Clouds

by

sakhi

.

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

.

Cover Image © anach69

.

A Kuroko no Basket Songfiction

.

Lyric and Song © Zach Sobiech

.

Warning: child!GoM, child!Kagami, child!Momoi, possibly OOC, missed typo(s)

.

Selamat membaca!

.

.

.

Well I feel down, down, down

Into this dark and lonely hole

There was no one there to care about me anymore

.

"Excuse me, Madam."

Bocah bersurai crimson itu menghampiri seorang wanita blonde berkacamata yang tengah memberesi mainan yang berserakan di lantai, ditinggalkan begitu saja oleh sekelompok anak yang tadinya berebut mainan ini-itu setelah mendengar teriakan girang dari paman berwajah mirip kucing bahwa paman baik hati datang membawa mainan baru yang banyak.

"Yes, what— Akashi?" balas wanita itu refleks ketika melihat surai crimson khas keluarga Akashi.

"Excuse me. I want to ask you something, may I?"

"Sure. Tapi omong-omong, tidak perlu berbahasa Inggris begitu, aku juga bisa bahasa Jepang, kok. Oh, ya, aku Alex dan aku bekerja di sini. Dokter baru, sih. Jadi wajar kalau putranya paman baik hati tidak mengenalku."

Mengabaikan perkenalan diri wanita blonde bernama Alex, bocah bersurai merah itu menunjuk bocah lain yang berkulit putih pucat dan bersurai biru muda, matanya bulat dan biru senada surainya, wajahnya datar tanpa ekspresi, dan tangan kurusnya memeluk bola basket oranye. "Dia. Siapa dia?"

Alex mengikuti arah jari telunjuk putranya paman baik hati. "Oh, itu. Itu Kuroko. Kuroko Tetsuya."

"Kuroko, ya? Lalu mengapa Kuroko tidak ikut anak-anak yang lain berebut mainan baru yang dibawa Ayahku?"

Anak kecil memang ingin banyak tahu, batin Alex teringat ketika pertama kali putra kesayangannya menanyakan pertanyaan yang hampir sama seperti bocah ini pada Kuroko yang dijawab dengan pernyataan datar, "Anak-anak yang sakit kankel tulang tidak boleh tellalu aktif." Hati Kagami, putra semata wayang Alex, yang awalnya berbunga karena tahu bukan hanya dirinya anak berumur lima tahun yang masih cadel, retak seketika.

"Kuroko itu sakit kanker," ujar Alex dengan wajah sendu.

"Kalau itu aku sudah tahu. Masudku, kanker yang mana?"

Mendengar kata kanker sudah menjadi hal biasa baginya sebab ayahnya sering mengajaknya bermain ke sini, ke rumah kanker yang tentu saja banyak anak-anak penderita kanker di dalamnya, supaya ia bisa melihat dunia dengan kacamata berbeda.

Pertama kali mendengarnya mungkin agak mengerikan, mengingat ibunya meninggal dunia juga karena kanker. Tetapi sekarang ia sudah terbiasa—atau tepatnya membiasakan diri, jadi ia sudah siap dengan jenis kanker apa yang akan dikatakan madam blonde berkacamata di hadapannya.

"Bone cancer." Alex menggerak-gerakkan bola matanya liar, mencegah air matanya keluar mengingat kondisi bocah biru muda itu yang sekarang sudah resmi menjadi teman baik putranya.

Bocah bersurai crimson itu—yang sudah diajarkan ayahnya berbahasa inggris sejak baru pandai berbicara—langsung mengerti perkataan Alex. Ya, ya, jenius yang terlahir di keluarga kaya memang beda. Dan detik itu pula sekujur tubuhnya mendadak dingin. Kupikir tidak akan mendengar jenis itu lagi.

"Apa aku bo—"

"Mama! Look! Look! I got this fucking cool basket ball and the fucking cool ling too. See? I want to play basket ball with Kuloko this noon. We can use this new basketAle? Dale?" Kagami menghentikan ocehannya ketika menyadari ada orang lain di sana.

Alex memukul pelan kepala Kagami. "Sudah kubilang gunakan bahasa Inggris yang sopan di Jepang atau gunakan bahasa Jepang saja! Ini bukan Amerika, Taiga."

"Mama, dia kok pendek sekali?"

Krik, krik.

"Madam, anakmu kurang ajar sekali."

Krik, krik.

"Siapa yang kau panggil kulang ajal, blengsek?!"

Satu pukulan lagi. "Gunakan bahasa yang sopan, Taiga!"

"Kubilang kurang ajar, bukan kulang ajal." Yang dipanggil blengsek malah mengejek. Bolehlah sedikit sombong karena sudah tidak cadel lagi di umurnya yang juga masih lima tahun.

"Kagami-kun selalu belisik— ling basket?" Kuroko menghampiri mereka karena tahu Kagami sudah kembali dari acara rebutan mainan baru. Sementara Kuroko berbinar, bocah yang sudah tidak cadel lagi itu tercengang karena baru saja mendengar bocah yang tadi menjadi pusat atensinya berbicara cadel. Mungkin sedang mengejek cara bicara temannya.

"Ling basket?" Mengulangi pertanyaan yang sama, Kuroko masih berbinar sedangkan bocah berambut merah mulai yakin pemikirannya tadi telah salah. Bocah biru muda itu bukan sedang mengejek temannya, tetapi memang masih cadel. Ia boleh berbangga diri sekarang.

Kuroko masih ingat betapa kesalnya ia saat meminta paman Hyuuga membelikannya ring basket tetapi hanya dijawab dengan penolakan sehalus mungkin. Ia pasti akan semakin sering bermain basket jika ada ring basket, dan itu buruk.

Itu, kan, ring basket punyaku. Sudah jelek, sih. Dan aku juga sudah tidak suka lagi.

"Iya, sepelti yang kau lihat, ini ling basket. Kau bodoh, ya?" Alex memukul kepala Kagami—lagi.

"Aku hanya— aku benal-benal senang, Kagami-kun. Telimakasih banyak."

Kuroko—bocah biru muda itu tersenyum lebar. Berarti ia bisa bermain basket dengan Kagami sore nanti.

"Tidak usah sungkan begitu." Bocah dengan surai merah gelap itu mengusap si surai biru muda, dan hanya dibalas dengan tawa kecil.

"Sini, kemalikan. Aku mau tahu sepelti apa lasanya ling basket." Kuroko merebut paksa ring basket yang dipegang Kagami dan hanya ditanggapi dengan tawa mengejek dari Kagami.

"Ya, ampun. Kuloko, jangan kampungan begitu, dong. Ling basket itu untuk dimasuki bola basket, bukan untuk kau lasakan. Bagaimana, sih."

"Kagami-kun belisik."

Si surai crimson—entah kenapa ia malah tersenyum melihat duo cadel di depannya. Hanya senyum tipis memang, setipis goresan pensil, tetapi ada perasaan hangat yang mengalir ketika Kuroko, yang wajahnya sedatar triplek, tertawa lepas seperti itu. Apa ini bisa dikatakan secara tidak langsung aku membuatnya tertawa?

.

.

.

And I needed a way to climb and grab a hold of edge

You were sitting there holding a rope

.

"Kuroko Tetsuya?" kening Akashi Seijuurou berkerut. Itu, kan, bocah cadel yang kemarin, batinnya sombong karena ia sudah tidak cadel lagi walaupun masih bocah.

"Kau mengatakan sesuatu, Akashi?" Bocah berambut navy blue itu mendengar gumaman Akashi rupanya.

"Nee, Akathithi kalau diam taja nanti kami tinggal, loh," ujar bocah blonde yang ternyata masih cadel dengan nada mengancam dan hanya dibalas Akashi dengan tatapan tinggal-saja-kalau-berani.

"Apa yang kau katakan, Kise?" Si surai navy blue menatap sumber suara sumbang, Kise Ryouta. Ia tidak mengerti. Cadel Kise itu—menurutnya—kelewatan untuk anak umur lima tahun.

"Akashi Seijuurou, Ryouta, bukan Akathithi." Akashi mengejek.

"Mou ... Aominethi, Akathithi, hidoi-tu …." Kise nangis buaya. Demi lawakan garing Izuki sensei, mereka sudah saling kenal sekitar dua tahun, tetapi mengapa rasanya sulit sekali mengerti bahasa ajaib Kise, sih?

"Urusai, nanodayo, Kise."

"Midorimathi juga hidoi-tu."

"Jangan menangis, Kise-chin. Ini permen untuk Kise-chin." Bocah ungu nan unyu juga baik hati sekali pada Kise menyodorkan lollipop rasa jeruk yang warnanya senada sekali dengan warna rambut dan tas sekolah Kise.

Kise sumringah. Menjadi satu-satunya yang masih cadel di antara empat bocah beda warna rambut itu memang agak sulit baginya yang terlalu gampang menangis. Hampir setiap hari teman-temannya itu menanyakan apa yang dikatakannya padahal omongannya—menurutnya—sudah sangat jelas. Ia merasa didzalimi. Teman-temannya itu bertanya setiap hari tetapi tidak mengerti-mengerti. Memangnya hanya dia yang jenius di sini?

Sebenarnya saat ini Akashi dan teman-temannya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Karena TK mereka tidak terlalu jauh dari rumah jadi orang tua mereka menyuruh mereka pulang dengan jalan kaki saja. Alasan lain karena sebenarnya jam segini orang tua mereka yang super sibuk masih bekerja di tempat kerja masing-masing.

"Apa kalian tidak bisa diam, hah?" Akashi yang mulai merasa terganggu dengan percakapan absurd dan tidak penting teman-temannya mendelik. Kise yang baru berhenti menangis mulai mengeluarkan tanda-tanda akan kembali mengulangi kejadian yang sama, Aomine yang tampangnya paling brutal bergidik ngeri mendengar ucapan kalem tapi nusuk Akashi barusan, Murasakibara—yang bersurai ungu—tersedak susu kotak rasa stroberi yang baru sampai di tenggorokannya karena kaget, Midorima membenarkan letak kacamatanya yang sepertinya bergeser karena agak gemetaran.

Oh, rupanya suara berisik mereka tadi mengganggu kegiatan mengamati bocah bersurai baby blue Akashi. Bukannya ada niat jahat atau semacamnya, ia hanya memastikan apakah bocah itu benar bocah yang kemarin atau penglihatannya tengah mengelabuinya, semacam fatamorgana, karena sebelum tidur tadi malam ia memang memikirkan bocah itu.

Tahu-tahu Akashi sudah berdiri sekitar lima meter dari Kuroko dengan segala keabsolutan yang diturunkan dari ayahnya, diikuti empat bocah warna-warni di belakangnya. "Kuroko Tetsuya, ya?"

Kuroko berbalik sambil gemetar memeluk bola basketnya. Bukan gemetar karena takut pada Akashi, bukan. Melainkan karena nyeri di sekujur tubuhnya. Sepertinya ia sudah bermain terlalu lama.

"Dan kau siapa?" Itu bukan jawaban dan Akashi agak kesal mendengarnya.

Empat bocah warna-warni yang berdiri di belakang Akashi menatap heran Kuroko Tetsuya.

Ya, ampun. Manitetali-tu. Aku balu tahu ada manutia tepelti ini. (Ya, ampun. Manis sekali-ssu. Aku baru tahu ada manusia seperti ini.)

Ini, sih, terlalu putih. Lebih putih dari Akashi malah. Memangnya yang seperti ini normal, ya?

Pucat sekali, nanodayo. Mungkin belum sarapan.

Kurus sekali. Pasti dia kelaparan. Besok kubawakan snack, deh.

"Akashi Seijuurou," balas Akashi dingin dan tak kalah datar dari bocah baby blue di hadapannya.

Kuroko hanya ber-oh ria lalu mengangguk-anggukkan kepalanya saat ia teringat Akashi pernah mengunjungi rumah-nya kemarin.

"Ada pellu apa denganku?"

"Hah?" itu suara Kise dan Kuroko tidak sedang berbicara dengannya.

"Kubilang ada pellu apa denganku?" Kuroko mengulangi pertanyaannya.

"Astaga." Aomine menepuk jidat. Berbicara dengan satu orang cadel saja ia sudah susah mengerti, sekarang ada dua. Aku tidak akan berbicara dengannya, batin Aomine yang tidak mau menyusahkan dirinya.

Mengetahui pendengarannya tidak salah, Kise langsung berlari ke arah Kuroko. Memeluknya erat-erat. Akhirnya ia menemukan anak seumuran yang senasib dengannya.

Kuroko jatuh terduduk karena tidak sanggup menopang berat badannya dan berat badan Kise. Nyeri di sekujur tubuhnya semakin kurang ajar saja.

"Aku menukai Kulokothi!"

Setelah itu Kise kembali berdiri, sedangkan Kuroko tidak dan itu menjadikannya pusat atensi lima bocah warna-warni dengan seragam TK Teikou yang tak jauh dari sini.

Kise heran. Akashi heran. Semua heran.

"Kulokothi?" Kise menatap heran Kuroko yang tidak juga berdiri, lalu mengulurkan tangannya. "Maaf, ya. Aku tellalu senang, sih. Hehe."

Kuroko dengan wajah sedatar tripleknya menepis tangan Kise. "Aku bisa sendiri."

Aomine menahan tawa. Baru menyatakan cinta sudah langsung ditolak saja.

Kuroko mencoba bangkit, tetapi ia gagal. Mencoba lagi, gagal lagi.

Melihat itu Kise tidak tinggal diam, berhubung ia yang paling dekat jaraknya dengan Kuroko. "Bial kubantu, Kulokothi," ujar Kise lembut dengan senyum malaikat sembari mengulurkan tangannya—lagi.

"Sudah kubilang aku bisa sendili!" Kuroko menepis tangan Kise lagi, kali ini lebih kasar dengan bonus bentakan.

Kise ingin menangis karena berpikir ia membuat kesalahan dan Kuroko tidak mau memaafkannya.

Detik berikutnya Kise benar-benar menangis karena berpikir ajakan bertemannya ditolak. Kuroko tidak ingin berteman dengan Kise.

"O-oi, Kise. Sudah, sudah jangan menangis lagi. Astaga, kau ini laki-laki bukan, sih? Jangan menangis terus, dong." Aomine memukul-mukul pelan kepala kuning Kise Ryouta. Sedang memainkan peran good brother, eh?

"Kulokothi tidak mau belteman denanku kalena aku tadel-tu."

Air mata Kise semakin deras, Aomine tidak boleh salah bicara jika ingin bocah ini tutup mulut.

"Tidak mungkin Kuroko tidak mau berteman denganmu karena kau cadel, buktinya kami masih mau berteman denganmu. Iya, 'kan, Midorima?"

Midorima buang muka.

"Iya, 'kan, Murasakibara?"

"Iya aja deh." Murasakibara ogah-ogahan menjawab.

"Iya, 'kan, Ak—"

"Mau sampai kapan bermain drama-dramaannya?"

"Kami tidak sedang bermain drama-dramaan, kok, Akashi," ujar Aomine polos sepolos-polosnya anak TK. Apa daya maksud hati Akashi ingin menyindir tapi yang disindir tidak mengerti disindir.

Kise hanya mengangguk setuju dengan pernyataan—perang—Aomine sambil sesenggukan.

Akashi tentu akan murka kalau saja ia tidak mendengar suara tawa tertahan yang berasal dari bocah kurus bersurai baby blue yang masih belum bangkit juga dari posisinya tadi.

Akashi ingin memarahinya karena tidak terima bocah yang masih cadel dan lebih pendek darinya itu menjadikan dirinya bahan tertawaan, tetapi ia mengurungkan niatnya begitu melihat senyum itu lagi—senyum Kuroko Tetsuya.

"Maaf, maaf, Akashi-kun." Seolah mengerti tatapan tidak suka Akashi sebelumnya, Kuroko tersenyum lagi sebagai tanda permintaan maaf.

Akashi buang muka ala tsundere Midorima sambil mengulurkan tangannya. "B-biar kubantu berdiri."

"Nee ... Aka-chin biar aku saja yang menggendong Kuro-chin." Bocah bersurai ungu menawarkan diri sambil berjongkok di depan Kuroko lalu meletakkan tangannya yang besar di atas kepala biru muda itu. Tinggi badan Murasakibara memang di atas rata-rata dan sudah tidak cocok lagi menjadi anak TK, bukan ukuran anak TK. "Kelihatannya Kuro-chin ringan sekali."

Kuroko menurut saja karena tidak punya alasan untuk menolak niat baik bocah bongsor di hadapannya.

"Kulokothi hidoi-tu!" Kise tidak terima rupanya niat baik Murasakibara diterima dengan mudah dan niat baiknya ditambah bonus senyum malaikat ditolak Kuroko mentah-mentah dua kali berturut-turut.

"Maaf, Kise-kun. Tadi Kise-kun menyebalkan jadi aku tidak suka."

Krik, krik.

Akashi mati-matian menahan tawa supaya tetap kelihatan cool di depan budak— tidak, teman-temannya maksudnya. Aomine tertawa lebar selebar dimungkinkannya mulut. Midorima buang muka untuk menyembunyikan semburat merah di pipinya karena menahan tawa. Dan Murasakibara—

"Nee ... Kuro-chin jujur sekali, sih," ujar Murasakibara polos membenarkan ucapan Kuroko.

"Hidoi! Hidoi-tu!"

Mengabaikan Kise, Kuroko naik ke punggung Murasakibara. "Terimakasih banyak, Murasakibara-kun."

"Jangan formal begitu, dong, Kuro-chin. Kita, kan, teman."

"Eh?" Kuroko kaget mendengar bagian terakhir. "Teman?"

Akashi mengangguk setuju walaupun sebelumnya ia tidak benar-benar ingin berteman dengan Kuroko.

Ada perasaan hangat yang mengalir ketika ia melihat senyum bahagia bocah biru muda itu dan ingin sekali melihatnya lagi.

Kise berteriak, "Benal-tu!" dengan sumringah dan mendapat hadiah jitakan dari Aomine karena rupanya ia berteriak di telinga Aomine.

"Kurasa bukan hal yang buruk, nanodayo." Midorima membenarkan letak kacamatanya yang bergeser karena kaget dengan suara melengking Kise. Lalu menambahkan, "Bukan berarti aku peduli padamu, nanodayo."

Oh, tsundere sekali.

"Akashi-kun, dia itu tsundere, ya?" Kuroko mengalihkan pandangan pada Akashi yang menurutnya paling mengetahui empat bocah warna-warni itu.

Akashi mengangguk, Midorima mengamuk, Aomine tertawa lebar sampai terbatuk-batuk.

"Tsundere ja nai, b-baka!"

.

.

.

And we'll go up, up, up

But I'll fly a little higher

We'll go up in the clouds because the view is a little nicer

.

"Kankel tulang?" Ada nada tidak percaya dalam suaranya. Ia memang baru mengenal bocah yang juga cadel tetapi tidak separah dirinya itu beberapa hari yang lalu. Tetapi entah mengapa hatinya nyeri mendengar pernyataan dari wanita manis tapi berdada rata bersurai cokelat dengan dua jepitan rambut menjepit poninya.

Wanita itu mengangguk. "Kalau boleh tahu, kau siapa?"

"A-aku temannya Kulokothi-tu."

Kise masih berpikir, mencari-cari makna kanker tulang dalam ingatannya. Ini mungkin kali pertama Kise mendengar jenis penyakit itu, tetapi sepertinya kata kanker sudah tidak asing di telinganya. Lalu bulir-bulir air mata mulai mengalir di pipi putih susu miliknya saat ia teringat cerita Izuki sensei yang memberitahunya bahwa ibu Akashi Seijuurou, teman baiknya, meninggal karena kanker. Ia tidak ingat jenisnya.

Dari awal ia melihat Kuroko Tetsuya sebenarnya ia sudah tahu bocah itu tidak sehat seperti dirinya dan teman warna-warninya. Tetapi Kise tidak pernah mengira akan sesakit ini mendengar kondisi Kuroko yang sebenarnya.

"Kise-kun jangan menangis. Kuantar ke kamar Kuroko, ya?"

Kise mengangguk sambil mengelap air mata yang keluar semakin deras dengan punggung tangannya. Namun, percuma saja. Walaupun Kise mengelapnya, air mata itu keluar lagi dan membasahi pipinya lagi.

Riko—wanita bersurai cokelat tadi—berjongkok menyejajarkan tinggi badannya dengan tinggi badan anak TK dihadapannya, lalu menatapnya intens. Ia tak pernah tega melihat bocah menangis, rasanya ia juga ingin ikut menangis (seperti ketika Kuroko yang merupakan anak asuhnya menangis saat sel-sel kanker di dalam tubuhnya melakukan pemberontakan).

"Nee ... Kise-kun harus berhenti menangis. Kuroko-kun akan ikut sedih jika temannya menangis." Riko mengusap sayang surai pirang Kise. "Jangan menangis lagi, ya?"

"T-tapi aku tidak mau Kulokothi meninggalkanku-tu. Kankel itu jahat. Dia pasti akan melebut Kulokothi dali kami-tu." Kise makin terisak, ia kembali teringat cerita Izuki sensei mengenai ibu Akashi yang meninggal karena kanker.

"Tidak—"

"Liko-san?" Bocah berambut merah dengan gradiasi hitam menghampiri Riko, menatapnya tak percaya. "Ya, ampun. Liko-san membuat anak TK menangis. Jahat banget, sih."

"Riko bukan Liko, Kagami-kun!" Riko naik darah, ia diperlakukan seperti pedofil oleh anak bernama Kagami itu.

Kise berhenti menangis. Mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Suka banget, sih, mempelmasalahkan kecadelanku. Jangan mencali-cali kesalahan olang lain, deh." Kagami melipat tangannya kesal. "Kuloko juga cadel tetapi aku tidak pelnah mendengal Liko-san mengejeknya."

O-oh … benal-benal tadel tepeltiku. Eh? Apa tadi? Kulokothi?

"Itu karena Kuroko-kun anak baik dan tidak menyebalkan seperti Kagami-kun."

Kagami buang muka. Merajuk, sepertinya.

"Err … Kagami-kun baru kembali dari Amerika?"

"Kalau sudah tahu tidak pellu tanya-tanya lagi."

Tiga kerutan muncul di kening Riko. Ini anak mungkin memang menyebalkan dari lahir, ya?

"Kise-kun?"

Melihat kehadiran Kuroko, Kagami langsung berlari menuju Kuroko tetapi dipotong Kise yang larinya lebih cepat dan langsung memeluk Kuroko yang duduk di kursi roda.

"O-oi! Memangnya kau siapa belani-belaninya peluk-peluk Kuloko?!" Kagami tidak terima dan langsung menarik Kise menjauh dari Kuroko.

"Kagamithi hidoi-tu!" Kise nangis buaya.

"Hah? Apa kau bilang? Thi ... tu ... Apa, sih?"

Pusing mendengar suara berisik Kagami, Riko langsung melarikan diri ke dapur tanpa sepengatahuan duo cadel yang sedang rebutan Kuroko.

"Kagami-kun sudah pulang?" Kuroko menengahi. Rupanya Kuroko juga pusing mendengar suara berisik Kagami dan suara tangisan buaya Kise.

"Ah, iya, Kuloko. Aku dan Mama ke Amelika hanya untuk menghadili pelnikahan uncle Tatsuya."

"Oh, Paman Himulo Tatsuya …." Kuroko mengangguk paham, paham kalau mamanya Kagami mempunyai banyak uang. Jepang-Amerika sudah seperti Tokyo-Kyoto yang bisa naik kereta api.

"Kau baik-baik saja, Kuloko?" Kagami memperhatikan kursi roda Kuroko. Sebelumnya ia sudah pernah melihat Kuroko duduk di kursi roda dan ia ingat itu saat kondisi Kuroko benar-benar buruk.

"Hanya kelelahan, Kagami-kun. Kemalin aku belmain basket sendili saat Kagami-kun ke Amelika. Lalu kakiku lemas dan tidak bisa belgelak dan teman-temannya Kise-kun menolongku. Doktel bilang, sih, hanya kelelahan."

Kagami hanya ber-oh ria walaupun sebenarnya khawatir pada Kuroko.

"T-tunggu!" Kagami menyadari sesuatu. "Apa Kise-kun itu manusia cadel ini?!" Kagami menunjuk-nunjuk Kise seperti hanya Kise manusia cadel di situ.

Hanya menatap kesal Kagami, Kise malas ambil pusing dengan mulut berisik Kagami padahal mulutnya sendiri tidak kalah berisik kalau sudah terbuka sedikit saja. "Kulokothi suka belmain batet juga-tu?"

Tawa Kagami pecah mendengar kecadelan Kise untuk kedua kalinya. "Apa yang kau katakan, sih, Kise? Thi-tu-tet? Apa tadi? Batet? Aku mengelti."

"Kagami-kun juga cadel," ujar Kuroko kalem tapi nusuk. Skak mat. Kagami bungkam. Akhirnya sadar diri juga.

"Iya, aku suka basket kalena seling nonton anime basket baleng Kagami-kun. Telus Kagami-kun mengajalkanku belmain basket. Hanya dibble, sih, soalnya di sini tidak ada ling basket. Telus bebelapa hali yang lalu Kagami-kun belhasil mendapatkan ling basket dan bola basket balu hasil lebutan mainan balu yang dibawa ayahnya Akashi-kun. Setelah ling basketnya dipasang, Kagami-kun mengajaliku melakukan shoot. Aku balu tahu sebenalnya Kagami-kun jago basket," jawab Kuroko panjang lebar. Kise mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti cerita Kuroko dan Kagami tersenyum bangga karena Kuroko mengatakan ia jago basket.

"Lain kali kita belmain betama-tama, ya? Aku akan mengajak Akathithi, Mulatakibalathi, Midolimathi, dan Aominethi. Eto ... dan Momoithi juga-tu." Kise sumringah, mana tega Kuroko menolaknya.

"Momoicchiitu siapa?" Kuroko berusaha mengalihkan topik pembicaraan, ia belum berani menerima ajakan Kise. Belakangan ini badannya sering lumpuh seketika dan tidak tentu kapan kembali lagi seperti semula, atau mungkin tidak akan kembali lagi. Begitulah yang Kuroko dengar dari percakapan Alex—ibu Kagami sekaligus dokter yang sukarela bekerja di sini—dan Riko.

"Itu temanku dan yang lain di TK Teikou-tu. Tetangga Aominethi dan teling mengikuti Aominethi ke mana-mana, jadi Momoithi teling beltama kami juga-tu. Mau, ya?"

"Oi, Kise, memangnya anak TK yang menangis sepelti pelempuan bisa belmain basket?"

Krik, krik.

"Kulokothi, aku boleh memukul Kagamithi?" bisik Kise.

"Tentu boleh, Kise-kun."

Detik berikutnya satu pukulan maut dari Kise Ryouta mendarat di kepala merah Kagami. "S-sakit …." Kagami mengelus-elus kepalanya. Pukulan Kise ternyata bukan main-main.

"Kalau aku tidak bita mana mungkin aku mengajak Kulokothi-tu. Kagamithi aho!" teriak Kise kesal.

Kagami tutup kuping mendengar suara melengking Kise. "Kupikil anak kecil yang suka belmain basket itu hanya di Amelika."

"Omong-omong, Kise-kun mengapa hanya sendilian ke sini?"

"Aku ingin beltemu dengan Kulokothi. Jadi setelah pelajalan selesai aku langsung—"

"Aka-chin, lihat, lihat~ Kise-chin curang~ Harus kita apakan dia?" Murasakibara menunjuk-nunjuk Kise horror dan ditanggapi dengan tatapan horror dari Akashi, dan direspon horror pula oleh Kise.

"Sejak kapan kau di sini? Astaga. Yang benar saja. Kami tadi mencarimu, tahu!" Aomine memukul kepala Kise kesal.

"Bukannya aku peduli atau apa, nanodayo. Tapi, Kise— "

"Mou ... aku minta maaf. Aku benal-benal ingin beltemu dengan Kulokothi. Kupikil kalian tidak akan mau kalau kuajak-tu," ujar Kise karena takut terkena bully-bully maut Akashi.

"Kami juga ingin bertemu Kuroko/Kuro-chin/Tetsu/Tetsuya, tahu!" teriak mereka berbarengan dengan satu pukulan lagi dari Aomine yang mendarat di kepala Kise.

Kuroko berkaca-kaca. Kagami—entah sadar atau tidak—mulutnya terbuka karena heran melihat bocah warna-warni yang entah dari mana asalnya tahu-tahu sudah ingin menyiksa Kise saja.

"Nee ... Akathithi, aku mengajak Kulokothi belmain batet baleng kita. Akathithi mau, 'kan?"

Kise menanyakan hal itu pada Akashi karena tanpa sadar mereka menjadikan Akashi pemimpin mereka, semacam ketua kelompok. Jadi jika Akashi mengatakan iya, maka yang lain akan setuju. Tidak bisa dipungkiri, walaupun masih bocah tetapi Akashi Seijuurou adalah born leader. Kuroko yang baru mengenalnya beberapa hari lalu dan Kagami yang baru melihatnya sekarang juga merasakannya.

Akashi mengangguk setuju pada usulan Kise, lalu melirik Kuroko yang duduk di kursi roda dengan wajah sedatar triplek. Memangnya dia bisa?

.

.

.

Up here my dear

It won't be long now, it won't be long now

.

Pagi itu tak secerah kemarin. Sudah pukul sepuluh tetapi biru dengan gradiasi putih kapas tak kunjung terlihat. Yang ada hanya awan mendung dilengkapi dengan udara yang agak dingin, cocok sekali untuk tetap bertahan di balik selimut tebal. Sayangnya itu tidak berhasil menggoda bocah cadel bersurai merah dengan gradiasi hitam ini. Ia malah kelihatan gembira sekali, tidak muram seperti langit saat ini. Berlari-lari kecil sambil menyanyikan lagu anak-anak berbahasa Inggris, ia tersenyum senang karena akan bertemu dengan teman baiknya.

Kagami benar-benar gembira sekali, sebelum ia menyentuh kenop pintu berbahan aluminium itu dan memutarnya.

"Hyuuga-san, kumohon izinkan aku belmain basket dengan Kise-kun dan teman-temannya. Aku ingin sekali belmain basket dengan meleka, sepeltinya meleka pandai belmain basket sepelti Kagami-kun. Kumohon … aku khawatil tidak bisa belmain basket lagi. Hyuuga-san, kumohon, aku beljanji akan menjadi anak yang baik kalau Hyuuga-san mengizinkanku. Aku beljanji," ujar Kuroko sambil menarik-narik baju lengan panjang milik seseorang yang dipanggilnya Hyuuga-san tadi. Suaranya bergetar, Kagami tahu Kuroko tengah menahan tangis, dan detik itu pula kegembiraan Kagami menguap tak bersisa. Ia berdiri membatu di depan pintu.

"Aku tidak bisa, Kuro—"

"Hyuuga-san, kumohon. Aku tahu ini sudah tidak lama lagi. Aku tahu— aku mendengal pembicalaan Hyuuga-san dan Liko-sandengan Alex-san tadi malam."

Hati Kagami retak.

Hyuuga mengangguk ragu, "B-baiklah … kalau kau memaksa."

Kuroko menutupi wajahnya dengan kedua tangannya lalu mengatakan terimakasih sambil terisak.

"Oh? Kagami?" ujar Hyuuga melihat Kagami berdiri di depan pintu dan agak kaget melihat wajah sedih Kagami. Jangan bilang kalau dia mendengar omongan kami.

"Kagami-kun?" ujar Kuroko tak kalah kaget.

"M-maaf." Kagami berlari keluar dari kamar Kuroko sambil sesekali mengusap air mata yang keluar tanpa seizinnya dengan punggung tangannya. Ia harus menemui ibunya sekarang juga.

.

.

.

When I get back on land

Well I'll never get my chance

Be ready to live and it'll be ripped right out of my hand

.

"Aominethi, lihat itu! Kulokothitudah tembuh-tu!" teriak Kise girang saat melihat Kuroko dan Kagami di kejauhan.

"Wah! Mana, Kise, mana? Oh, iya! Itu, Tetsu!" balas Aomine tak kalah girang.

Midorima sebagai yang paling waras kedua setelah Akashi menyadari ada perubahan di wajah dingin Akashi. Dia … tersenyum?

"Nee~ Aka-chin sedang senang, ya?" ujar Murasakibara yang ternyata cukup waras untuk menyadari perubahan ekspresi Akashi.

"Sepertinya begitu, Atsushi. Kupikir dia tidak bisa berjalan lagi."

Mendengar ucapan Akashi, Kise dan Aomine serempak mengalihkan pandangan dari Kuroko yang sedang berjalan ke Akashi yang absolute tak terkalahkan.

"Ada apa—"

"Maaf telah membuat kalian menunggu lama, Akashi-kun, Kise-kun, Aomine-kun, Midolima-kun, Mulasakibala-kun," ujar Kuroko sedikit terengah-engah. Mungkin ia dan Kagami agak berlari-lari kecil tadi.

"Yo!" sapa Kagami lengkap dengan cengiran lima jari untuk meninggalkan kesan ramah pada orang yang baru dikenalnya. Tetapi kelihatannya mereka tidak begitu peduli pada Kagami. Lihat, Kise sibuk memeluk Kuroko sambil berteriak-teriak 'aku tanat melindukan Kulokothi-tu' padahal mereka baru berjumpa beberapa hari yang lalu, Aomine sibuk menarik-narik Kise menjauh dari Kuroko, Murasakibara sibuk dengan snack-nya, Midorima sibuk dengan buku di tangannya—entah buku apa, dan Akashi sibuk memperhatikan Kuroko dengan tatapan dingin.

"Tetsuya," panggil Akashi.

"Ya?"

"Apa yang membuatmu yakin ingin bermain basket dengan kami?"

"Aku sangat menyukai basket dan ingin sekali telus belmain basket. Tetapi aku yakin tidak akan bisa telus belmain basket. Dalipada hanya tidul-tidulan di kamalku, aku lebih ingin telus belmain basket sampai kakiku tak bisa lagi kupakai beljalan. Kudengal dali Kise-kun kalau Akashi-kun dan yang lain juga bisa belmain basket, aku jadi ingin belmain dengan Akashi-kun, Kise-kun, Midolima-kun, Aomine-kun, Mulasakibala-kun, dan juga Kagami-kun."

"Walaupun setelah itu kau tidak akan bisa lagi bermain basket— ah, tidak, maksudku berjalan?"

"Ya."

Kebingungan jelas tergambar di wajah mereka, kecuali Kagami dan Akashi yang—sepertinya—mengerti keadaan Kuroko. Lalu Kise yang tidak mengerti—entah kenapa—teringat ucapan Riko saat ia ingin menemui Kuroko. Apa tepalah itu kankel tulang?

Kise malah beralih ke Aomine dan memeluknya sambil menangis.

"Oi, Kise, kenapa peluk-peluk aku?!"

Kenapa? Kenapa lasana takit tekali-tu?

"Jadi kau sudah merelakannya direnggut lebih cepat dari dirimu, eh?"

"Cepat atau lambat, hal yang sama tetap akan teljadi, 'kan?"

Sekujur tubuh Akashi mendadak dingin.

"Akashi-kun tidak mengelti posisiku. Jadi tolong jangan belbicala seolah-olah Akashi-kun mengelti."

Aku mengerti, Tetsuya. Tentu saja aku mengerti.

To be continued

.

.

.

A/N:

Tadinya ini mau saya jadiin one shot. Tapi sepertinya batal dan bakal jadi two shots. Maaf ini ceritanya asli pasaran dan, well, kurang bagus. Entah kenapa saya pengen bikin fict yang nge-feel walaupun sepertinya ini masih kurang nge-feel. Maafkan kekurangan saya, reader-sama :')

Dan buat fans kise-kun … aduh, maafkan saya sudah bikin dia cadel parah. Tadinya mau bikin dia lebih cadel dari ini, tapi kok aneh ya kalo kise manggil akashi jadi 'athathithi'. Please saya mau bunuh diri jadinya :')

Last, review kudasai~