"SINCERITY"

RUNNING MAN STORY

CAST: ALL RUNNING MAN'S MEMBER

AND OTHERS

STORY: BY ME AND BASED FROM MANY STORIES


15 tahun yang lalu…

"Dengarkan kata-kata Oemma, kau harus lari! Lari sejauh mungkin sampai ayahmu tidak akan bisa menemukanmu. Dan ini, bawalah ini bersamamu. Pergunakan sebaik-baiknya."

Bocah kecil itu menerima kantung berwarna merah yang diberikan ibunya. Lalu ia keluar dari lemari persembunyiannya. Persendiannya kaku karena sudah dua jam ia menekuk kakinya dan bersembunyi di dalam lemari. Seluruh tubuhnya bergetar antara takut dan bingung. Tubuh kecilnya dipeluk sangat erat oleh tangan kurus ibunya. Tubuh ibunya yang penuh lebam dan luka. Bahkan juga darah kering di sudut bibirnya.

"Bagaimana dengan Oemma?" tanya bocah itu berbisik, tidak ingin suaranya terdengar oleh siapapun, kecuali ibu yang sangat dicintainya.

"Oemma akan bertahan, Oemma akan menghadapi ayahmu. Yang hanya perlu kau lakukan hanya berlari. Jangan berhenti bahkan ketika kau lelah atau kakimu sakit," perintah wanita itu, diikuti anggukan dari anaknya.

PRANG.

Tubuh keduanya mendadak kaku mendengar suara pecahan itu. Mereka menoleh, dan melihat seorang pria membawa botol yang sudah tidak utuh lagi. Setengahnya sudah berada di lantai di dekat kakinya.

"Ke mari kalian!" Suara pria itu serak, matanya merah, pakaian dan rambutnya kusut. Senyum yang bagaikan senyum iblis tersungging di bibirnya.

"Lari! Larilah!" teriak wanita itu sambil mendorong anaknya keluar dari pelukannya.

Bocah kecil itu menurut, ia berlari keluar menuju pintu kecil di ruang dapur itu. Sementara ibunya berlutut di depan ayahnya yang hendak mengejar dirinya.

Setelah berada di luar, ia memutar arah. Bocah kecil itu berjinjit pada jendela rumahnya, lalu mengintip.

Teriakan ibunya memekakan telinganya. Dengan mata kecilnya, ia melihat sendiri perut ibunya yang tertancap botol pecah. Dan perlahan darah mulai merembes keluar membasahi sekitar perut ibunya. Sementara leher botol itu masih berada digenggaman ayahnya.

Ayahnya telah membunuh ibunya sendiri.

Tubuhnya kaku, mulutnya terbuka. Hatinya hancur, matanya berair. Tapi ia masih sempat melihat ibunya yang menyadari keberadaannya. Ia juga melihat bibir pucat ibunya bergerak.

"Lari!"

Ia akan menuruti perkataan ibunya untuk terakhir kalinya. Jadi ia berlari, terus berlari dan tidak pernah balik lagi.


Mati Rasa.

Itulah yang dialami kaki bocah kecil itu. Rasa pegal di kakinya sudah dilewatinya. Begitupun lecet-lecet di kakinya karena ia memakai sepatu yang sudah kekecilan untuknya. Belum lagi ada beberapa bagian sepatunya yang sudah sobek.

Sudah berapa lama ia berlari? Saat meninggalkan rumahnya, langit sudah sangat gelap. Malam hari. Dan sekarang, langit sudah berubah menjadi jingga. Ini sudah keesokan hari, senja hari. Sudah hampir dua puluh empat jam ia berlari. Tidak satu detik pun ia menghentikan langkahnya. Bahkan untuk sekedar minum atau berisitirahat.

Sampai di sini. Tempat yang sangat asing bagi dirinya. Di mana rumah-rumah elit berada di sekelilingnya. Rumah yang baginya terlihat seperti sebuah istana yang sangat megah. Yang tak tersentuh, apalagi memilikinya. Ia masih mencoba berlari, tapi kakinya lemas tak bertenaga. Namun, ia tetap memberi komando pada kakinya untuk terus melangkah, setidaknya sampai di taman yang berada tidak jauh dari tempatnya sekarang berdiri.

Taman ini kosong, meskipun banyak lampu kecil yang menerangi. Seharusnya taman ini menjadi tempat yang indah untuk disinggahi. Tapi tidak untuk bocah kecil yang sudah terlalu lelah ini. Ia terjatuh, berlutut di kakinya sendiri. Napasnya terngah-engah. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Dehidrasi dan kelaparan. Ia tidak minum dan makan berjam-jam, bersembunyi di dalam lemari, kemudian juga harus berlari.

Bocah itu sedikit tersentak ketika sesuatu menyentuh kakinya. Sesuatu yang menggelitiknya. Ia menghela napas lega, syukurlah ia masih bisa merasakan sesuatu pada kakinya. Kakinya tidak mati rasa seperti yang sempat terlintas di pikirannya.

Anjing kecil berwarna putih itu menatapnya dengan memelas. Membuat bocah itu bertanya-tanya, apakah anjing itu sama menderitanya dengan dirinya?

Seharusnya tidak. Bahkan anjing itu menggigit bungkusan biskuit di antara giginya. Setidaknya anjing itu memiliki makanan untuk dimakan, sementara dirinya tidak. Otomatis tangannya bergerak menyentuh perutnya yang sedari tadi menjerit. Ia kelaparan? Tentu saja.

"Apa biskuit itu bisa dimakan?" Pertanyaan itu sebenarnya untuk dirinya sendiri, tapi seolah mengerti, anjing itu melepas gigitannya, dan bungkusan biskuit itu jatuh ke tanah.

Baru saja ia ingin menyentuh bungkusan itu, tapi sebuah suara menghentikannya. Membuatnya terkejut.

"Yaa!"

Ia tidak berani menoleh, tubuhnya menegang. Tubuhnya memang selalu seperti ini ketika mendengar bentakkan orang lain. Ayahnya yang sudah membuatnya menjadi seperti ini.

"Kenapa kau mengambil makanan Gae?" ujar suara itu lagi. Itu bukan suara ayahnya! Setidaknya ia bisa membuang napas yang sempat ditahannya.

Bocah itu memberanikan diri mengangkat kepalanya. Yang ada di hadapannya bukanlah ayahnya yang sedang mabuk, tapi seorang gadis cilik. Gadis berkuncir dua dengan hidung merahnya. Ia baru sadar bahwa cuaca mulai dingin. Mata bulatnya penuh tanya, gadis itu sedang menunggu jawabannya.

"Kenapa kau mengambil makanan Gae?" Sekali lagi bocah itu bertanya. Gadis itu berjongkok untuk melihat siapa yang ingin mengambil makanan anjing kecil kesayangannya.

Berapa usia gadis ini? Enam tahun? Tujuh tahun? Yang pasti lebih muda dari dirinya yang sekarang berumur dua belas tahun.

"Aku… aku…" bocah itu tergagap. Ia lapar, tapi ia tidak bermaksud untuk mengambil makanan anjing itu. Ibunya melarangnya untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Kruyuk, kruyuk.

Suara kelaparan terdengar di antara mereka. Mendengar suara itu, gadis cilik itu tertawa. Suara tawanya terdengar renyah, mata lebarnya terlihat jenaka. Membuat ketakutannya berkurang, membuatnya ingin larut dalam tawa gadis cilik itu. Perlahan senyumnya merekah.

"Kau kelaparan?" tanya gadis itu. Ia mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya, melihat anjing kecil yang berada di antara mereka.

Gadis itu membuka bungkusan biskuit dan menaruhnya di tanah. Dan segera anjing itu memakannya dengan antusias.

Cacing-cacing di perutnya semakin meronta melihat anjing itu makan dengan lahap.

"Ibu bilang itu makanan untuk Gae," celoteh gadis kecil itu. "Ibu marah besar saat aku dan Joong Ki hendak memakannya. Ibu bilang makanan Gae tidak bisa dimakan manusia," gadis itu bercerita tanpa diminta.

"Kalau kau mau…" gadis itu merogoh tas kecil berwarna putih yang menyelempang di pundaknya. "Ini untukmu."

Roti isi cokelat disodorkan di hadapannya. Ia teringat ibunya pernah membelikannya. Sesekali, saat ayahnya tidak ada di rumah. Ragu-ragu ia akhirnya menerima roti pemberian gadis itu. Ia menyempatkan diri untuk melihat gadis itu, yang sedang tersenyum untuknya. Matanya masih jenaka, seolah mengajaknya untuk bersuka cita.

"Makanlah. Atau kau tidak mau aku melihatmu makan?" Gadis itu memiringkan kepalanya, rambutnya yang dikuncir dua bergerak ke satu sisi. "Aku akan membalik badanku kalau begitu." Gadis itu baru akan menggeser kakinya. Tapi…

"Tidak perlu," ucapnya menghentikan pergerakan gadis itu. "Terima kasih sudah memberiku roti," ujarnya sebelum menggigit rotinya. Rasanya melegakan, saat sesuatu masuk ke dalam mulutnya.

Gadis itu tersenyum lagi. Membuatnya berhenti mengunyah. Degup jantungnya berbeda, berdetak lebih cepat. Inilah pertama kalinya ia merasa seperti ini. Tidak seorang pun teman di sekolahnya mau bermain bersamanya, mereka bilang ayahnya seorang penjahat, pemabuk. Semua temannya menjauhinya, menganggap dirinya sama seperti ayahnya. Tapi gadis kecil yang sedang mengelus kepala anjingnya ini sangat berbeda, membuatnya terpengaruh.

"Song Ji Hyo! Song Ji Hyo!"

"Gawat, itu suara ibuku!" katanya panik. "Ibu pasti mencariku. Ini sudah waktunya pergi," gadis itu beranjak. "Ayo, Gae."

Jadi namanya Song Ji Hyo?

"Kau mau ke mana?" ia memberanikan diri untuk bertanya. "Apa kita bisa bertemu lagi?"

Gadis bernama Song Ji Hyo itu menoleh. "Ayah dan ibuku mengajakku dan Joong Ki pindah ke luar negeri. Sangat jauh. Aku tidak tahu apa kita bisa bertemu lagi. Tapi kuharap kita bisa bertemu suatu hari nanti," katanya sebelum melangkahkan kakinya.

Lagi-lagi ia harus sendiri. Menatap langkah gadis kecil itu semakin jauh dengan anjing yang mengikuti di belakangnya. Di ujung taman, seorang wanita yang sedang menggendong anak kecil berdiri menunggu Ji Hyo. Ji Hyo mengambil sebelah tangan wanita itu untuk kemudian menggandengnya. Sebelum benar-benar hilang dari penglihatannya.

Taman itu kembali sepi. Kosong.

Song Ji Hyo. Nama itu akan terus diingatnya.


"Bos, orang yang Anda tunggu sudah datang," ujar pria tinggi berusia sekitar tiga puluhan.

Seseorang yang dipanggil bos pun membalik badannya. Sebelumnya ia sedang memandangi lampu-lampu yang benderang di malam hari di Kota Seoul dari jendela kamar. Mengingat dengan jelas semua peristiwa lampau yang pernah dilaluinya. Sisi paling suram dalam hidupnya.

Dalam kegelapan ruangan, bisa terlihat bahwa masing-masing sudut bibirnya terangkat. "Buat dia merasa nyaman. Aku akan segera ke sana," ujarnya pelan.

"Baik," jawab anak buahnya patuh. Baru saja ia akan undur diri, tapi suara bosnya menghentikannya.

"Lee Kwang Soo," panggilnya. "Atur semuanya. Setelah itu kau boleh beristirahat. Kembalilah besok."

Kwang Soo mengangguk patuh, sebelum keluar dari ruangan gelap itu.

Sepeninggal anak buahnya, ia berjalan mendekati sebuah ranjang dengan seprai sutra hitam yang ada di sana. Ia membuka sebuah laci pada meja kecil di samping ranjang dan mengeluarkan kantung berwarna merah. Pemberian terakhir dari ibunya, sebelum ia pergi dan kemudian ibunya yang pergi, untuk selamanya.


TBC