Galerians, in.

A/N: Ide hamba yang terbaru. Seperti yang sudah disebutkan di synopsis, cerita ini adalah spin-off dari fic Tale of The Radiant Sun, featuring Naruto dengan kemampuan dan latar belakang yang sama namun dengan beberapa perbedaan. Semoga bisa menghibur anda sekalian.

Warning:

Mungkin abal. Mungkin aneh. Mungkin jelek. Dan mungkin OOC.

Disclaimer: This is purely a fanfiction, made only to bring about entertainment of whatever I decided to write for those who read!

Selamat membaca!

~••~

When The Sun Goes into A High School

Chapter 1

(I'm Enrolled?! Welcome to Kuoh Academy!)

Naruto membaca dokumen yang terselip di antara ibu jari dan jari telunjuknya dengan mata menyipit. Pandangannya beralih ke arah Jiraiya yang nyengir lebar sambil berkacak pinggang, balik ke dokumen, balik lagi ke sang Shishou, lalu balik lagi ke kertas.

"Kau mendaftarkanku di SMA?" ia bertanya dengan nada datar.

"Yep!" Jiraiya mengangguk dengan antusias dan ibu jari teracung. "Bagaimana? Hadiah ulang tahun yang bagus kan?!"

Naruto memandang sang guru dengan tatapan kosong, seakan masih berusaha mencerna informasi atau masih nggak ngeh kalau ini bukanlah sebuah mimpi. "Hadiah ulang tahun? Kau mendaftarkanku ke sekolahan tanpa bilang-bilang dan kau sebut ini hadiah ulang tahun?"

"Yep!" Jiraiya mengangguk sekali lagi. "Aku juga sudah mengurus semuanya! Mulai dari iuran sekolah, seragam, buku pelajaran, bahkan sampai sewa rumah yang akan kau diami selama kau sekolah!" dia mendengus bangga.

"Ho." Naruto menyahut dengan keanggunan yang menyaingi pembuat puisi kelas atas. "Uang dari mana?"

"Dari tabunganmu dong!"

Hening.

Naruto meletakkan kertas itu di atas meja sembari menutup mata, menarik napas panjang, dan berdiri dari futon-nya.

Dengan tenang, anak muda yang baru berulang tahun kelima belas beberapa bulan lalu itu melangkah maju dan tanpa banyak babibu, ia menjotos wajah sang guru.

Tanpa mengacuhkan pria berambut perak yang telentang di lantai sambil memegangi pipinya dan mengaduh-aduh ria, Naruto meraih gulungan besar yang selalu nangkring di punggung Jiraiya dari tempatnya bersandar di dinding, hanya untuk digunakan sebagai alat untuk menghajar pria pria paruh baya itu tanpa ampun.

"Dasar Shishou brengsek!"

~•~

Setelah interogasi yang berlangsung singkat karena Naruto sudah mulai mengancam sang guru dengan kunai, Naruto akhirnya mengetahui alasan apa sebenarnya yang ada di balik keputusan Jiraiya untuk membuatnya kembali menjadi murid di institusi pendidikan. Usut punya usut, dalam komunikasi terakhir mereka Tsunade mengemukakan kekhawatiran, bahwa setelah hampir dua tahun mengembara dunia atas nama latihan intensif, serta mengingat bahwa kaum shinobi di jaman modern sekarang harus bisa membaur dengan masyarakat awam, Naruto perlu diperkenalkan kembali ke dunia sosial yang sesuai dengan jangkauan umurnya sebagai anak SMA. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan level sosialisasinya yang mungkin sudah jongkok karena sudah terlalu lama hanya berinteraksi dengan Jiraiya yang, harus diakui, memiliki moral di bawah rata-rata.

Tak hanya itu, Jiraiya juga mendapat tugas penting yang harus ia lakukan seorang diri karena misi itu berhubungan dengan informasi super sensitif yang tak bisa didengar oleh orang lain. Jadi daripada membiarkan Naruto keluyuran sendiri selama beberapa bulan, Jiraiya lebih memilih Naruto mengisi waktunya dengan lebih efektif.

Hanya saja, alih-alih mendaftarkannya di sekolah normal, Jiraiya mendaftarkan Naruto ke sebuah institut pendidikan privat bernama Akademi Kuoh. Mengapa Naruto menganggap sekolah ini tidak berada di bawah atau dilalui garis normalitas? Karena Akademi Kuoh adalah bekas sekolah khusus putri yang hanya baru-baru ini saja berubah orientasi, sehingga populasi cewek dan cowok masih berada dalam ketidakseimbangan.

Ketika dia mengemukakan kebingungan ini pada Jiraiya, si petapa tua itu hanya nyengir mesum sambil mengatakan bahwa dia berharap dengan begitu Naruto bisa lebih mengenal hubungan antara pria dan wanita... sekaligus mungkin mengakhiri statusnya sebagai seorang perjaka.

Satu menit kemudian, Naruto menghambur keluar dari kamar apartemen tempat mereka menginap untuk malam itu, meninggalkan sang guru yang kini telungkup dengan belasan kunai mencuat di hampir seluruh bagian tubuh, dan benjol besar yang masih berasap di puncak kepalanya.

~•~

Naruto mengurut pelipisnya untuk meredakan sakit kepala yang sudah ia derita dari pagi tadi karena kurang tidur. Ia harus mengakui bahwa walaupun rumah sewaannya adalah tempat yang enak ditinggali, dia tetap tak bisa tidur nyenyak sebagaimana yang sering ia alami kalau berada di tempat asing. Biasanya, Naruto bisa memperbaiki masalah itu dengan latihan berat sehingga dia akan terlalu lelah untuk memikirkan di mana ia merebahkan badan, namun Jiraiya sudah memperingatkannya agar tidak mengundang perhatian, dan mengingat bagaimana latihannya sekarang sudah mencapai fase di mana area sekeliling terus menjadi korban... yah, bisa dibilang ia sudah tak bisa mengambil pilihan itu lagi.

Naruto harus menahan diri untuk tidak menggeram ketika ia mendengar sang guru mulai memberi penjelasan dengan suara nyaring yang membuat tulang tengkoraknya terasa bergetar dan otaknya mendenyut. Dia tahu kalau dia sendiri sering dipanggil hiperaktif oleh orang-orang yang dekat dengannya, tapi dia tak bisa mengerti bagaimana seorang guru yang sudah mulai mencapai umur empat puluhan itu bisa masih semangat mengajar walaupun ia mendapat bagian jam pelajaran terakhir di mana efek lelah dan bosan biasanya sudah bersifat universal, baik bagi murid maupun tenaga pengajar.

Jika Naruto harus memberi deskripsi untuk kehidupannya sebagai murid baru di Kuoh dengan jumlah kata sesedikit mungkin, maka Naruto bisa memberi jawaban yang sangat singkat, hanya dengan satu kata malah.

Menyebalkan.

Seringkali lagu-lagu jaman sekarang memberi pernyataan bahwa masa muda adalah masa terindah dalam kehidupan seorang manusia. Sungguh, Naruto ingin bertemu dan mengacungkan jari tengahnya di hadapan para pembuat lirik lagu itu. Jujur, kehidupan sebagai seorang shinobi pengembara bersama Jiraiya, walaupun dipenuhi dengan kesulitan dari latihan intensif atau bahaya karena misi-misi mematikan yang sering mereka ambil, masih jauh lebih menyenangkan daripada menghabiskan lebih dari lima jam duduk di atas kursi yang tidak empuk dan mendengarkan guru menjelaskan pelajaran yang sama sekali tidak ia pikir bisa berguna dalam jalur karirnya sebagai seorang shinobi.

Terlebih lagi dia adalah seseorang yang pragmatis. Salah satu prinsip yang Jiraiya tekankan adalah 'banyak jalan menuju Roma'. Peduli apa dia soal matematika atau fisika asalkan kunai dan shuriken yang ia lempar bisa mengenai sasaran? Peduli apa dia soal kimia, mengingat tubuhnya bisa sembuh dari luka maupun racun jenis apapun asalkan diberi waktu yang cukup? Peduli apa dia soal biologi kalau dalam pengembaraannya, dia sudah tahu cara menghadapi mulai dari manusia biasa, kaum youkai, atau bahkan spesies monster macam troll atau bahkan bangsa naga?

Singkatnya, Naruto tak punya hasrat untuk mempelajari sesuatu yang tidak membuatnya tertarik.

Andai saja uang yang sudah Jiraiya keluarkan untuk membayar biaya sekolah ini tidak keluar dari kantong Naruto sendiri, mungkin dia sudah lama mengundurkan diri.

Lamunan Naruto buyar ketika ia mendengar bel berbunyi, pertanda pelajaran hari itu sudah berakhir. Masih dengan mulut yang terkatup rapat, Naruto memasukkan semua bukunya ke dalam tas punggung yang ia bawa dan keluar dari kelas tanpa melihat kanan kiri.

Dia sama sekali tidak terkejut atau heran ketika menyadari bahwa dari semua siswa di kelas, dia hanya perlu memberi salam balik pada satu orang ketika remaja berambut cokelat itu mengucapkan sampai jumpa padanya. Setelah satu bulan di Kuoh, para siswa lain telah menyadari bahwa siswa baru berambut pirang itu adalah seorang penyendiri dengan tingkah lakunya yang tidak mengikuti klub apapun dan selalu langsung pulang setiap kali bel akhir berbunyi, jadi mereka hanya mengangkat bahu dan berusaha untuk tidak mempedulikan Naruto. Bukan salah mereka kan kalau si anak baru tidak ingin punya teman?

Dan walaupun Naruto merasa tidak enak, apalagi dia sebenarnya enggan bersikap demikian karena pada dasarnya Naruto adalah orang yang suka berteman, dan walaupun tujuannya mendaftar di sekolah itu adalah untuk mempelajari kembali kemampuan bersosialisasi, tapi dia juga harus mengingat bahwa dia hanya 'singgah' di Kuoh. Dia tidak tahu kapan Jiraiya akan menjemputnya kembali untuk melanjutkan pengembaraan mereka, jadi kalau bisa, dia ingin mencegah memiliki teman agar tidak ada orang yang merasa sedih dengan kepergiannya. Lagipula, mengingat statusnya sebagai seorang ninja yang harus dirahasiakan, Naruto merasa lebih baik tidak memiliki teman untuk menghindari pertanyaan selagi berdiam di kota ini karena dia sangat tidak suka berbohong.

"Namikaze-kun."

Naruto berhenti berjalan tepat sepuluh langkah sebelum ia mencapai tangga, menengadahkan kepalanya hanya untuk melihat bahwa seseorang telah menunggunya di depan tangga. Dia menahan diri untuk tidak mengumpat, Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa tidak senang dalam hatinya di wajah, Naruto memutar tubuhnya dan menyunggingkan senyum yang agak dipaksakan.

Di depannya, berdiri seorang gadis muda dengan rambut hitam dan mata yang berwarna ungu, wajahnya yang kecil dihiasi oleh kacamata yang bertengger di hidungnya yang kecil namun mancung, membuatnya nampak pintar namun sekaligus dingin karena raut wajahnya cenderung tidak ditemani oleh senyum. Cewek remaja yang Naruto kenali sebagai Shitori Sona, ketua dari badan organisasi intrasekolah, yang wajahnya sudah hampir menjadi rutinitas dalam satu bulan kehidupan Naruto di Akademi Kuoh, serta sumber masalahnya yang kedua.

Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di perimeter Kuoh, rambut pirang Naruto telah menjadi salah satu hal yang membuatnya menarik perhatian, karena dalam dokumen pendaftarannya, Jiraiya memasukkan informasi bahwa Naruto adalah turunan orang Jepang tulen baik dari sisi ayah maupun ibu, dan itu membuat rambut pirangnya menjadi objek bisik-bisik dan asumsi bahwa dia adalah seorang anak nakal bahkan preman yang mencat rambutnya sendiri. Sial bagi Naruto, aktivitasnya selama dua minggu pertama malah semakin memperburuk situasi. Menolak masuk ke klub manapun atau ajakan nongkrong membuatnya dianggap sedikit anti sosial, sikapnya yang selalu menjawab pertanyaan dengan jawaban sesingkat-singkatnya mungkin masih bisa diterima karena itu hanya pertanda orang yang pendiam.

Namun ketika di minggu kedua ada kabar bahwa ada tiga siswa yang harus masuk rumah sakit, dilanjutkan dengan Naruto yang masuk ke kelas dengan mata lebam, para siswa lain langsung membuat asumsi bahwa si remaja pirang pasti terlibat dengan luka-luka yang diderita tiga siswa itu.

Asumsi itu tidak keliru memang, namun agaknya mereka semua tidak memedulikan fakta bahwa tiga siswa itu adalah anak nakal yang suka memeras uang dari orang lain, terutama anak-anak SMP yang tidak bisa membela diri. Dan gara-gara kabar itu, Naruto akhirnya menjadi buruan sang ketua OSIS yang kelihatannya menganggap bahwa memperbaiki sikap anak nakal di Kuoh adalah tanggung jawabnya.

Hampir dua minggu Naruto sudah berhasil menghindar dari konfrontasi, namun agaknya keberuntungan ninja itu berakhir hari ini. Entah dikarenakan Naruto yang tidak konsen karena sakit kepala atau karena Sona sekarang jadi lebih pintar setelah dua minggu gagal menangkap si shinobi pirang, hal itu tidak mengubah fakta bahwa Naruto sekarang sudah terkepung dan tak punya jalan untuk lari, karena ketika ia melirik ke arah berlawanan, ia bisa melihat bahwa Shinra Tsubaki, wakil ketua OSIS, berjalan mendekat dari belakangnya.

Merasa bahwa nasibnya sudah terukir di atas batu, Naruto hanya bisa pasrah.

"Ahaha, selamat siang, Shitori-san." Ia balik menyapa sembari mengusap belakang kepalanya, sama sekali tidak sadar dengan perbuatan yang selalu menjadi pertanda bahwa ia sedang gugup itu.

Gadis itu menyipitkan mata, sama sekali tidak percaya dengan sikap sopan maupun cengar-cengir cowok pirang di depannya. Ketika ia mendengar dengusan yang sama sekali tidak disembunyikan, Naruto harus menahan diri untuk tidak meringis. "Anu, ada yang bisa kubantu?"

"Sebenarnya ada, Namikaze-kun," Sona memperbaiki posisi kacamatanya, membuat kaca benda itu berkilap karena memantulkan cahaya yang datang dari jendela. "Ada alasan khusus mengapa kau menghindariku satu minggu terakhir ini?"

Naruto kembali menahan diri untuk tidak meringis. Bagi orang biasa, mungkin tidak akan terlalu kentara, tapi walaupun Naruto sangat payah dalam mengetahui perasaan orang lain, setidaknya dia cukup perseptif untuk mendeteksi nada menuduh dan tidak senang yang terkandung di bawah nada profesional Sona.

"Eh?" Naruto berusaha memasang ekspresi polos dan bingung, walaupun entah meyakinkan atau tidak dia juga tidak tahu. "Maaf, Shitori-san, tapi jujur aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Tidak usah pura-pura, Namikaze-san," gadis dengan warna rambut sama dengan Sona, namun lebih panjang, yang berdiri di belakang Naruto berkata sinis. "Kami sudah berusaha mengontakmu selama dua minggu terakhir, tapi kau selalu berhasil kabur."

"Em, apa maksudmu 'kabur', Shinra-san?" Naruto tetap mencoba untuk terdengar tak bersalah, walaupun nada sinis Tsubaki cukup membuatnya tersinggung. "Aku yakin itu cuma kebetulan. Mungkin kita cuma tidak sengaja nggak berpapasan?"

"Kebetulan?" Tsubaki kembali mendengus, wajahnya mendongak sedikit seakan memandang rendah Naruto. "Kebetulan macam apa yang bisa membuat organisasi OSIS sekolah ini perlu waktu setengah bulan hanya untuk mengontak satu siswa saja?"

Oke, Naruto tidak peduli walaupun cewek ini adalah wakil ketua OSIS. Seenaknya saja dia meremehkan Naruto seperti ini! Naruto mungkin tidak bisa memakai seluruh kemampuannya karena tidak ingin statusnya terbongkar, tapi itu tidak berarti dia tak punya harga diri sebagai seorang shinobi! Kalau dia mau, walaupun dia diburu satu sekolah pun, tak akan ada seorangpun yang bisa menemukannya!

Naruto berbalik seratus delapan puluh derajat dan bersidekap, membalas tatapan Tsubaki wajah ke wajah. "Yah, mungkin memang bukan kebetulan, Shinra-san, tapi apa itu berarti anggota OSIS Kuoh sebegitu payah sampai-sampai perlu waktu selama ini hanya untuk satu orang?"

Wajah Tsubaki berubah sangar. "Kau—!"

"Tsubaki," suara Sona menyela, nadanya autoritatif dan tegas. "Cukup." Mulut sang wakil ketua OSIS mengatup dengan suara nyaring, namun ekspresi sangarnya tidak berkurang, malah semakin bertambah ketika gadis remaja itu melihat Naruto yang memasang senyum lebar. Dia menggeram.

"Tsubaki."

Mendengar peringatan kedua Sona, Tsubaki menutup mata dan menarik napas. Tidak seberapa detik kemudian, posturnya kembali menegak dan dia kembali menjadi wakil ketua OSIS yang terhormat. "Baik, Kaichou."

"Namikaze-kun," panggilan Sona membuat Naruto menoleh ke arahnya. "Tolong, kami hanya ingin menanyakan beberapa hal, bukannya membuat masalah."

Naruto mengangkat alisnya, ingin menyatakan bahwa bukan dia yang memulai semua ini namun sadar bahwa mengatakan itu hanya akan memperburuk situasi dan semakin memperlambatnya pulang ke rumah, yang juga berarti dia harus menderita sakit kepala lebih lama lagi.

Jadi dia mengangkat bahu. "Menanyakan apa?"

"Dua minggu lalu, ada tiga siswa dari SMA sebelah yang masuk rumah sakit—"

Naruto memotong cepat. "Itu hanya misi."

Sona ternganga selama beberapa saat, tak terbiasa dirinya dipotong begitu saja sebelum selesai bicara. Naruto menikmati pemandangan yang jarang terjadi itu sebelum sang ketua OSIS kembali menguasai dirinya dan berdehem. "Misi?"

Naruto tidak menjawab, dia hanya meraih ke dalam tasnya, mengambil sebuah selebaran, lalu menyodorkannya ke arah Sona yang menerimanya dengan ekspresi heran. Tsubaki yang penasaran bergerak ke sisi Sona untuk ikut membaca isi selebaran. Ketika ia mengalihkan pandangan ke arah Naruto lagi, matanya lebar dan wajahnya dipenuhi rasa tidak percaya. "...Ninja?"

Naruto mengangguk. Sebagaimana tertulis di selebaran itu, "Namikaze Naruto, Ninja. Menerima pekerjaan apa saja, mulai dari menemukan barang hilang, pengawalan, atau bahkan sampai ke urusan berbau supernatural." Naruto bahkan bisa memperbaiki peralatan rusak. Walaupun dia tak punya pendidikan sebagai teknisi, kemampuan membaca Aksara Semesta yang ia warisi dari klan Namikaze membuatnya bisa mengetahui persis kerusakan apa yang ada pada sebuah mesin, baik teknologi sehari-hari macam kulkas atau tv, atau bahkan kendaraan berbahan bakar bensin seperti motor atau mobil.

Dan alasan dia melakukan semua ini? Karena walaupun Jiraiya sudah membayar iuran sekolah dan sewa rumah, namun sayangnya itu tidak termasuk tagihan listrik, air, maupun gas. Ditambah dengan biaya makan, ujung-ujungnya Naruto harus mencari penghasilan sampingan. Dan niat untuk bekerja sampingan itulah yang menjadi awal terbentuknya ide cemerlang ini.

...Yah, mengatakan bahwa ini adalah idenya sendiri mungkin sedikit berlebihan, karena sebenarnya Jiraiya-lah yang membuatnya mendapat ide ini.

Pelajaran Jiraiya #26: 'Sembunyi di tempat terbuka.'

Pada hakikinya, ini berarti alih-alih merahasiakan, Naruto dengan terang-terangan mengekspos bahwa dirinya adalah seorang ninja, dengan harapan orang awam tidak akan memedulikannya, sehingga orang yang akan menyewa jasanya hanyalah orang yang tahu betul bahwa komunitas shinobi memang masih ada di dunia ini.

Gilanya, rencana itu berhasil. Orang awam yang menerima selebarannya menganggap Naruto pasti memiliki 'sindrom anak SMP' yang lebih dikenal sebagai Chuunibyou, dan walaupun ada orang awam yang memberinya misi, dia juga sudah menyiapkan kontrak dengan Fuuinjutsu level tinggi yang memastikan kliennya tak bisa memberitahukan identitasnya pada siapapun, sehingga statusnya sebagai shinobi tetap menjadi sebuah rahasia.

Yah, itu tidak berarti dia perlu melakukan banyak-banyak. Malahan, tiga misi yang ia laksanakan bulan ini sudah cukup untuk membayar semua tagihan bulan depan.

"Ninja?" renungan Naruto buyar ketika ia mendengar Sona mengulang pertanyaan Tsubaki. "Kau menghajar tiga orang karena kau pikir kau adalah seorang ninja?"

Naruto mengerutkan dahi dan mendongak, melihat Sona mendelik ke arahnya. Pemuda pirang itu mengambil satu langkah maju, dan membalas delikan Sona dengan tatapan. "Tiga orang yang kau sebutkan itu adalah preman yang suka merokok, minum alkohol, dan menindas anak-anak sekolahan. Mereka suka memeras uang dari orang lain, yang kalau tidak dikabulkan, maka akan berubah jadi kekerasan." Tatapan Naruto berubah tajam. "Kau mungkin tidak tahu, atau tidak peduli, Shitori-san, tapi ketika aku menemukan mereka dua minggu yang lalu, tiga orang brengsek itu sedang menghajar seorang anak SMP sampai babak belur, dan itu masih belum termasuk hidung dan satu tangannya yang patah."

Sona dan Tsubaki nampak terkejut, namun Sona dengan cepat menguasai dirinya selagi Tsubaki bertanya, "Lalu? Kau merasa bahwa itu adalah alasan yang cukup untuk mengirim mereka ke rumah sakit?"

Naruto mengalihkan matanya ke arah Tsubaki. "Ya," dia menjawab singkat. "Ada masalah dengan itu?"

Sona mengambil giliran untuk buka mulut. "Namikaze-kun, kau ini hanya seorang anak SMA. Kau bukan polisi, atau anggota badan penegak keadilan. Kau seharusnya menyerahkan urusan semacam ini pada pihak berwajib—"

"Pihak berwajib?" Naruto mengulangi dengan nada tidak percaya. "Dimana pihak berwajib yang kau sebutkan itu? Kaukira aku tidak menyelidiki masalah ini dulu sebelum mengambil tindakan? Mereka sudah meneror anak-anak lain selama lebih dari satu tahun! Pihak berwajib? Dimana pihak berwajib ketika tiga anak pindah ke kota lain karena tak tahan ditindas?! Dimana pihak berwajib ketika dua anak SMP mendapat trauma hebat sampai-sampai mereka tidak pernah lagi masuk sekolah?!" Naruto menggertakkan giginya, suaranya merendah sampai menjadi sebuah desisan. "Dimana pihak berwajib ketika mereka mengepung anak SMP yang baru berumur tiga belas tahun, dan menghajarnya sampai tangannya patah?"

Sebagai orang yang sudah ditindas oleh penduduk desanya sendiri selama bertahun-tahun, Naruto tahu bagaimana rasanya. Dan dia tak bisa menerima ada orang lain yang harus merasakan penderitaan yang sama seperti apa yang telah ia alami.

Sona dan Tsubasa sudah mengambil satu langkah mundur sejak suara Naruto mulai meninggi. Wajah mereka yang semula tegas berubah ekspresi, dan kini hanya dipenuhi oleh ketidakpercayaan diri. Sona membenarkan kacamatanya lagi, walaupun kali ini gerakannya itu malah membuat dia terlihat gugup. "Kuakui bahwa pihak berwajib di kota ini mungkin... kurang kompeten. Tapi itu tidak berarti kau bisa seenaknya main hakim sendiri, Namikaze-san. Seperti yang tadi kukatakan, kau hanya seorang anak SMA, dan sebagai pelajar kewajiban utamamu adalah menerima pendidikan. Kau bukan pahlawan."

"Pahlawan?" Naruto mendengus. "Kaukira aku melakukan semua itu karena semacam rasa keadilan?"

Sona nampak bingung untuk sesaat, namun yang buka suara selanjutnya adalah Tsubaki. "Jadi kau melakukannya demi uang, begitu?" gadis berambut panjang itu kembali mendelik pada Naruto. "Itu kan yang kaumaksud dengan misi? Kau menghentikan mereka bukan karena ingin menolong orang, tapi karena kau diberi pekerjaan dan kau ingin mendapat bayaran?"

Naruto bersidekap. "Kalau aku menjawab iya, lalu kenapa?"

Tsubaki mendelik pada Naruto untuk beberapa saat sebelum ia akhirnya buang muka. "Aku sudah salah menilaimu, Namikaze-san." Ia mendengus meremehkan. "Kau bukan orang yang terhormat. Kau cuma orang yang materialistis."

Walaupun tuduhan itu terasa menyakitkan, Naruto memaksa agar wajahnya tetap datar. "Aku tak pernah bilang aku butuh rasa hormat darimu, Shinra-san." Naruto memutar tubuhnya dan kembali berjalan ke arah tangga. "Kurasa cukup sampai disini dulu untuk sekarang. Aku mau pulang."

Naruto sudah hampir mencapai tangga ketika suara Sona kembali menghampiri gendang telinganya. "Namikaze-kun...!"

Murid sang Gama Sennin itu menarik napas panjang. "...Apa?"

"Memastikan kenyamanan dan keamanan siswa di sekolah ini adalah tanggung jawabku sebagai ketua OSIS," nadanya kembali menjadi tegas. "Secara teknis, tiga siswa yang kau hajar itu memang di luar jurisdiksiku karena mereka tidak berasal dari sekolah ini. Tapi aku ingin memperingatkanmu, Namikaze-san, kalau kau membuat masalah di Kuoh, maka kau akan berurusan denganku."

Naruto diam selama beberapa saat sebelum kembali mengangkat bahu. "Bisa kucoba, Shitori-san," dia kembali melangkah. "Tapi aku tidak bisa janji."

~•~

Naruto tiba di rumah sewaannya ketika matahari sudah terbenam. Ia melangkah perlahan ke ruang tengah sembari menyalakan lampu sepanjang jalan, berhenti sebentar di kulkas untuk mengambil sebotol air mineral, sebelum menghempaskan pantatnya di kursi meja makan. Ia membuka tutup botol lalu menenggak isinya sampai habis setengah.

Naruto tiba-tiba merasakan sensasi seperti kait menarik perutnya, sensasi yang juga menjadi rutinitas lain bagi sang pemuda selama dua tahun terakhir, membuat pemuda itu mengerang. Dia bersandar ke punggung kursi sambil menarik kursi di sampingnya.

Satu detik berikutnya, Naruto sudah tidak lagi sendirian di rumah itu ketika seseorang muncul di sampingnya, duduk di kursi yang tadi ia tarik sembari memandangnya dengan khawatir.

"Goshujin-sama." orang itu memanggilnya pelan, tangannya bergerak meraih bahu Naruto. Matanya yang berwarna merah delima dengan pupil seperti mata kucing di siang hari bersinar dengan rasa cemas. "Goshujin-sama tidak apa-apa?"

Naruto hanya mengangguk.

"Goshujin-sama bohong." orang dengan rambut merah yang sangat panjang sampai mencapai lantai mendekat, tangannya bergerak ke pipi Naruto.

Naruto menutup matanya dan tersenyum pasrah. Ia meraih tangan di pipinya lalu meremasnya pelan. "Kau selalu tahu, Kurama."

"Hmph," gadis yang merupakan personifikasi makhluk mistis yang berdiam di balik segel di perut Naruto itu mengangkat wajahnya dengan sombong, walaupun dia gagal menyembunyikan nada senang yang tersimpan di dengusannya. "Tak ada orang lain di dunia ini yang mengenal Goshujin-sama lebih baik dari Kurama, Goshujin-sama."

Naruto terkekeh. "Klaim macam apa itu? Kau lupa kalau kita baru bertemu dua tahun yang lalu?"

Kurama merengut, tangannya berhenti mengusap wajah Naruto. "Berapa kali harus Kurama katakan kalau Goshujin-sama keliru?" ia mencubit pipi tuannya itu. "Goshujin-sama mungkin baru membuka pikiran Goshujin-sama pada Kurama ketika guru mesum Goshujin-sama itu melempar Goshujin-sama ke dalam jurang, tapi Kurama sudah tersegel di dalam Goshujin-sama sejak Goshujin-sama berusia lima tahun."

Senyum Naruto jadi agak masam, tidak peduli berapa lama dia sudah berinteraksi dengan Kurama, dia masih belum terbiasa dengan betapa sukanya gadis itu mengucapkan kata 'Goshujin-sama' dalam setiap kalimatnya. "Kurama, apa kau benar-benar harus memanggilku dengan sebutan itu...?"

"Tentu saja!" Kurama menepuk dadanya yang dibalut kimono merah dengan bangga. "Goshujin-sama adalah Goshujin-sama! Dan Goshujin-sama adalah satu-satunya orang yang Kurama akui sebagai majikan!"

Naruto menutup wajahnya dengan telapak tangan dan mengerang panjang. Ia sadar bahwa dia tidak pernah dan mungkin takkan pernah memenangi argumen dengan Kurama jadi dia memilih untuk tidak buka mulut.

"Goshujin-sama..." Naruto mengeyahkan tangannya dari wajah ketika ia merasakan Kurama meraih ujung lengan seragamnya. Ketika ia menoleh, Naruto kembali menemukan kekhawatiran kembali bersinar di mata merah Kurama. "Goshujin-sama benar-benar baik-baik saja...?"

Naruto tersenyum tipis lalu menepuk kepala gadis itu. "Saat ini, mungkin tidak." Ia mengaku.

"Kenapa Goshujin-sama menerima saja cemoohan wanita tak tahu diri itu?" pada saat-saat seperti inilah Naruto kembali diingatkan bahwa Kurama sangat, bahkan bisa dibilang kelewat protektif pada majikannya. "Kenapa Goshujin-sama tidak mengatakan kalau dia keliru?"

"Seperti yang sudah kukatakan, Kurama, aku tidak butuh rasa hormat darinya. Lagipula, siapa yang bilang dia keliru? Apa yang sudah kulakukan, memang kuanggap sebuah misi."

"Tapi Kurama tahu Goshujin-sama tetap akan melakukan itu walaupun tidak ada orang yang meminta," Kurama bersikeras. "Kurama juga tahu uang yang Goshujin-sama dapat dari bayaran misi itu Goshujin-sama pakai untuk membayar biaya rumah sakit anak SMP yang mereka pukuli, bukannya untuk kepentingan Goshujin-sama sendiri."

"Kurama—"

"Nggak!" Kurama berteriak, berdiri dengan begitu tiba-tiba sampai kursi yang ia duduki oleng dan jatuh ke lantai. "Wanita tidak tahu diri itu sudah berani menghina Goshujin-sama! Dia tak bisa dimaafkan! Kurama harus—"

Naruto berdiri dengan cepat dan mengatupkan tangannya di mulut Kurama. "Kurama," dia menyebut nama sang gadis, menambahkan sedikit nada tak senang dalam suaranya. "Kita tidak sedang ada di Konoha, ingat? Kali ini kita punya tetangga. Aku tidak mau ada orang lain tahu kalau aku tidak sendirian di rumah ini. Jadi jangan—"

Naruto berhenti bicara saat ia menyadari bahwa Kurama tidak mendengarkan. Personifikasi sang Bijuu itu kini sedang sibuk menggosokkan pipinya ke tangan Naruto.

"Kurama?" Kurama masih belum ngeh, dan terus menekankan wajahnya ke tangan Naruto sampai suara dengkuran halus terdengar dari dalam tenggorokannya. "Oi, Kurama?"

"Hmm?" Kurama mendongak dengan kelopak mata yang mulai sayu. "Ah." Dia tersadar. "M-maaf, Goshujin-sama. K-Kurama hanya..."

Naruto melepaskan hembusan napas panjang. "Serius deh, kau ini rubah, bukannya kucing."

"A-anu... em..." Kurama terlihat malu. Rona merah mulai mewarnai pipinya, namun kelihatannya dia tak punya niat untuk melepaskan tangan Naruto. "K-Kurama hanya..."

Naruto mendesah sekali lagi, sebelum sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Kesini kau." Ia berucap singkat sebelum menggunakan kedua tangannya untuk menggaruk dagu dan belakang telinga Kurama yang lancip dan dipenuhi bulu merah, satu-satunya hal selain matanya yang menjadi pertanda bahwa Kurama bukanlah manusia.

Suara dengkuran yang datang dari tenggorokan gadis itu menjadi semakin jelas terdengar.

~•~

Naruto keluar dari kedai itu dengan dompet yang menipis, namun sekaligus kepuasan karena berhasil menemukan ramen yang enak. Walaupun masih tidak bisa menyaingi ramen di Ichiraku, itu tak menghalangi Naruto dari menghabiskan sampai sepuluh mangkuk dalam tempo setengah jam. Remaja pirang itu menepuk perutnya yang membuncit dengan senang, sebelum bersendawa nyaring.

'Goshujin-sama.' suara puas Kurama terdengar dari benaknya. 'Makan malam kali ini jauh lebih baik dari yang kemarin.'

Inilah salah satu aspek lain yang membuat Kurama sangat menyukai majikannya. Tidak seperti shinobi-shinobi lain yang menjadi tubuh inang baginya di masa lalu, Naruto adalah satu-satunya Jinchuuriki yang bersedia membiarkan Kurama berbagi panca indera dengannya. Naruto membiarkan Kurama ikut melihat dunia bersamanya, baik itu menyentuh air yang dingin, udara yang sejuk, sinar matahari yang hangat, ataupun tanah dan rumput yang lembut. Naruto membiarkan Kurama ikut merasakan enaknya berbagai makanan yang ia makan atau minuman yang ia minum, sampai nikmatnya berendam di air panas. Ia ikut merasakan penat setiap kali Naruto selesai latihan, sakit ketika ia terluka, dan rasa segar ketika ia bangun dari tidur.

Sebagai seorang Bijuu, Kurama tidak diberkahi oleh perasaan yang sama dengan manusia. Dan Naruto-lah orang yang memperkenalkannya pada kenyang dan lapar, sakit dan segar, marah dan senang, atau bahkan sedih dan bahagia.

Kurama tak pernah bertemu dengan orang lain yang begitu rela berbagi semua hal dengannya selain Naruto, dan karena alasan itulah, Kurama rela memberikan pengetahuan, kekuatan, dan bahkan kesetiaan, hanya untuk Naruto seorang.

'Yep...!' Naruto menjawab dengan antusias. 'Mulai sekarang, setiap kali kita mendapat pekerjaan, kita akan ke kedai ini untuk makan!'

Sorakan Kurama terdengar, dan kegirangan yang terkandung oleh suara Kurama mau tidak mau menginfeksi Naruto dan membuatnya ikut nyengir lebar.

Sengiran itu langsung hilang satu detik berikutnya.

'Goshujin-sama!'

'Ahh...' Naruto mengangguk. Ekspresinya berubah keras. 'Chakra...? Bukan...' dahi Naruto berkerut selagi ia mulai berlari dengan kecepatan penuh. 'Youki (Demonic Power)...?'

'Masih kurang tepat, Goshujin-sama. Mirip dengan Youki, tapi bukan itu.' Naruto bisa membayangkan Kurama mencubit dagunya, sebagaimana yang sering ia lakukan kalau menemukan sebuah masalah yang harus dipecahkan. 'Energi ini adalah Tengeki (Divine Power)...'

'Hah? Tapi yang punya kekuatan seperti itu kan cuma...?'

'Malaikat atau orang suci.' Kurama menyambung cepat. 'Kurama tidak yakin, Goshujin-sama. Energi ini rasanya mirip seperti Tengeki, tapi ada yang tidak benar.'

Naruto mungkin akan menyahut lagi, namun ketika ia akhirnya tiba di tempat yang menjadi sumber ledakan energi suci itu, apa yang ia lihat membuatnya tertegun.

Di sana, terkapar di depan sebuah air mancur yang menjadi pusat taman, tergeletak tubuh seorang siswa SMA dengan sebuah lubang di perutnya. Darah mengucur dari lukanya yang menganga dan mulutnya yang terbuka, mengotori dagunya dengan cairan merah lekat yang mulai menggenang di bawah tubuhnya.

"...Issei?" sebuah nama meluncur dari antara dua bibir Naruto, ketika ia akhirnya mengenal wajah satu-satunya teman sekelas yang tak pernah gagal mengucapkan selamat pagi dan sampai jumpa padanya setiap hari itu.

'Goshujin-sama? Goshujin-sama?!'

Naruto tidak mendengarkan panggilan Kurama, ia hanya terus menatap ke arah satu-satunya orang yang bisa ia panggil teman dari ratusan murid di Akademi Kuoh. Naruto melihat remaja berambut cokelat itu menoleh ke arahnya, melihat bagaimana Issei mengenali sosok Naruto bahkan ketika matanya mulai kehilangan sinar, dan bagaimana ia mengulurkan tangan ke arah Naruto, seakan-akan berusaha untuk meminta tolong.

Naruto masih tertegun ketika tangan itu jatuh tergeletak. Dada Issei berhenti bergerak, dan kedua matanya berubah kosong ketika arwah akhirnya pergi meninggalkan tubuh duniawi itu.

"Ho?" mata Naruto yang melebar maksimum berpindah ketika ia melihat ke arah satu-satunya orang selain Issei. Ia tidak melihat dua sayap dengan bulu hitam di punggungnya. Ia tidak melihat pakaiannya yang seronok dan tidak senonoh. "Aku tidak tahu kalau ada orang lain di taman ini."

Mata Naruto hanya melihat tombak, terbuat dari cahaya bersinar merah, yang tergenggam di tangan wanita itu. Senjata yang ia tahu telah membunuh Issei.

"Maaf, boya, tapi sayangnya aku tak bisa membiarkan ada saksi."

Amano Yuuma, atau lebih tepatnya, Raynare sang Datenshi (Fallen Angel), bersiap melemparkan senjata tombak merahnya, namun sebelum ia sempat berbuat lebih jauh, Raynare melihat Naruto telah lebih dulu mengangkat tangan kanannya dan mengucapkan dua kata.

"Fuuton: Daitoppa."

Kedua mata Raynare melebar ketika hembusan angin sekuat topan terlepas dari telapak Naruto dan menghantam tubuhnya. Belum selesai rasa terkejutnya, Raynare merasakan kakinya terangkat dari tanah dan tubuhnya terlempar, sebelum terhempas dan menghancurkan puncak air mancur yang ada di belakangnya.

Raynare bangkit dari air dan bersiap mengumpat, namun kata-kata apapun yang sudah siap meluncur dari bibirnya terhenti ketika ia melihat wajah pemuda pirang di depannya telah kehilangan semua ekspresi. Mata birunya berubah menjadi sedingin es, dan bibirnya membentuk garis horizontal lurus.

Ketika Naruto buka mulut kali berikutnya, suara Naruto sama sekali tidak terdengar menyimpan emosi baik itu kemarahan ataupun rasa tidak senang. Namun entah mengapa, Raynare merasa suara itu seakan mengirim vibrasi yang membuat tulang dan seluruh organ dalamnya serasa bergetar.

"Kau membunuh Issei."

Ucapan Naruto tidak berupa pertanyaan maupun seruan, hanya sebuah pernyataan singkat yang menyimpan fakta dari apa yang telah Raynare lakukan. Hanya saja, nada kosong dan tanpa perasaan suara itu menyimpan efek yang lebih kuat. Sang Datenshi hanya bisa terdiam, sanubarinya dipenuhi oleh rasa tak percaya, ketika giginya mulai gemeretak dan tangannya mulai gemetaran.

Setelah sekian ratus tahun, Raynare akhirnya kembali mengetahui seperti apa rasanya takut akan seorang manusia.

To be Continued...

A/N: Oke, hamba tahu cerita ini mungkin tidak bagus di mata readers sekalian, tapi bagi mereka yang merasa fic ini menarik, tolong kasih komentar dan kritiknya.

Praise me, shun me, applause me, make fun of me. Whatever you want to do, it's your call. Whatever it shall be, I will accept all.

Thanks a zillion for reading!

Galerians, out.