Summary : Ketika Sakura dititipkan pada keluarga Uchiha—Sasu/Ita/Mada/TobixSaku.

Warnings : AU/OOC

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto


Blameless

Chapter 1


"Sakuraaaa! Ayo banguuun!"

Teriakan keras yang terdengar begitu familiar di telinganya itu melengking hebat tak karuan berusaha membangunkannya dari tidurnya. Indra pendengarannya terasa sakit, membuatnya mendesah pelan dan mengambil bantal untuk menutupi telinganya. Matanya masih terpejam dan ia kembali meringkuk di kasurnya. Dan dua menit kemudian, dirinya sudah mulai memasuki alam mimpi kembali.

"Sakuraaaaaa!"

Suara dari bawah itu tidak dihiraukannya. Dia hanya terus bergumam pelan dalam tidurnya dan terkadang tersenyum sendiri—entah apa yang sedang dimimpikannya.

"SAKURA!"

BYUUR!

"AAH! DINGIIN!" Kali ini gadis muda itu yang menjerit saat guyuran air entah-dari-mana itu menjadikan tubuh serta kasur yang tengah ia tiduri basah terbuka paksa dan kakinya lantas lompat dari tempat tidurnya. Samar-samar ia melihat sosok wanita tua yang berkacak pinggang padanya.

"Sakura! Kau ini susah sekali sih dibangunin, hah?!" Matanya yang masih ngantuk dan belum mengumpulkan kesadaran itu menatap ibunya yang mulai marah-marah.

"Uhngg! Tapi Okaa-san, tidak perlu sampai menyiramku saat hari libur kan?!" Balasnya agak sedikit lemas karena masih mengucek matanya.

Urat kesal mulai timbul di wajah putih orang yang ada di depannya itu, "Kalau ibu tidak melakukan itu, kau takkan bangun tahu! Lihat dong, sekarang sudah jam berapa?!"

Iris emerald-nya memutar ke arah jam bergambar Doraemon di atas meja kecil dekat ranjangnya. Ia menghela nafas, "Kaa-san… demi apapun itu masih jam setengah tujuh! Ini kan hari libur, kenapa harus bangun pagi si—"

"Kau yang bilang kalau hari ini kau dapat hukuman dari gurumu itu kan?!"

Sakura mengerutkan dahinya.

Hukuman…?

Dari guru…?

Matanya membulat.

"GAWAAAAAAT!"

.

.

Seorang gadis bersurai pink kini tergesa-gesa berlari menuju halamannya dan mengambil sepeda berwarna merahnya. Ia segera menaikinya meskipun roti berselai kacang itu masih digigit di mulutnya. Secepatnya dikunyah dan tenggorokannya terasa menyangkut gara-garaia memakannya terlalu cepat.

Tapi ia tak peduli akan hal itu—yang penting sekarang ia harus cepat-cepat sampai disekolahnya.

Jadi—setelah memakirkan sepedanya, ia langsung berlari dengan kecepatan penuh ke kelasnya—dan ia tahu dirinya sangat, sangat telat dikarenakan sudah lewat dua puluh menit dari jam tujuh.

Sosok pria yang tengah duduk menopang dagu dikelasnya kini tersenyum menyeringai ke arahnya.

"Kau terlambat lagi, Haruno."

.

.

Sakura Haruno—atau yang biasa dipanggil Sakura ini adalah gadis kelas dua SMA yang mempunyai ciri-ciri sama seperti namanya—rambutnya yang berwarna seperti bunga Sakura, pasang mata bulat beriris hijau dan tubuhnya bisa dibilang proporsional dengan dada yang (cukup) kecil. Sifatnya? Periang dan baik—meskipun kadang bisa sangat sensitif.

Prestasinya disekolah cukup baik—setidaknya masuk peringkat kelima di kelasnya. Dia sebenarnya pintar dalam segala bidang—kecuali Matematika.

Ya, Matematika.

Satu pelajaran yang tak pernah ia mengerti dan selalu dapat nilai jelek di setiap ulangannya.

Mengharuskan hari liburnya terpotong hanya untuk les—mungkin hukuman bagi siswa yang mendapatkan nilai jelek pada setiap ulangan tentang pelajaran hitung-hitungan itu.

Ugh.

Bukan hanya pelajarannya yang Sakura benci—juga gurunya.

Madara—Madara Uchiha.

Pria berumur 29 tahun ini sangat suka—mungkin hobi untuk menghukum siapapun yang tak berhasil di bidang yang diajarkannya. Kata-katanya sadis;sarkastik; yang pasti bisa bikin nyesek pada siapapun yang dinasihati (baca: bentak)nya. Senyumnya menawan para gadis—tapi dihadapan anak-anak yang dihukumnya itu adalah senyum maut yang membuat mereka merinding tiap melihatnya.

Dan sepertinya Sakura selalu menjadi langganan pria berwajah dingin ini.

Sekali lagi—ugh.

Lihatlah dirinya sekarang yang sedang berusaha memaksakan senyum pada sensei-nya yang mulai menghampirinya.

"Kau sangat hobi telat ya, Haruno?" Oke, ada sedikit penekanan disitu, "Aku yakin ibumu kewalahan dalam membangunkanmu. Kau tipe orang yang masih tidur memeluk boneka, eh?"

Sakura lantas menggelengkan kepalanya, duh ini pasti akan berlanjut ke arah yang tidak-tidak.

"Atau kau masih mengompol di kasur sehingga kau telat untuk membersihkannya terlebih dahulu?"

JLEB.

Oke, ini kelewatan.

Sakura juga memang kelewatan—selalu telat dalam hari hukumannya.

Terdengar beberapa tawa kecil disana—wajah Sakura kini menahan semburat kemerahan dan perasaan malu di hatinya.

Ia berdiri kaku disana sambil menahan kepalan tangannya, inner-nya mengatakan ingin sekali memukul gurunya ini—tapi tidak mungkinlah.

"Haruno." Suaranya terdengar berat, "Duduk. Kerjakan kertas soal yang ada di atas mejamu."

Gadis itu terbelalak sebentar—tak biasanya sensei-nya yang galak itu membiarkannya duduk sebelum mengomel panjang-lebar terhadapnya. Tapi dia hanya mengangguk pelan dan sedikit bersyukur dalam hatinya.

Selagi ia berjalan menuju bangkunya, tiba-tiba Madara membuka suara.

"Oh ya, Haruno."

Ia berhenti di tempat.

"Hukumanmu kulipatgandakan. Selama seminggu kedepan, kau akan mengerjakan 30 soal di ruanganku."

Dan muncul senyuman manis.

Dan—Sakura ingin pingsan saja disana.

.

.

Di lain sisi—dirumah Sakura, ada ayahibunya yang sedang berbicara sesuatu yang penting.

Ayah Sakura—sedang merenung setelah mendapatkan pesan yang seharusnya dibanggakannya—ia harusnye merasa senang, tapi teringat anaknya—

Sakura.

Memang apa sih yang sedang dipermasalahkan mereka?

Rupanya ayahnya baru saja menerima kabar bahwa jabatan pekerjaannya telah naik dan dia akan bekerja di luar negeri—di Amerika. Dan tentu saja hal ini membuat mereka senang, karena kapan lagi mereka bisa tinggal di negeri orang dengan gratis.

Um, ralat.

Mereka bukan tinggal—tapi bekerja.

Hanya dua bulan.

Dan atasannya hanya memperbolehkan istrinya ikut—untuk merawatnya, sementara anaknya tak diperbolehkan.

Duh, bagaimana ini?

Mereka berdua sangat mengkhawatirkan Sakura.

Meskipun gadis itu memang sedikit manja, tapi dia benar-benar cekatan dalam hal membereskan rumah. Dia cukup mandiri—hanya saja—

Gadis itu sangat sulit untuk dibangunkan dari tidurnya.

Sekali saja Sakura tidur—mungkin bisa sampai seharian jika tidak ada yang membangunkannya.

Dan apa jadinya kalau gadis tukang tidur itu dibiarkan sendiri di rumah selama dua bulan—?

Bisa-bisa Sakura dianggap bolos dari sekolahnya; lalu mungkin bisa saja ada maling yang masuk; atau yang lainnya.

Karena itulah—ayahnya berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Awalnya ia ingin menitipkan anaknya pada keluarga Yamanaka atau Uzumaki, tapi mengingat kedua orangtua mereka yang juga sibuk—rasanya mungkin merepotkan.

Dan tak lama—ia ingat kalau ia punya sahabat yang rumahnya juga tak jauh dari miliknya. Ia lalu menelpon sahabatnya itu—untuk berkunjung dan membicarakan hal yang lainnya.

"Halo Fugaku…? Ah ini aku…"

.

.

"UWAAAH! SIAL! SIAL! AKU BENCI SEKALIII!" Sakura berteriak sambil memukul meja kantin seusai ia menyelesaikan dengan cepat (baca: ngasal) 50 soal Matematika yang diberikan oleh guru bersurai hitam panjang itu. Kepalanya terasa pusing dan berputar-putar—tak mengira Madara memberikan banyak tambahan soal hanya padanya. Saat mengerjakan, matanya sudah bergerak kemana-mana untuk mencari bantuan, tapi melirik sedikit saja—guru killer-nya itu sudah memasang senyum setannya sambil menggebrak meja. Menyuruh Sakura untuk kembali berkutat pada soalnya sendiri.

Di tengah depresinya itu, ada Yamanaka Ino dan Uzumaki Naruto—sahabatnya yang sedang makan disebelahnya. Naruto dan Ino memang tak mengikuti kelas Madara, bukan karena nilai mereka bagus atau apa—tapi nilai mereka yang memang selalu pas-pasan. Lelaki bersurai kuning itu menggelengkan kepalanya berkali-kali mendengar curhatan Sakura sambil menepuk bahunya berkali-kali.

"Yang sabar ya, Sakura-chan." Ia berusaha menyemangati Sakura, "Kau harus lebih rajin belajar—"

"Kaya dirimu belajar saja, Naruto." Sahut Ino kesal.

"Hey! Aku ini belajar kok-ttebayo!"

"Belajar apa? Belajar nyontek?"

Naruto nyengir.

Sakura yang sedari tadi masih menelungkupkan wajahnya di lipatan tangannya tidak menanggapi obrolan mereka berdua. Ia masih kesal dan tak bisa pasrah pada keputusan Madara terhadapnya.

Ia tahu ia sering terlambat—tapi tidak usah sesadis itu juga kan memberikan hukuman?!

"Yah, tapi kau tahu forehead—saat tadi aku berpapasan dengannya, sepertinya ia sedang tidak enak badan."

Ia mendelik, "Itu bagus! Aku berharap dia sakit saja selama seminggu itu!"

"Hey! Tidak baik tahu berdoa yang jelek pada guru!"

"Huh!"

Sakura lalu mengaduk minumannya dengan sedotan, merasa kesal.

"Ayolah, forehead! Yang semangat dong!"

Ia mendesis, "Kalau kau yang ada di posisiku, kau bisa semangat gak?"

"Sssh, kau ini—" Ino lalu mengubah topik, "Ngomong-ngomong, katanya ada anak baru loh yang akan masuk kelas kita."

"Eh? Siapa?"

"Kalau tidak salah namanya Sasuke—dan KAU HARUS LIHAT WAJAHNYA, SAKURA! DIA ITU KEREN SEKALII!" Ino mulai berteriak seperti seorang fans, "Kau pasti menyesal kalau belum bertemu dengannya!"

Sakura lantas mengangkat kepalanya, tertarik dengan pembicaraan seperti ini, "Kau yakin, pig?!"

"Iyaa! Kau takkan menyangka! Rambutnya… wajahnya yang dingin… KYAAA!"

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi, pig?!"

"Iya, forehead! Aku tak sabar bertemu dengannya—dan dia murid di kelas kita OOH!"

Naruto menaikkan kedua alisnya, "Bukannya kau sudah pacaran dengan Sai?"

"Ssst! Kau diam saja, Naruto! Lagipula aku kan hanya membicarakannya!"

"Ayo, Ino! Ceritakan lagi padaku!"

Lelaki bersurai kuning itu hanya menghela nafas sambil meminum minumannya yang mulai dingin. Kalau yang dikatakan Ino benar—berarti bakal ada saingan lagi dikelasnya.

.

.

Sakura melambaikan tangannya pada kedua sahabatnya setelah selesai membicarakan banyak hal—dan mereka bisa sampai kehabisan waktu. Gadis itu tersenyum tipis, dia senang masih ada orang yang selalu bersedia mendengarkan curhatannya dan menyemangatinya—meskipun memang kadang bertengkar karena hal sepele.

Sesampainya dirumah, ia melihat ayah ibunya sedang berbicara dengan raut wajah yang tak dimengerti oleh Sakura.

Ayahnya yang menyadari pertama kali, karena itu ia berkata pelan.

"Sakura, cepat mandi ya, kami mau bicara sebentar padamu."

Ia memiringkan kepalanya. Kenapa wajah orangtuanya serius seperti itu?

"Kenapa otou-san? Kok sepertinya penting sekali?"

"Ini memang penting, sayang." Ibunya berujar, "Jadi mandilah dulu—setelah itu kita bicarakan disini."

.

.

"APA? OTOU-SAN DAN OKAA-SAN MAU PERGI KELUAR NEGERI?!" Gadis itu berteriak keras tak percaya dan hampir menjatuhkan makanannya. Bagaimana bisa ia tidak kaget, orangtuanya memang selalu bekerja tak pernah jauh darinya—ke luar kota saja tak pernah apalagi ke luar negeri?

"Tidak perlu sampai berteriak, sayang." Desah ayahnya yang menutup telinganya.

"T-TAPI NANTI SIAPA YANG BANGUNIN AKU?! SIAPA YANG MEMBERESKAN RUMAH?! MASA AKU SEMUA?!"

Ibunya menghela nafas, "Makanya dengarkan dulu—"

"KENAPA TIDAK SEKALIAN MENGAJAKKU? AKU KAN JUGA MAU KE LUAR NE—"

"Sakuraaa!" Wanita tua yang ada di sisi kirinya mulai mencubit pipi anaknya, "Dengarkan dulu kata ayahmu!"

Setelah keadaan menjadi hening, ayahnya membuka mulut.

"Jadi begini, sayang." Ia berdeham, "Kami ke Amerika bukan untuk berlibur; tapi bekerja, makanya kau tidak bisa ikut, lagipula kau masih sekolah kan?"

Ia lalu melanjutkan, "Ibumu memang tidak bekerja, tapi harus ada yang mengurus ayah disana. Daan, selama kami disana, kau akan ayah titipkan pada sahabat ayah—disana ada anak seumuran denganmu kok."

"Haaa? Kalau aku tidak kenal bagaimana?"

"Yah kau memang tak kenal dengannya." Ayahnya menyahut heran, "Tapi katanya ia baru masuk sekolah yang sama denganmu—jadi kemungkinan bisa bareng kan?"

Sakura sempat ingin protes, namun rasa penasarannya mulai menganggunya.

"Memang nama anak sahabat ayah itu siapa?"

"Oh dia?"Lelaki tua itu berpikir sebentar, "Kalau tidak salah… namanya Sasuke Uchi—"

"HAH? SASUKE?!" Matanya mengerjap, "Ayah yakin?!"

"I-Iya, namanya Sasuke. Kenapa? Kau sudah kenal memangnya?"

"Heheh." Ia tertawa sendiri, "Tidak apa-apa, heheh~"

"Ah… kalau begitu, segera beres-beres perlengkapanmu ya, lalu masukkan ke dalam koper. Besok akan ayah kasih alamatnya."

Yang mendengar hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lagi.

Dalam hatinya—Sakura tak sabar untuk memberitahu Ino tentang hal ini—gadis itu pasti akan iri padanya.

Sementara orangtuanya yang masih duduk di meja makan hanya saling berpandangan melihat sikap anaknya yang berubah drastis.

.

.

Sakura menarik nafasnya dan membuangnya perlahan—dilakukannya untuk mencegah kegugupannya. Setelah ia pulang dari bandara dan mengalami perpisahan ayah-anak-ibu yang kau tahulah—berpelukan dan sebagainya. Jadilah ia sampai dirumah yang diberitahu ayahnya.

Ia harus terlihat lancar saat ia bertemu dengan teman ayahnya ini. Dengan sedikit takut, ia menekan bel yang terdapat di dinding sebelah pintu itu.

Sambil menunggu, Sakura melihat-lihat rumah besar milik orang yang akan merawatnya itu. Ia terkagum pada apa yang dilihatnya—dari sudut halaman sampai kondisi rumah ini yang terbilang sangat baik—dan megah. Berbeda sekali dengan rumah sederhana milik keluarganya.

Tapi baginya, hidup dimanapun ya sama saja. Ia tak peduli ia tinggal di rumah mewah ataupun sederhana.

Lima menit berlalu—dan masih tak ada yang membuka pintunya.

Ia mendesis, jemarinya lalu menekan bel yang berbunyi nyaring itu. Dan menunggu lagi—

—Sampai pintu itu terbuka dan Sakura masih tak menyadarinya.

"Oh." Suara maskulin itu mengagetkan Sakura, "Kebetulan sekali, eh, Haruno?"

Panggilan ini—

Sakura menolehkan kepalanya tak percaya dan matanya menatap horror pada lelaki yang membuka pintu rumah itu.

"M-MA-MA—"

"MADARA-SENSEEEEIII?!"

.

.

.

"Itu bagus! Aku berharap dia sakit saja selama seminggu itu!"

"Hey! Tidak baik tahu berdoa yang jelek pada guru!"

.

.

Ino.

Mungkin kau benar—

Aku tarik kata-kataku, jadi kamisama—

TOLONG BATALKAN PERMOHONANKU KEMARIIN~!

.

.

[ to be continued ]


A/N


Umm, ini fic pertama saya di fandom ini, jadi mohon maaf kalau ada kesalahan maupun alur cerita yang sama. Dan disini baru ada scene MadaSaku ya? Heheh ^^v

Saya tau itu pedoooh, tapi gak tau kenapa kok suka hahahhah. Tapi chap depan gak cuma mereka kok.

Syalalala, berkenan untuk review?

Terima kasih yang untuk membaca fic gaje ini!

Salam hangat,

E-cchi aka Euphoria