Disclaimer
Naruto
© Masashi Kishimoto

Pairing
SasuNaru

Warning
M-Preg, Yaoi, Boy's Love, Sho-ai, Ooc tingkat dewa
Romance/Hurt/Comfort/Angst?
Typo(s) bertebaran. Ini udah penyakitku.

NOTE
(Untuk kali ini, ada guest yang gak lanjut baca fanficku gara-gara typo. Dan akhirnya aku sadar. Saat aku ingin fanficku di hargai, maka aku harus menghargai pembaca. So, aku udah sangat berusaha ngilangin yang namanya typo. But, if you still find the typo's. I'm so sorry. I'm is human. Not progam that can correct all word in my fanfic. Jadi untuk guest yang udah negur aku. Aku ucapkan berjuta terima kasih.)

Rate M
Bukan untuk adegan 'lemon'.
Melainkan untuk Hardcore/Scene berdarah.
Muncul sewaktu Naruto melahirkan.

Summary
Naruto Sakit. Dia sekarat.
Menjelang kelahiran bayinya dia berpesan.
'Teme. Jaga anak ini untukku.'

M-Preg, It's Not My Destiny
© Kanami Aya

Status
In-Progres

Chapter 9
One Again

Don't Like Don't Read
RnR

.

.


.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Cerita Sebelumnya

"Ikutlah denganku." Shizune menepuk bahu Sasuke. "Akan aku jelaskan juga padanya. Karena ia juga bersangkutan dan berhak tahu."

Meskipun kini ia merasa lunglai dan tak bgisa apa-apa, Sasuke tetap mengikuti langkah Shizune. Menghampiri kamar inap Naruto. Disana ia tak sampai hati jika harus melihat rekasi Naruto jika telah mendengar paparan penjelasan Shizune.

Sasuke tak tahu. Tak tahu harus bagaimana. Ia bingung. Takut. Tak mau membayangkan seperti apa reaksi Naruto nantinya. Karena setelah memasuki kamar Naruto. Maka ia akan mendapati kenyataan baru. Naruto atau anaknya.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Chapter 9

Japan, 10.00 PM

Seorang pria bersurai hitam panjang yang di ikat menjadi satu di belakang lehernya nampak berjalan santai ─namun tetap tak meninggalkan aksen tegap dalam setiah langkahnya─ di lorong rumah sakit. Setelan jas yang ia gunakan menunjukan bahwa status sosial yang ia memiliki tidaklah dapat di abaikan begitu saja. Di tangan kanannya nampak sebuah tas jinjing kerja, menjelaskan bahwa ia langsung menuju ke rumah sakit seusainya bekerja. Ketukan sepatu Kicker nya di buat serendah mungkin agar tidak menganggu pasien lainnya.

Langkahnya seolah hapal pada setiap bagian sudut mana yang akan di lewatinya. Setelah melewati dua tikungan ke arah kiri dan peremoatan jalan arah kanan, akhirnya pria tersebut sampai pada kamar di bangsal 'Katon' nomor 32A. Sebuah kamar inap kelas VVIP. Tanpa di ketuk, pintu geser berwarna putih tersebut ia buka perlahan. Hal yang pertama tampak di obsidian kelamnya adalah, seorang pria paruh baya yang sedang terbaring dengan selang infuse di lengan kanannya, dan alat bantu nafas di ujung hidungnya. Di sebelah pria tersebut juga terlihat wanita ─yang memasuki umur awal empat puluhan─ yang senantiasa menemani pria tersebut. Bahkan sampai tertidur.

Dilangkahkan kakinya setelah melepas sepasang sepatunya ─dan menggantinya dengan sandal ruangan─ menuju sang wanita. Ditepuknya dengan pelan bahu wanita ─yang telah melahirkannya dua puluh tiga tahun yang lalu─ agar tak terlalu mengejutkan saat terbangun.

"Itachi." Ucap wanita tersebut saat telah sadar seutuhnya. "Kau sudah datang?" Diubahnya posisi yang semula duduk membungkuk menjadi duduk tegak.

"Maaf baru bisa datang. Tadi aku harus rapat dan membahas proyek baru." Ditariknya sebuah bangku lain dan duduk di hadapan sang ibu. "Kau istirahatlah. Biar aku yang menjaga otou-san." Lanjutnya. Namun sang ibu hanya menggelengkan kepalanya. Tanda tak setuju.

"Taka apa. Aku sudah menumpuk pekerjaan untuk tiga hari kedepan di hari ini. Aku bisa beristirahat esok pagi saat kau bangun." Setelah melepas jas dan sedikit melonggarkan dasinya, Itachi kembali fokus pada sang ibu.

"Baiklah." sang ibu, atau yang ayahnya panggil dengan nama Mikoto beranjak dari kursi menuju sofa panjang yang memeng di sediakan pihak rumah sakit untuk para keluarga pasien untuk istirahat. Sebelum merebahkan kepalanya, Mikoto memanggil Itachi.

"Apakah adikmu sudah membalas pesanmu?" Tanya Mikoto. Itachi hanya menggeleng.

"Mungkin dia sibuk. Lain kali aku akan mencoba menghubunginya lagi." Itachi berfikir, mungkin kini belum saatnya memberitahu ibunya bahwa sang adik masih belum bisa kembali pulang.

"Sebenarnya, taukah kau dimana ia tinggal?"

"Bukankah kita sudah sepakat tidak mencarinya sampai ia sendiri yang kembali pulang?"

"Aku hanya menghawatirkan otou-san mu Itachi. Aku takut adikmu tak punya kesempatan lain." Satu tetes airmata mengalir di pipi Mikoto.

"Otou-san adalah pribadi yang kuat. Aku yakin itu." Itachi menghampiri sang ibu dan duduk bersimpuh di depannya.

"Tadi sebelum ia tertidur. Ia berkata padaku bahwa ia ingin melihat Sasuke."

"Sasuke akan pulang. Aku akan pastikan itu." Itachi merebahkan tubuh sang ibu. Diselimutinya wanita tersebut hingga sebatas dada. "Aku janji."

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Amsterdam, 10.30 AM

Naruto telah siuman sejak sepuluh menit yang lalu. Dan sejak sepuluh menit itu juga ia duduk termenung. Memandangi pemandangan pagi menjelang siang di luar sana. Kamarnya yang memang terletak di lantai nomor empat membuatnya masih dapat melihat dengan jelas pemandangan di bawah sana.

Pemandangan yang membuatnya tersenyum, kala mata safirnya menangkap sebuah keluarga kecil yang bermain ria tak jauh dari rumah sakit tempatnya dirawat. Keluarga kecil yang terdiri dari sepasang orang tua dan kedua anaknya yang masih kecil. Sang ayah yang tengah asik bermain tangan dengan sang kakak yang berumur tak lebih dari empat tahun. Sementara sang ibu yang terlihat tengah tertawa manis ─melihat tingkah suami dan anak sulungnya─ sambil menyusi anak keduanya.

Kembali pada keadaannya, tangan naruto tak henti-hentinya mengelus perut buncitnya yang kini tampak makin besar. Mencoba merasakan kehidupan anaknya dalam kandungannya. "Terimakasih." Ucapnya. Seolah sedang berbicara pada sang jabang bayi. "Terimakasih telah memilihku menjadi ibumu. Terimakasih telah hadir dalam kehidupanku dan Sasuke. Aku sangat, sangat, sangat mencintaimu." Naruto menggerakkan tangannya memutari seluruh bagian perut depannya. Kemudian tangan yang lainnya ikut meraih perutnya. Melakukan gerakan memeluk tubuhnya sendiri. Memeluk sang anak!

Pintu yang bergeser mengalihkan aktivitasnya. Di lihatnya Shizune memasuki ruangan di ikuti oleh Sasuke. Sekilas, yang nampak di mata safirnya, Sasuke kini terlihat seperti seseorang yang telah divonis mati. Terlihat menanggung beban yang amat berat.

"Bagaimana keadaanmu, Uchiha-san?" Tanya Shizune pada Naruto.

"Baik. Lebih baik dari kemarin." Naruto tersenyum ramah.

"Boleh aku duduk?"

"Tentu."

Shizune menempatkan kursi tepat sejajar dengan Naruto. Di sebelahnya Sasuke melangkahkan kakinya menuju sisi kiri Naruto. Merangkul bahu sang istri.

"Boleh aku tanya seberapa sering kau mengalami rasa sakit seperti terakhir kali yang kau alami?" Shizune menggenggam bulpoint. Siap mencatat apa saja informasi yang akan di dapatnya.

"Awal aku merasakannya sekitar sebulan yang lalu. Saat itu aku hanya merasakannya sekitar lima menit saja. Namun saat seminggu kemudian saat aku merasaknnya lagi, jangka waktu yang aku rasakan lebih terasa lama. Dan pada akhirnya, sekitar seminggu yang lalu, aku selalu mengalaminya setiap hari." Naruto menggenggam tangan Sasuke yang tengah menyentuh bahunya. Mencoba menguatkan dirinya saat menjelaskan tentang rasa sakitnya. Meyakinkah hatinya bahwa janinya dalam keadaan baik-baik saja.

"Apakah kau masih bisa merasakan pergerakan bayimu?" Naruto mengangguk. Tanda membenarkan. "Apakah kau selalu merasa sakit setiap kali 'ia' bergerak?" Kali ini pertanyaan Shizune tak langsung dijawab oleh Naruto. Ia tampak masih berfikir. Mencoba memilah kejadian.

"Tidak." Naruto membelai perutnya. "Aku tak tahu hal ini dengan pasti. Tapi yang ku rasa bukan pergerakannya yang membuatku sakit. Tapi keadaan dimana saat perutku terasa tertarik kencang. Terasa tegang." Jelas Naruto.

"Dari pengamatan yang telah ku periksa. Tubuhmu menolak kandunganmu yang terus berkembang."

"Maksudnya?" Naruto benar-benar tidak mengerti. Tubuhnya menolak kandungannya? Apanya yang menolak?

Shizune menyentuh tangan Naruto. "Terlepas dari kenyataan bahwa kau dahulunya adalah wanita, tapi kini sebagian besar organmu adalah pria. Sementara tatanan organ pria berbeda dengan wanita. Memang benar kau memiliki rahim yang dapat berfungsi penuh. Tapi tubuhmu tak bisa menerima rahim tersebut terus berkembang karena adanya janin di tubuhmu." Shizune memberikan foto hasil rontgen tubuh Naruto kepada yang bersangkutan.

Sebuah resiko yang amat besar sebenarnya. Memfoto dengan X-ray dalam keadaan tengah melakukan USG (Ultrasonography). Adapun sinar x pada foto rontgen, merupakan bentuk radiasi elektromagnetik berenergi kuat yang berefek samping dapat mengurangi pembelahan sel dan merusak materi genetik, sehingga sel-sel pada janin yang masih dalam taraf pembelahan dengan cepat dan berkembang menjadi jaringan serta organ tubuh, pada dosis tertentu, dapat menyebabkan keguguran atau cacat pada janin, termasuk kemungkinan terjadinya kanker pada usia dewasa.

Namun karena hal ini adalah mendesak. Shizune mau tidak mau harus melakukannya. Namun ia tetap mempertimbangkan takaran yang sesuai untuk Naruto.

"Tulang rusukmu telah berubah keadaannya. Kandunganmu sangat menekan letak organ-organ yang lain. Nanti, saat kandunganmu semakin berkembang, rasa sakit yang kau rasakan akan semakin parah. Terlebih saat rahimmu mulai turun pada akhir bulan kesembilan kandungan. Dan hal terburuk yang aku takutkan adalah kau tak bisa menahannya lagi." Rasanya Shizune sangat tidak ingin meneruskan penjelasannya. Melihat kini air mata Naruto tak berhenti mengalir. "Masih sempat jika kita mengeluarkan 'nya' sekarang. Masih belum terlambat. Kita juga akan mengusahakan yang terbaik, agar─"

"Aku akan mempertahankannya." Potong Naruto cepat.

"Naruto." Shizune memanggil nama Naruto tanpa imbuhan 'san'. Mencoba menerangkan bahwa situasinya kini benar-benar genting. Agar tak dinilai formalitas. "Maafkan aku karena keadaanmu ini. Sebagai dokter kandungan aku merasa telah lalai dalam profesiku. Seharusnya aku memang lebih berusaha untuk mengangkat 'nya' awal ku tahu kau mengandung dulu."

"Tapi 'dia' telah memilih aku sebagai ibunya. Artinya 'dia' tahu bahwa aku kuat. Aku bisa menjaganya sampai 'dia' lahir kelak." Naruto melepas rangkulan tangan Sasuke di bahunya. Sedikit mengubah posisi duduknya agar lebih dekat dengan dokter pribadinya tersebut. Meraih bahu sang dokter dan menggoyangkannya kuat. "Aku tak mau menyingkirkannya. Aku tak mau menggugurkannya." Kini tangis Naruto benar-benar tumpah. Meledak sejadi-jadinya.

"Naruto. Keadaanmu sudah hampir memasuki kritis. Bahkan perutmu sudah sangat tipis kelenjarnya karena kandunganmu yang terus melebar. Kau tak akan sanggup. Kau akan mempertaruhkan nyawamu jika terus mempertahankannya."

Naruto beringsut mundur mendengarkannya. Menggelengkan kepalanya mengartikan bahwa ia tetap tidak setuju untuk menghilangkan bayinya dari kandungannya. "Teme. Bantu aku." Naruto merangkul lengan Sasuke. Menarik-nariknya pelan. Tapi yang dimintai tolong hanya menggeleng lemah. Memberikan jawaban lain bahwa ia memang setuju dengan cara sang dokter. Karenanya Naruto melepas kasar lengan Sasuke.

"Kalian tidak berhak mengambilnya." Teriak pilu Naruto. Beringsut mundur menempel pada dinding di belakangnya. "Aku ibunya. Aku yang berhak memutuskan ia untuk tetap hidup dalam kandunganku. Bukan kalian. Kalian tidak mengerti perasaanku." Naruto menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan tangis yang sudah pecah. "Aku hanya perlu menunggu tiga bulan lagi. Hanya tiga bulan. Aku masih bisa menahannya."

Kini yang melangkah maju untuk membujuk Naruto adalah Sasuke. Dia duduk berlutut di hadapannya. Menyentuh kedua kaki Naruto dan menunduk di depannya. "Aku mohon Naruto. Ini untuk kebaikanmu. Pikirkan keadaanmu. Anak bukanlah satu-satunya yang aku harapkan dalam hidupku. Tapi dirimu di sampingku yang membuatku kuat." Naruto masih tetap menggelengkan kepalanya. "Anak kandung buakanlah hal mutlak bagi kita. Kita masih bisa mengadopsi anak dari panti asuhan." Sasuke masih berusaha membujuk Naruto.

"Kau," Naruto tak langsung melanjutkan perkataannya. Ditutupnya mulutnya menggunakan sebelah tangan. Mencoba menyamarkan suaranya yang bergetar. "kau berniat membunuhnya? Kau berniat membunuh anak kita?" Naruto menggelengkan kepalanya. Sungguh. Ini sungguh menyakitkan. Bagi Naruto maupun bagi Sasuke.

"Naruto aku─" Sasuke memalingkan wajahnya. Tak sanggup melihat wajah terluka Naruto. "─aku masih membutuhkanmu. Aku tak akan sanggup jika kau yang pergi."

Naruto mengangkat kedua tangannya. Mengatupkannya di depan mukanya. Memperagakan gerakan memohon maaf. "Aku tak bisa Teme. Aku tak akan bisa utuk menyingkirkannya. Aku tak bisa." Ucapnya dengan gelengan kepala. Memohon pada sang suami untuk membiarkan pilihannya.

"Naruto, 'dia' akan mengerti. Dia akan mengerti keadaan kita. 'Dia'─"

"Keluar!" Lembut dan halus. Suara Naruto tersengar pelan. Tapi penuh ketegasan. "Aku butuh waktu sendiri." Lanjutnya.

"Naruto?" Panggil Sasuke. Mencoba membenarkan pendengarannya apakah benar Naruto telah menyuruhnya keluar. Namun yang di panggil hanya mengalihkan pandangannya sambil terus meneteskan air mata. Merasa tak punya pilihan. Akhirnya Sasuke beranjak berdiri. Sementara di belakangnya, Shizune telah melangkahkan kakinya keluar ruangan.

Kembali menghadap Naruto. Sasuke melepaskan nafas beratnya. Apakah ini akhirnya? Apakah aku hasus menyerah? Apakah takdir kembali menguji kami? Pikir Sasuke.

Dilangkahkan kakinya mendekati Naruto. Direngkuhnya kepala Naruto dan dikecupnya puncak kepala Naruto. Kecupan yang sedikit lebih lama dari biasanya. "Aku mencintaimu." Ucapnya lirih. Diikuti satu tetes air mata yang jatuh menets di puncak kepala Naruto

Kemudian Sasuke berjalan menjauh. Berjalan menuju arah pintu keluar. Ditutupnya pintu tersebut setelah sekali lagi melihat keadaan Naruto.

Klek

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Sasuke duduk di salah satu bangku yang ada di koridor rumah sakit. Kepalanya ia tumpu pada keduatangan yang diletakkannya di kedua lututnya. Mencoba menganalisis kembali kejadian sehari ini. Seakan semua seperti mimpi. Atau lebih tepatnya. Inilah yang dinamakan takdir.

Tadi setelah keluar dari kamar Naruto, seorang perawat menghampirinya. Memberinya sebuah map. Map bukti persetujuan untuk menggugurkan kandungan Naruto. Dan disana diminta tanda tangannya dan Naruto. Ia pasti tanpa pikir dua kali akan menandatanganninya. Tapi Naruto? Kunci dari operasi terbut telaksana atau tidak. Dan Sasuke tahu apa jawaban Naruto. Mengartikan bahwa pilihannya kini hanya satu. Menuggu saat-saat kelahiran anaknya. Dan Naruto yang berjalan menjemput kematiannya.

"Arghh. Sial." Runtuknya.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Hari terus berlalu. Rayuan dan bujukan terus keluar dari mulut Sasuke. Bahkan terkadang ia mengeluarkan emosinya untuk menyadarkan Naruto. Namun yang di dapatnya tetaplah sama. Tetaplah sebuah penolakan. Tetaplah sebuah keyakinan. Tetaplah sebuah rasa sakit. Tetapalah pilihan Naruto untuk tetap membiarkan anaknya hidup. Menolak untuk di gugurkan.

Pernah suatu hari Sasuke benar-benar kelepasan emosi. Dia tak bisa mengontrol kata-katanya. Kata-kata sakral yang kini membuatnya tak akan pernah mau ia ulangi.

"Aku tetap tak akan mau menggugurkannya. Dia darah dagingku. Menggugurkannya sama saja membunuhku." Naruto memegang erat pinggiran ranjangnya. Mencoba mencari kekuatan lain saat untuk kesekian kalinya ia berdebat dengan Sasuke.

"Kau jangan egois Naruto! Kau fikir ini semua bukan untuk kebaikanmu?" Sasuke benar-benar bingung harus dengan cara apa lagi ia merayu Naruto untuk menandatangani surat kesedian tersebut.

"Aku masih bisa Teme. Aku masih sanggup. Dengan sedikit obat dari Dokter Shizune, aku yakin aku masih bisa bertahan." Naruto mencoba menarik nafas berulang-ulang saat ia usai berdebat. Karena berdebat saat hamil apalagi dengan kondisi kehamilannya serasa seperti menghabiskan tenaga. Ia akan selalu merasa sesak saat berteriak.

"Kenapa kau tak mau mendengarkanku? Bukankah kau dulu selalu mengikuti permintaanku?" Tak ada jawaban. Naruto hanya diam. "Seperti inikah pasangan hidupku. Memilih keegoisannya sendiri? Sepertinya aku telah salah memilih pasangan hidup." Sebenarnya Sasuke tak ada niat untuk mengatakan itu. Dia hanya bingung kata apa yang akan meluluhkan pendirian Naruto.

Namun saat dilihatnya Naruto hanya memandanginya dengan tatapan yang amat mengisyaratkan kekecewaan, Sasuke telah sadar akan satu hal. Ia memang keterlaluan!

"Shit." Umpatnya. Kemudian ia melangkah mendekati Naruto. Ditariknya belakang kepala Naruto dan di letakkan di bahunya. "Maaf." Ucap Sasuke. Sementara Naruto hanya mampu menangis setelahnya.

Dan semenjak itu benar-benar berusaha mengontrol emosinya. Keadaan keluarganya kini memang sedang kalut. Dan ia tidaklah boleh termakan emosi sesaat. Karena saat ia emosi, maka sudah tidak akan ada penyangga kekuatan di rumah tangga kecilnya. Karena kini memang Naruto amat membutuhkannya. Membutuhkan dukungannya. Meskipun itu juga membunuh dirinya.

Namun hidup teruslah berlanjut. Bagaimanapu sekacaunya kehidupan. Sasuke tetaplah tidak meninggalkan tanggung jawabnya. Ia tetap berangkat bekerja saat jam rumah sakit telah menunjukan puluk 07.45 AM. Mencoba memindahkan segala yang dibutuhkannya ke ruang rawat inap Naruto. Agar aktivitas tak begitu terganggu.

Shizune memang menyarankan agar Naruto tetap berada di rumah sakit. Sebuah tindakan antisipasi jikalau nanti keadaan Naruto memburuk. Dan hal ini yang memaksa Sasuke tetap pada pekerjaannya. Karena pengobatan Naruto membutuhkan biaya. Dan itu tidak berlangsung sementara.

"Aku berangkat dulu." Pamit Sasuke. Memakai setelan sepatu Salvatore Ferragamo nya dan menjinjing tas kerjanya. Sementara Naruto hanya menggangguk lemah.

"Hati-hati." Naruto mengangkat tangannya yang di pasang selang untuk membelai wajah Sasuke saat Sasuke mencium keningnya.

"Otou-san berangkat dulu ya?" Pamit Sasuke pada sang jabang bayi. Mengecup sekilas perut Naruto.

Setelah memantapkan hati. Sasuke melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar inap Naruto. Menuju parkiran. Dan berangkat kerja dengan mobil pribadinya.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Berpindah dua tikungan kekiri setelah melewati satu perempatan jalan. Akan terlihat ruangan dokter yang bertuliskan Dr. Shizune Shizune. Berpindah ke dalam ruangan, disana akan terlihat seseorang dengan seragam putih has dokternya tengah memegang beberapa buku berisi laporan tindak kasus persalinan. Baik yang terjadi di rumah sakit tersebut maupun rumah sakit lainnya. Fokusnya bukan hanya negara jepang melainkan juga negara lainnya. Spesifikasi pada kelahiran yang tidak selayaknya.

Bayi kembar siam dengan segala macam kekurangannya telah ia perikasa penyebabnya. Kelainan persalinan telah ia teliti. Penyakit yang mengikuti seusai persalinan telah ia baca. Semua. Semua hal yang mungkin saja tidak di harapkan dalam proses kehamilan hingga kelahiran telah ia tamatkan demi mendapat jawaban dari kondisi pasiennya. Namun rasanya nihil.

"Mengapa? Padahal ia dulu seorang wanita? Mengapa tubuhnya menolak akan kehamilannya?" Ia mengepalkan tangannya di kepalanya. "Pasti ada. Pasti ada kasus serupa." Lanjutnya

Shizune kembali memeriksa dokumen riwayat Naruto. Mengecek sekali lagi catatan-catatan yang ia buat sendiri. Melihat kembali foto-foto kehamilan Naruto.

Kehamilan Naruto memang benar-benar membahayakan. Perkembangan janin dalam kandungannya benar-benar menyebabkan komplikasi. Sekitar tiga hari yang lalu ia mengetahui keanyataan baru akibat dari kehamilan Naruto. Dia terkena gagal jantung. Pemuluh arteri di jantung Naruto telah sempat gagal berfungsi akibat dari pembengkakan katup jantung.

Pada kasus kehamilan normal. Ibu hamil memang akan rentang terkena darah tinggi. Akibat perubahan sirkulasi darah saat berkembangnya janin dalam tubuh. Namun ada kasus Naruto sudah melebihi kata Normal.

"Sepertinya aku haru bertanya pada senior dokter kandungan." Guman Shizune. Dan akhirnya ia teringat akan sesuatu. Teringat akan sebuah Nama. Nama yang pernah eksis saat ia masih mahasiswa dahulu.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Sasuke tidak bisa memfokuskan pikirannya pada pekerjaan yang terpampang jelas di depan matanya. Pikirannya benar-benar kacau. Kefokusannya serasa membagi dua secara sendiri. Bagaimana tidak? Jika kau mengetahui pasangan kita di tempat lain sedang berusaha untuk tetap bertahan hidup. Menahan sakit demi melahirkan buah hati kita!

Terkadang Sasuke serasa ingin mengesampingkan sikap profesionalnya. Pergi dari rutinitas agar ia bisa berada di sisi naruto. Tak apa jika ia terus berada dalam kamar inap. Asalkan bersama Naruto itu sudah cukup baginya

Terkadang pula Sasuke ingin merasa egois. Sekali saja. Menyalahkan takdir yang di jalaninya. Menemui tuhan dan bertanya mengapa? Jika memang tidak bisa, setidaknya ia ingin memperoleh jawaban akan kehidupannya. Sekejam itukah hidup yang di jalaninya. Dosa apa yang telah ia perbuat? Menikah sesama jenis? Menjalani kehidupan gay? homo? Jika memang ia salah, haruskan takdir merampas Naruto dari sisinya?

Ia ingin melampiaskan kesedihan dan rasa marah yang bersarang di dasar hatinya. Tapi ia tak bisa? Jika bisa ia akan melampiaskan pada siapa? pada apa? Merasa tak ada pilihan, Sasuke hanya memilih diam.

"Sasuke-kun." Panggil Shikamaru yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya.

"Hn."

Shikamaru meletakkan segelas expresso instant di meja Sasuke. "Kita akan segera mempresentasikan iklan tentang perumahan Ceenta Cavio. Sudah kah kau melakukan brifing dengan bawahanmu?" Kemudian ia duduk di salah satu bangku yang ada di ruangan Sasuke.

"Akan ku bicarakan dengan mereka." Sasuke meletakkan tangannya di atas keyboard, melakukan gerakan mengetik. Mencoba mengklamufase pikirannya yang tadi sempat beralih di tempat lain.

"Baiklah." Shikamaru meminum expresso bagiannya. "Minumlah. Aku membelikannya untukmu." Tunjuk Shikamaru dengan dagunya. Saat dilihatnya Sasuke terus berkutat dengan pekerjaannya.

"Hn."

Shikamaru menghela nafas. "Ku dengar. Istrimu masuk rumah sakit. Kalau tidak salah namanya Naruto-kun kan?" Shikamaru memerhatikan perubahan raut wajah Sasuke. Terlihat sedikit─ terkejut!

"..."

"Apakah kau seorang gay?"

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya saat memanggil istriku dengan imbuhan 'kun."

"Ok ok. Aku mengaku kalah." Ujar Shikamaru saat usaha memancing rekan kerjanya untuk buka mulut tersebut gagal. Shikamaru melakukan hal tersebut karena sejak dua minggu yang lalu Sasuke terlihat tidak fokus. Kesalahan kerjanya sudah melewati batas dari prestasinya. Dan hal itu juga mengganggunya.

"Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur masalah orang lain. Kaarena itu amat menyebalkan. Tapi percayalah padaku Sasuke. Aku benar-benar ingin meringankan bebanmu. Ceritakanlah."

"Tak ada apa-apa." Jawab Sasuke cepat.

"Cih. Seperti kau benar-benar bisa menyembunyikannya."

"..."

Merasa tak ada respon dari rekan kerjanya. Shikamaru memilih pergi dari rungan Sasuke. Tapi sebelum keluar, sekali lagi Shikamaru menatap wajah Sasuke. "Kau butuh teman. Itu yang kau butuhkan saat dalam keadaan paling rapuh. Kau butuh seseorang untuk menyalurkan perasaanmu. Percayalah Sasuke. Tak ada orang yang kuat di dunia ini menanggung beban berat seorang diri. Karena kadang kala ia butu seseorang untuk sedikit meringankan beban." Dan setelahnya Shikamaru benar-benar meninggalkan Sasuke sendiri di ruangannya.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Setelah memakirkan mobilnya, Sasuke langsung bergegas menuju ruang inap Naruto. Ingin melepas rasa lelah yang menderanya setelah pekerjaan yang menumpuk dan beban pikirannya.

Kini memang kehidupannya telah berubah. Terhitung sejak ia tinggal bersama Naruto, dan setelah Naruto masuk rumah sakit kehidupannya memang telah berbeda. Dahulu saat ia akan pulang dan mendapati Naruto menyambutnya dengan hangat, rasa lelah yang di deranya pastilah akan hilang. Terlebih saat hidangan makan malam dan air panas untuk mandi telah menantinya.

Tapi kini hal itu telah menghilng. Hari-hari bahagianya yang entah mengapa serasa sesaat telah tiada. Di gantikan dengan masalah yang jauh lebih besar. Dan Sasuke berharap. Bahwa hari itu, hari dimana yang bisa tertawa lepas bersama Naruto akan kembali lagi. Bukan menjadi kenangan belaka.

Saat dirinya telah hampir sampai di ruangan Naruto dirawat. Dari kejauhan ia dapat mendengar suara-suara kesakitan tertahan dari dalam ruangan. Dan tanpa pikir panjang Sasuke langsung membuka pintu secara kasar.

Disana ia mendapati Naruto yang sedang kesakitan. Meringkuk di pojokan ranjang. Keringat terlihat memenuhi wajahnya. Tangannya gemetar. Dan wajahnya tak henti-hentinya menunjukan miris kesakitan.

"Naruto!" Sasuke berusaha memegang kendali. "Kau sudah minum obatnya?" Naruto menggeleng. Sebenarnya sifat tidak bisa menguasai suasana bukanlah cerminannya. Namun jika hal itu menyangkut tentang Naruto. Sasuke selalu merasa bingung apa yang harus ia lakukan.

"Bertahanlah. Aku akan memanggil dokter." Sebelum pergi Sasuke mengusap keringat dingin di dahi Naruto. "Bertahanlah." Ucapnya lagi.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Sasuke menunggu di luar dengan perasaan resah. Fikirannya tak bisa fokus. Terpusat pada sesosok di dalam ruangan yang kini sedang dilarang untuk dimasuki tak terkecuali olehnya. Hanya dokter yang dan perawat yang diizinkan.

Tidak adanya siapa-siapa di sampingnya justru menambah rasa kalut yang dialaminya. Entah mengapa, tapi ia kini benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa meredakan kehawatirannya. Seseorang yang akan mendukung dengan pemikiran-pemikiran positif. Seseorang akan bilang 'Tenanglah! Naruto akan baik-baik saja. Meskipun akhirnya ia akan tahu seperti apa kisah akhir hidupnya.

Dengan semua beban ini. Rasanya Sasuke ingin kembali kemasa diamana ia tak memiliki beban. Masa saat dirinya yang berumur tiga tahun. Massa dimana ia dengan senang hati menunggu sang kakak pulang sekolah. Massa dimana ia dengan manjanya mengajak Itachi bermain dan bercerita sepanjang hari. Massa dimana hanya ada tawa menghiasinya.

Dan saat seseorang benar benar jatuh pada masalah. Bukanlah tidak mungkin keluarga adalah tempat berpulang paling nyaman. Dan Sasuke pun berfikir demikian. Ia merasa merindukan keluarganya. Dan sebersit sesuatu menghampirinya. Pesan Itachi. Pesan tentang keadaan ayahnya.

Suara pintu di buka membuyarkan lamunan Sasuke. Ia mengadahkan penglihatannya dan mengadap wajah Shizune yang baru keluar dari ruangan Naruto. Wajahnya menunjukan ekspresi kekecewaan. Dan saat itu juga aliran darah Sasuke serasa berhenti. Jantungnya serasa tak berdetak. Pikirannya terfokus pada satu kesimpulan. Karena ia masih belum siap jika harus di tinggal oleh Naruto.

"Kami sudah menanganinya. Dia sedang tertidur sekarang. Tapi untuk beberapa hari kedepan ia tak akan bangun. Akibat dari kondisinya yang semakin menurun." Papar Shizune.

"Apakah aku boleh masuk?" Sasuke tak bisa menahan untuk tidak melihat keadaan Naruto. Maka dari itu ia tergesa untuk menanyakan keadaan Naruto.

Shizune mengangguk. "Usahakan jangan membuat hal yang menganggu istirahatnya."

Tanpa pikir dua kali, Sasuke memasuki ruangan Naruto. Disana ia melihat Naruto terbaring. Jika kemarin-kemarin Naruto tidak bisa lepas dari infuse. Kini ia membutuhkan alat bantu nafas. Ya Tuhan. Seberapa buruk keadaannya? Sasuke membatin.

Sasuke mengulurkan tangannya dan meletakkan di kening Naruto. Kemudian dengan hati-hati ia membelai lembut surai pirang istrinya tersebut. Menetralkan kehawatirannya dan meyakinkah hatinya bahwa Naruto masih ada. Ia masih hidup.

"Kapan kau akan mendengar kata-kataku? Kau ingin seperti ini terus? Menahan sakit demi bayi kita?" Sasuke tahu jika Naruto tidak akan merespon ucapannya.

Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk membelai surai pirang naruto. Tangan kirinya ia oletakkan di perut sang istri. Membelai sang anak. Seperti inikah cobaan dalam keluarga?

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama keluar dari rumah. Sasuke merasa ia ingin kembali pulang. Ingin menyalurkan segala kesedihannya pada sang ibu. Ingin mengadu pada sang ayah. Ingin mendapat kata-kata bijak tentang bagaimana tentang seharusnya menjalani kehidupan.

Beberapa hari kedepan Naruto tak akan bangun. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menjenguk ayahnya. Sekaligus memberitahukan kabar gembira beserta kabar menyedihkan tentang keadaan Naruto. Sasuke mengambil handphone di saku celananya. Menekan tombol nomor rekan kerjanya selama beberapa bulan belakangan. Dan meletakkannya did au telinganya.

"Shikamaru? Ya ini aku. Aku membutuhkanmu. Aku dirumah sakit Amsterdam. Ya. Terima kasih." Sasuke menutup teleponnya. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya menghadap Naruto. Menatap wajah tan eksotis yang dulu merona kini telah memudar. Memucat karena keadaan. Bibir berwarna peachnya kini tlah berubah menghitam.

Sasuke mengulurkan tangannya menyentuh bibir Naruto. Dan yang pertama ia rasakan adalah kasar. Kasar karena kini di bibir itu terdapat banyak pecahan. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Lalu mengecup bibir Naruto perlahan.

"Jika kau tak ada. Siapa yang akan membantuku merawat 'nya? Siapa yang akan di panggil ibu oleh 'nya? Aku tak akan sanggup jika harus jadi ibu dan ayah dalam waktu yang bersamaan. Sadarlah Dobe. Aku benar-benar membutuhkanmu. Aku benar-benar tak bisa jadi ayah yang baik tanpamu." Kemudian Sasuke meletakkan kepalanya di pinggiran ranjang. Tangannya ia coba menggengam tangan Naruto yang terdapat infuse. Dan karenanya ia hanya bisa menempelkan tangannya di tangan Naruto. Bukan arti sebenarnya dari kata menggengam.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Tepukan halus di bahunya membuat kesadarannya mulai pulih. Berangsur-angsur kembali kenyataan setelah ia merasa terlelap karena kelelahan. Lehernya terasa sakit karena posisi tidur yang salah. Kemudian Sasuke menegakkan badannya. Kepalanya ia alihkan menghadap ke kanan saat dirasakannya disana ada seseorang yang tengah berdiri.

"Shika?" Sasuke mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba memperjelas pandangannya.

"Kau terlihat mengerikan." Sesudah mengucapkan hal tersebut, Shikamaru melangkahkan kakinya keluar. "Aku tunggu diluar. Kau sebaiknya mandi terlebih dahulu." Lanjutnya. Namun Sasuke hanya diam.

Setelah Shikamaru benar-benar keluar. Sasuke kembali mengedarkan pandangannya pada Naruto. Masih sama! Naruto masih belum bangun. Tapi Sasuke masih bersyukur. Karena Naruto masih menunjukan kehidupan. Setelah pikirannya merasa lega. Akhirnya Sasuke memilih mengikuti saran Shikamaru. Ia pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang memang ada di dalam ruangan Naruto.

Setelah mandi. Sasuke menggunakan bajunya yang berada di tumpukan baju di tas jinjingnya. Dengan celana trining hitam dan T-Shirt warna biru dongker. Sasuke berjalan keluar. Disana ia mendapati Shikamaru yang tengah terduduk dengan memangku tangan. terlihat jika ia sedang merasa bosan.

"Terima kasih sudah mau datang." Ucap Sasuke. Kemudian duduk di sebelah Shikamaru. Tangannya ia masukkan kedalam saku celananya.

"Bukan masalah. Aku hafal jalan menuju ke sini. Jadi aku tak kesulitan." Balas Shikamaru. Sasuke hanya tersenyum. Lelaki di sebelahnya ini memang payah jika bercanda.

"Bukan itu maksudku." Sasuke menolehkan kepalanya menghadap Shikamaru. "Aku~ Entah harus memulainya dari mana." Sasuke menarik nafas sesaat. Kemudian melanjutkan ucapannya. "Semuanya berawal saat aku masih duduk di bangku SMA~" Dan cerita Sasuke berlanjut. Di mulai dari pertemuannya dengan Naruto. Percintaannya. Hingga keputusannya untuk lari dari rumah. Semua mengalir begitu saja. Keluar tanpa rasa hambatan. Karena Sasuke merasa bebannya berkurang saat ia menceritakan semuanya.

Kadang di tengah cerita ia akan berhenti untuk kembali mengingat kejadian. Kadang ia akan bercerita dengan penuh penekanan. Tapi tak luput juga ia mengeluarkan ekspresi sedih di tengah ceritanya.

Setelah selesai bercerita. Semuanya terdiam. Mencoba kembali menata pemikiran bahwa hidup memang unik. Setiap jalan kehidupan manusia berbeda-beda. Terkadang Shikamaru juga tak habis pikir. Ada juga jalan hidup seperti yang dijalani lelaki di sampinya ini.

"Kalau begitu pulanglah. Temui orang tuamu. Jenguk otou-sanmu. Ia juga berhak atas perhatian darimu. Masalah Naruto kau serahkan saja pada-ku." Shikamaru menepuk bahu Sasuke. Memberi pernyataan bahwa ia siap menjaga Naruto. Persetan dengan pekerjaan. Itu semua bisa diatur.

"Terimakasih untuk semuanya. Mungkin aku akan terbang besok pagi." Ucap Sasuke. Memantapkan hati bahwa ia akan ke jepang. Dan esok harinya ia benar-benar telah berada di bandara Amsterdam Airport Schiphol. Mengambil perjalanan dari Nederland ke japan dalam satu perjalan tanpa transit. Menuju rumah kedua orang tuanya. Berharap ia akan memperoleh kekuatan dalam menjalani kisah hidupnya. Berharap seseorang akan merubah pemikiran Naruto. Dan berharap bahwa semuanya akan kemabali seperti semula.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

To Be Continued


Yups. Satu chap lagi telah selesai.

Sebagai ucpan terima kasih karena ternyata banyak juga yang ngereview setelah aku gak lanjutin hampir satu setenag bulan.

Terimah kasih banyak Minna. Ternya respon yang aku dapat sangat menyejukan hati. AKu akhirnya milih nama Menma aja deh buat anaknya SasuNAru. Karena banyak yang milih itu.

Maaf ya kalo endingnya rada ngambang. Soalnya lagi kekurangan inspirasi.

Masalah Typo. Aku udah-bener-bener nyoba ngilangin. Tapi kalo emang masih ada yang nyelip. Maaf ya. Kan saya orang bukan progam editan. Tapi aku makasih banyak sama Gust 'L' loh. udah nyadarin aku banget tentang arti menghargai. Saat aku ingin fanficku di hargai, maka aku harus menghargai pembaca kan?

Ok! Balas Review dulu!

uzumakinamikazehaki: Makasih ya udah review. Amin.

89: Makasih ya udah review. Mungkin dua chapter lagi.

ChientzNimea2Wind Makasih ya udah review. Ini udah yang paling cepet.

Arum Junnie Makasih ya udah review. Pasti.

Akuma Ryusuke Uchiha-Namikaze Makasih ya udah review. Iya aku usahain kok.

Neko Twins Kagamine Makasih ya udah review. Jangan nangis. Nanti baku ikut nangis lo!

Himawari Wia Makasih ya udah entar aja deh.

funny bunny blaster Makasih ya udah review.

Harpaairiry Makasih ya udah review.

mifta cinya Makasih ya udah review. Ian anti aku temuain keluarga Uchiha sma Naru kok.

reiasia95 Makasih ya udah review. Haha. Liat entar deh.

Uhara Ucime Makasih ya udah review. Nanti tau kok

LalaCukaCacuNaluCacu Makasih ya udah review. Haha apa hubungannya?

alta0sapphire Makasih ya udah review.

Yun Ran Livianda Makasih ya udah review. Ini udah di coba untuk kilat. Nanti keluarga Uchiha tahu masih dalam proses hahaha. Ok fiks aku jadi pakek Menma.

Deathberry Makasih ya udah review. Di tunggu chap selanjutnya.

Hacia Hikari Makasih ya udah review. Naru operasi nanti pas udah sembilan bulan. Hahaha

aqizakura Makasih ya udah review. iyasih. Tapi banyak yang milih Menma ketimbang Uzuha. Ya ikut yang mayoritas deh.

Inez Arimasen Makasih ya udah review. Haha Inez-san mau jadi istrinya Duren Sasuke ya? Iya iya aku pakek Menma.

mimi1301 Makasih ya udah review. AMinnn