Disclaimer: Fullmetal Alchemist © Arakawa Hiromu, take nothing, no trademark infringement intended.

Note: berdasarkan manga, ketika masih dalam didikan Berthold Hawkeye, Roy manggil Riza pake nama depannya. Jadi sangat jelas kalau Riza ngibulin Envy di eps. 54 / terus?/ usia Roy ketika meninggalkan Hawkeye Manor untuk kemudian masuk ke akademi militer adalah 18 tahun, dan Riza 15 tahun. Didedikasikan untuk Royai Week hari pertama, enjoy!

Warning: OOCness may ensue (can't help it), Headcanon, Pre-canon. Cheesy, corny, blah, blah, blah ...


Day One: Stolen (Kisses)


Riza bisa mendengar Roy menggerutu, samar sebenarnya, tetapi ia hapal dan kenal semua gerak-gerik murid didikan ayahnya itu. Punggung di hadapannya tegang dan kaku, pertanda jika ia tengah marah atau kesal. Dan setiap kali ia marah atau kesal, Roy akan menggerutu.

"Harus mencari apa yang ingin kulakukan dalam hidup, katanya … harus ini, harus itu, blah, blah, blah …"

Benar, 'kan?

Dan sekarang ia mulai menendangi kerikil. Riza mulai khawatir dengan nasib bungkusan pai apel yang Riza taruh di ransel Roy.

"Tuan Mustang—"

Roy berbalik tanpa aba-aba, membuat Riza mendadak menghentikan langkahnya. Dahi Roy berkerut dalam. Ia menatap Riza tajam.

"Tuan Mustang?" Riza berkata interogatif, kebingungan dengan apa yang sedang Roy lakukan saat ini.

"Aku tidak percaya kau masih memanggilku dengan basa-basi itu."

Riza mengerutkan dahi. "Basa-basi?"

Roy mengangguk. "Basa-basi. Tuan Mustang ini, Tuan Mustang itu … kau bertingkah seolah aku adalah anak yang baru kemarin dikenalkan ayahmu."

Riza mengerutkan dahi. "Kau … tidak suka kupanggil begitu?"

"Ya. Tidak suka," tandas Roy.

Riza tidak merespon.

Roy menggeram pelan. "Riza—" Roy membuka suara, tetapi kemudian wajahnya merengut dan mulutnya tertutup kembali. Bahunya turun ketika ia menghembuskan napas panjang dan berkata, "Lupakan. Ayo, aku rasa kereta ke Central City akan segera tiba di stasiun Hawthorn. Sebaiknya kita bergegas."

Riza mengangguk, mulai mempercepat langkahnya untuk menyamai langkah-langkah Roy yang lebar. Ia penasaran dengan apa yang ingin Roy katakan barusan, tetapi ia tahu menyimpan semua pertanyaan dalam kepala adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini.


"Aku tidak ingin pulang."

Riza mendongak, kemudian melirik Roy yang berjalan di sampingnya. Ia bisa melihat setetes keringat jatuh dan mengalir dari pelipis pemuda itu. Riza ingin menyekanya dengan sapu tangan yang ia taruh di saku switer biru gelap yang ia pakai, tetapi kedua lengannya terlanjur ia gunakan untuk membawa salah satu koper pakaian Roy—yang teringan, Roy bersikeras jika Riza tidak boleh membawa yang lebih berat dari ini.

"Aku tidak ingin pulang," ulang Roy, seolah ingin memastikan jika ia mendapatkan perhatian Riza. "Maksudku, aku ingin pulang suatu hari nanti, tetapi bukan hari ini."

Riza mengalihkan tatapannya ke depan kembali, menerawang jalan setapak yang membentang dari Hawkeye Manor ke desa Hawthorn di bawah mereka. Riza juga tidak ingin Roy pulang ke Central City hari ini, atau besok, atau kapan pun. Riza tidak bisa membayangkan jika esok pagi ia harus bangun tanpa melihat Roy sesudahnya. Ia terlalu terbiasa dengan kehadiran pemuda itu semenjak ayahnya membawa Roy untuk dijadikan murid enam tahun silam. Jika bisa, Riza ingin menyimpan Roy untuk dirinya sendiri. Roy tidak seperti teman sekelas Riza yang sering mengejek potongan rambutnya, atau apa pun itu yang ia kenakan, atau karena ia adalah puteri seorang alchemist gila. Roy sudah seperti kakak laki-laki yang tidak pernah ia miliki, yang selalu berusaha menghajar siapa pun itu pemuda nekat yang mendekati Riza. Atau mungkin keberadaan Roy melebihi teman atau saudara baginya, jantung Riza selalu berpacu lebih cepat ketika melihat pemuda itu tersenyum lebar.

"Karena itukah kau marah?" tanya Riza. "Karena kau tidak ingin pulang? Kau tidak merindukan ibu dan saudari-saudarimu?"

Roy menjatuhkan koper-koper besar yang ia jinjing ke tanah, kemudian mendudukkan dirinya di atas bongkahan batu besar di pinggir jalan. Udara musim panas, ditambah beban di tangan dan punggungnya, sepertinya benar-benar menguras energi Roy saat ini. "Tentu saja aku merindukan mereka, tetapi pulang sekarang rasanya sangat tidak tepat."

Riza menunduk, menggambar lingkaran kecil di tanah dengan ujung sepatunya. "Karena Ayah belum memberitahumu rahasia alkimia api yang sedang ia teliti?"

Roy tersenyum masam. "Ia hanya mengajariku dasar-dasar alkimia selama enam tahun ini. Itu belum cukup."

Riza melirik Roy sekilas, sebelum menunduk kembali untuk mengindari mata Roy ketika bertanya takut-takut, "Hanya … hanya itu?"

Riza tidak mendengar jawaban spontan, ia bahkan tidak mendengar Roy bersuara selama beberapa detik yang terasa panjang. Gelisah, Riza memberanikan dirinya untuk menatap Roy.

Pemuda itu terlihat lucu, raut wajahnya terlihat seperti orang yang tengah menahan napas. Ia menggaruk belakang kepalanya. Ada semburat merah tipis di pipinya.

"Tuan Mustang? Kau baik-baik saja? Kau ingin pipis?"

Roy terlihat seperti baru saja tertimpa bongkahan meteor. "Aku tidak apa-apa. Tidak, aku tidak ingin pipis, Riza …" ujarnya lunglai. "Aku rasa kita harus berjalan lagi, aku tidak mau ketinggalan kereta."

Riza mengangguk. Pertanyaan yang membuat dirinya gelisah sejenak terlupakan.


Hawthorn adalah sebuah desa kecil di Barat Amestris, karena itulah aktivitas di stasiun kereta api ini tidak seramai stasiun pada umumnya. Tidak banyak orang yang keluar dan masuk desa, dan kereta tidak melintas ke jalur ini setiap hari. Mereka merasa lega ketika sampai dengan terengah-engah di peron, dan petugas tiket mengibaskan lengan sambil berkata keretanya belum tiba.

"Kita beruntung," kata Riza, menaruh koper di jinjingannya ke atas bangku tunggu penumpang.

"Atau tidak," Roy menggerutu pelan, menghempaskan pantatnya ke bangku kayu. "Aku harap keretanya sudah lewat sehingga aku punya alasan untuk tinggal barang sehari lagi."

Riza tidak bisa tidak setuju.

"Kau tidak melupakan tiketnya, 'kan?"

Roy mengangguk.

"Kau yakin tidak ada barangmu yang tertinggal?"

Roy mengangguk sambil bergumam.

"Bagaimana dengan—"

Lengkingan peluit kereta memotong kata-kata Riza, meninggalkan kekosongan yang seolah menghisap isi dadanya ketika melihat barisan gerbong besi perlahan mendekati stasiun. Riza menelan ludah. "Sudah datang," katanya.

"Hm," timpal Roy pelan sembari berdiri dan meraih koper-kopernya kembali, termasuk yang Riza bawa selama ini. "Aku rasa ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal."

"Hm, selamat jalan, Tuan Mustang," bisiknya, tidak repot-repot untuk menyembunyikan kepahitan dalam suaranya.

Roy tersenyum kecut. "Jaga dirimu baik-baik, Riza."

Riza mengangguk. "Kau juga."

Riza melihat punggung pemuda itu semakin menjauh dan menjauh menuju pintu gerbong kereta. Riza menyadari dengan pahit bila mungkin saja ini kali terakhir ia bisa melihat Roy Mustang.

Tidak ada yang bisa ia lakukan.

Riza mulai berbalik dan mengambil langkah untuk kembali ke desa, tepat ketika mendengar suara jatuh yang cukup keras.

Ia melirik ke belakang, koper-koper Roy terbengkalai di lantai peron, sementara Riza membeku setelah Roy memutar tubuh Riza dan menariknya ke dalam sebuah ciuman panjang. Riza masih kehilangan orientasi diri ketika Roy melepas ciumannya. Wajah pemuda itu merona hebat.

"Jeez, aku selalu ingin melakukan itu," kata Roy, tatapannya tidak lepas dari Riza. "Dan rasanya manis, seperti apa yang selalu kubayangkan."

"Tu-Tuan Mustang," Riza tergagap, masih belum sepenuhnya memproses situasi. "Barusan—"

"—Aku akan kembali," kata Roy, tidak ada kesangsian dalam nada suara dan tatapan matanya. "Untukmu."

Riza mengangkat telapak tangannya ke mulut. Belakang matanya memanas.

"Aku akan menemukan hal apa yang ingin kulakukan, setelah itu aku akan kembali kepadamu. Kau akan menungguku, bukan? Kau tidak akan membiarkan pemuda-pemuda di desa mendekatimu, 'kan?"

Riza mengangguk. "Hanya jika kau mengirim surat setiap minggu."

Roy menyeringai. "Aku akan mengirim surat setiap hari."

Mereka berbagi ciuman sekali lagi.

Hari itu adalah hari ketika ciuman pertama Riza tercuri oleh Roy, bersamaan dengan hatinya.

Tidak, hati Riza telah tercuri terlebih dahulu, jauh di masa-masa sebelumnya.


Happy Royai Week! Second prompt is coming soon ^^

.