.

Between You and Me

.

Main Cast :

- Jung Yunho

- Kim Jaejoong

- Park Yoochun

Supporting Cast :

- Park Sandara (Dara 2NE1

- Lee Sunho ( Andy SHINHWA)

- Lee Donghae ( Super Junior)

- Boa

- Victoria (Fx)

- Hyung Joon (SS501)

Warning :

Genderswitch! ( Just Jaejoong and Junsu), TYPO!

Disclaim :

Sudut pandang di cerita ini hanya memakai sudut pandang main cast.

.


.

Chapter 1

.

Jaejoong.

"Kau cocok menggunakan yang ini, Jae," Yoochun menunjuk salah satu gaun pengantin yang terpampang di majalah yang sedang aku buka. Modelnya sederhana, hanya gaun terusan berwarna putih gading. Tetapi, bagian dadanya terlalu rendah dan bagian punggungnya benar-benar terbuka tanpa sehelai kain.

Aku menatap tajam kearahnya. "Kau memang pervert."

Dia hanya meringis, kemudian merangkulku. "Tetapi kau memang bagus jika memakai gaun itu. Kau pasti terlihat sangat cantik."

"Tanpa memakai itu pun aku sudah cantik!"

Dia memandangku disertai seringai di bibir tebalnya. "Aku tahu." Dia mencium pipiku sekilas. Kebiasaannya yang tak pernah berubah.

Saat ini kami memang berada di salah satu butik khusus pakaian pengantin. Melihat-lihat gaun dan jas yang bagus untuk kami kenakan nanti.

Aku beranjak dari dudukku, melihat gaun-gaun yang berjejer rapi di sana. Mulutku terbuka saat melihat sebuah gaun yang menurutku bagus. Gaun terusan sebatas dengkul berwarna peach, bagian dada tidak terlalu terekspos. Aku memang tidak suka memakai pakaian yang membuat dadaku terekspos—jika tidak terpaksa. Aku bukan munafik! Namun, aku anti terhadap pria, aku tidak ingin tersentuh oleh tangan-tangan pria apalagi pria hidung belang. Menjijikkan. Membayangkannya saja, aku malas.

Hanya ada satu pria yang boleh memegang pinggang—titik tersensitifku, menyentuh kulit ataupun menciumku. Yaitu Yoochun.

Tiba-tiba dia memelukku dari belakang, menumpukan dagunya di pundakku. "Jadi, kau suka yang itu?"

Aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, kau coba dulu saja. Takutnya nanti tidak muat. Bukankah sudah kusuruh kau untuk diet?" Dia mengelus perutku. "Tapi, apa ini? Buncit!"

Aku melepas pelukannya dengan kasar. Dan memukul lengannya dengan kuat. "Berani sekali kau mengejekku?"

"Itu fakta!"

"Enak saja. Kau lebih buncit!" Aku menatapnya tajam seraya memajukan mulutku.

Dia mencium pipiku kembali. "Jangan kau memajukan bibir bawahmu seperti itu. Terlalu menggemaskan!"

"Dari dulu aku menggemaskan!"

Dia mengabaikan perkataanku dan memaksaku untuk mencoba gaun itu. Sedangkan dia sibuk mencari setelan jas yang menurutnya menarik.

Aku segera memasuki kamar khusus untuk berganti pakaian, disusul dua orang pelayan yang akan membantuku mengenakannya. Aku cukup heran, mengapa harus dua orang yang mengikutiku? Bahkan aku bisa melakukannya sendiri, gaun ini tidak sama seperti gaun-gaun pengantin pada umumnya. Hanya gaun biasa, gaun khusus pesta. Tetapi, aku tidak mau ambil pusing. Lagipula ini bagian dari pekerjaan mereka.

Aku segera membuka pakaian kerjaku, blus dan rok span. Setelah itu, aku langsung menggunakan gaun yang tadi memikatku. Salah seorang pelayan merapikan gaun itu dan menarik resletingnya keatas. Seorang lainnya, merapikan rambut panjangku yang berwarna auburn. Ia mengepang rambutku ke arah samping kanan, sedangkan bagian atas dibuat sedikit bertekstur dan acak-acakan. Namun, tetap memberikan sentuhan natural dan membuatku terlihat semakin cantik. Sangat cocok dengan gaun yang kupakai ini.

Aku memandang diriku di cermin. Simpel, tapi elegan. Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Aku puas.

Aku melangkahkan kakiku keluar ruangan. Aku tak sabar ingin memperlihatkannya pada Yoochun. Apa yang akan pria itu katakan?

Aku menolehkan kepalaku kesana kemari, mencari pria itu. Rupanya, dia masih sibuk memilih jas yang akan dia kenakan nanti. Aku menggelengkan kepala. Cukup heran melihat tingkahnya, dia melihat setiap setelah jas tetapi tidak ada yang dicoba. Hanya sekadar dilihat.

Aku segera menuju kearahnya. Memegang pundaknya. Dengan sekejap dia langsung menoleh kearahku. Dan… mulutnya terbuka—cukup lebar, mungkin lalat pun bisa masuk, matanya tak berkedip selama beberapa detik. Dia kagum padaku.

"Jae, you're so beautiful. Really!" Dia langsung menarikku ke dalam pelukannya. Mencium pucuk kepalaku.

Aku melepas kasar pelukannya. "Jangan asal peluk! Gimana jika tatanan rambut dan gaunku jadi rusak? Huh!"

Dia tersenyum. Manis. "Maaf, baby. Aku terpesona padamu!"

"Kau selalu terpesona padaku." Seringai muncul di bibir cherry-ku "Jadi, kau sudah memilih jas mana yang kau inginkan?"

Dia menggeleng. "Belum. Aku bingung, begitu banyak pilihan."

Aku memeluk lengannya dan kami segera mencari jas, yang sekiranya cocok untuknya. Aku tersenyum saat melihat setelan jas warna hitam. Sama seperti gaunku, modelnya sederhana—seperti setelan jas pada umumnya, tapi kurasa ini cocok untuknya.

"Kurasa ini cocok untukmu." Aku mengambil jas itu dan menyerahkan padanya. "Coba dulu!" paksaku.

Dia pun berjalan gontai ke kamar ganti.

Tak berapa lama, dia keluar dari ruangan itu dan menghampiriku. Aku tersenyum puas dengan penampilannya.

"Kalian berdua sangat serasi," ujar si pemilik butik. Kami berdua hanya tersenyum.

Pintu besar butik itu terbuka, menampilkan seorang wanita yang sangat imut dan seorang pria tampan. Mereka berjalan kearah kami berdua. Sang wanita menatap kami kagum, seolah tak percaya.

"Kalian sangat serasi! Ini seperti kalian yang akan menikah, bukan aku," ujarnya, seraya mencubit pipi kananku gemas.

"Kami memang akan menikah dihari yang sama denganmu, Noona." Yoochun menarik dan memeluk pinggang mungilku, kemudian mencium pipi kiriku—lagi, ini sudah ketiga kalinya di butik ini.

Aku membelalakkan mata. "Yah! Siapa yang mau menikah denganmu."

"Kau!" ucapnya santai.

"Kalian berdua ini, selalu berselisih tetapi juga sangat mesra." Wanita itu menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua.

Kami memang seringkali berselisih entah itu hanya sekadar masalah sepele, tetapi bisa menjadi masalah besar bagi kami. Namun di satu sisi, kami juga sering menunjukkan kemesraan kami.

Sampai saat ini, hanya Yoochun yang bisa membuatku merasa nyaman. Dia juga tidak pernah jauh dari sisiku, kecuali saat ke kamar mandi dan tidur. Selebihnya, kami selalu bersama. Seperti sendok dan garpu.

Wanita itu mengikuti seorang desainer yang telah mendesain gaun pengantinnya ke sebuah ruangan untuk fitting. Disusul oleh pria tampan, calon suaminya. Dua minggu lagi, mereka akan menikah.

Wanita itu adalah Park Sandara. Kakak satu-satunya yang di miliki Yoochun, mereka hanya dua bersaudara.

Yoochun memiliki badan yang berisi—bukan gendut hanya sekadar berisi, tubuh yang tinggi, bibir yang tebal, lesung pipi yang manis, mata yang sipit, rambutnya seleher dengan poninya yang dipotong asimetris—bagian kanan agak panjang dan bagian kiri pendek berwarna hitam. Sedangkan Sandara memiliki tubuh yang sedikit kurus, tubuhnya pun tidak terlalu tinggi—bahkan lebih tinggi aku daripada dia, bibirnya tipis, matanya sipit—tetapi dia selalu menyamarkannya sehingga terlihat besar. Kulit mereka sama-sama putih susu, seperti diriku.

Dan calon suami Sandara bernama Lee Sunho. Pria itu tidak setinggi Yoochun, tetapi wajah mereka mirip jika dilihat sepintas. Sama-sama manis.

Aku dan Yoochun menyusul mereka memasuki ruangan itu.

"Hua… unnie, kau benar-benar cantik." Aku berjalan kearahnya. Memeluknya.

Dia memakai gaun berwarna putih. Gaunnya panjang, bagian bawahnya mekar seperti bunga, sedangkan bagian atasnya mengikuti lekuk tubuhnya.

Aku rasa Sunho beruntung memiliki istri seperti Sandara. Mereka pasangan yang serasi. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenal sosok Sunho, karena kami hanya beberapa kali bertemu. Saat Sandara memaksaku dan Yoochun untuk berjalan-jalan bersama.

Dan dia terlihat menyayangi Sandara. Jika aku ibaratkan, dia seperti pria-pria idaman dalam drama atau dalam sebuah novel.

"Terimakasih, my darling." Sandara membalas pelukanku.

Aku sudah menganggap wanita ini seperti kakakku sendiri. Ia benar-benar mengayomiku, membuatku selalu nyaman berada di sisinya. Alasan itu yang membuatku sering bermain di rumah Yoochun. Orangtua mereka pun, menerimaku dengan baik.

Aku melepaskan pelukan kami. "Aku mau ganti baju dulu ya, unnie."

"Jadi, kau akan memesan gaun yang itu?" tanya Sandara. Aku mengangguk mantap. "Baiklah."

Aku melangkah keluar ruangan, disusul Yoochun yang merangkul pundakku. "Baby, setelah ini kita kemana?"

"Makan." Setelah mengucapkan kata itu, aku segera masuk ke dalam bilik kamar ganti. Yoochun mendengus kesal. Setelah itu terdengar bunyi pintu yang ditutup, dia masuk ke dalam bilik kamar ganti—tepat disampingku.

Aku kembali memakai blus dan rok span. Merapikan rambut dan mengikatnya dengan asal, beberapa helai rambut keluar dari ikatan. Tapi, aku tidak memedulikannya. Aku lebih suka seperti ini.

Setelah selesai, aku keluar kamar ganti bertepatan dengan Yoochun yang juga sudah selesai berganti pakaian.

Dia tersenyum kearahku. "Kajja, aku lapar."

Aku menggamit lengannya dan kami menyerahkan gaun juga setelan jas pada pelayan disana, untuk dicuci dan disimpan karena kami akan memakainya pada hari pernikahan mereka nanti. Kami kembali ke tempat Sandara dan Sunho. Berpamitan.

"Noona, kami balik dulu, ya." Yoochun mencium pipi kanan kakaknya kemudian menjabat tangan Sunho. Begitupun denganku.

"Jika kalian berdua tidak datang ke acara pernikahanku, aku tidak akan berbicara dengan kalian lagi!" ucap Sandara seraya merangkul lengan Sunho.

"Kami pasti datang, unnie. Kami tidak mungkin melewatkan hari spesial kalian berdua. I love you." Aku mencium pipinya kembali. "Lagipula kami kesini khusus mencari pakaian yang akan kami gunakan pada pestamu nanti." Aku tersenyum padanya.

"Baiklah, kami pergi dulu." Pamit Yoochun.

Kami pun melangkah keluar butik, menuju mobil Yoochun yang di parkir tepat di depan butik.

"Jadi, kau mau makan apa?" tanyanya seraya menstarter mobil.

"Apa sajalah."

...

Aku mengutak-atik ponselku sembari menunggu makanan kami datang. Sedangkan Yoochun asyik membaca komik yang baru saja dibelinya. Jadi, sebelum kami ke tempat ini, dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko buku. Kemudian meninggalkanku sendirian di mobil yang masih menyala. Tak berapa lama dia kembali dengan membawa sebuah komik.

Aku memandangnya sekilas. Dia tampak serius membacanya. Dia memang tidak membeli komik yang lucu, karena dia lebih menyukai komik berbau detektif. Menjadi seseorang detektif adalah cita-citanya yang tidak kesampaian. Bukannya membantu menyelesaikan sebuah kasus, dia malah menambahkan kasus baru.

Seperti saat Sandara kehilangan uang—yang diletakkan di atas kulkas, karena setelah meletakkan pudding buatannya di dalam kulkas, dia lupa untuk mengambil uang itu. Yoochun pun membantu Sandara menemukan uangnya, bertanya pada para pelayan rumah, mencari kemungkinan yang terjadi. Dan…

"Ah! Uang 10ribu won itu, Noona? Yang diatas kulkas?" Sandara mengangguk, sedangkan Yoochun meringis. "Uang itu aku pakai untuk membeli es krim, aku kira uang itu tidak ada pemiliknya. Jadi, kupakai saja."

Sandara mendelik tajam padanya. Dia sempat curiga pada beberapa pelayan, tetapi justru sang adik yang mengambilnya. Dia pun jadi merasa bersalah pada pelayan yang dicurigainya, sehingga dia menembusnya dengan menraktir para pelayan.

Sedangkan Yoochun, dia malah ikut memakan makanan yang dibelikan Sandara untuk para pelayan. Bahkan dia tidak ikut berpartisipasi untuk membayar makanan itu. Merasa tidak bersalah.

Dengan kejadian itu, dan beberapa kejadian lain. Dia dinyatakan tidak lulus menjadi seorang detektif. Padahal komik detektifnya cukup banyak. Dia menyukai Detektif Conan.

"Aku ragu, kau mengetahui tentang trik-trik yang ada di komik itu," ucapku, masih sambil memainkan ponsel.

Dia menutup komik yang sudah dibacanya itu. Kemudian menatapku. "Tentu saja aku mengerti!"

"Aku masih ragu," lirihku.

Dia beranjak dari duduknya dan duduk di sebelahku. Melihat apa yang sedang kukerjakan di ponsel. "Kayak anak kecil," ujarnya, ketika dia melihatku sedang memainkan game Candypang.

"Apa bedanya dengan dirimu?"

"Tentu saja beda, komik itu tidak melulu untuk anak kecil. Yang membuat komik juga bukan anak kecil, tetapi orang dewasa." Dia mendekatkan dirinya padaku, kemudian membisikkan sesuatu. "Di dalam komik, juga ada adegan ranjang." Dia menjauhkan wajahnya dariku kemudian terkekeh.

"Dasar pervert!" desisku.

Pada akhirnya dia mengeluarkan ponselnya dan mengikuti bermain Candypang. Kami saling mengejar skor. Dia mendengus kesal ketika skorku lebih tinggi darinya, dia selalu tak ingin kalah dariku.

"Hai!" Sapa seseorang pada kami.

Dengan cepat kami mendongak, melihat siapa yang menyapa kami itu.

"Oh, Donghae!" Aku tersenyum padanya. Yoochun dan Donghae saling berjabat tangan, tetapi tidak denganku. Aku lebih memilih diam.

Pria itu duduk di depan kami. Tanpa permisi, dia mengambil kentang goreng yang belum tersentuh kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengambil lagi. Sepertinya dia kelaparan.

Donghae adalah teman satu angkatan kami saat di sekolah menengah atas. Setelah lulus, dia melanjutkan ke universitas yang berbeda denganku, begitupun dengan Yoochun.

Ah! Yoochun pun tidak melanjutkan ke universitas yang sama denganku, karena nilainya cukup rendah sehingga dia tidak lulus saat ujian masuk. Namun, karena aku meminta padanya agar kami satu kampus, dia pun mengikuti ujian masuk universitas lagi. Untuk kali ini dia lulus. Tetapi kami tidak satu angkatan. Tak mengapa, bagiku, yang penting aku bisa bersama dengan dirinya. Setidaknya bersama dengan dirinya, membuatku merasa aman.

Setelah lulus sekolah, kami sangat jarang bertemu. Jadi, pertemuan ini memang tidak disengaja. Aku pun tidak tahu dimana Donghae bekerja sekarang.

Dia menatap kami seraya tersenyum malu. "Ah! Aku lapar."

"Tak apa, habiskan saja jika kau lapar. Lagipula, kami sudah kenyang," jawabku.

"Kau sekarang kerja dimana?" tanya Yoochun seraya meminum Coffee Latte-nya.

"Di konsultan. Tidak jauh dari sini. Aku baru saja dari tempat klien, dan belum makan. Jadi, aku kesini."

"Dan, kita tanpa sengaja bertemu," tambah Yoochun.

"Tepat!"

"Apa ada kabar menarik tentang masa sekolah?" tanyaku.

Dia memandang kami semringah. "Minggu depan, angkatan kita akan mengadakan reuni di rumah Yeon Hee."

Yoochun terlihat sedang berpikir. Seolah mengingat, siapa yang dimaksud oleh Donghae. "Ah! Gadis mungil itu?"

"Yup! Gadis yang diincar oleh Taecyeon."

"Jadi, apa mereka berpacaran?" tanya kami berdua.

Berita ini cukup menghebohkan. Karena seorang Ok Taecyeon, pria tampan yang playboy ditolak oleh seorang gadis lugu—bukan lugu dalam artian kutu buku, tetapi polos. Bahkan Taecyeon rela mengorbankan harga dirinya, menyatakan cinta di lapangan basket. Siswa-siswi yang sedang belajar pun berhamburan keluar ingin melihat aksi seorang Ok Taecyeon.

Dia membawa buket bunga mawar merah, membuat lambang cinta menggunakan wajah keroro—kartun berwujud kodok itu, kartun kesayangan Yeon Hee—yang disulap menjadi warna merah muda—warna kesukaan Yeon Hee. Kami cukup terkejut, sejak kapan dia mempersiapkan semua itu.

Yeon Hee yang melihat itu dari teras kelasnya, menunduk malu. Dia merasa kelakuan lelaki itu sangat norak.

"Yeon Hee, jadilah pacarku." Taecyeon berjalan kearah Yeon Hee, menggenggam tangannya dan menarik perempuan itu ke tengah lapangan, ke dalam lambang cinta keroro. Dia menyerahkan gabus bergambar hati berwarna merah. "Jika kau menerimaku, peluklah hati itu. Tetapi jika menolakku, belahlah jadi dua."

Tanpa ragu, Yeon Hee membelahnya jadi dua dan berlari dari sana. Dia malu.

Taecyeon sangat kecewa dengan keputusan Yeon Hee itu. Dia juga merasa malu, sama seperti Yeon Hee. Tetapi, dia tidak juga menyerah, di lain hari, dia kembali berulah. Dia masuk ke dalam kelas Yeon Hee, menyatakan cinta disana. Tanpa peduli dengan pandangan marah sang guru atau ejekan teman sekelas Yeon Hee.

Saat kami lulus pun, cintanya selalu ditolak oleh Yeon Hee. Banyak yang menyerahkan diri untuk menjadi pacarnya, tetapi lelaki itu hanya menginginkan Yoen Hee, bukan yang lain.

"Bahkan mereka sudah bertunangan." Donghae menunjukkan ponselnya, dimana ada foto pertunangan Taecyeon dan Yeon Hee.

"Wah, mengapa kami tidak diundang?" tanyaku, seraya menyandarkan tubuh di sofa.

"Kalian terlalu sering berganti nomor ponsel. Dan tidak ada yang tahu nomor kalian."

Aku baru ingat, aku dan Yoochun memang seringkali mengganti nomor ponsel. Terutama aku. Jika ada seseorang yang mengajakku kenalan terlebih jika itu pria, aku akan langsung mengganti nomorku. Dan hal ini, membuat teman-teman, rekan kerja dan bosku kesal, karena mereka selalu bingung jika menghubungiku.

"Ah, aku minta maaf." Aku mengambil ponsel Yoochun yang ada diatas meja, kemudian menyerahkannya ke Donghae. "Kau catat saja nomormu disini."

Donghae mengambil ponsel itu dan mencatat nomornya kemudian menelepon ponselnya. Setelah itu menyerahkan ponsel Yoochun padaku, dan mencatat nomornya Yoochun di ponselnya.

"Jadi, acaranya minggu depan?"

Donghae mengangguk. "Yup! Aku akan menghubungimu, Jae, biar kau tidak lupa."

"Baiklah." Aku beranjak dari dudukku. "Donghae, kami balik dulu ya."

Dia mengangguk lagi dan memanggil pelayan untuk membereskan sisa makanku dan Yoochun. Setelah berpamitan kami segera keluar dari café itu.

.

.

Aku sibuk memilih gaun yang akan aku kenakan pada acara reuni angkatan. Sudah beberapa gaun aku coba, tetapi tidak ada yang membuatku berselera. Kamar ini terlihat berantakan karena ulahku, gaun-gaun itu berserakan di tempat tidur.

Yoochun tiba-tiba masuk ke dalam kamarku, sepertinya dia sudah tidak sabar karena menungguku sedari tadi. Dia menggelengkan kepala ketika melihat keadaan kamarku.

"Jae! Apa-apaan ini?" Dia berjalan kearah tempat tidur, menggeser beberapa gaun dan merebahkan dirinya disana. "Jadi, sedari tadi aku menunggumu yang sedang sibuk memilih gaun? Bahkan kau belum berdandan? Mengapa wanita begitu repot?"

"Aku bingung harus memakai yang mana. Tidak ada gaun yang menarik." Aku kembali mencocokkan gaun-gaun ini di tubuhku.

Dia bangun, dan melihat kearah gaun-gaun itu lagi. "Bukankah gaun-gaun ini jarang kau pakai?" Aku mengangguk. "Ya sudah pakai saja gaun yang menurutmu bagus."

"Tidak ada yang menarik."

"Jadi, mengapa kau membelinya?"

"Waktu itu lagi diskon. Harganya murah, jadi aku pun membelinya."

Dia menggelengkan kepala dan berdiri tepat disampingku. "Baiklah aku akan memilihkan untukmu, dan kau jangan protes."

Dia sibuk memilih beberapa gaun yang berserakan di tempat tidur. Setelah memilih, dia menyerahkan gaun warna hitam padaku. Aku membelalakkan mata melihat gaun itu. Bagaimana tidak? Gaun ini belahan dadanya strapless—lebih jelasnya seperti kemben, memperlihatkan bahu putihku. Gaun ini pun panjangnya sebatas paha dan ketat, memperlihatkan lekuk tubuhku.

"Aku tidak mau!" Aku langsung menolaknya.

"Pakai atau kau kutinggal? Aku ingin berjumpa dengan mereka."

Kami memang sudah lama tidak pernah bertemu dengan teman sekolah. Kira-kira sudah 8 tahun, jadi wajar jika Yoochun ingin segera kesana untuk bertemu mereka.

Tetapi, mengapa harus gaun ini?

Aku mengangguk pasrah. "Baiklah, aku akan memakainya." Aku berjalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamar.

Setelah selesai, aku berjalan kearahnya.

Dia tersenyum puas padaku. "Nah, gini lebih baik. Sekarang, mari kita berangkat." Dia berjalan menuju pintu kamar, namun aku segera menahannya. "Apalagi, baby?"

Aku membalikkan tubuhku. Aku melihat dirinya dari pantulan cermin di sampingku, terlihat bingung. Tetapi dia segera mengerti dan menarik resleting gaun ini ke atas.

"Sudah, jadi mari kita berangkat."

"Aku belum berdandan, Yoochun."

Dia mendengus kesal. "Cepetan!" Dia kembali merebahkan diri di tempat tidur.

Yoochun memang selalu tidak sabar, mungkin jika bukan menungguku, dia sudah pergi begitu saja tanpa mau menunggu. Dia hanya akan menungguku, Sandara, ataupun orang tuanya, dia tidak peduli dengan yang lain. Kecuali pada klien. Karena itu penting.

Aku hanya memoleskan bedak tipis pada wajahku. Memberikan lipgloss di bibir cherry-ku, aku kurang suka memakai lipstik. Dan mengikat rambutku—menyerupai konde, membiarkan beberapa helai rambut menjuntai kebawah. Yeah, I'm ready.

"Aku sudah siap, baby."

Yoochun segera bangun dan tersenyum kearahku. "Kau cantik," lirihnya dan menarik tanganku untuk keluar apartemen.

Beberapa mata memandang tak percaya, beberapa lagi memandang kagum padaku. Aku hanya tersenyum pada mereka.

"Aku tidak percaya, kau telah berubah, Jae," bisik Boa saat kami duduk di bar.

Rumah Yeon Hee telah dirubah seperti klub malam, selain ada bar juga ada lantai dansa dan lampunya diubah menjadi bulat dengan sinar yang redup. Sungguh! Aku tidak percaya jika Yeon Hee menyukai klub malam. Aku rasa karena dia berpacaran dengan Taecyeon, selain tampan dan playboy, pria itu terkenal suka dengan tempat-tempat seperti klub malam.

"Huh?" Aku menoleh kearah Boa, seraya meneguk minumanku.

Dia memperhatikan ku dari atas sampai bawah. "Penampilanmu, Jaejoong. Saat sekolah sampai kuliah, kau bahkan tidak pernah memakai pakaian yang terbuka seperti ini. Kau benar-benar berbeda."

"Ah, aku dipaksa memakai gaun ini oleh Yoochun," ucapku.

Si pelaku yang memaksaku memakai gaun ini, telah menghilang dari sisiku. Dia tengah asyik berkumpul dengan teman-teman dekatnya. Aku membiarkannya berlalu lalang kesana kemari, aku lebih memilih duduk di bar bersama dengan Boa, teman dekatku saat di sekolah dan kampus.

"Kalian berdua akhirnya menjalin kasih? Aku kira kau merajut kasih den—"

"Haha… Menurutmu?" Aku memotong pembicaraannya, karena malas mendengar satu nama yang akan dia tanyakan selanjutnya.

"Kapan?" tanyanya antusias.

"Apanya?"

"Kalian berpacarannya?"

"Ooh… Itu—"

Belum selesai aku berbicara, seseorang menepuk pundakku dan Boa. Si pemilik tangan tersenyum manis pada kami.

"Kalian disini rupanya." Victoria, wanita asal China yang menetap di Korea, salah satu teman dekatku juga. Bisa dibilang hanya mereka berdua teman dekatku saat di sekolah dulu. Dia duduk tepat disamping kananku.

"Kapan kau kembali dari China?" tanya Boa.

Aku memandang kearah Vic, "memangnya kau kembali ke China lagi?" Aku ketinggalan lagi informasi tentang teman-teman sekolahku. Sepertinya aku harus membeli satu ponsel lagi untuk komunikasi dengan teman-teman sekolahku ini. Dan ponsel yang sekarang—yang aku gunakan, khusus untuk keluarga dan Yoochun. Baiklah, besok aku akan meminta Yoochun mengantarkanku membeli ponsel.

Vic tersenyum kecut padaku. "Jae, kapan kau akan memakai satu nomor? Huh!" Dia meneguk minumannya yang baru diberikan batender padanya. "Aku sudah 3 tahun kembali ke China. Aku sekarang kerja disana, membantu perusahaan Appa-ku."

Aku mengangguk. Mengerti.

"Terus kau di Korea berapa lama, Vic?"

"Seminggu, Jae."

"Kalau begitu kita harus jalan-jalan," ucap Boa. Dan kami menyetujuinya. Lagipula, kami sudah lama tidak bertemu setelah lulus sekolah—kecuali dengan Boa.

"Apa kalian tahu jika si playboy telah kembali ke Korea?"

"Sungguh?" tanya Boa.

Bukan hanya Taecyeon yang playboy, tetapi ada satu lagi. Dan dia teman dekatnya Taecyeon, bahkan kelakuannya lebih parah dari Taecyeon. Banyak para wanita yang tergila-gila padanya, terutama wanita-wanita centil.

"Iya, katanya dia ak—" Belum selesai Vic berbicara, seseorang menepuk pundak Boa.

"Hai, honey." Hyung Joon—kekasih Boa, dia mencium kekasihnya itu dan mengajaknya ke lantai dansa. Sebelumnya ia tersenyum padaku dan Vic.

"Aku pergi dulu," pamit Boa. Kami hanya mengangguk.

Aku baru sadar, jika musik disko yang tadi mengalun kini berganti jadi musik mendayu ala musik-musik khusus dansa. Vic yang memang senang menari sudah menuju kesana bersama kekasihnya, setelah kepergian Boa.

Dan aku masih diam di bar. Aku tidak terlalu suka berdansa. Lebih baik melihat mereka larut dalam suasana romantis ini. Yoochun menghampiriku, karena teman-temannya tadi lagi asyik berdansa. Jadi, dia lebih memilih duduk bersamaku. Dia juga sama sepertiku, tidak terlalu suka berdansa. Kami memang sehati, ya?

Tiba-tiba pintu besar rumah Yeon Hee terbuka, seseorang muncul dari sana. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Semoga aku salah melihat.

"Lho, itu kan—" bisik Yoochun ditelingaku.

Tanpa menunggu Yoochun selesai berbicara, aku langsung menarik tangannya menuju ke lantai dansa. Dia terlihat enggan, namun tetap mengikutiku.

Kami saling berhadapan. Dia menatapku penuh kebingungan. Aku menggenggam tangan kanannya dan menuntunnya untuk memeluk pinggangku. Sedangkan tangan kirinya aku genggam, kami mulai berdansa—walau tidak seirama dengan yang lain.

Pria yang tadi masuk ke rumah ini, seolah berjalan kearahku. Aku malas melihat wajahnya.

"Yoochun, cium aku," bisikku di telinganya.

"Aku tidak mau."

Aku menatap wajahnya. "Aku mohon."

Dia menggeleng. "Tidak akan. Aku tidak berniat mencium—"

Aku langsung melumat bibirnya yang terbuka. Dia terlalu banyak berbicara, membuatku risih mendengarnya. Lebih baik aku yang mengambil alih. Aku dapat menyadari keterkejutannya. Namun sesaat, dia menikmati ciuman ini.

Dia melepaskan genggaman tanganku dan meletakkannya di pinggangku—seperti tangan kanannya itu. Aku mengalungkan tanganku di lehernya. Dia menggigit bibir bawahku, membuatku merintih. Kemudian dia melesatkan lidahnya ke dalam mulutku. Ciuman kami benar-benar panas.

Aku tidak peduli dengan keadaan sekitar kami, karena mereka pun melakukan hal yang sama. Berciuman. Mungkin, malam nanti akan ada pesta seks? Entahlah.

Sial! Aku mulai menikmati ciuman Yoochun ini. Aku bukan pencium yang handal, bahkan aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Ini adalah ciuman pertamaku. Berbeda dengan Yoochun, dia adalah pencium yang handal, dia sudah berciuman dengan beberapa wanita—kecuali aku. Dia hanya sebatas mencium pipiku saja, bukan bibir seperti saat ini.

Sejenak aku merasa melayang. Jadi, begini rasanya berciuman? Sangat menyenangkan.

Namun, aku kembali tersadar ketika suara langkah medekati kami. Aku rasa Yoochun tidak sadar jika seseorang berjalan kearah kami, dia menciumku dengan liar.

"Hei, cutie pie!" Suara itu terdengar jelas di telingaku. Aku berharap suara itu hanyalah mimpi, karena musik disko telah kembali mengalun tidak lagi mendayu. Tetapi beberapa pasangan masih asyik berciuman.

Tapi aku kembali sadar, jika ini bukan mimpi saat Yoochun melepaskan bibirnya dari bibirku. Aku ingin menciumnya lagi, agar aku tidak mendengar bahkan melihat wajah seseorang ini.

Semoga penglihatanku salah.

.

.

.

to be continued ~

review?

.

.