Gang kecil dipenuhi sampah dengan bau menyengat, balok kayu yang bertumpuk di sudutnya –seorang pemuda duduk berjongkok, menyandarkan tubuhnya pada dinding. Kepala yang ditumbuhi surai kuning keemasannya tertunduk, bertumpu pada lengan yang ia lipat.
Si surai kuning keemasaan berdiri –cepat, menghadap cahaya di ujung gang. Mata dengan iris sapphire menyipit, menatap tajam seseorang yang berdiri di ujung sana.
Ia berlari berlawanan arah, sampah plastik yang menggunung dan balok kayu yang bertumpuk dijadikan pijakan kakinya untuk memanjat dinding tinggi. Setelah sampai di atas ia berbalik, memberikan jari tengah dan senyum mencemooh pada seseorang di bawah sana. Lalu melompat, menuju balik dinding.
Seseorang di bawah sana berbalik, menekan tombol ponsel dan meletakkan di telinga.
"Maaf Tuan, saya gagal lagi."
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Pairing: Naruto Uzumaki and Sasuke Uchiha
Warning: YAOI, Mungkin OOC, Typo, mungkin ide pasaran, dan kekurangan lainnya.
.
.
Don't Like, Don't Read
.
Rumah-rumah padat dan saling berdempet dengan ukuran di bawah standar, tanah kering sebagai pijakan kaki dengan debu dan pasir yang bertebrangan. Tumpukkan sampah bekas di setiap rumah menjadi pemandangan utama.
Anak-anak dengan wajah dan pakaian kumal, saling mengejar, bermain, bahagia. Pria tua, berlemak yang duduk di atas tanah kering melemparkan kaleng bekas, merasa terganggu dengan kebisingan yang tercipta. Anak-anak mengejek, berlari, tertawa, mendengar geraman marah pria tua.
Seorang pemuda dengan sweater hitam yang membalut tubuhnya, tudung hitam digunakan untuk menutupi kepalanya. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya, celana katun hitam di bawah lutut dan juga sepatu sneakers merah melengkapi penampilan sang pemuda.
Berdiri di depan pintu yang terbuat dari kayu lapuk, mengetuk pintu beberapa kali. Menunggu seseorang di dalam sana membukakan untuknya.
Seseorang di dalam sana membuka sedikit pintu, mengintip melalui sedikit celah yang tercipta, dan membuka lebar setelah tahu siapa tamunya.
Si pemuda masuk. Membuka tudung kepala, memperlihatkan helai keemasannya.
"Buka kacamatamu itu. Idiot," ucap tuan rumah, setelah menutup pintu.
Membuka kacamata yang digunakan, memperlihatkan iris sapphire yang menenggelamkan.
Bola matanya bergulir, memperhatikan seisi ruangan. Lantai dari tanah yang keras, dinding dari semen yang tak diberikan cat dengan langit-langitnya yang rendah. Tiga buah kursi dan meja kayu usang terletak di sudut kiri dekat jendela yang juga terbuat dari kayu. Ranjang besi berkarat di sudut kanan dan lemari berkayu rapuh di sisinya. Ruangan lain dengan sekat papan, yang diyakininya sebagai dapur atau kamar mandi.
'Buruk,' pikirnya.
"Sudah puas melihatnya, Tuan?" ucap pemilik rumah, berjalan menuju kursi kayu, menariknya, dan mempersilahkan tamunya untuk duduk.
"Masih tahu cara bersopan santun rupanya, eh?"
"Aku bukan kau, rubah."
Si surai kuning duduk, membuka sweater, dan menyampirkannya di sandaran bangku. "Aku menginap beberapa hari," ucapnya, menguap bosan.
"bukan begitu cara orang meminta, Uzumaki."
Naruto Uzumaki –nama pemuda tersebut, mendecih, memutar bola matanya. "Izinkan aku menginap di sini beberapa hari. Kumohohon Sasori," ulangnya sarkastik.
"Baiklah~" ucap si pemilik baby face. "Tapi, kenapa?…ah, musim panas," lanjutnya. Menjawab pertanyaan sendiri. "Hei, kenapa harus di rumahku? Kenapa tidak di tempatnya saja? Seperti biasanya."
"Cih. Ini yang kau sebut rumah," katanya, mengernyitkan kening. " –tua bangka itu sudah tahu tempatnya. Dia mengirim beberapa orang untuk menangkapku dan semakin keras kepala menjebloskanku ke penjara."
"Kau terlalu berlebihan Naruto," ucap Sasori.
Naruto terdiam. Bersandar, mendongakan kepala menatap langit-langit.
"Aku bahkan belum menemukan satupun petunjuk," gumamnya.
"Dunia luas Naruto," Sasori berdiri. "Kau pikir di sini satu-satunya tempat untuk menyembunyikan orang. Tapi banyak. Banyak," katanyanya merentangkan kedua tanganya lebar " –kau terlalu naif Naruto," lanjutnya dan duduk.
"Hanya ini tempat yang terpikirkan olehku," Naruto berkata dengan suara pelan. "Tempatnya membuang manusia sampah," lanjutnya mengejek.
"Berengsek kau," umpat Sasori, menendang kaki Naruto.
Mereka terdiam.
Sasori memikirkan perkataan Naruto 'tempatnya membuang manusia sampah.'
Utara Suna. Kota kumuh dan gersang.
Kota yang tak diakui. Kota yang tidak ada dalam peta resmi Jepang. Kota dengan penduduk kurang dari 20.000 jiwa.
"Kau mau ikut bersamaku," Naruto bertanya tiba-tiba, membuyarkan lamunan Sasori.
"Mencarinya. Tidak terimakasih."
Naruto mendecih. 'Bagaimana bisa ia mengenal manusia yang sok tahu seperti Sasori,' pikirnya.
"ponselmu?"
Sasori melihat handphone bututnya yang berdering. Menekan tombol terima saat tahu siapa yang menghubunginya.
Ya, si brengsek itu ada di sini.
Naruto mendecih, melangkahkan kaki keluar saat tahu siapa yang menghubungi Sasori.
…
Sepertinya dia tidak ingin bicara denganmu.
Sasori memutar bola mata, menjauhkan handphone dari telinga saat orang di seberang sana berteriak marah mendengar perkataannya.
…
Dia keluar saat tahu kau menelpon. Hoo, dia manusia primitive. Kau harusnya tahu dia tidak akan menggunakan ponsel. Terlebih benda itu bisa meninggalkan jejak.
Keduanya terdiam. Sasori menoleh saat kaleng bekas melayang dan mengenai kepalanya. 'Tidak ada orang.'
Sasori…bisakah kau membawanya pulang sekarang?
Suara wanita di seberang sana terdengar memohon. Sasori mengernyitkan kening.
Aku tak bisa memaksanya –tak ada orang yang bisa memaksanya. Kau tahu itu.
Sasori berdiri, berjalan kearah pintu, dan menyandarkan sebelah tubuhnya pada kusen pintu. Mencari-cari keberadaan Naruto.
Kumohon Sasori, bujuklah dia…kau tahu Kaa-san mengkhawatirkannya. Ah, bagaimana kalau aku saja yang menjemputnya.
Sasori menegakkan tubuhnya. Mendecih mendengarkan perkataan wanita itu 'Menjemputnya. Yang benar saja,'
Dia akan membencimu, jika kau melakukan itu. Sudahlah, dia akan pulang kalau sudah saatnya.
Sasori menghela napas, jengah dengan drama keluarga ini. Dan tersenyum kecil saat melihat Naruto bermain bola sepak bersama anak-anak sekitar.
Ya, aku tahu. Tapi, kumohon Sasori bujuk dia…bila perlu kau juga ikut.
Mohon wanita itu lagi. Sekali lagi Sasori menghela napas.
Akan kupikirkan.
Ucap Sasori akhirnya. Memasukkan handphone ke dalam saku saat pembicaraan selesai dan menghampiri Naruto untuk ikut bermain bersamanya.
Tidak ada hal yang lebih menyebalkan dibandingkan menunggu. Terlebih kau menunggu selama berjam-jam. Menunggu kemacetan yang kau tak tahu kapan berakhirnya.
Ingin rasanya mencaci, memaki, meneriaki seseorang atau sesuatu –entah apa yang menjadi penyebab kemacetan. Dan itulah yang dirasakan seorang pria yang menjadi salah satu korbannya.
Suara geraman terdengar dari sela-sela bibirnya, giginya bergemetuk menahan amarah.
"Calm down," katanya tersenyum, menarik napas, dan mengehembuskannya.
Tarik dan hembuskan.
Tarik dan hembuskan –terus seperti itu.
Sampai –tiiiinnnnnn. Ia menekan klakson mobilnya dengan sepenuh hati, benar-benar marah.
Ia mengumpat keras. Ingin rasanya ia melabrak seseorang atau sesuatu di depan sana yang telah menahannya dalam kemacetan.
"Uh. Seorang Uchiha tak seharusnya bersikap seperti ini," katanya, menyisir helainya menggunakan jari-jari. "Seorang Uchiha, haruslah pandai menahan emosi," lanjutnya, bercermin menampilkan senyum charming.
"Ya, seorang Uchiha tak sepantasnya bersikap seperti tadi, apalagi seorang Uchiha Itachi sepertimu," sahut seseorang yang duduk di sebelah Itachi, menekuk sebelah kaki dengan sebelah tangan yang memegang sebungkus snack. " –Itachi selalu dipenuhi karisma dan selalu bersikap ramah setiap saat," lanjutnya, memasukkan snack ke dalam mulut.
Itachi menganggukan kepala, menyetujui perkataan seseorang yang duduk di sebelahnya. "Ya kau benar. Itachi Uchiha adalah pria berkarisma," jawab Itachi masih menganggukkan kepala.
Tunggu dulu.
Seseorang.
Seseorang duduk di sebelahnya. Berbicara padanya. Bukankah sedari tadi dia hanya seorang diri, sejak keluar dari agency sampai terjebak macet selama berjam-jam. Tak mungkin hantu –seorang yang berpikir rasional dan cerdas sepertinya sangat tidak mempercayai keberadaan suatu hal yang antara ada dan tiada keberadaannya.
Lalu siapa?
Itachi menoleh.
Dan di sana, di dalam mobilnya, di sebelahnya –seorang pria dengan rambut kuning norak duduk dengan menyilangkan kedua kaki dan tengah memakan snacknya.
Snacknya.
"Brengsek kau!" Itachi berteriak, merebut snack miliknya.
"Afa hang hau hakukang," apa yang kau lakukan.
"Brengsek KAU Deidara," Itachi berteriak sekali lagi. Membuka kaca mobil di sebelah Deidara –orang yang memakan snacknya dan mengeluarkan kepalanya. "Keluarkan milikku," Itachi memukul punggung Deidara dan menggoyangkan kepalanya. Memaksa Deidara memuntahkan makanannya.
Telan. He he.
Deidara terkekeh setelah menelan makanannya.
"Aku tidak memakan milikmu. Aku hanya memakan snackmu," ucap Deidara, masih terkekeh.
"Makananku," ratap Itachi, kembali duduk.
"Dasar pelit dan lupakanan soal makanan."
"Aku tak akan pernah melupakannya," Itachi terdiam, menolehkan kepala kearah Deidara. "…hei, sejak kapan kau berada di sini?"
"Aku," Deidara menunjuk dirinya. "Sejak kau menampakkan wajah ingin buang air besar. Kebetulan aku berada di sekitar sini, melihat mobilmu, lalu aku naik –aku sudah meminta izin sebelumnya.
"Kapan kau –hei apa yang kau lakukan di sekitar sini?"
"Mengurus sesuatu."
Mereka lalu terdiam.
Apa yang dilaukan Deidara di tempat ini. Bukankah Namikaze Corp letaknya di bagian Selatan Konoha. Terlebih, kenapa Deidara berjalan kaki di saat kendaraan di bagasinya tidak habis terpakai –tidak mungkin 'kan Namikaze Corp yang memiliki banyak cabang telah bangkrut.
Ah, tapi bisa saja hal seperti itu terjadi. Bukankah manusia zaman sekarang banyak yang melakukan korupsi sehingga perusahaan bahkan Negara bisa bangkrut lalu miskin karenanya.
Lagipula di dunia ini masih banyak manusia yang lebih cerdas dan kreatif, selain para pekerja di Namikaze Corp. dengan kelicikan juga sangat bisa menjatuhkan sebuah perusahaan.
Itachi mengelengkan kepala, tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Terlebih jika membicarakan Namikaze Corp.
"Itachi. Itachi. Hei. Bangsat kau, aku memanggilmu sejak tadi, lihat manusia di belakang sana mengamuk, karena kau tidak jalan.
Itachi menengok ke belakang lalu menginjak gas dan mengumpat keras, karena para manusia itu sangat bringas menekan klakson dan sangat tidak sabaran.
"Hei, kenapa kau ikut denganku," Itachi menginjak pedal remnya. "Keluar kau sekarang!"
"Kau terlalu banyak berteriak Itachi," Deidara mengorek lubang telinganya dengan kelingking. "Untung saja di belakang tidak terlalu ramai."
"Kenapa kau tidak turun. Keluar!"
Yang benar saja. Turun katanya. Tidak mengertilah Itachi kalau jarak mansionnya dengan jalan ini sangat jauh, berlawanan arah.
"Baiklah. Tapi tunggu. Aku akan menelponnya untuk menjemputku," Deidara mengeluarkan ponselnya, mencari nomor, sesekali melirik Itachi. "Dia akan senang kalau tahu aku sedang bersamamu."
Itachi mengernyitkan kening, sepertinya hal buruk akan menimpanya jika membiarkan Deidara menelepon seseorang.
"Tunggu," Itachi menahan tangan Deidara. "Kau keluar. Tunggu dia di luar. Aku akan pulang."
"No. No. No," Deidara menggelengkan kepalanya pelan. "Aku menunggu di sini."
"Hei –baiklah. Aku akan mengantarmu."
"Suna."
"Ok," Itachi. Menolehkan kepalanya cepat. "APA?!"
"Kau mendengarkanku~" Deidara menggoyangkan ponselnya di depan wajah Itachi.
Itachi berpikir sebentar dan menyetujui permintaan Deidara. Sepertinya akan ada hal yang menarik. Jika ia beruntung.
"Naruto."
Sasori menggoyangkan bahu Naruto. Sebenarnya tidak tega membangunkannya.
"Jam berapa?" gumam Naruto, mengucek mata.
"10 malam. Aku sudah memesan dua tiket."
"Kau ikut?" Sasori menganggukkan kepala. "Aku tidak akan kembali sekarang."
Sasori sangat tahu Naruto tidak akan mau kembali, jika itu bukanlah keinginannya. Tapi, apakah dia akan menunggu sampai diseret terlebih dahulu. Tidak. Sasori tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia tak ingin Naruto diperlakukan seperti buronan.
"Tapi beberapa hari lagi-"
"Aku tahu," Naruto menatap mata Sasori. "Aku akan kembali secepatnya," lanjutnya meyakini.
"Kita akan berangkat besok pagi Naruto."
"Berikan aku alasan, kenapa aku harus kembali."
Sasori menggerakkan bola matanya –memikirkan alasan yang tepat. "Aku…Dia…aku yakin dia tidak ada di sini."
Naruto mencengkram bahu Sasori. Memberikan tatapan tajam. "Kau yakin, eh?"
Sasori mengindari tatapan Naruto, mencoba melepaskan diri dari cengkraman Naruto.
"Kau pikirlah Naruto. Di sini bukan tempat yang tepat. Oji-sama tidak sebodoh itu untuk menyembunyikan seseorang di sini.
Naruto memang tahu, tidak mungkin orang yang dicarinya berada di Suna. Dia hanya putus asa. Setelah mengetahui kebenarannya dan mencari selama dua tahun, dia tidak menemukan satupun petunjuk.
Dia seperti lenyap ditelan bumi. Orang yang sangat disayanginya.
"Baiklah, aku tidur." Naruto berjalan lunglai menuju ranjang. "Kau tidur di kursi," lanjutnya. Menoleh lalu menyeringai.
Sasori mengumpat. Dia lupa betapa liciknya rubah sialan itu. Sebagai pemilik rumah dan isinya seharusnya dialah yang berhak atas ranjang itu.
'Brengsek,' umpatnya dalam hati.
.
Terimakasi bagi yang sudah membaca.
Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.
Ninndya