bekerja itu, "Aku mau bertanya."

Wanita itu tersenyum pada anak lelakinya itu, "Apa itu?"

"Apa aku dan Mikasa benar-benar bersaudara?"

Senyum di wajah ibunya menghilang.

.

.

Mikasa bergegas ke pintu depan rumahnya setelah mendengar suara ketukan, ia baru saja menyelesaikan bekal miliknya dan Levi tapi ibunya sudah terlebih dahulu membuka pintu tersebut.

"Ah, Levi," kata wanita separuh baya itu riang, "Kau menjemput Mikasa lagi pagi ini?"

Lelaki itu tersenyum dan menundukkan tubuhnya Sembilan puluh derajat, "Iya."

Mikasa yang berdiri di belakang ibunya daritadi hanya bisa menggigit bibir, "Kenapa kau tidak menunggu di motormu saja seperti biasa."

"Yaampun Mikasa kau tidak boleh kasar seperti itu!" seru ibunya, ia menarik lengan Levi, "Masuklah ini masih pagi sekali, sarapan lah dulu."

"Biar aku saja yang buat, ibu kembali tidur saja," Mikasa menggenggam tangan ibunya tersebut, "Kau kan pulang larut lagi, ya? Ya?"

Wanita tua itu tersenyum, "Baiklah, ibu akan kembali tidur setelah kau pergi sekolah."

Mikasa tersenyum memperhatikan ibunya pergi ke dapur menuangkan susu, gadis itu kemudian menoleh pada Levi di sampingnya.

"Apa yang kau lakukan disini," tanya Mikasa sedikit ketus, tapi ia tidak punya niat buruk pada Levi. Kebalikan, sebenarnya ia cukup senang melihat Levi pagi hari di rumahnya.

"Menjemputmu, apa lagi?"

"Biasanya kau menunggu di motor sambil membunyikan klakson."

"Siapa bilang kita akan naik motor?"

"Eh?"

"Aku ingin sekali naik bus hari ini," kata Levi sambil berjalan ke dapur.

Mikasa mendengus, ia mengikuti 'kekasih' barunya itu dan melihatnya menegak susu yang dituangkan ibunya barusan. Ibunya tampak senang berbincang dengan Levi, Mikasa hanya tersenyum sambil meminum susunya hingga habis.

Yah entah kenapa ide gila itu muncul seketika di pikiran Mikasa. Ia menarik tangan Levi di hadapan ibunya, lelaki itu tampak sedikit terkejut.

"Ibu, biar kukenalkan sekali lagi. Ini Levi Ackerman, dia kekasihku," kata Mikasa.

Kedua mata wanita tua itu membulat, Levi pun mengangkat alisnya, sempat terkagum.

"Ah… benarkah itu? Kukira waktu itu kau bilang dia hanya seniormu?" tanya wanita tersebut.

"Memang, tapi sekarang dia kekasihku." Mikasa menarik syal merahnya sedikit menyembunyikan wajahnya yang malu dari ibunya.

"Ya ampun, Mikasa aku sangat senang mendengarnya," ujar wanita itu sambil tersenyum, ia melirik Levi, "Datanglah nanti malam untuk makan malam, kebetulan aku libur hari ini."

"Baiklah," jawab Levi, wanita tua itu mengusap-usap kepala Levi, membuat lelaki itu mau tak mau terdiam dan tersenyum masam.

"Kau tampan dan sopan ya Levi," puji wanita tersebut.

Mikasa menahan tawa, "Baiklah ibu, kami akan berangkat, ayo Levi."

.

.

"Hahahaha," Mikasa mengibaskan poni rambut Levi yang berantakan, "Baru kali ini aku melihat wajahmu seperti itu di depan ibuku."

"Aku kan harus membuat kesan baik dengannya," gumam Levi, ia membiarkan Mikasa merapikan rambutnya sambil memperhatikan wajah gadis itu. Mikasa kelihatan senang pagi ini.

Mikasa dapat merasakan hembusan angin dari jendela di belakangnya, kemudian menutupnya, "Musim dingin benar-benar sudah dekat," kata Mikasa sambil memperhatikan jalanan dari jendela bus sambil mengetatkan jaketnya.

Levi yang duduk di sampingnya ikut menoleh keluar, lalu ia menatap Mikasa.

"Kau tidak tahan dingin huh?"

"Sedikit," jawab Mikasa singkat, matanya masih tertuju pada pemandangan di hadapannya.

Levi mendengus, "Ya, sedikit jika maksudmu bisa membuatmu pingsan seperti waktu itu."

Mikasa menoleh, "Itu karena anemia juga, jika kondisiku sedang fit, udara dingin tidak masalah bagiku."

Levi menyandarkan kepalanya pada bangku, "Jujur, aku kurang suka musim dingin."

"Eh? Kenapa?"

"Rumahku jadi lebih ramai dan—" Levi melirik Mikasa.

"Apa?"

"—Tidak… mungkin itu saja."

"Dasar lelaki aneh," gumam Mikasa.

Levi menarik tangan Mikasa yang ada di pangkuan gadis itu. Mikasa sedikit terkejut tapi ia membiarkan Levi menggenggamnya. Seniornya—kekasihnya—itu memasukkan genggaman tangannya ke dalam saku mantel miliknya.

"Levi!" seru Mikasa.

"Tanganmu dingin sekali, bukannya dengan begini akan lebih hangat?"

Gadis itu menghela nafas sambil menatap lelaki yang duduk di sampingnya itu kembali bersandar pada kursinya. Ia bisa merasakan jemari Levi memainkan jemarinya di balik saku. Segera Mikasa tenggelamkan wajahnya pada syal miliknya dan mengalihkan pandangannya ke jendela.

Sudut bibir Levi terangkat melihat kekasihnya itu.

Naik bus ke sekolah tidak buruk juga.

.

.

To be Continued


.

.

A/N

:')

:")

:"")

Ya ampun… lagi-lagi aku begitu lama apdet fanfic ini :')

Tapi seperti janjiku, aku bakal terus lanjutin cerita ini :')

Maaf sekali pembaca-pembaca disana :'( UAS aku baru kelar tengah Januari ini…. Dan sebelumnya aku banyak banget tugas :') ga kepegang buat ngetik ini deh :') maaf banget bagi yang review minta dilanjutin. Ini emang udah lebih dari sebulan :')) maaaaaf :'(

TAPI AKHIRNYA SEKARANG LIBUR. YEAAHHH. DAN AKU LIBUR SAMPE MARET HAHAH

JADI~~ Kemungkinan fanfic ini bakal apdet tiap minggu

YUUHUUUU~~

DOAKAN OTAK SAYA AGAR LANCAR NGETIK INI OKEH :'D

CHAPTER INI NGURAS IDE BANGET O)-(

Mungkin ada keanehan di tulisanku ya? Soalnya ga ngetik beberapa bulan pasti ngaruh :') Semoga kalian suka chapter baru ini ya :) :)

Balesan review untuk guest :3 :3

[Mika-chan]Makasih banyak Mika Iri sama mereka? Humm… aku marah ngeri sama hubungan mereka :'D [Kompor Meleduk] Terima pernyataan Levi? HUMMM bisa dilihat di chapter ini ya :D :D Hahahaaa [Ui] Maaf ya aku apdetnya lelet :') ini lanjut akhirnya :") [Freedom of Life] Romantic scene buat dua makhluk itu tuh susah banget mikirinnya :') di chapter ini udah cukup romantiskah? Hehehe [Caraka PW] EH? BONEKA? HUMM… aku sendiri punya boneka Levi di kasur… dan sekadar buat pelampiasan :') kalo lagi ngetik dan mentok ide kadang aku banting2 biar ilangin stress :'D HAHAH [Tou-chan] AIH MAKASIH BANGET fic ini di kangenin kamu :') makasih reviewnya ya [Awesome] GANBATTE! Makasih reviewnya! Kamu Awesome~~! [Diri] AIH :') makasih rela setia buat fanfic ini :') MUAH MUAH makasih reviewnya ya :'D [N] MUAH JUGA BUAT KAMU AIH :*Senang buat kamu senang :)) Makasih Reviewnya N~ [Caroline-chan] Yup ini masih TBC :') nantikan terus ya caroline-chan! Jangan sering senyum2 sendiri juga yah :') nanti kamu dikira aneh sama orang2 :') (padahal sendirinya juga suka begitu) [INTAN] Eh? Akun FB? Yg nomor itu? Aku ga bisa buka… kamu PM aku aja di twitter okay, ada di bio aku. Minta maaf banget udah buat kamu nunggu lama :')) makasih masih setia sama Scar :')) Thanks untuk semua reviewnya! [MinaBasyira] Makasih buat reviw kamu yaa! :* [Alice] Aku senang kamu suka ini :')) makasih reviewnya!

Nantikan terus kisah dua makhluk paling gila ini yaaaa :'D

Makasih sudah membaca dan meninggalkan review!

LET ME LOVE YOU AWKAY

Light.