Clouds
by
sakhi
.
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
.
Cover Image © anach69
.
A Kuroko no Basket Songfiction
.
Lyric and Song © Zach Sobiech
.
Warning: child!GoM, child!Kagami, child!Momoi, pengasuh!HyuuAi, possibly OOC, missed typo(s)
.
Selamat membaca!
.
.
.
Maybe someday we'll take a little ride
We'll go up, up, up and everything will be just fine
.
Sore itu hujan yang sedari pagi tak kunjung berhenti dan menjadi satu-satunya alasan Riko terus mengomel akhirnya berhenti, menyisakan kolam-kolam kecil dan beberapa tetes air yang masih menggayuti dedaunan. Kuroko Tetsuya, bocah bersurai biru muda itu melirik teman baiknya, lalu kembali memandangi kolam-kolam kecil di halaman depan. Ia kelihatan murung, Kagami pun bingung.
Menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, ia menatap Kuroko, mencoba mengartikan mendung yang tercetak jelas di sana.
"Kuloko, ada apa? Kau pusing? Ada yang sakit? Bial kupanggil Mamaku," ujarnya ketika tak kunjung menemukan jawaban di balik wajah sedih Kuroko.
Yang ditanya hanya menggeleng.
"Apa kau demam?" Kagami menempelkan telapak tangannya di dahi Kuroko, lalu membandingkannya dengan suhu di dahinya sendiri. "A-astaga! Ini belbeda sekali dengan dahiku!"
Kagami panik. "T-tunggu sebental, ya? Bial kupanggil Mamaku. A-atau kau kugendong saja ke kamalmu?"
Kuroko menggeleng—lagi.
"Ya, ampun, Kuloko. Katakan sesuatu—"
"Kagami-kun tahun depan sudah masuk SD, ya? Apa Kagami-kun belencana mendaftal di SD yang sama dengan Akashi-kun dan yang lain?"
Kagami bungkam. Walaupun hanya sedikit, ia tahu apa yang ada di pikiran Kuroko sekarang.
"Aku belum menanyakan itu pada Mama," jawab Kagami seadanya.
"Kalau aku adalah Kagami-kun, mungkin aku akan memilih sekolah yang sama dengan meleka."
"Kenapa?"
"Kalena meleka adalah olang baik sepelti Kagami-kun yang mau menjadi temanku, dan belmain basket belsama meleka itu menyenangkan. Aku yakin Kagami-kun juga melasa senang sepeltiku."
Kagami diam-diam membenarkan ucapan Kuroko dan berharap suatu hari nanti bisa bermain basket dengan mereka lagi, dan Kuroko juga mengharapkan hal yang sama, namun rasanya terlalu mustahil baginya.
"Kagami-kun," suaranya bergetar. "Apa aku bisa kembali belmain basket? Aku ingin— ingin sekali belmain basket lagi dengan Kagami-kun dan teman-teman Akashi-kun."
Refleks, Kagami memeluk tubuh ringkih itu. Mengusap sayang surai biru muda yang semakin lama semakin sering berguguran saja. Kuroko ingin menangis. Ia tak bermaksud menyalahkan takdir, hanya saja tubuh kurusnya tak sanggup menahan beban seberat itu. Ia lelah, terlalu lelah.
"Kenapa? Kenapa aku halus sepelti ini? Aku ingin sepelti Kagami-kun dan yang lain. Aku ingin telus bisa belmain basket. Aku ingin masuk sekolah yang sama dengan Kagami-kun dan yang lain. Belajal belsama, lalu belmain kejal-kejalan, lalu kita bisa belmain basket belsama sepulang sekolah. Aku ingin sekali, Kagami-kun. Kenapa aku tak mempunyai kesempatan untuk itu semua? Apa aku tellalu nakal kalena seling membuat Hyuuga-san malah-malah lalu Tuhan menghukumku? Kalau begitu— kalau begitu aku akan meminta maaf pada Hyuuga-san dan beljanji tidak akan nakal lagi. Kagami-kun …" Ucapannya menggantung, ia dibungkam oleh isakannya sendiri. Sekali lagi, ia tak ingin menyalahkan takdir, hanya saja dadanya terlalu sesak sampai-sampai rasanya ingin meledak.
Kagami tahu Kuroko lelah. Ia mengerti mengapa Kuroko menangis sampai sesenggukan seperti ini. Tetapi, walaupun ia tahu dan ia mengerti, Kagami tetaplah Kagami—bocah berumur lima tahun yang masih cadel dan tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Kuroko dan ia benci akan hal itu. Ia membenci dirinya yang tak bisa menghibur bocah itu disaat seperti ini. Ia membenci dirinya yang selalu menangis sesenggukan di sudut kamarnya saat teringat ucapan ibunya mengenai kondisi teman baiknya. Ia membenci dirinya yang tak bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk meredam tangisan yang sebenarnya juga menyayat hatinya.
Kuroko mulai putus asa dan Kagami tak henti-hentinya mengutuki dirinya—
"Semua akan baik-baik saja, Tetsuya."
—lalu sosok itu datang mengulurkan tangannya, menarik paksa Kuroko dari dasar jurang keputusasaan.
"Berbicara seperti itu sama saja dengan menyerah. Kau tahu, Tetsuya, menyerah adalah hal yang dilakukan seorang pecundang."
Derai angin menggoyangkan cabang-cabang pepohonan, sesekali menerbangkan daun-daun kering yang tak mampu bertahan. Detik itu pula hujan rintik-rintik kembali turun, membasahi bocah bersurai crimson yang berdiri di antara kolam-kolam kecil di halaman depan dengan jas hujan yang sedikit kebesaran.
"Dan kau adalah seorang pecundang, Tetsuya."
Ucapan Akashi barusan berhasil menghipnotisnya, membakar emosinya.
"Jangan belbicala seolah-olah Akashi-kun mengelti—"
"Aku mengerti— mengerti kalau Kuroko Tetsuya yang kupikir pantang menyerah adalah seorang pecundang."
Kuroko berhenti menangis. Ia menatap kesal Akashi dan hanya dibalas Akashi dengan senyum mengejek.
"Kalau aku bisa beljalan aku akan memukulmu!" teriaknya kesal.
"Jangan mengatakan hal yang tidak bisa kau lakukan."
Kuroko semakin kesal.
Sedetik kemudian ia berlari ke arah Akashi, memukul kepala merah itu sambil berteriak, "Aku membencimu, Akashi-kun!"
Kagami tercengang. Bukan karena Kuroko memukul kepala Akashi, bukan. Lebih dari itu, sepasang kaki kecil Kuroko tidak lumpuh lagi. "K-Kuloko?"
Akashi tersenyum, memukul-mukul pelan kepala biru muda itu. "Jangan menyerah kalau kau belum ingin menyerah, Tetsuya. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan bersama, jika kau benar-benar ingin."
Akashi-kun … tersenyum?
.
.
.
And we'll go up, up, up
But I'll fly a little higher
We'll go up in the clouds because the view is a little nicer
.
"Nee … Akathithi mengapa aku tidak boleh mengajak Kulokothi belmain batet lagi-tu? Bukanna Kulokothi tudah tembuh dan bita belali untuk memukul kepala Akathithi?"
Akashi melirik-lirik Kise yang sepertinya mengajaknya adu jotos.
"Kau bodoh atau apa, sih, Kise? Tetsu itu belum sembuh. Keadaannya kemarin hanya sedang membaik dan dia bisa berlari begitu karena benar-benar ingin memukul kepala Akashi," komentar Aomine. Akashi mendelik. Walaupun apa yang dikatakan Aomine itu benar, ia tetap tidak terima karena ucapan Aomine barusan terdengar merendahkan di telinganya.
"Kau benar, Daiki."
Aomine berbinar. Akhirnya kejeniusannya diakui juga.
"Jadi kau tidak usah ikut dengan kami. Kami akan mengajak Tetsuya ke taman bermain."
"O-oi Akashi, ucapanku barusan tidak ada hubungannya dengan ikut kalian ke taman bermain, tahu!"
"Tentu taja ada! Kalau Aominethi ikut akan belitik dan akan membuat Kulokothi puting-tu!" ujar Kise sok pintar.
"Aku yakin Tetsuya juga akan pusing mendengar bicaramu yang tidak jelas itu, Ryouta. Jadi kupikir lebih baik kau temani Daiki saja."
"Eh …? Hidoi! Akathithi hidoi-tu!" Kise nangis buaya, Aomine malah tertawa.
Bosan mendengar obrolan tidak penting teman-temannya, Midorima sebagai yang paling waras saat ini kembali menekan bel. Beberapa detik kemudian paman berwajah mirip kucing berlari-lari ke arah mereka dan membukakan pagar. Selang beberapa detik, Kuroko dan Kagami muncul diikuti Hyuuga dan Riko yang sepertinya baru saja bertengkar, kelihatan dari ekspresi kesal Hyuuga dan Riko yang masih mengomel.
Kise yang melihat Kuroko langsung berlari memeluknya, lengkap dengan teriakan 'aku melindukan Kulokothi-tu'.
Aomine yang merasa malu dengan kelakuan abnormal temannya di depan pengasuh Kuroko langsung menarik Kise menjauh. Kise nangis buaya—lagi.
Kuroko tertawa, dan hati Riko luluh karenanya. Riko yang tadinya mati-matian memaksa Hyuuga supaya tidak memberikan izin pada Kuroko karena ia takut kondisi Kuroko memburuk lagi, sekarang malah mengelus sayang puncak kepala Kuroko dan Kagami. "Tolong jaga Kuroko-kun untukku, Kagami-kun," ujarnya lengkap dengan senyum termanisnya. Ia tahu teman-teman Kuroko yang warna-warni itu, ditambah Kagami, pasti bisa menghibur Kuroko, dan kebahagiaan Kuroko adalah hal terpenting baginya. Setidaknya aku ikut bahagia jika Kuroko-kun bahagia bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Bocah bersurai biru muda itu menatap heran teman-temannya yang kelihatan ceria sekali, kecuali Midorima yang tetap bertahan dengan ketsundereannya. Ia bahkan melihat Kagami begitu dekat dengan Aomine dan Kise, berjalan bergandengan tangan bertiga sampai-sampai meninggalkannya di belakang bersama Akashi. Heran, tetapi ia senang.
"Akashi-kun, kita akan ke mana? Belmain basket, ya?"
Akashi menggeleng, Kuroko cemberut. Ia berpikir teman-temannya akan mengajaknya bermain basket makanya mereka kelihatan bahagia sekali. Menatap Akashi, ia bertanya, "Lalu apa?"
"Ke taman bermain. Selain lapangan basket, taman bermain juga menyenangkan."
Kuroko tak percaya. Baginya yang paling menyenangkan adalah ketika mendribble bola basket di tengah lapangan.
"Tapi aku ingin—"
"Sembuh, dan aku akan menemanimu bermain basket seharian."
Langkah kaki Kuroko terhenti oleh ucapan Akashi. Ia menatap punggung bocah warna-warni yang terus berjalan di depannya, termasuk Akashi yang sepertinya tidak begitu peduli mengapa ia berhenti. Bersama angin yang berembus detik itu, ia bergumam, "Aku ingin belsama meleka sedikit lebih lama lagi, Tuhan."
"Mengatakan sesuatu, Tetsuya?"
"Ah, tidak, Akashi-kun."
Lalu ia berlari kecil untuk mengejar teman-temannya, kembali berjalan di samping Akashi. Entah kenapa ia ingin seperti Aomine, Kise dan Kagami yang kelihatan ceria sekali bergandengan tangan sambil bernyanyi walaupun Midorima berkali-kali meneriaki mereka untuk berhenti.
Kuroko meraih jemari Akashi, dan tersenyum ketika bocah crimson itu menatapnya kaget. Ia tahu mustahil baginya untuk menolak.
Menggenggam tangan Kuroko yang sedikit lebih kecil dan lebih kurus darinya membuat Akashi tahu suhu badan bocah ini sedang tidak normal dan sukses membuatnya tanpa sadar menatap si surai biru muda khawatir.
Kau harus bertahan lebih lama dari ibuku, Tetsuya.
"Akashi-kun."
"Ya?"
"Telimakasih banyak karena sudah mengajakku jalan-jalan ke taman belmain. Walaupun aku tidak yakin ada tempat yang lebih menyenangkan selain lapangan basket, tetapi aku yakin Akashi-kun tidak mungkin belbohong. Kalena belsama kalian, di mana pun itu akan telasa menyenangkan."
"Sepertinya kau lupa meminta maaf karena sudah memukulku, Tetsuya— dan, oh, aku lupa, bukannya kau mengatakan kau membenciku, ya?"
Kuroko membatu. Salah jika ia sempat berpikir Akashi akan cepat melupakan kejadian itu, malah sebaliknya.
"M-maaf, Akashi-kun."
"Aku tidak dengar, Tetsuya."
"Maaf …"
"Kau mengatakan sesuatu? Aku belum dengar."
"Akashi-kun, aku minta maaf, aku tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi dan aku tidak jadi membenci Akashi-kun!" ujar Kuroko setengah berteriak dan sukses menghentikan langkah teman-temannya yang lain.
Akashi memukul-mukul pelan kepala biru muda itu, "Anak pintar. Aku akan membelikanmu vanilla milk shake nanti."
Entah kenapa aku merasa ini tak akan lama.
.
.
.
Up here my dear
It won't be long now, it won't be long now
If only I had a little bit more time
If only I had a little bit more time with you
.
Malam itu Akashi sengaja mengunjungi Kuroko—setelah mendapat izin dari ayahnya tentunya—untuk mengecek apakah Kuroko masih demam atau tidak dan yang ia dapati malah suhu badan bocah itu yang malah semakin tinggi. Kagami dan Alex baru saja pulang saat Akashi sampai, jadi ia berniat memanggil Hyuuga atau Riko untuk memberikan obat atau apa saja yang bisa menurunkan demam Kuroko. Tetapi bocah biru muda itu malah menarik tangan Akashi saat ia beranjak dari duduknya, mengatakan pada Akashi untuk tidak meninggalkannya karena ia takut seseorang berpakaian serba putih akan mendatanginya lagi.
"Sebentar saja, Tetsuya. Aku akan segera kembali. Aku harus mencari sesuatu yang bisa menurunkan demammu. Demammu itu tinggi, Tetsuya, tinggi. Dan satu lagi, hantu itu tidak ada. Mengerti?" geram Akashi.
Paham dengan ucapan Akashi, Kuroko mengangguk pelan dan melepaskan tangan Akashi.
"Aku berjanji hanya sebentar. Aku akan kembali secepatnya. Kau akan baik-baik saja, Tetsuya. Percaya padaku," ujarnya sembari mengelus sayang surai biru muda Kuroko Tetsuya, lalu pergi untuk memanggil siapa saja yang bisa memberikan apa saja untuk menurunkan demam teman baiknya.
Kuroko mengangguk mengerti— mengerti kalau Akashi tengah membohonginya. Ia tahu tidak ada yang baik-baik saja, dan ia yakin Akashi juga mengetehuinya. Dan satu lagi, Kuroko tidak takut hantu seperti Kagami dan, Akashi mengetahui kenyataan itu.
Belum sempat Akashi memutar kenop dingin pintu kamar Kuroko, suara kecil yang bergetar telah menghentikannya. "Akashi-kun … beldalah …."
Detik itu pula kekhawatiran Akashi kian memuncak dan rasa takut kehilangan semakin menyesakkan dada. Ia tahu, wajar saja mimisan jika sedang demam tinggi. Tetapi ini Kuroko. Kuroko Tetsuya yang mengalaminya, dan ia dibuat bergetar karena takut hal buruk terjadi pada bocah itu. Ia takut kehilangan lagi.
Berlari menuju Kuroko, Akashi langsung menyeka darah yang keluar dari hidung Kuroko dengan sapu tangan miliknya. Bocah itu panik walaupun ini bukan yang pertama kalinya, dan cairan merah kental yang keluar semakin banyak saja.
"Tetsuya, tenanglah. Akan semakin banyak darah yang keluar kalau kau seperti ini," ujar Akashi berusaha setenang mungkin walaupun sebenarnya ia juga panik. Akashi mendongakkan kepala Kuroko (ia pernah melihat seseorang melakukannya di televisi dan hasilnya mimisan akan berhenti).
Tidak berhasil. Kepanikan Akashi semakin menjadi-jadi saat Kuroko berteriak—entah pada siapa di depan sana.
Ia terus meneriaki kalimat yang sama, sesekali menghentakkan-hentakkan kakinya di tempat tidur untuk menyuruh sosok itu menjauh. "Aku tidak ingin ikut denganmu! Aku masih ingin belmain belsama Akashi-kun dan yang lain! Pelgi! Pelgi! Pelgi dali kamalku! Pelgi!"
Akashi tidak terlalu mengerti apa atau siapa yang diteriaki Kuroko, yang ia tahu ia juga masih ingin bersama Kuroko, ia belum ingin bocah itu pergi, dan ia memohon karena ia tahu keegoisan telah menguasainya.
Sebentar lagi … kumohon biarkan kami bersama Tetsuya sedikit kebih lama lagi. Kumohon, Tuhan.
Lima detik kurang lebih, Kuroko mulai tenang. Ia berhenti berteriak dan menghentak-hentakkan kakinya, lalu menatap Akashi yang juga menatapnya dengan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajahnya.
Bulir-bulir air mata mulai mengalir di pipi Akashi berbarengan dengan satu kalimat yang berhasil mengukir senyum di wajah pucat Kuroko. "Dia sudah pergi, Tetsuya."
Detik itu pula Akashi tahu, ia mulai menyayangi Kuroko seperti ia menyayangi teman-temannya yang lain.
"Jika kau ingin tahu, Akashi-kun, nyeli di sekujul tubuhku benal-benal menyiksaku, sampai menangis pun lasanya tidak ada gunanya. Tetapi jika boleh memohon, aku ingin belada di sini sedikit lebih lama lagi belsama Akashi-kun dan yang lain."
Aku memang egois.
.
.
.
We could go up, up, up
And take that little ride
And sit there holding hands and everything would be just right
.
Hari itu Kuroko masih diberi kesempatan untuk menghirup udara segar dan ia menggunakannya untuk bermain bersama teman warna-warninya. Mereka berencana untuk bermain-main sampai sore karena hari ini adalah hari libur nasional. Mereka tidak memilih basket karena basket memerlukan banyak energi dan Kuroko tidak mempunyai itu. Mungkin taman bermain adalah pilihan yang paling tepat.
"Momoi-san cantik sekali," ujarnya setelah memasangkan bunga berwarna merah muda yang senada dengan rambut gadis kecil itu di telinganya. Hari ini Momoi Satsuki ikut dengan Aomine, memaksa ikut tepatnya karena ia benar-benar penasaran dengan Kuroko Tetsuya yang selalu dibicarakan Aomine.
Ia langsung menyukai Kuroko sedetik setelah surai biru muda itu menari-nari di bawah panduan angin. Cinta pada pandangan pertama, ia terpesona.
Lalu Kuroko menghampiri Kise dan Aomine yang tengah bermain ayunan dan memasangkan bunga yang sama di telinga Kise dan Aomine. "Kise-kun dan Aomine-kun juga cantik sekali."
Hati Momoi retak. Ia disamakan cantiknya dengan anak laki-laki.
Lain Momoi, lain pula Kise. Ia kegirangan dan memeluk Kuroko. "Apa aku tepelti putli talju-tu? Nee … nee … kalau begitu Kulokothipangelanna!"
Oh, Kise terlalu banyak menonton kartun Disney sepertinya.
"Tidak mau, Kise-kun," jawab Kuroko kalem tapi nusuk. Kise nangis buaya.
Aomine mendecih kesal, tidak terima dikatakan cantik walaupun sebenarnya Kuroko berbohong. "Oi, Tetsu,aku ini tampan, bukan cantik."
Krik, krik.
Midorima menahan tawa, begitu juga Akashi. Momoi dan Kise tertawa sekencang-kencangnya. Murasakibara—
"Mine-chin memang tampan, kok."
—entah kenapa hari ini ia tak tega melihat Aomine dibully. Kuroko mengangguk setuju dan Kise tidak terima, ia juga ingin dibilang tampan rupanya.
"Akashi-kun," Kuroko menghampiri Akashi sekarang. "Maaf sudah membuatmu menangis kemarin. Kumohon maafkan aku."
Akashi hanya menatap Kuroko, heran.
"Tadi malam dia datang ke mimpiku. Akashi-kun. Dia buka hantu."
Aku tahu, Tetsuya.
"Dia ibuku yang meninggal saat melahilkanku. Ibu tellihat cantik sekali. Lambutnya panjang telulai dan ibu mengenakan gaun putih sepelti gaun pengantin. Bola mata ibu belwalna bilu sepeltiku dan aku suka memandangnya. Ibu bilang ayah sudah menungguku dan ibu mengajakku pelgi. Tetapi aku menolak kalena aku belum pamit dengan Akashi-kun dan yang lain. Aku sudah lama sekali tidak beltemu dengan ayah dan ibuku dan aku senang sekali saat ibu mengajakku pelgi belsama ayah. Kupikil aku halus pamit dulu kalena ibu bilang ini akan lama," cerita Kuroko panjang lebar. Akashi hanya mengangguk mengerti. Midorima dan Momoi juga cukup cerdas untuk memahami cerita Kuroko. Lain halnya dengan Kise yang merengek ingin ikut dengan Kuroko karena ingin bertemu dengan ayah dan ibunya.
Momoi menangis. Walaupun baru kali ini ia sempat bertemu dengan Kuroko, ia ingin bermain dan melihat senyum itu lebih lama lagi.
Kise bingung melihat wajah sedih teman-temannya. "Kenapa? Kenapa temuana tedih? Bukanna kalian halus tenang melihat Kulokothi beltemu dengan olang tuana dan akan pelgi jalan-jalan belsama olang tuana? Kulokothi kelihatan tenang tekali tampai-tampai aku ingin ikut denganna."
Hari itu, untuk pertama kalinya Kuroko memeluk Kise erat-erat. "Aku pasti akan sangat melindukan Kise-kun."
Air mata yang dari tadi Kise coba tahan sudah tak terbendung lagi. Sampai detik ini ia tak tahu separah apa penyakit yang diderita Kuroko. Tetapi ia tahu, tahu betul penyakit itu telah menyiksa teman baiknya dan ia tidak boleh egois untuk tetap menahan Kuroko walaupun ia belum ingin Kuroko meninggalkannya.
Aomine pun mengerti. Ia berlari ke arah Kise dan Kuroko yang tengah terisak, memeluk mereka berdua erat-erat. "Semua akan baik-baik saja. Berjanjilah, Tetsu, kita akan bertemu lagi nanti."
Seolah dituntun naluri yang sama, detik berikutnya mereka semua berpelukan. Lalu terisak karena belum sanggup meninggalkan dan ditinggalkan. Tetapi takdir sudah berbicara. Tidak ada alasan bagi Kuroko untuk menolak. Ah, ia juga tak boleh lupa berpamitan dengan Kagami yang sedang di Amerika.
Aku sangat menyayangimu, Kulokothi/Tetsu/Tetsuya/Kuroko/Kuro-chin/Tetsu-kun …
.
.
.
And maybe someday I'll see you again
We'll float up in the clouds and we'll never see the end
.
Hari itu Kuroko dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya memburuk tiba-tiba. Alex tidak bisa menangani Kuroko karena ia masih dalam perjalanan ke Jepang. Ia buru-buru kembali ke Jepang karena Kagami tidak henti-hentinya menangis saat mengetahui kondisi temanbaiknya memburuk.
Di sini lah Kuroko Tetsuya, terbaring tak sadarkan diri lengkap dengan selang-selang entah apa di dekatnya dan layar monitor di sisi kirinya yang masih berbunyi, menampilkan detak jantungnya.
Riko sudah menangis sejak Kuroko pingsan dan belum berhenti sampai sekarang walaupun Hyuuga terus mencoba menenangkannya. Ia merasa telah gagal menjadi pengasuh Kuroko karena membiarkannya terbaring lemah seperti ini.
"Nee … Kuroko-kun, bangun. Aku akan mengajarimu bermain basket kalau kau bangun. Aku berjanji akan memaksa Hyuuga-kun untuk mengizinkanmu bermain basket denganku. Kau belum tahu, ya? Saat SMA aku adalah pelatih tim basket sekolah dan berhasil membawa mereka hingga ke final winter cup. Aku lupa menceritakan ini padamu. Ayolah, bangun …." Riko mengguncang pelan tubuh ringkih Kuroko, berharap bocah itu membuka matanya dan menunjukkan manik biru langit yang saat ini dirindukan Riko dan Hyuuga.
"Sudah, Riko—"
"Bagaimana kondisi Kuroko?" Alex menerobos masuk dengan tergesa-gesa, diikuti Kagami yang sudah menangis sesenggukan dan teman warna-warni Kuroko. Untung saja mereka sudah pulang sekolah dan saat ingin mengunjungi Kuroko, paman berwajah mirip kucing bilang Kuroko sedang di rumah sakit dan detik itu pula sedan silver Alex memasuki pekarangan. Mereka kegirangan.
Tangan Kuroko bergerak, dan mereka langsung menghampiri Kuroko.
"Nee … Kulokothi, ada yang takit-tu? Katakan— katakan padaku-tu," ujar Kise meraih jemari dingin Kuroko.
Kuroko bersusah payah membuka matanya, melirik sekelilingnya. Demi Tuhan, ia tak bisa menggerakkan kepalanya atau kakinya. Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk menoleh melihat wajah orang-orang di sekitarnya.
Lalu Alex membuka masker oksigen Kuroko saat menyadari ia ingin berbicara.
Ia melirik Kagami, tak tega melihat teman baiknya menangis sesenggukan seperti itu. "Kagami-kun, maaf aku belum sempat pamit padamu. Ibu mengatakan aku halus pamit dulu pada Kagami-kun yang sudah menemaniku selama ini, balu setelah itu kami bisa pelgi jalan-jalan belsama meleka."
"Apa yang kau bicalakan, bodoh?! Mamaku akan menyembuhkanmu! Kau tahu, kan, mamaku itu doktel yang hebat! Kau pasti sembuh, Kuloko. Kita akan belmain basket lagi belsama meleka. Kau mau belmain basket lagi denganku, 'kan?" Kagami menangis sesenggukan. "Mana boleh kau meninggalkanku sepelti ini. Aku bahkan sudah bilang pada mamaku akan masuk SD yang sama denganmu dan meleka. Mana boleh— mana boleh sepelti ini …."
"Aku tidak bisa, Kagami-kun. Aku sudah beljanji pada ibu dan ayahku. Lihat— lihat itu ibuku datang. Ibu datang belsama ayah. Lihat, Kagami-kun, ayahku belambut bilu muda sepeltiku."
Ruangan itu mulai dipenuhi suara isakan tangis. Riko mungkin sudah jatuh berlutut kalau saja Hyuuga tidak menahannya. Akashi mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, entah kenapa dadanya terasa sesak. Kise sudah menangis sesenggukan sejak tadi sambil memeluk Aomine yang juga sedang menangis. Midorima dan Murasakibara ikut menangis karena mereka masih ingin bermain bersama Kuroko.
"Mana boleh sepelti itu, Kuloko! Aku masih ingin belmain belsamamu! Kau mana boleh meninggalkanku! Mana boleh sepelti ini …."
Alex ikut terluka melihat Kagami seperti itu. Air matanya tumpah. Ia mengutuki dirinya karena tak bisa menyembuhkan Kuroko, teman baik anaknya.
"Alex-san," Kuroko melirik Alex, "Alex-san adalah doktel telhebat dan baik hati, sepelti yang dikatakan Kagaim-kun. Telimakasih banyak kalena sudah melawat dan mengobatiku selama ini. Maaf— aku minta maaf kalena aku sudah melepotkan Alex-san."
Alex menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia ingin mengatakan 'tidak, kau tidak merepotkan sama sekali' tetapi lidahnya kelu.
"Liko-san, Hyuuga-san, telimakasih banyak sudah melawat dan menjagaku selama ini. Aku minta maaf kalau seling membuat Hyuuga-san dan Liko-san malah-malah. Aku benal-benal minta maaf."
Hyuuga bungkam, Riko semakin sesenggukan. Ini terlalu menyakitkan bagi mereka yang sudah merawat Kuroko dari ia belum pandai berbicara.
"Akashi-kun …" Kuroko melirik Akashi yang setengah mati menahan air matanya untuk tidak tumpah.
"Boleh aku menggenggam tanganmu?"
Akashi hanya mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan dingin Kuroko.
"Ada yang ingin kau katakan, Tetsuya?"
Sakit, Akashi-kun, sakit …
Bibirnya kaku, ia tak bisa bersuara. Sekujur tubuhnya lumpuh, yang bisa ia gerakkan hanya tangannya yang hangat karena digenggam Akashi, dan ia menggenggam tangan itu seerat yang ia mampu, mengisyaratkan nyeri luar biasa yang tiba-tiba menyerbunya tanpa ampun.
Lalu bulir-bulir air mata mengalir deras dari sudut-sudut matanya. Ia ingin berbicara pada bocah crimson itu tetapi bibirnya kaku, ia ingin mengucapkan terimakasih pada Akashi yang entah sengaja atau tidak telah mengulurkan tangannya dan menariknya dari jurang keputusasaan tetapi ia tak mampu. Lidahnya kelu, ia membisu karena waktu.
Akashi-kun, telimakasih … telimakasih … telimakasih …
Dadanya terasa sesak karena ia tahu ia tak lagi bisa bersuara, yang bisa ia lakukan hanya terus menggenggam tangan itu erat-erat, mengisyaratkan sakit yang teramat sangat. Ia lelah, Akashi tahu Kuroko lelah.
"Aku senang kita menjadi teman, Tetsuya," ujar Akashi tersenyum.
"A-aku juga-tu. Aku tenang belteman dengan Kulokothi."
"Aku juga— aku senang walaupun kau juga cadel seperti Kise, Tetsu."
"Tetsu-kun …"
"Aku hanya senang bermain basket denganmu, nanodayo."
"Kuro-chin …"
"K-Kuroko … aku— aku juga senang berteman denganmu," ujar Kagami masih terisak.
Lantas Kuroko memaksakan diri untuk tersenyum. Telimakasih … telimakasih banyak …
Ia ingin mengatakannya, sekali saja dan untuk terakhir kalinya, bahwa ia sangat menyayangi pria berkacamata yang sering uring-uringan karena mengetahui ia sering bermain basket diam-diam dengan Kagami. Ia sangat menyayangi wanita bersurai cokelat yang akan selalu membelanya jika Hyuuga memarahinya. Ia sangat menyayangi Alex yang selalu mengkhawirkannya seperti anak sendiri, menenangkannya saat nyeri itu membuatnya tak bisa tidur dan bermimpi. Ia sangat menyayangi Kagami—bocah berisik, cadel dan bicaranya sering sesuka hati yang telah banyak menghabiskan waktu bersamanya, mengajarinya dasar-dasar basket dan membuatnya mencintai permainan bola besar itu. Ia sangat menyayangi Kise yang bicaranya tidak jelas tetapi masih bisa dipahaminya, Kise yang selalu memeluknya dan berteriak 'aku melindukan Kulokothi' atau 'aku menyukai Kulokothi' ketika melihatnya, Kise yang ceria dan berisik tetapi gampang sekali menangis. Ia sangat menyayangi Akashi yang kelihatan tidak terlalu peduli padahal ia yang paling mengerti, Akashi yang entah sengaja atau tidak selalu menariknya ketika ia sampai pada titik terendah yang disebut putus asa, Akashi yang tersenyum lembut padanya dan menangis karena takut kehilangan dirinya. Ia sangat menyayangi Aomine dengan sikap masa bodohnyayang kadang membuat Akashi sakit kepala, Aomine yang awalnya tidak ingin repot-repot berbicara dengan bocah cadel selain Kise malah menjadi yang paling heboh saat melihatnya dari kejauhan. Ia sangat menyayangi Midorima dengan segala ketsundereannya yang kadang membuatnya ingin tertawa. Ia sangat menyayangi Murasakibara yang tak pernah jauh dari snack. Dan ia juga menyayangi Momoi meskipun baru mengenal gadis kecil itu.
Ia menyayangi— sangat menyayangi mereka semua dan ia ingin mengatakannya. Tetapi ia—Kuroko Tetsuya terlalu lelah untuk sekedar membuka mulut dan mengatakan 'aku sangat menyayangi kalian semua'. Ia tidak mempunyai tenaga lagi untuk itu.
Air matanya mengering, ia lelah dan mengantuk.
Lantas Akashi tersenyum, mengelus lembut surai biru muda itu. "Apa kau lelah, Tetsuya?"
Kuroko hanya mengedipkan matanya, menatap manik merah yang selalu bisa menenangkannya, berharap si pemilik mengerti maksudnya—
"Kau boleh beristirahat, Tetsuya. Bukankah kau akan jalan-jalan dengan ayah dan ibumu?"
—dan ia benar-benar mengerti.
Kuroko tersenyum membenarkan pertanyaan Akashi.
"Istirahatlah. Tetsuya akan baik-baik saja sekarang. Jika sudah bertemu ibu dan ayahmu, sampaikan salamku— maksudku salam kami pada mereka, ya? Perjalananmu pasti akan menyenangkan."
Jeda.
Akashi menggenggam tangan dingin itu erat-erat. Ia tahu Kuroko lelah, ia tahu Kuroko telah kalah.
"… oyasumi, Tetsuya."
Kuroko tersenyum. Sedetik kemudian layar monitor di sisi kiri Kuroko menampilkan garis lurus disertai suara konstan yang menyesakkan dada, menumpahkan air mata yang sedari tadi telah Akashi tahan mati-matian. Kuroko Tetsuya telah pergi, benar-benar pergi.
.
.
.
And we'll go up, up, up
But I'll fly a little higher
We'll go up in the clouds because the view is a little nicer
Up here my dear
It won't be long now, it won't be long now
.
Pagi itu mendung menggayut. Udara dipenuhi janji akan turun hujan lagi, tetapi pemuda bersurai crimson itu tidak mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan teman lamanya. Ia berjalan sehening mungkin, tidak ingin mengganggu istirahat orang-orang di situ, terutama teman lamanya.
Menemukan yang dicari, ia berjongkok di hadapan gundukan tanah itu. Tersenyum simpul sembari meletakkan buket bunga mawar putih pada bagian kepala temannya, kemudian berbisik, "Aku datang lagi untuk menemuimu, Tetsuya."
Derai angin menggoyangkan cabang-cabang pepohonan dan menyiulkan lagu-lagu sedih diantara daun-daun yang berguguran. Ia tersenyum lagi. Rindu akan sosok itu ternyata tak pernah hilang, bahkan mereda setelah tujuh tahun berlalu.
Masa kanak-kanaknya sudah lama berlalu. Tetapi ternyata pengalaman masa kecilnya tidak bisa berlalu begitu saja. Ada hal-hal yang dengan sendirinya menjadi bagian yang membentuk kepribadiannya. Sebut ia egois karena tidak pernah ingin menerima penolakan dan peraturan bahwa perintahnya mutlak pun lahir.
Akashi kecil dan Akashi yang sekarang tidak berbeda, sama-sama menjadi pemimpin kelompok, dan ia menjadi over protective karena ia tahu seberapa menyakitkannya kehilangan.
"Kabarku baik-baik saja, Tetsuya, dan yang lain juga. Aku selalu mengawasi mereka. Jadi kau tenang saja, ya. Walaupun Daiki sedikit membuat pusing kepalaku, tetapi aku masih bisa mengontrolnya. Kalau Ryouta, dia sering sekali membuatku khawatir. Tahu sendiri, kan, seperti apa Ryouta? Dia sering tidak mau makan karena merindukan Kurokocchikatanya. Untung saja aku ini mutlak, jadi dia tidak bisa merengek lama-lama seperti anak bayi." Akashi tertawa kecil teringat teman-teman masa kecilnya yang kini menjadi anggota klub basket yang dia sendiri adalah kaptennya.
"Kau tahu, Tetsuya," Akashi mengingat-ingat peristiwa bertahun-tahun lalu yang sempat membuatnya frustasi. "Ibuku meninggal karena sakit yang sama denganmu. Kau tahu, kan, ayahku itu selalu sibuk dan ibuku yang selalu menemaniku. Ibu yang paling dekat denganku. Tak lama ibu meninggal, kudengar ayah membuat semacam yayasan untuk anak-anak yang sakit kanker dan mendirikan rumah kanker. Aku tidak pernah ingin ikut saat ayah mengajakku, karena melihat orang-orang yang menderita seperti ibuku sama saja membuka luka lama. Ayah tidak suka aku menolak perintahnya dan dia memaksaku. Entah aku harus bersyukur atau tidak, aku berjumpa denganmu. Lalu menjadi teman, padahal awalnya aku tidak ingin dekat denganmu karena kau menderita penyakit yang sama dengan ibu. Aku tersiksa melihat kau menderita, karena sebelumnya aku pernah melihat ibuku mengalaminya."
Arus dingin mengaliri tulang-tulangnya. Ia masih merasa nyeri bahkan ketika yang ia ceritakan adalah kisah yang sama setiap tahunnya. Rasa sakit kehilangan masih jelas terasa, seperti baru kemarin Kuroko Tetsuya meninggalkannya.
"Kupikir hanya kepergian ibuku yang bisa membuatku sefrustasi itu, ternyata kau juga, Tetsuya. Kau tahu Ryouta yang selalu ceria itu menjadi pemurung setelah kepergianmu, Taiga—temanmu yang berisik dan bicaranya kasar itu menjadi pendiam, Daiki juga tak kalah menyedihkannya dari Ryouta, Shintarou mengurung diri di kamar, dan Atsushi—Atsushi yang paling mengerikan, ia berhenti memakan snack. Dan aku, entah kenapa aku jadi lebih peduli pada mereka. Bahkan Daiki memanggilku ibu karena Daiki bilang aku terlalu over protective pada mereka. Aku tak peduli, aku hanya takut kehilangan lagi, kau paham kan, Tetsu—"
Akashi menghentikan ucapannya saat mendengar suara daun-daun kering terinjak di belakangnya. Refleks, ia melihat ke belakang dan setengah kaget melihat manusia warna-warni yang sudah berdiri dalam radius dua meter. Mereka …? Sejak kapan?
Seperti mengulang kejadian tahun-tahun sebelumnya ditanggal yang sama. Akashi akan tiba lebih dulu dan menceritakan kisah yang sama. Lalu mereka—manusia warna-warni itu harus berjalan mengendap-endap seperti maling agar tidak mengganggu Akashi berkisah. Tahu sendiri, kan, Akashi tidak suka diganggu?
Sekarang salahkan Kise Ryouta karena menginjak daun kering yang terdengar lebih gaduh di makam yang sunyi, dan ia telah mengganggu Akashi.
Aomine mengorek telinganya dengan jari kelingkingnya (kebiasaan barunya karena sering dibentak-bentak oleh Midorima), lalu berujar sambil menatap malas kapten bersurai crimson itu, "Oi, Akashi, Tetsu sudah bosan dengan ceritamu yang itu."
"Lalu apa masalahnya denganmu, Daiki?"
"Maa … maa … tidak baik ribut-ribut di sini, Dai-chan," ujar Momoi menengahi. Tetapi bukan Aomine namanya kalau akan tutup mulut begitu saja.
"Memangnya kau tidak bosan mendengarnya, Satsuki? Kau bosan juga, 'kan? Iya, 'kan?"
"Aominecchi, urusai-ssu! Kau mengganggu istirahat Kurokocchi!"
Oh, itu suara Kise yang sudah tidak cadel lagi tetapi masih tetap mengganggu dipendengaran Akashi.
"Kau pikir suaramu barusan tidak mengganggu Tetsuya, Ryouta?" ujar Akashi kalem tapi nusuk. Kise ingin menangis, tetapi ucapan Akashi ada benarnya juga, ia agak berteriak tadi.
"Atsushi," Akashi mengalihkan pandangannya pada anak laki-laki bersurai ungu yang sibuk mengunyah Pocky. "Tidak sopan makan di tempat seperti ini." Akashi berusaha bersuara selembut mungkin agar tidak melukai perasaan Murasakibara Atsushi yang masih seperti anak-anak walaupun ia yang berbadan paling besar.
"Tapi, Aka-chin, aku la—"
"Perintahku itu apa, Atsushi?"
"Mutlak." Murasakibara menunduk lesu, lalu menyimpan Pocky miliknya yang masih tersisa separuh lagi.
Sebenarnya Aomine iri. Mengapa hanya dia yang menerima sarkasme Akashi? Ini diskriminasi namanya.
"Jadi mau sampai kapan kalian berdiri di situ?" itu pertanyaan yang bermakna lain di telinga manusia warna-warni itu. Kurang lebih maksud Akashi adalah cepat kemari dan berdoa atau porsi latihan kalian kugandakan, dan mereka cepat-cepat menghampiri Kuroko karena porsi latihan yang biasa saja sudah seperti neraka, apalagi yang digandakan.
Kagami mendecih kesal. Kalau berdoa untuk Kuroko, tidak usah diperintah aku juga tahu.
"Ada masalah, Taiga?"
Kagami menggeleng kuat-kuat karena tidak tahan dengan tatapan mengintimidasi milik Akashi walaupun sebenarnya ia ingin protes.
Mereka mulai memejamkan mata dan berdoa sembari melintasi kembali jejak rindu akan sosok itu di kepala mereka.
Dan ketika mereka membuka mata, samar-samar ia hadir di sana. Muncul di hadapan mereka dengan senyum simpul.
Laksana terlempar dari lorong waktu, sosok itu tak bertambah tinggi sesenti pun. Ia tersenyum lalu mengucapkan dua baris kata yang terus menggema di telinga mereka.
"Telimakasih banyak kalena masih menganggapku sebagai teman kalian. Telimakasih banyak, Akashi-kun, Kagami-kun, Kise-kun, Aomine-kun, Momoi-san, Midolima-kun dan Mulasakibala-kun. Aku sangat menyayangi kalian semua. Telimakasih banyak …."
.
.
Hal-hal mustahil kadang kala mampu ditakluk ilmu; ilmiah maupun musyrik. Namun kesaktian sang waktu tak tertekuk apapun, siapapun. Dan mereka tahu, mereka tak akan pernah bisa meraih sosok itu sekeras apapun mereka mencoba. Karena sosok itu—Kuroko Tetsuya, ia telah dikalahkan oleh waktu yang kejam.
FIN
.
.
A/N:
Clouds adalah lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Zach Sobiech, remaja berusia empat belas tahun yang didiagnosa menderita kanker tulang langka—osteosarcoma—yang kebanyakan menyerang anak-anak. Dengan tiadanya pilihan berobat, hidupnya hanya tinggal menghitung hari.
Aku dibuat merinding olehnya, ketika ia mengatakan, "Tak perlu mencari tahu bahwa ketika sekarat, saat itulah kehidupan dimulai."
Zach menyadari umurnya yang pendek dan ia benar-benar menikmati apa yang bisa dilakukannya dihari-hari terakhirnya. Bersyukur atas apa yang kau punya, hal sederhana namun butuh sikap untuk melaksanakannya.
Zach Sobiech, seorang penderita kanker tulang yang berhasil menginspirasi pribadi yang sebelumnya mati. Seorang veteran perang yang sudah bertahun-tahun kehilangan harapan hidup tiba-tiba mau keluar rumah, berjalan di bawah mendung. Anak-anak muda yang frustasi dan ingin bunuh diri menangis menyesali keputusasaannya. Pecandu narkoba punya harapan lagi untuk terbebas dari benda laknat itu.
20 Mei 2013, Zach menyerah kalah pada penyakitnya, tetapi ia mampu menghidupkan jutaan semangat dan kehidupan orang lain.
.
.
"Life is really just beautiful moments one right after the other. All of these experiences are super— super cool. All of them are giving me just a little bit more closure on everything. It's just try and make people happy. Maybe you have to learn it over time, maybe you have to learn it the hard way, but as long as you learn it, you're going to make the world a better place."
(Zach Sobiech)
.
.
Last, review kudasai~