Chapter 13
Inilah namanya drama rumah tangga.
Inilah namanya Rubicon.
Mungkin hidupku akan datar-datar saja jika aku tidak menikah.
Mungkin ayah dan ibu juga pernah seperti ini.
Tapi, mungkin untuk kesekian kalinya, aku akan mecoba untuk percaya.
Aku akan lebih mempertimbangkan sesuatu dengan sugguh-sungguh.
Arigatou, Ichigo Kurosaki.
Disclaimer BLEACH © Tite Kubo
Rubicon © ChapChappyChan
Pairing : Ichigo x Rukia
Rate: T
Genre : Romance, Family sedikit Hurt
Warning : no flame- OOC-Typo(s)-AU
Note : Emm...ini adalah chapter terakhir yang dibikin bebarengan sama chapter 12. Setelah sekian lama saya menanti momen ini. Saya merasa udah tua #apahubungannya #plak! Di sini tidak ada balasan review yaa. Tapi saya tetap mendedikasikan fic ini kepada Minna-san yang sudah mau membaca, mereview bahkan menunggu kelanjutan fic ini. Saya benar-benar senang X') Hontou ni arigatou gozaimaaaaaasu m(_ _)m
ARIGATOU bagi Reviewers-san.
ARIGATOU bagi Minna-san yang udah memfav :
15 Hendrik WidyawatiArya U DragneelAzura KuchikiDRIKKMatsuyama AoichiMizuKaze NaruMumucchiMysteriousR230NatsumeAoiRiriiMuSchwarzen AdlerTsurugi De Lelouchalelilaenzeroo86fendyksatria212hiru nesaanphilip schiffersunghyun1307uchiha azakaviants
ARIGATOU bagi Minna-san yang udah memfollow :
15 Hendrik Widyawati Aishie Schiffer Azura Kuchiki
Bleachaholic Yuuka-chanMizuKaze NaruMumucchiNatsumeAoiRini desuRiriiMuSchwarzen AdlerShuuhi-samaTsurugi De Lelouchairin yukibaraalelilaenzeroo86haruna aoiichirukilover30kOcchi zenrei 1uchiha azakaviants
ARIGATOU bagi Minna-san yang udah menunggu.
Dan ARIGATOU bagi silent readers. X')
Enjoy, please... T^T 9
Genggaman si tosca sangat erat. Seperti dia tidak mau kalau orang yang tengah ia gandeng kabur darinya. Tapi si amethys sudah tentu tidak akan kabur. Dia tidak berdaya. Dia tidak bisa memberontak, namun masih bisa berlari mengikuti Nel dan juga merasakan getaran pada tangan gadis hijau itu.
"Kita hampir sampai." Ujar Nel. Dan Rukia melihat river bank tak jauh dari arahnya berlari. Di situ sepi. Mungkin Nel ingin dirinya berduel untuk mendapatkan Ichigo. Haha, yang benar saja.
Nel akhirnya berhenti dan melepaskan Rukia. Rukia mengelus lututnya kemudian berdiri menghadap Nel yang terengah-engah.
"Aku tidak apa-apa kau hina seperti itu. Dan kau bisa menghajarku sekarang." Nel merentangkan tangannya. Membuat Rukia tersenyum masam.
"Are? Aku tidak yakin kau bisa menahan pukulanku. Dan asal kau tahu, aku sedang sangat marah sekarang, Onna."
"Lakukan saja. Pukuli aku kalau kau mau. Atau gunting saja rambutku. Kau tenggelamkan ke sungai ini pun juga boleh. Lakukan, Rukia-san. Lakukan hingga kau pu-."
"CHIGAU!" senyumannya menghilang dari paras Rukia, dan wanita itu berteriak sangat keras. Nel benar-benar kaget karenanya.
"Aku tidak ingin meghajar siapa pun. Aku hanya ingin bertanya hingga aku puas. Dan kau harus menjawabnya." Rukia tidak bisa lagi menyembunyikan raut sedihnya.
Sementara Ichigo dan Ashido yang dari tadi mengejar, berhenti di atas jembatan. Ashido meminta Ichigo untuk memperhatikan dari situ saja.
"Kenapa kau sekejam itu? Kenapa?! Apa Ichigo sespesial itu untukmu, ha?! Kenapa tidak kau nikahi saja dia sejak dulu?! Dengan begitu, aku tidak perlu merasa sakit!"
"Ji—" Nel meremas roknya. Dia juga ingin mengutarakan perasaannya."Jika bisa, dari dulu aku juga ingin menikah dengan Ichigo!" teriaknya lantang.
"Kau saja yang pengecut! Apa kau sudah berusaha dengan keras seperti saat kau berusaha mewujudkan cita-citamu, ha?!"
"Aku sudah melakukannya! Tapi Ichigo tidak pernah memandangku."
"Bodoh! Lalu kenapa tidak kau bius saja Ichigo saat itu, Onna! Bukan melakukannya di saat pria menyebalkan itu sudah memiliki aku! Aku jadi terlibat tahu! Jika kau bersikeras, setidaknya kau meminta ijin dulu denganku sebelum bercinta!"
Mereka berdua malah saling bentak tanpa ada perlawanan fisik dari Rukia.
"Tapi tak apa, sekarang Ichigo adalah milikmu!" Ichigo milik Nel? Rukia berkacak pinggang sambil meneriakkannya. "Bagaimana rasa Ichigo? Manis? Kurasa Ichigo memang manis dan sedikit asam jika masih belum matang. Haha..."
"..."
"...haha. Ha.."
"Apa kau mencintai Ichigo?"
"Aku..." Rukia berhenti sejenak, dia berusaha memasang wajah tersenyumnya. Senyuman tulus yang dapat mengiringi kalimatnya, "Aku mencintainya!" Nel melihat tawa lepas itu. Mungkin itu adalah pengakuan yang selama ini dia coba untuk ungkapkan. Ichigo pun mendengarnya dengan jelas, "Aku juga mencintaimu." Bisiknya.
"Nee, Nel! Tapi kurasa cintamu lebih besar. Aku mencintai Ichigo, tapi baru kurasakan akhir-akhir ini. Jadi bisa terhapus kapan saja. Dan kurasa ini saatnya untuk menghapus." Rukia masih tersenyum, namun tangannya mengepal. Menahan rasa sakit yang menjalar dari jantungnya."Hey! Kau ini banyak bicara juga ya, aku sampai lupa jika aku harus pulang sekarang. Jaa! Sayonara!" Rukia tidak mau lagi mengungkapkan isi hatinya, apalagi memandang wajah Nel. Rukia bergegas pergi. Menjauh dari situ. Berharap bisa sampai rumah dan menangis.
Melihat gerak-gerik Rukia, Ichigo lepas dari pertahanannya. Dia berlari ke arah Rukia, namun seketika dihentikan dengan teriakan Nel.
"SEMUA ITU BOHONG, RUKIA-SAN!" Nel menangis sejadi-jadinya. Dia merunduk. Dia tidak bisa bertahan dari semua yang dia pendam. Dia terus menangis dan tidak mau berhenti setelah meneriakkan kalimat itu.
Rukia terpaku. Ichigo kembali berlari ke arah Rukia. Lelaki itu tidak mau Rukia benar-benar pergi. Sampai di depan wanitanya, Ichigo meraup tubuh wanita rapuh itu. Membawanya ke dalam pelukan yang bisa meredam rasa sakitnya.
"Semua itu bohong. Aku tidak melakukan.." Nel berulang kali mengatakan hal itu sambil terus menangis. Ichigo tidak begitu mengerti dengan gadis itu. "Aku tidak.." Ashido sudah berlari ke arahnya dan menenangkan gadis itu. Sedangkan Ichigo, dia terus mengusap air mata yang jatuh dari pelupuk Rukia.
"Itu berarti, dia tidak melakukan apapun padamu?"
"Dari awal, aku tidak merasa melakukannya. Yokatta, kan?" bisiknya amat lirih pada istrinya yang tengah ia rengkuh. Senyuman tipis terukir di wajah lelaki itu.
"Tapi, tidak perlu mempermainkanku kan?!" Rukia pun tak hentinya menangis.
"Aku juga tidak tahu. Gomen, Rukia. Gomen.."
.
.
.
.
.
Kira-kira perih yang dialami keluarga Kurosaki muda berlangsung satu pekan. Sakit hati dan air mata yang membanjir sudah tidak ada lagi –yah, setidaknya untuk saat ini. Rukia sudah bercerita dengan teman-temannya soal insiden di Tokyo, mungkin Rukia sedikit bangga karena bisa menjinakkan dinamitnya sendirian. Walaupun harus ada berliter-liter air mata yang terproduksi.
Tapi tak apa. Dia mulai bisa mencintai Ichigo lagi. Dan berkali-kali Ichigo mengatakan padanya bahwa lelaki itu mencintainya.
Yah, selepas dari itu, dia bersyukur bisa menikah dengan Ichigo. Dia tidak bisa menghapus garis yang telah ia buat. Dia juga tidak bisa melewati kembali garisnya. Sekali melangkah, dia tidak bisa mundur. Ichigo mengajarinya, tidak ada kata bercerai dalam kamus kehidupannya. Sehingga Rukia juga mencoba untuk seperti itu. Karena menikah adalah sumpah yang tidak boleh dilanggar.
Rukia rasa, perkataan suaminya benar soal perceraian, "Cinta mereka belum tumbuh mungkin. Atau mereka tidak tahu Rubicon."
Dan untuk mempererat rasa cinta dalam keluarga itu, Ichigo membuat beberapa peraturan.
"Tadaima." Nampaknya Ichigo sudah pulang. Acara Chappy yang ditonton Rukia tengah sampai pada klimaksnya, jadi Rukia menjawab seadanya.
"Ah, okaerinassai. Air hangatnya sudah aku siapkan. Langsung mandi saja, nanti keburu dingin."
"Ehem, tadaima." Ichigo tidak bergeming dari depan pintu dimana dia bisa melihat Rukia menonton televisi. Lelaki itu bahkan mengulangi salamnya. Seperti menuntut sesuatu.
"Wakatta..wakatta…" Rukia akhirnya mengalah dan beranjak dari singgasana. Dia mendekati Ichigo dan berhenti di depannya.
"Peraturan nomor tiga."
Cup.
"Cium bibir suamimu sepulang kerja. Oke, aku ingat. Cepat mandi sanaaaa." Setelah melakukan tugasnya, Rukia mendorong Ichigo ke kamar mandi. "Kau cerewet soal peraturannya." Rukia terus mendorong, tidak terasa dirinya hanya berjalan di tempat.
"Koishiteru, Rukia." kini giliran Ichigo yang berbalik dan memberi sengatan spesial pada Rukia. Rukia selalu tidak bisa mengelak dan pasrah saja. Walau terlihat masa bodo, tapi dalam hatinya dia merasa senang. Akhirnya dia bisa seperti ini dengan Ichigo. "Kau harus mandi denganku. Gosokkan punggungku ya." Senyuman merekah dari Ichigo adalah kebahagiaan tersendiri. Senyumannya sangat manis. Seperti namanya.
"Ya, asal kau tidak berisik."
.
.
.
.
.
Dengan handuk yang melilit tubuhnya, Rukia memasuki bath-up. Tubuh porselen itu tidak sepenuhnya terekspos. Ichigo juga begitu. Mereka masih belum bisa memperlihatkannya.
"Rukia, jangan keras-keras."
Wanita itu mengambil posisi. Lucu juga saat dia ingat bahwa dirinya pernah membayangkan Rangiku-chan maupun ibunya yang bergosok punggung dengannya. Tidak tahunya, malah dengan suaminya sendiri. Dia ingat juga ketika Ichigo mimisan karena hal ini. Masa-masa itu sungguh lucu. Dia tidak mau beralih dari waktu menyenangkannya.
"Ichigo, apa kita bisa selalu seperti ini?" Rukia memandang punggung lebar itu. Tidak bisa melihat ekspresi apa yang sedang Ichigo buat.
"Kalau selalu sih, mungkin tidak. Pasti akan ada banyak hal yang dapat membuat kita berdua menangis. Tapi, sampai saat itu tiba, aku minta kau untuk selalu percaya padaku bahwa aku mencintaimu."
Rukia menghentikan gerakannya. Berpikir bahwa nantinya akan ada masalah baru bukanlah hal yang menarik. Dia pasti akan merindukan saat-saat seperti ini.
"Jika hal itu terjadi, maka aku akan berusaha memelukmu seperti ini." Rukia merengkuh suaminya dari belakang. Rengkuhan yang langsung bisa dia rasakan lewat kulitnya. Nyaman. Wanita itu tidak mau melepas momen berharga yang sudah susah payah didapatkannya.
"Badanmu hangat, Rukia."
"Baka! Ini karena airnya."
.
.
.
.
.
.
"Sekali-kali, kita memang harus melakukan ini, Rukia." Wanita blonde yang duduk di samping Rukia nampak senang memakan daging. Belum lagi botol minuman –tentu saja bukan alkohol—yang ada di sebelah tangannya.
"Memang benar. Tapi tanpa sake. Ah ya, Senna-chan jangan sungkan ya." Kini pandangan si pemilik rumah tertuju pada gadis di sebelah kirinya. Gadis itu dari tadi diam saja.
Sebenarnya Rukia dan Ichigo tidak sedang merayakan apapun. Mereka hanya ingin menjamu teman-temannya. Malam itu sepulang kerja, ruang tv tengah penuh oleh berbagai insan. Pasangan Kurosaki meletakkan meja pendek yang lebar agar semua dapat bagian. Mereka juga menata ruangan itu sehingga nyaman untuk ditempati. Rukia pun tidak tanggung-tanggung dalam memasak. Ada sukiyaki, steak, sup, sushi dan ada beberapa macam lagi.
Kebetulan suami Rangiku juga sedang senggang, jadi dia mengajaknya sekalian. Bagi Rukia, ini momen pertamanya makan bersama dengan Gin.
Sementara Kaien sudah pasti satu paket dengan Miyako. Sementara Senna datang sendiri tanpa ada pasangan. Bukan bermaksud membuat Senna sakit hati, namun Rukia sengaja mengajak Senna karena Rukia sudah berhutang budi padanya.
"Rukia-chan, apa acaranya hanya makan-makan saja?" Kaien berceletuk setelah melahap habis sebuah sushi.
"Memangnya kau mengharapkan apa?" tatapan intimidasi dengan sukarela Ichigo berikan kepada lelaki di sampingnya. Pria orange itu punya prasangka buruk terhadap pertanyaan Kaien yang ditujukan kepada istrinya.
"Kaien-kun.." Miyako pun memasang senyuman menakutkan sambil menepuk bahu suaminya itu.
"A-a-, eto.. Maksudku, apa tidak ada game atau semacamnya? Mumpung ramai..ehe..ehe…" tawa canggung itu mengiringi penjelasan Kaien. Takut-takut dua orang yang di sampingnya salah paham dan menerkamnya.
"Sou! Kaien-san benar. Apa tidak ada game?" Rangiku menimpali. Sementara Rukia meringis.
"Aku tidak berpikir sejauh itu. Tapi aku tidak keberatan." Rukia memandang Ichigo. Bertanya lewat tatapan apakah suaminya keberatan atau tidak. Nyatanya Ichigo hanya mengendikkan bahu.
"Yosh! Kau tidak keberatan kan Gin?" Sementara Rangiku menggelayuti suaminya. Biasanya Gin bersikap masa bodo. Dia lebih relevan daripada istrinya.
"Kau seperti anak kecil saja, Rangiku."
"Justru itu! Aku ingin membangkitkan jiwa mudaku, Gin. Kau selalu meminta ini dan itu, menciumku, menjamahku, mengajak ber—"
Tunggu. Kalimat Rangiku yang tak layak dikonsumsi oleh anak usia dini itu menciptakan rona malu pada teman-temannya. Senna menunduk dan meremas pakaiannya untuk menetralisir perkataan dewasa tadi. Sementara Kaien dan Miyako pun ribut berdebat.
"Dengar? Menciummu setiap hari adalah normal, Miya-." Buk. Miyako menyikut Kaien, berharap mulutnya tidak bicara yang macam-macam.
"Pelankan suaramu, baka!"
"Kau benar Kaien-san. Hal itu sangat normal. Jadi kau tidak perlu mengeluh terus, Rangiku.." Gin yang jelas mendengar perkataan Kaien, malah membenarkannya.
"Tapi bukan berarti kami tidak akan lelah kan, Gin-san?" Miyako cepat-cepat menyanggah dengan senyuman khasnya. Mendengar itu, Rangiku beranjak ke tempat Miyako lalu menggenggam tangan wanita dengan rambut hitam panjang itu.
"Miyako-sa~n, kita sehati~."
"Aku juga pernah merasakannya kok, aku mengerti perasaanmu." Miyako balas menepuk-nepuk punggung Rangiku.
"Eh, ngomong-ngomong soal itu Rukia…" Rangiku beralih memandang Rukia. Karena perkataan Rangiku-lah, kini Rukia menjadi sorotan. Semuanya memandang Rukia termasuk Ichigo. "Kau, juga merasakan itu kan, Rukia?"
Bruush.
Ichigo menyemburkan teh hangatnya. Maksud Rangiku, Ichigo selalu menganiaya Rukia dengan ciuman-ciuman mautnya? Gyah! Ichigo masih tidak berani melakukan yang seperti itu dengan kondisi Rukia sekarang. Dan apa-apaan ini? Semua pandangan malah tertuju padanya.
"Apa?"
"Cih, Ichigo payah." Hah? Rangiku malah menghujat Ichigo.
"Hoi, setidaknya aku tidak membuat Rukia takut."
"Nani? Aku tidak akan takut padamu tahu!"
"Rukia-chan serius? Tidak takut dengan Ichigo? Ha-, kau dengar sendiri kan, Ichigo. Rukia-chan tidak takut padamu. Jadi kau bisa mulai menyera—"
Buak.
"Apa sih yang kau bicarakan, Kaien-senpai!"
"Hee~ Rukia.. paling tidak kau harus mencoba satu kamar dengannya walau hanya sekali." Rangiku mengeluh. Tingkah lakunya menggambarkan seolah-olah 'bagaimana masa depan anakmu nanti'.
"Kalian tidak sekamar?" Gin menyahut. Dia benar-benar penasaran dengan yang satu itu. Bagaimana bisa suami istri tidur di kamar yang berbeda? Ini bencana besar. Pandangan Gin bergantian menatap Rukia dan Ichigo. Menuntut jawaban. Gin berharap bahwa yang ditanyakannya tidak benar.
Rukia tidak bisa menjawabnya. Memangnya kenapa dengan kamar yang terpisah? Toh dia dan Ichigo akur-akur saja. Lagipula Ichigo tidak keberatan dengan itu. Memangnya apa bedanya dengan satu kamar?
Sedangkan Ichigo mulai berfantasi. Dia mengingat petuah-petuah bijak yang diberikan oleh Kaien. Ichigo mengerti. Mereka seharusnya memang satu kamar, namun jika Rukia tidak ingin seperti itu, mau bagaimana lagi? Dia sungguh tidak ingin membuat Rukia takut. Dan sesekali Ichigo belajar sedikit kepada Kaien –tidak sesedikit itu sih. Tapi bagaimana dia harus menjawabnya? Jika dia megiyakan pertanyaan Gin, dia yakin Rukia akan sangat malu. Tapi dia juga tidak bisa berbohong kan?
"Nee, soal game-nya, memangnya kita akan main apa?" Senna menghentikan kebisuan yang disebabkan oleh pertanyaan Gin. Ichigo dan Rukia bisa bernafas lega. Lelaki orange itu tersenyum pada Senna. Bermaksud untuk berterima kasih dan Senna membalas senyumannya. Di sisi lain, Rukia juga melontarkan pandangan terima kasihnya itu. Senna pun menunduk-nunduk, seakan bicara 'bukan apa-apa Rukia-chan, aku juga tidak tahan dengan pembicaraan ini. Hanya aku yang single di sini tahu'.
"Kalian belum menjawab pertanyaannya."
"Eto, bagaimana kalau petak umpet?" Miyako menyahut pertanyaan Senna. Dia sendiri juga tahu jika Rukia masih takut dengan Ichigo soal first night. Jadi sebaiknya dia mengubur pertanyaan Gin.
"Nee, minna." Gin masih merajuk. Dia benar-benar penasaran. Sayang sekali, Rangiku dan Kaien juga paham maksud Miyako.
"Haha..sudah berapa tahun ya aku tidak bermain itu.." giliran Kaien.
"Aku yakin bisa membangkitkan jiwa mudaku dengan ini!" Rangiku juga ambil andil.
"Ha—terserah kalian saja." Suara frustasi dari Gin cukup untuk membuat beberapa orang di situ tertawa. Suasana canggungnya pun menghilang.
"Yosh! Sudah diputuskan. Kita akan bermain petak umpet!" Rangiku pun girang.
Begitu juga Ichigo dan Rukia. Sepertinya tidak buruk juga kembali ke permainan childish itu. Yang pasti, mereka senang dengan kebersamaan ini, mungkin lain kali Ichigo juga mengajak teman-temannya. Seperti Ishida atau Renji.
.
.
.
.
.
"Huft, sepertinya aku sudah jauh." Rukia menghela nafasnya. Dia sudah berlari jauh menuju halaman dan bersembunyi di semak-semak. Beberapa lampu sempat di matikan, jadi dia pun tidak tahu kemana arah yang lain bersembunyi. Dia hanya berpikir jika halaman rumah adalah tempat yang pas. Setidaknya Rangiku tidak akan repot-repot berpikir bahwa dirinya bersembunyi di luar rumah. "Hm..Ichigo tadi bersembunyi dimana ya?"
"Mencariku?"
"Aa—"
"Ssshh..nanti kita bisa ketahuan."
"Tapi, kenapa kau bisa sembunyi di sini?"
"Aku yang sembunyi duluan tahu."
Ternyata Ichigo malah bersembunyi di belakang Rukia. Rukia sempat terkejut. Sebelumnya, dia bahkan tidak melihat Ichigo. Ah sudahlah. Dia harus tenang dan tidak boleh berisik. Rangiku tidak boleh menemukannya. Dia juga tergiur dengan hadiahnya. Mereka memang membuat perjanjian, siapa pun yang ditemukan terakhir kali, maka akan mendapat dua buah tiket ke Chappy Land. Sebenarnya tiket itu adalah hadiah untuk ulang tahun keponakan Miyako, tapi tidak dia berikan karena keponakannya itu bahkan tidak tahu makanan macam apa Chappy itu. Dan tebak siapa yang berambisi untuk menang. Tak ada orang lain kecuali Rukia.
"Kau begitu serius." Ichigo bingung, apa daya tarik dari kelinci dengan telinga panjang itu –kelinci memang bertelinga panjang, kau tahu. Rukia pun memposisikan telunjuknya di depan bibir. Menyuruh Ichigo untuk mengecilkan suaranya. Namun jemari itu langsung disahut oleh Ichigo. Ichigo menggenggamnya. Dan gerakan tiba-tibanya membuat Rukia blushing. "Di sini dingin. Kau juga tidak memakai jaket."
"Selama untuk Chappy, aku tidak apa-apa." Dasar istrinya itu.
Angin malam yang berhembus benar-benar dingin. Ichigo tidak membual karena ingin menggenggam tangan istrinya. Namun, tidak dingin pun Ichigo juga ingin memegang jemari itu. Rukia ada di depannya dan mengawasi keadaan. Takut-takut Rangiku datang. Tapi wanita itu tidak protes karena Ichigo terus menggandeng tangannya.
Sisi lain Rukia menurutnya begitu kawaii. Atau mungkin, malah ini sifat asli istrinya? Hm..sampai kapanpun, Ichigo akan menunggu Rukia hingga wanita itu mau untuk dia miliki seutuhnya. Rukia harus menjadi yang pertama untuknya, begitu pula sebaliknya.
Lelaki itu teringat dengan kejadian yang sempat membuat Rukia hancur. Saat di Tokyo, Nel memang tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Namun Ashido berhasil memaksanya dan Ichigo mendapatkan informasi itu kemarin lusa.
Kala itu, Ichigo dibius. Dan Nel memang sempat membuka kemeja Ichigo. Dia juga sudah mempersiapkan diri. Tinggal sedikit lagi dan Ichigo bisa menjadi miliknya. Rasa cinta yang tak kunjung dibalas, merupakan hantaman keras bagi Nel. Apalagi sekarang Ichigo sudah menikah. Dia sangat terpukul sampai-sampai menggunakan cara licik seperti itu.
Cara licik?
Nel mengelus pipi Ichigo. Tapi, apa Ichigo meginginkannya? Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Ichigo. Tak bisa dipercaya jika akhirnya dia bisa menyentuh Ichigo. Semudah ini.
Dia tidak berpikir jika ini mudah. Dia selalu menambatkan hatinya ke Ichigo. Dan ini adalah balasan setimpal atas segala usahanya bertahun-tahun kan? Nel mendekatkan rahang kokoh itu kepadanya. Dia bisa merasakan kehangatan Ichigo melalui sentuhannya. Dan dia terus mendekat.
Lalu berhenti.
Ichigo sering menolongnya. Lelaki itu sama sekali tidak pernah menyakiti Nel. Dia selalu baik. Terlalu baik untuk dia sakiti. Apa reaksinya jika lelaki itu tahu Nel ingin menjamahnya? Apa Ichigo akan sedih? Kenapa hati wanita itu menjadi goyah dan perih?
Akhirnya wanita itu kembali mengenakan pakaiannya dan keluar dari kamar Ichigo. Membiarkan keadaan Ichigo begitu. Dia tidak tahan lagi berlama-lama di situ. Dia hanya akan menyakiti hati pria yang selama ini dikasihinya.
Ichigo sendiri malah baru tahu jika Nel menyukainya. Sungguh lelaki yang tidak peka, pikir dirinya sendiri. Pesonanya bahkan bisa membuat seseorang nekad seperti itu. Mengerikan. Padahal dia sama sekali tidak peduli dengan penampilannya. Dia kira, Rukia sama saja. Wanita di depannya itu apa adanya. Dan sepertinya tidak peduli bahkan jika ada jerawat besar di jidatnya.
Ichigo mempererat genggamannya. Syukurlah, istrinya adalah Rukia. Wanita dengan sejuta pesona di mata Ichigo. Dia akan bersabar. Terus bersabar sehingga wanita itu benar-benar luluh.
"Aku capek."
"Terus ingatlah Chupi, dan jangan mengeluh."
"Chappy!"
"Ssst."
"Dasar kau ini."
"Kau ini yang dasar. Aku tidak menyangka. Dulu kau orang yang sinis kan? Bicara padaku saja jarang." Ichigo mengalihkan pandangan sehingga Rukia pikir Ichigo sedang sebal. Dulu Rukia memang fokus pada tugasnya saja. Tapi bukan berarti Ichigo juga tidak begitu kan?
"Kau sendiri juga begitu. Ingat? Kau sudah menghancurkan meja padahal belum ada satu hari kita menikah." Rukia tidak mau kalah.
"I-itu…" Ichigo tidak bisa mengelak. Dia memang menakutkan saat itu. Dia juga bingung, kenapa bisa dia begitu?
"Tapi terima kasih, kau tidak datang terlambat saat itu." Terlambat? Soal apa? Rukia melihat raut wajah Ichigo yang nampak bingung dengan pembicaraannya."Grimmjow."
Ah, pria itu. Ichigo tidak mau lagi mengingat pemandangan dimana istrinya…
"Aku tidak menyangka kau bisa berkelahi." Lanjut Rukia seraya tersenyum tipis. Wanita itu juga tidak terlalu suka mengingat bagian itu.
"Kau pikir suamimu ini hanya seorang dokter yang lemah lembut pada pasiennya?"
"Mungkin saja." Rukia terkikik mendengarnya.
Ichigo cukup senang melihat wajah riang itu. Sudah berkali-kali dia melihat Rukia menangis. Dia tidak bisa lagi melihat air mata berharga itu jatuh melewati wajah Rukia.
"Kau cantik, Rukia."
"Ha?"
"A-akh, betsuni!"
"Jangan berisik, Ichigo!" reflek karena mendengar suara Ichigo yang cukup kencang, Rukia membekap mulut itu. Dan jaraknya dengan Ichigo semakin tipis. Si amethys kini bisa menatap dalam hazel di depannya. Terbawa suasana, Ichigo pun memainkan tangannya. Tangan itu akhirnya menelusuri pinggang sang istri. Rukia merasa geli di bagian itu, padahal Ichigo hanya memegangnya.
"Sensasinya beda sekali saat aku menyentuh kulitmu langsung." Rukia mendelik seketika. "Sayang sekali malam ini kau tidak bisa menggosokkan punggungku."
"Ecchi! Hmp-!"
"Kini giliran kau yang berisik, Rukia. Jika tidak bisa diam, akan kubungkam dengan ini." Sejak kapan Ichigo belajar menggoda? Telunjuknya dengan percaya diri, dia letakkan di depan bibirnya yang terlihat haus. Rukia meneguk ludahnya. Tidak bisa disangkal bahwa dia takut jika Ichigo menjadi buas. "Haha..seharusnya kau lihat wajahmu sekarang. Kau bilang tidak takut denganku? Pembual…" senyuman sombong itu membuat Rukia geram. Dia tidak boleh kalah.
"Aku tidak takut denganmu!"
"Benarkah? Kalau begitu buktikan, Ru-ki-a-chaan.." Benar-benar, nada bicara suaminya itu menjengkelkan.
"Baiklah! Lakukan apa yang kau suka dan aku tidak akan meronta!" Sepertinya Rukia telah mengambil keputusan yang bisa membunuhnya sendiri. Kesempatan bagus bagi Ichigo. Dia sangat bersyukur dengan pembicaraan yang menurutnya nglantur ini. Akhirnya dia bisa melakukan apa yang selama ini Kaien ajarkan. Ichigo mengambil ancang-ancang dan..
"Sorry." Sialan suara itu.
Itu Gin.
"Ayolah, yang lainnya sibuk bersembunyi dan kalian malah bermesraan?" Pria itu mengulurkan tangannya yang kini menjadi penghalang antara bibir Ichigo dan bibir Rukia. Ichigo langsung saja menghantarkan tatapan tajam pada Gin. Pria rubah itu tak memperhatikannya dan hanya tertawa, membuat Rukia super duper malu. Dipergoki oleh seseorang saat dia seperti ini bukanlah yang diharapkannya.
"Cepat kembali ke dalam. Udaranya benar-benar dingin tahu." pria itu pun dengan santainya masuk meninggalkan Ichigo dan Rukia.
Ichigo berusaha dengan keras menahan amarahnya. Ya, benar-benar usaha keras. Dia pun berdiri dan mengulurkan tangannya ke Rukia.
"Kurasa dia benar."
"Emh."
.
.
.
.
.
Rasa silau itu sungguh tidak nyaman. Matanya masih terasa berat untuk dibuka. Wanita itu menggeliat sejenak. Tapi dia merasa aneh. Gerakannya seakan telah terkunci. Ada bau harum yang mengelilinginya. Dan juga…hangat. Mungkinkah itu suaminya? Bagaimana bisa? Dengan segera, dia membuka mata dan..
"Mimpi?" wanita itu menelusuri setiap sisi tempat tidur. Dia menghela nafasnya. Lega karena tidak ada seorang pun di sini selain dirinya.
Tok Tok Tok
"Rukia… kau sudah bangun kan? Aku masuk ya.." itu suara suaminya. Tak lama setelah suara itu terdengar, muncullah sosok suaminya. Ichigo memperhatikan Rukia sejenak. Dia belum pernah melihat kondisi Rukia tepat setelah bangun tidur, karena dia memang selalu bangun tidak lebih awal darinya. "Kalau begitu, kau bisa menggosok punggungku sekarang." Ichigo berbalik, tidak mau raut malunya terlihat. Sangat kekanak-kanakan. Dia meminta dimandikan sementara Rukia baru saja bangun?
"Kau ini.."
"Semalam kau tidak melakukannya kan?"
"Punggungmu itu sudah bersih Ichigo…"
"Bagaimana kau tahu? Dasar pembual.."
"Baiklah..baiklah…"
Tapi Rukia memang sedang butuh penyegaran. Dia sebaiknya mandi sekarang.
Seperti biasa, Ichigo masuk lebih dahulu. Setelah Rukia memakai handuknya, dia baru masuk menyusul Ichigo.
Jujur, Ichigo ingin sekali memandangi Rukia di saat seperti itu, tapi, Rukia memang selalu menghalangi imajinasinya.
Kali ini Rukia cukup lama menurutnya. Dia sudah biasa mengalihkan pandangan ketika Rukia mulai masuk. Itu memang perintah Rukia, jadi dia tidak bisa menolaknya.
"Sudah kubilang jika punggungmu itu bersih, Ichigo." Lelaki orange itu terkejut dengan suara yang berasal tepat di belakangnya. Sejak kapan Rukia masuk? "Kali ini, tidak usah menggosok punggungmu ya? Aku juga ingin berendam."
Ada apa sih dengan Rukia? Tidak biasanya dia seperti ini. Ichigo pun berbalik dan sangat terkejut. Wajahnya menjadi sangat merah. Dia begitu tidak menyangka. Oh tidak, tahan Ichigo. Jangan mimisan sekarang. Tapi pemandangan itu sangat ekstrim.
"Kemana handukmu?!"
"Lihat? Kaulah yang takut denganku, Ichigo."
.
.
.
.
.
"Baka!" Ichigo masih menggerutu di meja makan. Dia memperhatikan Rukia yang tenang-tenang saja menyiapkan sarapan. Matanya sesekali melirik Rukia. Dan sesekali pula dia merasa sangat malu. Baru pertama ini dia melihatnya. Akh, Kaien tidak pernah bercerita tentang ini. Bagaimana Ichigo menghadapinya? Bahkan dia malah kabur di tengah-tengah acaranya tadi. Dia sungguh tidak kuat.
"Aku sudah berpikir lama sekali untuk ini."
Akh, Ichigo masih gugup. Selama ini, dia menginginkannya kan? Ayolah.. mana keberanianmu itu?
"Aku tidak akan takut lagi padamu. Tapi kelihatannya malah kau yang takut."
"Aku tidak takut! Aku hanya belum persiapan saja, Rukia!" Muka Ichigo kembali merah. Dia memegang erat-erat gelasnya. "J-Jadi, jangan lakukan hal seperti tadi tanpa memberitahuku dulu."
"Wakatta..wakatta… Tapi, ngomong-ngomong Okaa-san sudah meneleponmu?"
"Menelepon tentang apa?"
.
.
.
.
.
"APA?"
[Jangan bilang 'apa' seolah-olah kau tidak menginginkannya, Ichigo-kun!]
"T-Tapi, aku tidak ingin Rukia takut padaku."
[Takut? Kau bercanda? Sebentar, mari kita luruskan. Sekarang, kau baru pulang kerja kan?]
"Iya, lalu?"
[Sudah mandi?]
"Belum. Aku tidak mengerti."
[Kau tahu sekarang Rukia dimana?]
"Tadi dia di sini tapi…" Ichigo mengedarkan pandangannya. He? Dimana Rukia? Perasaan, istrinya itu baru melepaskan jaket yang dia pakai.
[Argh…dia sedang menunggumu di kamar, Ichigo-kun!]
"Ha? Okaa-san yakin?"
[Dia bilang sendiri padaku. Mana mungkin salah! Hm, itu tidak peting. Pokoknya sekarang kau harus bersiap dan nikmati malammu! Dah, Ichigo-kun! Tut..Tut..Tut..]
"Jangan bercanda… Mana mungkin Rukia—" Sebaiknya dia mengecek sendiri.
Dia akhirnya berjalan menuju kamar. Sampai di sana, kamar Rukia kosong. Dan kini beralih pada kamarnya. Ada yang aneh. Di pintu itu, tergantung tulisan yang membuatnya lagi-lagi blushing.
DON'T DISTURB!
Ichigo mengetuk pintunya itu, memastikan Rukia ada di dalam.
"Rukia?"
"Ya." Hm..ternyata Rukia memang di situ. Jangan bilang, ibu mertuanya tadi tidak bercanda. Jika benar, berarti…
"Boleh aku masuk?"
"Kata kuncinya dulu."
"Kata kunci?"
"Aku tidak takut dengan Rukia! Mengerti?" Apa-apaan Rukia itu? Ichigo meringis.
"Aku tidak takut dengan istriku!"
Krieet…
"Baiklah kau boleh masuk seka— Ichigo!" tanpa basa-basi lagi, Ichigo menerobos pintunya. Membuat Rukia menjerit, tapi dia tidak peduli. Lekas dia tutup pintu itu dan menguncinya. Membuat gantungan di depannya bergoyang-goyang.
DON'T DISTURB!
OWARI
Gyaaaaaaah…sudah puas belum dengan endingnya?
*ngetik fanfic sambil nonton Brave *molor berjam-jam
Huft..saya seneng deh, akhirnya selesei juga. Tidak ada anak atau siapa pun karena ini cerita tentang mereka berdua.
Gyaaaaaah…saya berasa udah tua. Saya nggak sengaja, tapi fic ini selesai di chapter 13, ugh..13
Oh ya, sekali lagi gomen, saya tidak membalas review di chapter ini. Dan saya sangat suka Ao Haru Rideeeeeeeeeeeeeeee #plak
Bingung mau ngomong apalagi. Yah, semoga chapter ini tidak mengecewakan readers yaaa.
Hontou ni arigatou sudah mau membaca, mereview, mem-fav, mem-follow dan menunggu fic ini. Hontou ni arigatouuu…
Jaaa mata! Sampai ketemu lagi! ^^