Secret

.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

SasukexSakura alternate universe fanfiction for Nenek Immortal, Senju Airin Nagisa.

.

Romance, family, little bit humor, maybe?

.

OOC, typo(s), bad diction, failed humor, and etc. Please read summary first then-

.

-if you don't like, don't ever try to read.

.

Enjoy~

.

.

.

Chapter 10 : Happiness

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Inoooo kau cantik sekaliiii!"

Semburat merah tipis menghiasi wajah Yamanaka Ino yang sedang mencoba gaun pengantinnya. Namun disamping ketersipuannya, gadis itu malah mengibaskan ekor kudanya dengan senyum bangga dan berucap dengan percaya diri, "tentu saja aku cantik. Maka dari itu Sai tergila-gila padaku."

Melihat reaksi Ino membuat Sakura menyipitkan matanya, sweatdrop. Ada sedikit penyesalan melontarkan kata pujian pada sahabatnya itu. Tapi sudahlah. Sekarang adalah masa-masa bahagia sahabatnya yang akan melepas masa lajangnya dua minggu lagi. Akhirnya, Sai dan Ino memutuskan untuk memajukan hubungan mereka selangkah setelah menjalin hubungan selama lima tahun.

"Oh ya, Sakura. Aku dan Sai sudah maju selangkah. Lalu, kapan kau dan Sasuke menyusul kami?"

Sakura mengeritkan keningnya, tak mengerti. Dalam kebingungan, wanita itu membalas, "aku tak tahu menjelang pernikahanmu, kau malah terkena amnesia. Aku dan Sasuke 'kan sudah menikah."

Mendengar perkataan Sakura membuat Ino berkacak pinggang dan mendengus, membuat Sakura semakin tak mengerti dengan tingkahnya. "Bukan itu maksudku, Jidat! Aku berbicara tentang 'maju selangkah'!"

"Maju selangkah? Maksudmu?"

Yamanaka Ino hanya dapat menepuk jidatnya dengan pelan saat sahabatnya mendadak telmi. "Anak Sakuraaa! Anak adalah langkah selanjutnya untukmu dan Sasuke! Aku bertanya kapan kalian memiliki keturunan?"

"Seharusnya kau bilang daritadi!" Sakura mendengus dan akhirnya menjawab, "hmm … entahlah. Tahun-tahun kemarin kami terlalu sibuk dengan urusan kuliah. Dan tahun ini …"

Wajah Sakura mendadak memerah. Tahun ini mereka telah bebas dari perkuliahan. Sasuke sudah mulai bekerja kembali di perusahaan 'titipan' ayahnya setelah tamat yang sebelumnya diserahkan sementara pada pamannya, Obito.

Dan Sakura sukses menjadi pengangguran tahun ini—ah, lebih tepatnya, ibu rumah tangga yang utuh. Sasuke membiarkannya kuliah, tapi pria itu tak membiarkannya bekerja. Ia juga tak tahu bagaimana jalan pikiran suaminya itu. Saat ditanya, Sasuke hanya menjawab, 'aku hanya ingin seorang ibu berpendidikan bagi anak-anakku. Bukan wanita karir.'

"—tahun ini?"

Sakura tersentak. Ia baru sadar bahwa ia memotong pembicaraannya sendiri dan tidak melanjutkan daritadi, padahal Ino sudah menatapnya dengan pandangan penasaran. "T—tahun ini … entahlah! Tanyakan hal ini pada Sasuke!"

Ino memicingkan matanya, tapi hanya sedetik sebelum gadis itu memangutkan kepalanya. "Hmm … baiklah. Kau adalah istri yang penurut yang selalu takluk pada keputusan suamimu. Baiklah. Aku mengerti."

"Terima kasih atas pengertianmu, Ino. Aku senang," tukas Sakura datar seraya membantu Ino untuk melepas gaun pengantinnya.

"Oh ya, Sakura …"

"Hmm?"

Sakura mengerutkan keningnya saat melihat wajah Ino berubah menjadi serius. Tersirat ekspresi panik dalam wajahnya yang membuat Sakura semakin penasaran.

"Aku ingin bertanya, kumohon jawablah."

"Baiklah. Apa yang mau kau tanyakan?"

Ino terdiam sejenak, gadis itu menundukkan kepalanya dan tersenyum canggung, "apakah … sakit saat melakukan … 'itu' pertama kali?"

Pertanyaan Ino membuat Sakura tertohok. Baru saja ia hendak menyemprot Ino dengan kesebalannya, niatnya langsung gugur saat saat melihat ekspresi Ino yang sangat serius. Tapi, mengkhawatirkan hal seperti itu memang wajar bagi calon pengantin seperti Ino.

Tapi sayangnya, Sakura bahkan tak ingat bagaimana ia dan Sasuke melakukan hal itu untuk pertama kali.

"Maaf, Ino. Aku tak ingat. Mungkin … sakit?"

Ino melebarkan matanya. "Kau tak ingat?! Bohong!"

"Serius! Aku tak ingat!" desah Sakura dengan nada agak frustrasi. "Saat itu kami mabuk karena salah meminum minuman."

"Jangan katakan padaku hal itu menjadi penyebab kau hamil menjelang kelulusan."

Wajah Sakura kembali memerah, namun sedetik kemudian wanita itu mengangguk pelan. "Kau tak mengatakan kepada siapapun tentang itu 'kan, Ino?"

"Mmm … tidak?"

"Benarkah?" Sakura memicingkan matanya.

"H—hanya Sai!"

Sakura merasa déjà vu dengan percakapan ini. Tapi, sudahlah. Hal yang perlu ia lakukan sekarang adalah percaya pada Ino.

"Oh ya, terima kasih untuk hari ini, Sakura! Bagaimana kalau kutraktir kau es krim?" tawar Ino dengan semangat, membuat Sakura melirik jam tangannya dan mendesah.

"Maafkan aku. Ini sudah pukul lima. Aku harus memasak untuk Sasuke."

"Hmm … baiklah. Kalau begitu, aku dan Sai akan mengantarkanmu pulang. Dia sudah ada di luar."

Sakura mengangguk dan berjalan bersama Ino keluar, menuju Sai yang sedang menunggu di dalam mobilnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Aku pulang."

"Selamat dataaang!"

Sakura berlari kecil menuju pintu rumahnya dan menyambut suaminya dengan senyuman lembut. Wanita itu membantu Sasuke melepas jas hitamnya dan mengambil tas pria itu. "Makanan dan air mandimu sudah siap."

"Hn?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya. "Aku pikir kau tak punya waktu untuk memasak hari ini."

"Aku pulang jam lima sore." Sakura menjelaskan. "Ino memilih perhiasan dan gaun dengan cepat. Ia juga sudah ke salon tadi pagi."

"Kau menemaninya sepanjang hari?"

Sakura mengangguk, membuat Sasuke menepuk kepala istrinya itu dan berkata, "maka seharusnya kau istirahat saja. Jangan memaksakan dirimu."

Perhatian Sasuke membuat perasaan senang menyusup ke hati wanita itu. "Aku tidak memaksakan diri! Aku memang sudah berniat untuk memasak untukmu," ujar Sakura yang langsung dihadiahi sebuah kecupan singkat di pipinya. "Sudahlah. Mandilah, kemudian makan."

Sasuke mengangguk dan berjalan memasuki apartemennya.

.

.

.

Drrttt … drrtt …

"Hn?"

"Tanggapanmu saat menerima telpon dariku jelek sekali."

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Aniki." Sasuke mendengus.

Emerald Sakura berbinar saat mendengar percakapan Sasuke. Wanita itu mendekati suaminya dan juga mendekatkan telinganya pada ponsel Sasuke. "Itachi-nii-saaann!"

"Hai adik ipar kesayanganku! Bagaimana kabarmu?"

"Baik! Bagaimana denganmu, Nii-san? Ayah dan ibu juga baik-baik saja, bukan?" tanya Sakura pas di telinga Sasuke yang membuat pria itu me-loadspeaker ponselnya. Kalau tidak ia bisa tuli mendengar suara istrinya.

"Baik-baik saja. Kalian rukun 'kan? Sasuke, kau tak bersikap jahat pada Sakura 'kan?"

"Hei, Sakura, apakah aku bersikap jahat padamu?" Sasuke kembali bertanya pada Sakura yang langsung terkikik geli.

"Tenang saja, Nii-san. Sasuke menjagaku dengan baik." Jawaban Sakura direspon gumaman ragu dari Itachi yang membuat Sasuke hendak mematikan telponnya, namun untung saja Sakura segera mencegah hal itu terjadi.

"Lalu, kapan aku mendapat keponakan?"

Pertanyaan itu lagi, yang tentu saja membubuhkan rona merah di pipi keduanya. "Hei, hei. Ini sudah memasuki tahun kelima pernikahan kalian, bukan? Sasuke, ayolah. Kau sudah menghamili Sakura sekali dan aku tahu kau pasti sudah tahu caranya. Bahkan, mahir melakukannya."

"N—Nii-san …" Sakura tak dapat membendung perasaan malunya. Ia lirik pelan Sasuke yang juga menahan malu seraya menatap sebal pada ponselnya.

"Apa lagi yang kalian tunggu? Kalian sudah menyelesaikan kuliah kalian. Sasuke, kau juga tahu masa subur Sakura, bukan? Lakukanlah beberapa ronde di masa subur itu."

"Hentikan pembicaraan ini, Baka Aniki!" Sasuke sudah mulai kehilangan kesabarannya—atau, tak dapat lagi menahan malunya. Namun Itachi hanya menanggapinya dengan tawa lepas yang membuat Sasuke ingin sekali terbang ke Paris sekarang juga dan menendang bokong kakaknya.

"Hahahaha baiklah! Aku berhenti! Aku yakin kalian sudah sangat memerah!" Itachi terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Ah ya, aku lupa. Aku ingin memberitahu kalian kalau aku, Ibu dan Ayah akan ke Jepang sebulan lagi. Ibu dan Ayah juga akan menetap kembali di sana."

"Benarkahhh?" Sakura melupakan rasa malunya dan mengembangkan senyum cerahnya.

"Ya. Keadaan di sini sudah stabil kembali dan kurasa aku bisa memegangnya kembali."

"Jangan mengacaukannya lagi," pesan Sasuke yang membuat Itachi tertohok di seberang sana.

"Ya, ya. Aku janji tidak akan mengacaukan perusahaan ini lagi."

"Carilah pasangan hidup, Nii-san! Agar kau tak mengkhianati perasaan seorang wanita lagi!" Kali ini Sakura yang berbicara, membuat Itachi lama terdiam sebelum akhirnya kabur dari pembicaraan.

"Ah, aku harus melakukan sesuatu sekarang. Jaa ne! Jangan lupa dengan keponakanku!"

-tuutt tuutt

"Ahh … apakah aku mengatakan hal yang salah?" Sakura mengerut heran, membuat suaminya hanya dapat mendengus tawa dan meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur mereka. "Sudahlah." Wanita itu menyandarkan dirinya pada dada Sasuke yang melingkarkan tangannya pada pinggang istrinya.

"Aku mulai menyadari sesuatu, Sakura."

"Hmmm?"

"Kita tidak mempunyai halangan apapun tahun ini." Sasuke menegakkan tubuhnya, membuat Sakura harus melepas sandarannya dari Sasuke kemudian memutar tubuhnya.

"Maksudmu?"

"Tentang anak, Sakura." Wajah Sakura kembali memerah. "Kita tak punya hal yang membuat kita harus menundanya lagi, bukan?"

Dengan pelan, Sakura mengangguk dan memandang malu pada suaminya. "Aku … tidak keberatan."

Sasuke tersenyum tipis, kemudian langsung memajukan wajahnya dan mencium dengan lembut istrinya. Gerakan pelan tapi pasti pun terjadi saat Sasuke mulai membaringkan wanita itu di bawahnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Sasuke-kun, tunggu. Akan kuperbaiki dasimu."

Sakura menghampiri suaminya dan merapihkan dasi kupu-kupu berwarna hitam serta jas hitam yang dipakai pria itu. Setelah menurutnya sudah rapih, wanita itupun tersenyum dan berkata, "sudah selesai. Kau sangat tampan, Sayang."

Saat wanita itu membalikkan badannya, Sasuke malah menahan lengan istrinya dan tersenyum tipis seraya berbisik, "kau juga sangat cantik. Dan aku pikir kau lebih baik mengganti pakaianmu atau semua lelaki akan memerhatikanmu."

"Enak saja. Aku menghias diri di depan cermin berjam-jam dan kau menyuruhku mengganti pakaian semudah itu?" tukas Sakura dengan bibir manyun. Lagipula ia sudah nyaman dengan long dress putihnya, ditambahkan pita berwarna hitam yang mengikat pinggangnya. Ia sengaja memakai pita itu agar warna gaunnya senada dengan kemeja putih dibaluti jas hitam milik suaminya. Rambutnya ia sanggul, memperlihatkan leher jenjangnya—yang untungnya tak ada bekas merah—tanpa satu pun perhiasan di sana.

"Kalau begitu—" Sasuke mencondongkan kepalanya. "—berikan aku sebuah kecupan yang menyakinkanku bahwa kau benar-benar milikku."

Sakura tersenyum malu dan mendekatkan wajahnya pada Sasuke. Niatnya hanya memberi kecupan kecil, namun sepertinya Sasuke tak membiarkan itu terjadi. Pria itu malah menahan tengkuk Sakura agar memperdalam ciuman mereka.

Setelah agak lama, mereka pun saling melepas diri dan bertatapan satu sama lain sebelum Sasuke mengeluh pelan, "aku jadi malas pergi. Bagaimana kalau kita tinggal di rumah saja?"

"Dan Ino tidak akan bicara padaku seumur hidup," ujar Sakura dan langsung menggandeng lengan suaminya. "Ayo. Kita akan terlambat."

Sasuke pun akhirnya menurut setelah mendesah panjang. Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di gedung pernikahan Ino. Sudah banyak sekali tamu undangan memenuhi gedung itu—yang dominan adalah rekan pelukis Sai—dengan gaya pakaian yang bervariasi. Sakura bahkan melihat beberapa orang asing berseliweran di gedung tersebut.

"Inooo! Sai!" Sakura menghampiri Ino yang terlihat sangat cantik dengan gaun yang pernah dicobanya. Di sampingnya ada Sai yang juga melemparkan senyumnya pada Sakura dan Sasuke. "Selamat, kalian berdua! Selamat menempuh hidup baru!"

"Terima kasih, Sakura!" balas Ino yang langsung memeluk sahabatnya. Di samping mereka tampak Sasuke yang menjabat tangan Sai seraya berucap 'selamat' pada pemuda itu.

"Entah kenapa aku jadi terharu, Ino. Hiks …" Emerald Sakura mulai berkaca-kaca, yang disusul dengan aquamarine sang pengantin wanita yang juga ikut berkaca-kaca.

"Jangan seperti itu, Jidat. Aku jadi ingin menangis terharu kalau melihatmu seperti itu …"

"Menangislah dan kau akan terlihat jelek di foto, Ino," tegur Sai dengan nada serius yang memaksa Ino untuk menahan tangisnya.

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan menangis." Ino tersenyum lebar. "Sasuke, Sakura, silahkan nikmati jamuannyaa! Nanti jangan cepat pulang, oke?"

"Oke!"

Pesta berlangsung lama dan terkesan elegan dengan pesta dansa. Sai dan Ino berdansa di tengah-tengah gedung, membuat semua orang dapat menyaksikan mereka berdua. Sakura agak tertawa kecil saat melihat Ino. Les dansa yang diikutinya sebulan ini ternyata membuahkan hasil yang amat baik.

Setelah Sai dan Ino berdansa, para pasangan lain pun mulai ikut berdansa. Tapi sayang sekali, Sasuke sepertinya tak ada niat sama sekali untuk berdansa. Lagipula, itu sama sekali bukan gayanya-

"Excuse me, may I dance with you?" –sampai ketika orang asing mengajak istri tercintanya untuk berdansa.

Baru saja Sakura hendak menjawab tawaran orang asing di depannya, Sasuke langsung memeluk pinggang wanitanya dan berkata dengan senyum tipis, "sorry, Sir. She is my wife and I wanna dance with her."

"Ahh … that's okay. No problem." Setelah mendengar penolakan dari Sasuke—walau yang diajak bukan dia, orang asing itu pun pergi dengan wajah kecewa.

Sakura terkikik geli dan berkata, "you are possessive, My Husband."

"Sudah kubilang, kau sangat cantik." Sasuke mengambil posisi di depan Sakura. Menggenggam tangan wanita itu dan memeluk pinggangnya.

"Aku tidak pintar berdansa, Sasuke-kun."

"Aku juga," ucap Sasuke jujur, membuat Sakura menatapnya dengan heran. "Kita tinggal mengikuti gerakan orang-orang saja."

Seraya melingkarkan tangannya di leher Sasuke, Sakura tersenyum menggoda. "Baiklah. Tapi aku lebih suka posisi seperti ini."

"Kau nakal sekarang."

"Hmmm?" gumam Sakura seraya pura-pura tak mengerti dan mulai menggerakkan kakinya, dituntun oleh Sasuke. "Lihat di sekitar kita. Beberapa pasangan berciuman."

Onyx Sasuke melirik sekitar. Dan benar saja, suasana romantis yang tercipta dari melodi lembut pengiring dansa memang dapat membuat siapa saja terbuai di dalamnya. "Aku tidak ingin menciummu di depan umum, lagi," ucap Sasuke dengan penuh penekanan pada kata 'lagi' saat mengingat apa yang dilakukannya pada Sakura saat kelulusan.

Wajah Sakura sengaja dibuat kecewa. "Sayang sekali … padahal aku menginginkannya."

"Jangan pancing aku, Sakura. Atau kau akan kubawa ke hotel terdekat sekarang juga," ancam Sasuke yang membuat semburat merah menghiasi pipi Sakura.

"Baiklah, baiklah. Jangan lakukan itu." Bukannya Sakura tidak mau, tapi ia sudah berjanji pada Ino tak akan pulang cepat.

Saat instrument sudah hampir habis, Sakura memeluk Sasuke erat dan berucap, "aku sangat mencintaimu."

Tangan Sasuke pun ikut tergerak memeluk wanita itu, membawanya menuju kehangatannya seraya membalas, "aku juga sangat mencintaimu."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Hoeekk … hoeeekk …"

Sakura merasakan mual pada dirinya. Kepalanya terasa pusing, badannya pun terasa amat lemas. Perutnya serasa terkocok kencang yang membuatnya ingin memuntahkan seluruh isinya. Ia sudah menghubungi Sasuke, memberitahu bahwa ia sedang sakit, dan pria itu berkata bahwa ia akan segera pulang.

Ceklek!

"Sakura?" Suara Sasuke terdengar. Baru saja wanita itu hendak menghampiri suaminya, rasa mual kembali melandanya.

"Hoeeek!" Ia muntahkan cairan perutnya pada westafel. "Hoeek!"

"Sakura." Sasuke segera mendekat saat menemukan istrinya muntah di depan westafel. Pria itu mengelus punggung istrinya dengan tatapan khawatir. Wanita itu terlihat sangat lemah dan pucat. Bulir-bulir keringat pun menetes di pelipis istrinya.

"Sasuke-kun … selamat datang …" lirih Sakura setelah memuta air keran dan mencuci mulutnya. Sasuke tak menghiraukan sambutan istrinya dan lebih memilih merapihkan rambut berantakan wanita itu.

"Badanmu hangat. Akan kupanggilkan dokter untukmu." Gerakan Sasuke terhenti saat Sakura menahan lengannya.

"Tidak, aku mau ke rumah sakit saja."

Sasuke mengernyit heran. "Sakura, kau sangat lemah sekarang."

"Aku …" Perkataan Sakura terputus, wanita itu menunduk dan berucap ragu, "… mau ke dokter kandungan."

Onyx Sasuke melebar. Ia mengerti maksud perkataan istrinya.

"A—aku sudah mencoba dengan test pack dan hasilnya … memang positif." Wanita itu kini mendongak menatap suaminya yang terlihat terkejut. "Tapi, aku ingin memas—"

Omongan Sakura terputus saat Sasuke tiba-tiba memeluknya dengan erat. Ia yakin kabar ini memang sangat membahagiakan suaminya. Ia pun juga sangat bahagia. Tapi tetap saja, ia hanya ingin memastikannya lagi.

"Sasuke-kun …"

"Terima kasih, Sakura."

Mendengar ucapan terima kasih Sasuke, membuat mata Sakura berkaca-kaca. Ia yang harusnya berterima kasih pada Sasuke, karena pria itu sudah memberinya kebahagiaan yang tak henti-hentinya ia dapatkan.

Ia mulai mengingat kejadian lima tahun yang lalu. Saat itu Sasuke juga berterima kasih padanya walau mereka berdua belum mengutarakan perasaan mereka masing-masing. Sasuke juga memeluknya seperti ini. Tapi, mereka berdua lima tahun yang lalu adalah pasangan yang belum dewasa. Sakura sekarang ingin terkikik saat mengingat masa-masa itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kita harus memberitahu Ibu!" sorak Sakura kegirangan seraya berjalan beriringan dengan Sasuke, keluar dari rumah sakit yang telah memberi kabar bahagia untuknya.

Sasuke tiba-tiba berhenti, dirinya seakan mengingat sesuatu. "Ah, aku lupa." Ia berucap dan memandang Sakura, "Ibu, Ayah dan Aniki sedang dalam penerbangan ke sini."

"Eeeehh? Dan kau tidak memberitahuku!" protes Sakura seraya mengerucutkan bibirnya.

"Aku terlalu khawatir saat mendengarmu sakit, dan setelah itu terlalu senang. Aku menjadi lupa."

Drrtt … drrtt …

Niat Sakura untuk membalas omongan Sasuke terhenti saat ponsel pria itu bergetar hebat.

"Sasu-kuunnn~ kau ada di mana? Bisa kau menjemput kami di bandara?"

Percakapan sang penelpon yang bervolume keras membuat Sakura dapat mendengarnya. Dengan mata berbinar, Sakura mencondongkan diri dan berucap dengan girang, "tentu saja, Ibu! Kami akan menjemput kalian!"

"Eh? Sakura? Ah, kalian sedang bersama sekarang? Kebetulan sekaliii!"

"Hum! Kami baru saja—"

"Tunggu kami, Ibu. Kami akan segera ke sana."

-pip

"Hei!" Sakura memandang protes pada Sasuke yang langsung memotong perkataannya.

"Beritahu Ibu secara langsung. Lagipula kita akan segera bertemu dengannya." Sasuke menepuk kepala istrinya, yang langsung saja membuat emosi Sakura yang sempat melunjak kembali mereda.

"Hhh … baiklah, baiklah."

.

.

.

.

.

"Aahhhh! Ibu rindu sekali dengan rumah Ibu iniiii!" Mikoto mengangkat tangannya tinggi-tinggi, merasa lega akhirnya ia bisa kembali ke rumahnya. "Dan aku juga sangat merindukan kaliaaann."

Tatapan wanita itu beralih pada anak bungsu dan menantunya. "Lihatlah wajah kalian sekarang. Sudah sangat dewasa!"

"Tentu saja mereka sudah dewasa, Mikoto. Kita meninggalkan mereka dan memaksa mereka untuk menempuh hidup berdua saja." Kali ini Fugaku yang sedari tadi diam juga ikut berbicara.

"Ya. Mereka sudah 'dewasa'." Itachi pun ikut menimpali, tapi mungkin dengan maksud lain.

"Hihihi … oh ya! Kalian ingin makan apa untuk makan malam nanti? Ibu akan masakkan apapun yang kalian inginkan!" tawar Mikoto dengan nada semangat empat lima yang tidak bisa dibayangkan oleh Sasuke. Bagaimana bisa ibunya tetap semangat seperti itu setelah menempuh perjalanan jauh?

"Kau istirahat saja, Mikoto. Malam ini kita akan makan di luar."

"Eeehhh?! Kalian tak ingin memakan masakanku?!" desah Mikoto kecewa, membuat Sakura terkikik geli.

"Bukan begitu, Ibu. Ayah hanya mengkhawatirkan Ibu. Ibu pasti juga lelah," ucap Sakura seraya tersenyum. "Sebenarnya aku bisa—ugh—" Sakura segera menutup mulutnya saat mual kembali melandanya.

"Sakura." Sasuke segera merangkul pundak istrinya dan menuntunnya ke westafel, disaksikan oleh tatapan bingung Mikoto, Fugaku dan Itachi.

"Sudahlah, Sasuke-kun. Aku tidak apa-apa," ujar Sakura saat mualnya tiba-tiba menghilang.

"Adik Ipar, kau sakit?" tanya Itachi dengan nada khawatir.

"Cih. Bukannya kau yang memintanya." Sasuke berkata dengan garis merah di wajahnya, membuat Fugaku, Mikoto dan Itachi semakin mengerut heran. "Kau meminta seorang keponakan, bukan?"

Ketiga pasang onyx itu melebar, disertai senyum Mikoto yang juga melebar. Mata wanita itu mulai berkaca-kaca kala menangkap maksud perkataan putranya. "Sasuke, Sakura … katakan pada Ibu bahwa Ibu tak salah menduga maksud perkataan Sasuke."

Sakura menunduk malu. "Kata dokter, sudah sebulan."

Mikoto memekik senang, Itachi tersenyum lembut, sedangkan Fugaku tersenyum bangga. Mikoto bahkan menangis dan memeluk Sakura dengan erat. "Astaga … kami baru saja pulang ke Jepang dan menerima kabar ini … Ibu sangat senang sekali …"

"Kenapa kalian tidak segera memberitahu kami?" tanya Fugaku yang mendekati Sakura. Pria itu mengelus kepala menantunya.

"Kami baru tahu tadi, Ayah," jawab Sasuke seraya tersenyum tipis.

"Woaa kau hebat, Sasuke!" Itachi memberi jempolnya pada Sasuke yang mendengus malu.

Sakura memandang Sasuke yang tak lama juga membalas pandangannya. Mereka berdua saling melempar senyum dan berdoa, semoga kebahagiaan hari ini abadi bagi mereka.

.

.

.

.

.

.

.

Fin

Eh? Belum ding!

Masih ada dikiiitt

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sasuke memasuki kamarnya dan mendapati istrinya tengah mengkhayal dengan bayi mereka yang berada di gendongan wanita itu. Ia bahkan melihat istrinya tersenyum sendiri, membuatnya segera menghampiri wanita itu.

"Ada apa?" tanyanya membuyarkan lamunan Sakura.

"Eh? Sejak kapan kau di sini?" tanya wanita itu, terkejut.

"Sejak kau tersenyum sendiri." Sasuke duduk di samping ranjang dan menatap Sakura dalam. "Apa yang kau khayalkan?"

"Hehe … aku hanya membayangkan kejadian-kejadian yang lalu." Sakura menggoyang-goyangkan lengannya dan menatap bayinya dengan senyuman lembut. "Apakah kau ingat dulu kita menolak untuk menikah? Dan … kita bahkan sering bertengkar kecil."

"Tentu saja aku ingat." Sasuke ikut memandang putri kecilnya. "Kau yang tiba-tiba datang ke kehidupanku. Seorang gadis kekanak-kanakan, tak pintar memasak, dan cerewet."

Mendengar ucapan Sasuke membuat Sakura menggembungkan pipinya. "Dan kau adalah pemuda menyebalkan yang selalu membuatku kesal."

"Tapi kau tetap mencintaiku, bukan?"

Wajah Sakura memerah. "Aku … bahkan mungkin sudah mulai menyukaimu saat pertemuan pertama kita. Kau tampan, tapi menyebalkan. Namun seiring waktu kau menunjukkan perhatian padaku, membuat rasa cintaku semakin besar." Sakura menatap dalam suaminya. "Aku dulu tak peduli apakah perhatian itu kau lakukan untuk Ibumu. Itu benar-benar membuatku jatuh cinta."

"Dan aku mungkin mulai menyukaimu saat kau mengenakan gaun pengantin," kata Sasuke seraya menyentuh pipi istrinya. "Saat menyadari bahwa mulai saat itu kau adalah seorang gadis yang harus kujaga dan menemani hari-hariku, membuat perasaanku menghangat. Perhatian yang aku curahkan padamu atas kemauanku sendiri yang mulai mencintaimu."

Sakura mendengus seraya bergumam, "kenapa kau baru mengatakannya sekarang saat kita telah memiliki satu anak?"

"Gengsi, mungkin?"

"Hihihi … kita bahkan berciuman sebelum mengutarakan perasaan kita masing-masing!" Sakura mengenang masa lalu yang sungguh lucu baginya. "Tak lama kemudian aku hamil. Kita senang. Namun tetap saja belum mengatakan cinta satu sama lain."

"Dan aku dengan bodohnya ingin menceraikanmu. Maafkan aku. Itu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan. Penyesalan atas tindakan itu akan selalu membayangiku." Sasuke menundukkan kepalanya, membuat Sakura menggenggam tangannya dengan satu tangan yang lain tetap menggendong bayinya.

"Tapi setelah cobaan itu, perasaan kita akhirnya menyatu. Kita bisa saling jujur satu sama lain." Sakura tersenyum lembut. "Aku bahkan merasakan kebahagiaan yang berkali-kali lipat setelah kejadian itu."

Sasuke mendekatkan dirinya, memberi ciuman lembut pada Sakura yang juga membalas ciuman itu. Sensasi kebahagiaan seolah tersalurkan melalui kedua bibir yang menyatu.

"Oeeee! Oeee!"

Tangisan bayi mereka menghentikan kegiatan mereka. Pasangan itu langsung melepas diri. Sakura tertawa dan menatap bayinya dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, Nak? Kau lapar, hmm?"

Sasuke tersenyum tipis. Dua perempuan di depannya adalah perempuan yang harus ia jaga seumur hidupnya. Ia berjanji akan membahagiakan mereka berdua, apapun yang terjadi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

The End

Akhirnya selesai jugaaa

Chapter ini sengaja dibuat 'aman'. Lagi bulan puasa niihhh haha

Makasih yah yang udah review mulai chapter 1 sampai chapter 9, saya senang menerima review kalian

Dan buat masalah kuret, terima kasih bagi yang sudah menjelaskan saya sudah sadar di mana kesalahan saya dan saya minta maaf karenanya. Sekali lagi makasih atas infonyaa xD

Yosh. Sampai jumpa di karya berikutnya yaaahh :*

.

Sign,

.

HanRiver